Selasa, 22 Februari 2011

WACANA BESAR DI BALIK "BUNGKAM MATA GERGAJI" GUMAM ALI SYAMSUDIN ARSY

Catatan: Dimas Arika Mihardja

ALI SYAMSUDIN ARSY (ASA) kembali bergumam, berkutat pada gumam, melakukan perjalanan ulang-alik seraya berkubang dalam kreativitas yang menderas dan layak dijadikan fokus kajian. ASA membawa fenomena baru dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dalam kaitan ini saya pernah menulis esai yang antara lain menyatakan:

Buku ASA, “Negeri Benang Pada Sekeping Papan”, “Tubuh di Hutan Hutan”, dan “Istana Daun Retak” menunjukkan kubu yang berbeda jika dibanding dengan kubu sastrawan sebelumnya yang merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Ketika penyair lain memilih karya yang menjaga keteraturan, keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan pada sisi lain ASA berani menerobos belantara penciptaan dengan melawan arus. ASA memperkenalkan wawasan estetik kekacauan, ketidakteraturan, asimetri, aharmoni, dan sebagainya ke dalam karya yang berbeda. ASA menamakan karyanya sebagai “gumam” yang menurut penerbit ‘lahir dari seorang pencatat yang murung dan gusar. Mencoba bersikukuh pada kemanusiaan dan menolak untuk dikalahkan oleh kesia-siaan’.

Kini ASA sedang menyiapkan serial gumam selanjutnya yang diberi tajuk "Bungkam Mata Gergaji". Tajuk ini rasanya tak lagi bergumam, melainkan telah merambah ke eksploitasi bunyi jerit tertahan sehingga nyaris merupakan seruan: "Bungkam Mata Gergaji". Seperti apakah "Bungkam Mata Gergaji" ini tampil dan dikemas? Apakah ASA masih konsisten dengan estetika disharmoni, asimetri, dan dekonstruksi? Marilah kita tilik sebuah gumam panjangnya dalam kutipan berikut ini:

Bungkam Mata Gergaji

Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul, negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik walaupun tengadah kulit tangan keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas, sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetap bersih putih dan tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting, “Kami sudah berikan yang terbaik kepada mereka dan semoga mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.” Benar. Dan itu sekali saja, ketika datang liputan berita dalam tayangan-tayangan kaca serta lembar-lembar cetak terbaca, namun sebenarnya di balik itu permohonan demi permohonan melebihi apa yang terbaik dari pemberian, “Akh, sekedar untuk bernapas satu hari saja cukuplah sudah, tetapi kami memerlukan uluran tangan dari para dermawan sekalian karena bencana itu terlalu hebat dan sangat memukul rasa kemanuasiaan kami sehingga tak sanggup bila hanya dibebankan kepada satu atau sebagian kecil dari kekayaan negara, kita harus saling membantu dan saling memberikan perhatian, sepenuhnya ya sepenuhnya,” hutan belantara yang rimbun semak belukar di bagian lambung kiri itu merambat sampai ke gurun-gurun jauh, sangat jauh, bahkan duri-duri tajam setajam sinar pembelah sukma pun melakukan tugasnya dalam hitungan teramat cepat secepat kilasan cahaya, dari dalam hutan pula orang-orang yang dahulu memberikan dukungan tiba-tiba menghilang di kejauhan gelap malam, hai apa kabar bulan, hai apa kabar matahari, hai, orang-orang bebal, masihkah kalian membiarkan keculasan itu melingkar di leher sebagai kalung keberuntungan karena kenistaan sebagian dari mereka dijadikan alasan untuk menghidupi sekelompok orang lain dengan penuh semangat dan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, keuntungan demi keuntungan dengan cara membagikan sekelingking saja sedang empat jari yang lain adalah untuk pribadi dan dibagi-bagi dengan alasan “Yang kerja juga perlu makan, tetapi makan kami tentu saja tidak akan sama dengan mereka yang kini sedang menadahkan nganga di kejauhan, terlihat lunglai tanpa daya apa-apa, ayo kawan-kawan kita cari lagi tempat-tempat tertimbunnya karun-karun itu,” hutan penuh wajah-wajah mempesonakan dirinya di depan cermin besar yang kita namakan bangsa berbudaya, bangsa bermartabat, tetapi ketika persoalan membentur hidung bibir gigi telinga rambut tulang kaki mata bulu-bulu jantung kulit hati sumsum sari pati, akh semua unsur dalam persekongkolan, lenyaplah segala upaya hutan yang tumbuh di kepala mereka, sedang kita tandus-tandus saja, hutan bertemu di mandulnya oleh bungkam mata gergaji, tebaran pesona, memamah batu memamah kabar memamah kepal-kepal memamah wajah-wajah di teriknya panas matahari, “Ayo kawan-kawan kita lumpuhkan kekuatan orang-orang di luar pagar dengan bunyi pesta-pesta, kita kerjakan apa yang kita mampu, jangan hiraukan mereka yang tidak dapat bagian dari keculasan ini, jangan biarkan mereka membawa duri-duri di tangan, duri itu kita yang punya,” bungkam mata gergaji, dan pohon-pohon berjatuhan, tumbang di genggam tebaran pesona, tebaran pesona, tebaran pesona, hutan bertebaran batu-batu hutan berserakan kutu-kutu hutan kehilangan datu-datu hutan ditinggalkan mantra-mantra hutan mengecewakan warna-warna hutan berloncatan makna ke dahan makna hutan tanpa daya hutan kehilangan cerita demi cerita hutan berselimut kabut-kabut pesona hutan gundul dari Selatan ke muara dari Timur ke muara dari Barat ke muara dari Utara ke muara hutan hanya bersisa kulit-kulit cakar buaya hutan sebagai lemari kaca tebaran pesona namun tak mampu lagi memberikan hijaunya tak mampu lagi memberikan sari pati akar-akarnya tak mampu lagi menahan deras arus-arus menerpa hutan yang ada adalah hiasan-hiasan purba tersisa, “Kita harus manfaatkan keberadaannya dengan sebaik-baiknya, orang-orang asing telah menyatakan siap dengan segala upaya, alat-alat berat telah pula menunggu di luar batas garapan, jalan-jalan akan melewati melintang-lintang saling tumpang saling meliuk saling membuka, kesepakatan untuk itu telah kita siapkan berkas-berkasnya di bagian administrasi kami, ya telah kami siapkan segala sesuatunya, kami yang mengaturnya, ini bagian dari kesepakatan kita bersama, karena kita satu, maka cara pengaturannya pun harus satu saja, satu saja, pemanfaatannya kita sebar ke seluruh wilayah, dan kami telah mengaturnya, serahkan saja kepada kami, kami lebih paham tentang pembagian seperti ini, karena di wilayah lain pun telah pula kami lakukan, semua berjalan lancar, kami sangat memahami keperluan wilayah lain, dan kami ahlinya dalam soal membagi-bagi,” hutan semakin terbakar hutan semakin gelisah hutan semakin gerah hutan semakin dikecewakan, bungkam mata gergaji, paru-paru terpampang dengan bolongan-bolongan dengan derap ringkik bertebaran debu di kejauhan, “Kemana lagi kita menghindar, kemana lagi kita menghindar, ya kemana lagi, bukit telah lama lenyap sebagai bukit, guntung telah lama lenyap sebagai guntung, lembah telah lama lenyap sebagai lembah, jurang pun memasang taring-taringnya, kemana lagi kaki menginjak pergi kemana lagi napas memburu pergi kemana lagi, “Di sini, sesuai pantauan satelit dengan tingkat kecanggihan luar biasa, lapisan demi lapisan buminya lapisan demi lapisan tanahnya adalah bagian dari pesta-pesta kita, laporkan saja warna-warna di permukaan yang ternyata tampak sangat tidak menguntungkan, simpan pundi-pundinya,” hutan semakin terbakar dan hutan semakin meranggas, dibungkam mata gergaji.

Satu mata gergaji belum mewakili seluruh rotasi. Satu mata gergaji belum mampu menghentikan revolusi.

Potongan-potongan kepingan-kepingan unsur-unsur bagian-perbagian sudut-sudut bergerak secara garis lurus untuk belah membelah bergerak untuk pecah memecah tidak lain hanya untuk membentuk satu kesatuan sakit melilit-lilit. Sengaja menciptakan. Yap. Sakit berkepanjangan. Persekongkolan, diam-diam atau terang-terangan. Satu kesatuan bergerak tanpa dipandu karena memang merupakan ketentuan dari hasrat bahkan saling tumpang saling sikut saling tikam, “Tetapi, seluruh mata gergaji tetaplah melukai,” bungkam mata gergaji telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi. Mata gergaji bergerak di antara kerumunan orang-orang jalanan di antara runtuhnya gubuk-gubuk,”Ayo, kita harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini dan kita menjadi bagian dari keindahan yang memang sepantasnya dilaksanakan. Ayo, menyingkirlah kalian sebelum kami singkirkan,” mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran.

Rute perjalanan mata gergaji boleh jadi ada di halaman parkir kantor polisi, atau bahkan dalam bilik jeruji besinya. Rute perjalanan mata gergaji boleh jadi ada di kamar-kamar yang disebut sebagai kejaksaan, bahkan sampai di sudut-sudut lacinya. Rute perjalanan mata gergaji, konon menurut berita miring yang beredar ada pula di atap gedung khusus pemberantasan korupsi, bersama dengan akar-akar gantung di lilitan pohon hiasnya. Rute perjalanan mata gergaji kadang kala singgah pula di istana pimpinan negara beserta patung-patung di luasnya halaman taman sarinya. Rute perjalanan mata gergaji bercokol di emper-emper kumuh yang namanya mahkamah agung, serta bentangan tali-tali layangan yang tersangkut di pojok jendelanya. Rute perjalanan mata gergaji sesekali duduk lesehan di bulu-bulu mata para hakim dan di saku baju pengacaranya. Rute perjalanan mata gergaji tidak kalah sengit ketika tersangkut berjuntai di ujung paku-paku tiang gedung perwakilan rakyat, akh itukan katanya saja. Rute perjalanan mata gergaji berpindah-pindah, berloncatan, kadang tak beraturan, tetapi selalu berlindung di balik keteraturannya. Rute perjalanan mata gergaji, akh, rute demi rute berjalan menggelinding melompat silang sana silang sini nongkrong di sana sabet sebelah sini, sikat di akar gantung tarik di jebakan lainnya, jerat-jerat bungkam mata gergaji.

Semakin ganas semakin terbuka semakin lenyap semakin pupus semakin tertutup semakin melegakan semakin ditertawakan semakin dilupakan semakin membingungkan semakin tidak jelas semakin jengkel semakin dipesta-pestakan semakin gila semakin waras semakin baik semakin rusak; bungkam ke kiri ternyata dibungkam dari kanan, bungkam di atas ternyata malah dibungkam pula dari bawah. Akh, rute perjalanan mata gergaji.

Sejarah terukir di atas batu, anak-anak zaman mempertanyakan keberada an nya, atas kehadirannya, “Mengapa sampai kini yang terlihat jelas, dan teramat jelas, hanya ketidakseimbangan dan ketidaksesuaian. Selalu saja ketidakpuasan pada pihak tertentu, dengan berbagai alasan. Menghindar dari segala pertanyaan dan membungkam semua bentuk jawaban. Sebelum menari, sebelum waktu mempersunting penampilan, di balik layar, di balik panggung, di balik susunan dialog, penawaran terhadap tujuan untuk menjadi lebih baik dari yang sudah diupayakan ternyata semakin merumitkan kadar gula di kandungan cuaca. Sebelum puisi menari maka persiapan untuk menjadi yang terbaik di antara yang baik-baik adalah sebuah upaya bijaksana.” Terus terang ia ungkapkan di hadapan khalayak yang ketika itu terlihat hanya cuap-cuap belaka. Lorong sempit, jalan tikus di parit-parit. Kumal. Berdebu Lumpur. Kumuh lusuh dan rusuh. Tarian mata-mata gergaji. Ada angin tertikam di pojok waktu, dan ukiran sejarah terbengkalai berserak di pinggir-pinggir jalan. Semakin lama semakin mengaburkan persoalan di antara derap kaki-kaki para pejalan, terseok ketika kalah usai berperang. Ia telah dengan sangat berani dan lantang mempersunting embun di permukaan daun bergoyang. Berlari sebelum puisi menghampiri. Entah untuk hari ini atau sampai ke batas entah yang tak juga bertemu. Kosong dalam sekap-sekap rindu. Wajahnya mulai tampak dalam buram di balutan, hutan-hutan kita tak berfungsi untuk kemakmuran yang rata oleh lubang-lubang galian, persetan bagi mereka yang mencibirkan hati ketika menyaksikan perjalanan panjang, sebelum mata-mata gergaji itu menari. Adakah yang namanya belas kasih tanpa berharap imbalan lebih dari yang diberikan. Oh, cuaca cuaca cuaca, selalu cuaca bertuba. Biasanya ada luka di buhul menara, dan pikiran yang dirajut dalam kerangka sejarah kepurbaan, kita tetap saja terkepung dalam kemiskinan. Alam ini untuk siapa, dan sebenarnya punya siapa, tentu saja bukan penonton atas runtuhnya pesona, kaki-kaki bukit melangkah pada tujuan tak menentu arah. Oh, lihatlah sebaris puisi mulai menata kaki-kaki, sebelum menari. Kerak bumi, lapisan demi lapisan, terbongkar. Kita diam. Kita menjadi bisu. Kita tak mampu berbuat apa-apa. Ini wilayah kita. Ini daerah kita. Bersiap untuk sebuah kepunahan dan kita selalu terjajah. Wacana demi wacana, kekalutan pun sengaja diciptakan. Bualan demi bualan, penjarahan pun sengaja dibiarkan. Lolos melenggang di depan mata. Teramat dinistakan. Kita menjadi orang-orang yang rapi bersidekap dan hanya memerahkan retina mata, berucap pun tersumbat dalam dekapnya sekat-sekat. Tarian mata-mata gergaji. Bila ada yang memulai untuk merintangkan jalan dan akan berhadapan dengan semua kekuatan maka kekuasaan untuk menahan laju pergerakan itu senantiasa selalu sejalan beriring bersama yang namanya masing-masing kepentingan membenturkan dirinya pada persoalan yang sama dan akhirnya terlihat percik-percik pergesekan masing-masing pihak padahal semua itu terjadi akibat dari kekerasan dan tekat masing-masing hasrat, percik-percik itu akan menyulut gelora-gelora lain di jalurnya masing-masing pula maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kobaran-kobaran yang lebih besar dan menjalar di semua sektor di semua wilayah, emosi dari percik-percik itu adalah sesuatu yang terjadi terkadang bukan kehendak oleh si penyulut tetapi boleh jadi kobaran dilemparkan secara membabi buta dan tak tahu ke mana arah bola api panas itu membenturkan kepentingannya, “Jangan mendekat nanti engkau ikut terbakar,” suara seperti itu sebenarnya boleh jadi sebagai pancingan untuk menghadirkan derap langkah orang-orang yang sebelumnya tidak mengetahui maka menjadi meluas dan tepuk tangan serta bersiap saling terkam pun tak akan terhindarkan, “Ayo, mari kemari kita nikmati kekacauan ini, ayo ke sini, ada kegaduhan yang menjalar dengan sendiri-sendiri, dan kita tinggal memanen, walau itu akan dilakukan sampai beberapa tahun kemudian,” suara itu mulai menyulut api-api. Semakin lama api itu semakin merambat, kadang ada yang berjalan dengan sangat cepat, terkadang ada pula dengan begitu lambat, sampai berpuluh-puluh tahun baru dapat diketahui bahwa telah ada pergerakan di kantong-kantong pergerakan dan semua orang menjadi terperanjat.

Kerja sebuah gergaji adalah sistem bergerak untuk menjadi terpisah, menjadi berseberangan, saling berhadap-hadapan. Sama-sama merasakan luka berkepanjangan, luka dari bungkam mata gergaji. Sakit yang dirasakan bersama-sama. Luka untuk bersama-sama. Bila ada satu mata gergaji maka ia akan dikuti oleh gerak mata gergaji yang lain. Sistem, sebagai tameng ampuh dalam mempertahankan, sistem sebagai tameng untuk menyerang. Sedangkan kerja sebuah gergaji adalah sebagai pemisah. Untuk apa persatuan, bila di dalam system persatuan itu sendiri ada pihak dominan karena sikap ketidak-adilan yang diberlakukan. Untuk apa persatuan bila cara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan;
di semua bidang, karena bungkam mata gergaji
menciptakan sesuatu yang
sepotong-sepotong
terpisah-pisah
terpecah-pecah
Kekasih. Rindu ini menggumpal di remang cahaya. Bukan bunga yang akan dibawa, tetapi hanya. Kekasih, ada sekuntum puisi mekar di ujung jemari manisku. Telapak tanganku mencoba membuka, adakah suara rindu itu menggema. Lihatlah ke atas sana, langit cerah secerah rindu yang kini ada di depan bayang matamu, kelopak rindu pun berpuisi dalam tingkah menawan. Kekasih. Perjanjian semacam apa yang harus diperdengarkan sebelum dunia menyambut tangisan si kecil melamunkan harap-harap di garis hidup dan kehidupan. Adakah rindu yang disimak-urai dalam dekap penuh wangi dan lincahnya puisi-puisi menari-nari. Bila bungkam datang maka terimalah ia dengan puisi bertubi-tubi karena bungkam biasanya bergerak dengan begitu cepat dan kadangkala ada pula secara lambat merambat-rambat. Bungkam bergerak agar laju deru pihak lawan terhambat. Bungkam merupakan bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikaman, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalah melemahkan, tumpul sampai ke pangkal-pangkal dermaga-dermaga hujan pun mampu dipindahkan karena bungkam tak lepas pula mantra segala mantra, bungkam tak lepas pula dengan serangan di balik perdu semak belantara. Dalam tayangan bait-bait puisi. Meliuk menari menikam melilit , “Hei, mari kemari. Di sini menari puisi-puisi,” suara-suara itu gemerincing di liuk perjalanan sepi. Lembut tapi menikam. Tak tampak wajah dan raga badan. “Sesampai di tujuan engkau lepaskan runcing ujung pucuk daun, selembut bulu-bulu daun bertengger seperti yang telah diketahui oleh banyak orang. Ada luka berlari di tengah jalan saat terik matahari panasnya bukan kepalang. “Kami di sini sedang berseru, padamu negeri. Kami di sini sedang berkata, padamu negeri. Kami di sini sedang berkumpul, untukmu negeri. Sudah sepantasnya suara-suara kami disimak dan dihayati secara seksama. Jangan tidur dengan dengkur sebagai tameng dan lemparan pernyataan-pernyataan yang selalu membingungkan. Kami tidak membutuhkan alasan demi alasan, yang kami perlukan adalah hentikan tangis anak-anak kami yang kelaparan. Hentikan tangis anak-anak kami yang tidak lagi memiliki tempat tinggal. Hentikan langkah anak-anak kami yang mengais dari belas kasihan cacian-makian orang-orang berseragam apik, kami perlukan bukan tebaran-tebaran cerlang gambar-gambar di pinggir-pinggir jalan sebagai pajangan. Kami telah kepalkan tangan, tapi suara kami dibalas dengkur berkepanjangan. Kami adalah orang-orang pinggiran tersisih dari negeri kami sendiri, kami telah berhadap-hadapan dengan sesama turunan kami sendiri, masa-masa sulit zaman perjuangan dahulu kembali hadir di pelupuk mata kami, kini tak ada lagi yang peduli.” Akh, seperti pesona, bertebaran di mana-mana. Langit sebentar lagi membuka. Tangan-tangan kekar mencengkram tiang-tiang pondok kami. Tiang-tiang patah pun, pondok-pondok lusuh pun, “Semua diharap hidup dalam sabar yang panjang, dan menikmati kesabaran dalam buncah-buncah gemeriak di ubun-ubun. Semua harus siap dikorbankan demi sebuah yang dinamakan kedamaian, demi yang dinamakan keindahan, demi yang disebut-sebut sebagai penghargaan.” Dan ternyata langit benar-benar membuka. Perselisihan yang memuncak beban di pundak para pendaki gunung menapak satu-satu anak tangga lumut hijau pemandangan jauh ke lubuk dalam kerdil diri menjulang tinggi alangkah sejuk dan sepi di puncak semakin meruncing gelegak di dada terasa pecah menyeret langkah menuju dendam berkepanjangan, setelah menyaksikan orang-orang dengan ringan langkah menuju bungkam di pantai gurun hutan gunung lembah ngarai semenjak perselisihan itu pula maka tidak ada yang membuka jendela kamar dalam perigi mereka sembunyi dalam sunyi mencoba semedi di tikungan jalan desa-desa menyebarkan aroma pertikaian sebab tak jelas, sebagai alasan yang dikemukakan, tetapi orang-orang dengan senjata di tangan masing-masing sudah bosan dengan segala macam penjelasan, orang-orang sudah muak dengan segala macam pembelaan yang pada intinya hanyalah berlaku sebagai peredam sementara, sementara kekuasaan berjalan, setelah itu akan ada harapan baru, tetapi menjadi seiring-sejalan walau dalam bentuk dan pelaku yang berbeda tetapi sifatnya sama, yaitu “Maaf saja tidak ada bukti kuat bahwa semua itu merugikan negara. Telah ditutup semua kemungkinan penyelidikan. Apa pun yang menyangkut persoalan itu, maka sampai di sanalah adanya.” Lihatlah betapa enteng dan betapa mudahnya mengatakan itu. Seakan mereka tak dapat disentuh lagi, padahal perselisihan terus saja terjadi. Senandung luka, luka lama luka lama. Senandung luka, luka lama luka lama. Sampai di mana muara kasih sampai di mana muara kasih. Senandung teruslah bergema, gema di angkasa raya gema di angkasa raya. Oh, luka yang terus membuka luka yang terus membuka. Bicaralah wahai luka karena ternyata diam itu tak bisa berbuat apa. Ternyata diam itu membuat tawa semakin menjadi di arena mereka di ladang mereka di sungai mereka di udara mereka di kasur mereka tawa yang semakin melebarkan jarak antara kita sesama. Di sepanjang perjalanan mata luka itu mata menyala di goresnya. “Terlalu lama kami dilecehkan. Terlalu lama kami menahan beban. Terlalu lama kami sempoyongan. Tanah kami jadi lahan orang-orang yang kami sendiri tidak pernah mengenal mereka. Yang hadir pada kami adalah orang-orang asing belaka. Telah lama kami tak dapat berbuat apa-apa. Sungai kami dijadikan sumber mata pencaharian mereka. Telah lama kami menahan luka. Kepal dan suara kami dianggap angin hampa udara. Terlalu lama terlalu lama terlalu lama terlalu lama.” Lunglai kaki di padang hijau tapi tak merasakan sejuk hijaunya. Para penyihir pun

Usai menyimak gumam "Bungkam Mata Gergaji" kita selaku pembaca masih melihat dan merasakan adanya keresahan. Keresahan itu tampaknya membebani pemikiran penyair ini dari waktu ke waktu. Perasaan yang membebani itu terkait dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang mengepung dan menelikung serta mengurung penyair ASA, "sikap memberontak" lalu diledakkan dengan cara meledek dengan gaya reolusi. Ya, ASA melalui gumam "Bungkam Mata Gergaji" meneriakkan dan sekaligus melepaskan beban yang menghimpit selama waktu yang lama.

Gumam yang semestinya lebih mengarah ke kedalaman ucapan yang tak jelas, geremengan, ngoceh ke sana ke mari,nyentil dan nyindir apa pun yang dipandang tidak beres, pada wacana ini menggelegar serupa bunyi eksplosif, terekspresi dengan runtut, tertip, bersumber dari daya pikir dan nalar yang waras, diungkapkan membentuk grand discourse (wacana besar) tentang fenomena hidup dan kehidupan di tanah yang dipijaknya.Dalam gumam ini ASA tentu saja tak hanya menjungkirbalikkan dan berakrobat dengan kata melainkan juga mewacanakan persoalan besar tentang keindonesiaan melalui simbol-simbol, metafora, dan diksi yang meletupkan kesumpekan,kegundahan, protes, dan sekaligus menyodorkan perenungan yang mendalam. Kita nikmati nukilan di akhir gumam ASA ini:

Semua harus siap dikorbankan demi sebuah yang dinamakan kedamaian, demi yang dinamakan keindahan, demi yang disebut-sebut sebagai penghargaan.” Dan ternyata langit benar-benar membuka. Perselisihan yang memuncak beban di pundak para pendaki gunung menapak satu-satu anak tangga lumut hijau pemandangan jauh ke lubuk dalam kerdil diri menjulang tinggi alangkah sejuk dan sepi di puncak semakin meruncing gelegak di dada terasa pecah menyeret langkah menuju dendam berkepanjangan, setelah menyaksikan orang-orang dengan ringan langkah menuju bungkam di pantai gurun hutan gunung lembah ngarai semenjak perselisihan itu pula maka tidak ada yang membuka jendela kamar dalam perigi mereka sembunyi dalam sunyi mencoba semedi di tikungan jalan desa-desa menyebarkan aroma pertikaian sebab tak jelas, sebagai alasan yang dikemukakan, tetapi orang-orang dengan senjata di tangan masing-masing sudah bosan dengan segala macam penjelasan, orang-orang sudah muak dengan segala macam pembelaan yang pada intinya hanyalah berlaku sebagai peredam sementara, sementara kekuasaan berjalan, setelah itu akan ada harapan baru, tetapi menjadi seiring-sejalan walau dalam bentuk dan pelaku yang berbeda tetapi sifatnya sama, yaitu “Maaf saja tidak ada bukti kuat bahwa semua itu merugikan negara. Telah ditutup semua kemungkinan penyelidikan. Apa pun yang menyangkut persoalan itu, maka sampai di sanalah adanya.” Lihatlah betapa enteng dan betapa mudahnya mengatakan itu. Seakan mereka tak dapat disentuh lagi, padahal perselisihan terus saja terjadi. Senandung luka, luka lama luka lama. Senandung luka, luka lama luka lama. Sampai di mana muara kasih sampai di mana muara kasih. Senandung teruslah bergema, gema di angkasa raya gema di angkasa raya. Oh, luka yang terus membuka luka yang terus membuka. Bicaralah wahai luka karena ternyata diam itu tak bisa berbuat apa. Ternyata diam itu membuat tawa semakin menjadi di arena mereka di ladang mereka di sungai mereka di udara mereka di kasur mereka tawa yang semakin melebarkan jarak antara kita sesama. Di sepanjang perjalanan mata luka itu mata menyala di goresnya. “Terlalu lama kami dilecehkan. Terlalu lama kami menahan beban. Terlalu lama kami sempoyongan. Tanah kami jadi lahan orang-orang yang kami sendiri tidak pernah mengenal mereka. Yang hadir pada kami adalah orang-orang asing belaka. Telah lama kami tak dapat berbuat apa-apa. Sungai kami dijadikan sumber mata pencaharian mereka. Telah lama kami menahan luka. Kepal dan suara kami dianggap angin hampa udara. Terlalu lama terlalu lama terlalu lama terlalu lama.” Lunglai kaki di padang hijau tapi tak merasakan sejuk hijaunya. Para penyihir pun.

Gumam ASA yang terangkum dalam buku ini tidak lagi bersandar pada estetika asimetri, disharmoni,dan dekonstruksi,melainkan menawarkan gaya baru sebagai bentuk temuan kreativitasnya yang menderas. Apakah sesuatu yang baru itu? Hampir seluruh gumam di dalam buku ini lebih mengendap, lebih mengarah ke konstuksi wacana besar tentang keindonesiaan yang resah-gelisah-tak tentu arah-bikin gerah-serba salah, kekacauan yang rapih, ketidakadilan yang di"damaikan" dalam format keseragaman, dan bergagai ketimpangan yang mengurung serta menekan. Semua itu lantas "diledakkan" melalui konstruksi wacana besar sebagai buah jeritan kemanusiaan yang nyata. Dalam konteks ini, ASA mewakili berbagai pihak yang realitasnya "menjerit"lantaran luka dan deritanya.

Dapat ditambahkan, hal yang menjadi sesuatu yang baru dalam karya-karya ASA ialah "nafas panjang" gumamnya.Bahkan saking panjangnya, di dalam gumam terdapat beberapa gumam lagi. Dalam Gumam "Ragam Jejak Rentak-rantak", misalnya, di dalamnya terdapat gumam-gumam seperti: Seorang telah lama berdiri di depan sebuah kelas; Adakah halaman demi halaman buku itu terbaca sampai tuntas; Sungai-sungai pun ikut merasakan kepedihan di pundaknya; Sebuah kejujuran; Runtuhkan langit, kuasai bumi (dalam perang dunia yang akan datang); Puisng-puing Istana Raja; "Kakek,di mana kami harus minum"; dan Nenek telah berpesan. ASA menumpuk wacana demi wacana ke dalam sebuah wacana yang lebih besar. ASA tak lagi bicara soal manusia Indonesia, melainkan juga telah merambah ke arah perang dunia.

Dalam catatan ini, saya akhirnya mendapatkan kesan bahwa ASA dari waktu ke waktu senantiasa digelisahkan oleh sesuatu.Sesuatu yang menggelisahkan itu tak hanya berada dalam alam pemikirannya, dunia kreatiitasnya,melainkan terbuahkan pada karya-karya yang disebutnya sebagai gumam. Gumam ASA kali ini tak semata dipendam dalam suara yang tak jelas (geremengan, atau dalam bahasa Jawa disebut Ngomyang) melainkan dieksplosifkan sebagai jeritan luka yang begitu nganga terbuka. merekam kepedihan manusia,dan mengabadikan pemikiran briliant sebagaiingatan bagi berbagai pihak. Saya ucapkan selamat menerbitkan kumpulan gumam, jangan cemas, setiap lembar dalam buku itu akan tuntas dibaca dan dimaknai. Salam DAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar