Sabtu, 19 Februari 2011

DI BERANDA: MEMBACA DIRI MELALUI PUISI

BERANDA BUDAYA

BERANDA. Bermula duduk di beranda selepas senja di kediaman Dimas Arika Mihardja, tempat Bengkel Puisi Swadaya Mandiri melaksanakan aktivitasnya. Dimas Arika Mihardja sang pemilik bengkel, seperti biasa, ngobrol bersama koleganya: ada penyair, ada pelukis, ada aktivis teater. Obrolan biasanya bermuara pada aktivitas berkesenian, perilaku pelaku budaya, prestasi, dan banyak hal yang remeh-temeh seputar kehidupan yang semakin sulit. Di tengah obrolan santai itu, muncul pertanyaan yang mengagetkan ”3 Juli Pak De ulang tahun, mau bikin acara apa nih?”.

Pertanyaan sederhana itu lalu tumbuh membenih di hati, berkelindan di batin, dan membuahkan kesadaran yang juga sederhana bahwa ”ambang senja mulai tiba”. Senja merupakan ambang batas antara ”terang” siang dan ”gelap” malam. Di antara masa ”terang” dan ”gelap” terbentang aneka nuansa rasa: ada cemas, gelisah, resah, pasrah, dan terasa juga gairah. Satu usul muncul ”Bikin bae buku puisi seperti buku Negeri Angsa Putih” atau ”Kenduri Puisi”. Buku Negeri Angsa Putih (Bngkel Puisi Swadaya Mandiri-Daya Kreativitas Insani, 2007) memuat puisi-puisi karya mahasiswa, alumni dan dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi untuk menandai ulang tahun Dimas Arika Mihardja. Buku Kenduri Puisi (Penerbit Ombak), 2008) dibidani oleh Dimas Arika Mihardja untuk ulang tahun Diah Hadaning.

SENJA. Senja bagi sebagian besar kreator senantiasa dijadikan obsesi dalam penulisan kreatif puisi. Hampir setiap penyair selalu terobsesi untuk memotret lanskap senja. Lantaran Dimas Arika Mihardja tergolong sebagai Networker kebudayaan, maka untuk memperingati ulang tahunnya yang setengah abad terpikirlah hal yang juga sederhana yakni membudayakan saling berkabar, bersilaturahmi, dan mengabadikan persahabatan melalui jejaring budaya. Melalui jejaring budaya dapat dilacak kemajuan dan capaian estetik puisi-puisi yang digubah oleh penyair di Indonesia. Selanjutnya, lewat tangan Dimas Arika Mihardja diajaklah mitra dan sahabat kreator se nusantara untuk mengirimkan karya terbaiknya untuk dibukukan.

Buku ini dapat dipandang sebagai media bertegur sapa di beranda budaya, membahasakan diri, dan mengekspresikan pemikiran reflektif tentang hidup dan kehidupan bersama dalam konteks ke-bhineka-an (baca: keberagaman). Senja tidak saja memiliki aneka ”warna”, melainkan juga kaya akan nuansa. Panorama senja alangkah beraneka dan mempesona. Senja bisa begitu nyata tidak saja di kota-kota, melainkan di dalam ”kata”, sebab di dalam setiap kata ada nyawa. Diajaklah kawan-kawan sastrawan dan bukan sastrawan di berbagai kota melalui jejaring budaya (email, facebook, YM, surat, dll. ) untuk menyumbangkan puisinya. Kepada setiap penyair yang karya-karyanya dimuat dalam buku ini saya ucapkan banyak terima kasih. Oleh karena ada beberapa penyair yang tidak mengirimkan biodata kepengarangannya, maka demi keseragaman, dengan permohonan maaf di dalam buku ini tidak disertakan biodata pengarang secara khusus.

Akhirnya, terimakasih atas sumbangsih karya dari sahabat-sahabat sastrawan. Buku ini kami persembahkan sebagai bentuk tegur sapa sahaja, semoga berpendaran makna silaturahmi di antara kita. Kami aturkan maaf atas segala khilaf, semoga segalanya dapat menjadikan kita lebih menjadi manusia yang setia mengembala kata di luasnya makna tegur sapa. Kemudian, biar lengkap silakan baca pengantar berikut ini.




SILATURAHMI BUDAYA:
SAAT DIMAS ARIKA MIHARDJA BERKACA

Oleh: Dr. Sudaryono, M.Pd )

Hakikat buku adalah wacana. Hakikat manusia bertegur sapa. Untuk melengkapi tegur sapa dan wacana, kami seleksi sejumlah catatan terkait dengan karya dan kekaryaan Dimas Arika Mihardja (DAM). Disadari bahwa karya dan kekaryaan DAM belumlah memiliki makna apa-apa. Ketika usianya berada di ambang sore dan mengarah ke rembang senja, ternyata belum ada yang pantas dicatat dan diberi tempat. Karya dan prestasinya biasa-biasa saja. Karya-karyanya memang selalu mengalir. Kekaryaannya memang selalu hadir. Namun, untuk apa sebenarnya catatan pengantar ini dibuat?

Tulisan ini serupa cermin yang dapat memantulkan kembali sebentuk wajah—terlepas apakah wajah itu pantas bercermin atau tidak. Sebagai semacam catatan reflektif, mungkin dapat dimaknai sebagai silaturahmi sederhana melalui puisi. Puisi “Silhuet: lanskap senja” (Negeri Angsa Putih, 2007: 51) dipilih untuk mengawali catatan reflektif ini hanya ingin mengabarkan bahwa :

kata-kata mengarus dan berpusar
mengalirkan silhuet dan lanskap hidup penuh warna:
mata berkacakaca

terasa ada yang lepas dari jemari
dan meluncur ke angkasa:
hati tersileti

relief dan pahatan begitu tegas
kaligrafi dinding hari:
puisi
Intinya, dunia kehidupan tak sebatas kata, sebab di dalamnya terbentuk wacana tegur sapa. Apakah makna wacana, bagaimana konstruknya, dinamikanya, dan ragamnya? Apa pun wacananya secara sederhana dimaksudkan untuk bertegur sapa, berekspresi, berimpresi, berteriak, berbisik, dan seterusnya. Dalam kata pengantar antologi sajak Dimas Arika Mihardja bertajuk Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri—Telanai Printing Graf, 2003) Prof. Dr. Suminto A Sayuti, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta menulis tentang “Sajak sebagai Bentuk Silaturahmi Kemanusiaan”.

Dengan tegas Suminto A Sayuti menyatakan bahwa sajak yang digubah oleh penyair merupakan satu bentuk komunikasi yang di dalamnya terbayang nilai silaturahmi. Lantaran sebuah sajak mengangkat persoalan manusia dan kemanusiaan, maka silaturahmi kemanusiaan menjadi menonjol dalam pembacaan sebuah sajak. Sajak digubah dari manusia untuk manusia, membicarakan manusia, dengan tujuan agar kemanusiaan semakin kukuh, kuat, dan mengarah sempurna. Menggubah sajak bagi penyair tidak lain bertujuan menyempurnakan kadar kemanusiaannya.

Lantaran arena kehidupan dan dalamnya lautan kerahasiaan hidup ini membawa penyair berada dalam situasi sebagai pencari dan penyelam. Di dalam aktivitas yang demikian itu (menurut amatan dan catatan kritis kritikus) membuat penyair selalu berada dalam situasi batas—ketegangan dan bahagia—antara menemukan dan memproklamasikan penemuannya, antara “gagal” dan meratapi kesia-siaan. Bagi penyair sejati menemukan adalah tujuan utama, dan penemuan itu selalu dimungkinkan karena ia adalah penjelajah dunia baru. Korrie Layun Rampan ketika memberi Kata Pengantar sajak-sajak Dimas Arika Mihardja pada buku Upacara Gerimis (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994) menandaskan,

Sebagai penjelajah dan penggali para penyair masing-masing memiliki wilayah pengalaman yang unik dan khas. Itulah sebabnya setiap penyair selalu menumpukan ciptaannya pada keaslian. Phytagoras menyebutnya “keseimbangan dan keteraturan”. Dan di dalam puisi keseimbangan dan keteraturan itu membawa pembaca ke relung kontemplasi yang mengasyikkan tentang sebuah wilayah baru yang menggairahkan—baik karena tantangannya yang dihasilkan transpirasi inovasi, maupun karena getaran estetiknya yang membawa rasa indah ke wilayah yang ajaib. Haldemikian misalnya dapat ditemukan dalam “Upacara Gerimis”, suatu sisi tajam dari garis lembut asosiasi yang mengandung konotasi khas dunia penciptaan.


Pembaca, agar memperoleh referensi pembicaraan Korie Layun Rampan dan memperoleh pemahaman secara komprehensif, berikut ini ditampilkan sajak “Upacara Gerimis” selengkapnya. Sajak inilah yang menginspirasi penyair Acep Syahril menjuluki Dimas Arika Mihardja dengan sebutan “penyair gerimis” (sebuah julukan yang secara metaforis mengandung kata-kata bersayap dan kadang terasa berkonotasi miring) ketika buku Upacara Gerimis diluncurkan di Teater Arena Taman Budaya Jambi. Saat itu Acep Syahril tampil sebagai pembahas utama bersama Hary S. Harjono.

UPACARA GERIMIS

pasukan hujan berbaris
pandang matanya mengiris nurani
mikrofon tegak di atas kehampaan
menyimpan aneka suara aneka irama
basah disiram resah
komandan upacara—ibu pertiwi
sedang bersedih hati
upacara kenduri tak usai
tak sampai tak terpahami
o, air mataku berlinang
nyanyikan bendera setengah tiang!

1993

Dalam dunia kreatif penciptaan sajak, seorang penyair lazim masuk dalam situasi di ambang batas. Penyair memilih dan memasuki proses marginalisasi, yakni mengambil posisi dan situasi kemanusiaannya pada batas antara dua hal atau lebih, yang saling berbeda, tetapi saling bersintuhan: posisi “tapal batas” (Sajak “Perjalanan, 2—Piek Ardijanto Soeprijadi”). Itulah sebabnya hidup dan kehidupan tak ubahnya sebagai “padang perburuan,” dan tak ada jalan lain kecuali “aku pun pulang” darinya, karena “segalanya tinggal bayang” yang membuat “jasadku mengejang” (Sajak “Pantai Muaro Jelang Senja”). Apalagi ketika “....di balik semak katakata tergambar peta/tahta/dan mahkota/maka kata tanya membentur meja para pemuja/bendabenda/nguap dalam sajak yang sesak/oleh sejuta isak” (Sajak “Catataan Perjalanan (5)”). Sisanya: “inilah sajakku, suara sukma/yang terpadu melagukan namanama/mesra menyentuh kalbu” (Sajak Sederhana Untukmu”). Berikut ini kita simak selengkapnya sajak “Catatan Perjalanan (5)” dan “Sajak Sederhana Untukmu”:

CATATAN PERJALANAN (5)

(di bawah bayang bulan merah darah
dibawa daulat rakyat yang meluapluap
anakanak sejarah berderap
membuka sekatsekat birokrat yang mampat
kota telah berubah belantara
orangorang jadi binatang berbisa
ada juga sejenis trenggiling
yang suka menyelamatkan diri dengan cara tak terpuji)

“pak, bagaimana cara membaca cuaca?”
bertanya seorang anak
suaranya bagai mesiu meledak

sang bapak cepat bisa menebak:
di balik semak katakata tergambar peta
tahta
dan mahkota
maka kata tanya membentur meja para pemuja
bendabenda
nguap dalam sajak yang sesak
oleh segala isak

SAJAK SEDERHANA UNTUKMU

kutulis sajak sederhana untukmu
dan untuk-Mu. Sebuah sajak
mengelopak dalam dada
kupersembahkan untuk-Mu
inilah sajakku. Suara sukma
yang melagukan nama nama
mesra menyentuh kalbu

kuhidangkan lanskap batin diperjamuan
pesta anggur: Santaplah penuh gairah
sebab di sana ada desah sederhana
buat keselamatan perhelatan

makanlah sajakku—anggurnya
mewangi. Santaplah buah yang terhidang
penuh kecintaan, sebab segalanya tersurat
segalanya menggeliat segalanya
untukmu

jika dada rasa sesak
tuak menggelegak
jangan campakkan sajak
sajak-Nya.
Sungaiputri, 1993

Prof. Dr. Suminto A Sayuti secara intens mencermati posisi dan situasi penyair yang berada “di tapal batas” dengan catatan seperti kutipan berikut ini.

Karena sajak merupakan “suara sukma”, maka sangat mungkin posisi dan situasi “tapal batas” pilihan manusia menjadi posisi dan situasi “tiada sangsi” lagi buat “menyanyikan irama wangi melati,” dan “menapaki jalan sunyi” untuk menuju “pelita Nur Ilahi Robbi” (Sajak “Perjalanan (2)—Piek Ardijanto Sorprijadi): sebuah nilai silaturahmi yang transendental. Akibatnya sajak pun menjadi sebuah “relung pertapaan”,” tempat “semua”(-nya) (akan dan telah) “kuakhiri,” sebuah papan yang “terasa” adanya “senyap menyergap,” tetapi sekaligus tersedia “kemerlap bintang di langit wingit” (Sajak “Kupahat Makna”).

Kita simak sajak “Perjalanan 2” selengkapnya.

PERJALANAN 2
: Piek Ardijanto Supriadi

lama kita untai wirid di ujung senja
sementara mega berarak melintas barak
persinggahan kita

jejak siapakah membiak sepanjang pantai

wahai, sejenak kita terhenyak
mendekap debardebar di dada
luka

ayo, dentingkan lagi petikan gitas tuamu
sama kita lagukan irama qasidah cinta

perjalanan kita lah sampai
di tapal batas arasy menghitung puisi
tiada sangsi menyanyikan irama wangi melati
menapaki jalan sunyi
menggenggam pelita Nur Ilahi Robbi

Sungaiputri, 1993

Selanjutnya, Prof. Dr. Suminto A Sayuti memberikan penilaian kritis atas sajak-sajak yang digubah oleh DAM sebagai berikut.

Kesadaran pengambilan situasi dan posisi “tapal batas” tersebut, dengan sendirinya, mempengaruhi perhatian Dimas terhadap realitas kehidupan yang dijadikan fokus atau subjek dalam sajak-sajaknya. Realitas yang ditampilkan dalam sajak-sajaknya pun sejalan dengan situasi dan posisi tersebut. Akan terasa bahwa perambahan proses kreatifnya meniscayakan adanya sikap memihak di satu sisi, dan menggugat di sisi lain. Citraan-citraan yang terasa paradoksal memenuhi hampir seluruh sajak-sajak yang dihimpun dalam antologi ini. Dalam cara yang demikian itulah seorang Dimas membangun tegur-sapa atau silaturahmi dengan khalayak yang mengkondisikan keberadaannya, atau dengan sidang pembaca: pada tirai yang melambai/kuuntai tragedi—demi—tragedi yang tak kunjung usai” (Sajak Pada Tirai yang Melambai”. Demikian, sajak-sajak Dimas tidak lagi “sederhana”, betapa pun dia, sebagai kreator memberi label sajak sederhana.

Untuk sekadar menunjukkan betapa sajak Dimas Arika Mihardja sebagai bentuk tegur-sapa atau silaturahmi dengan khalayak yang mengkondisikan keberadaannya, berikut ini ditampilkan sajak “Pada Tirai yang Melambai”. Sajak ini memenangi lomba menulis puisi sosial yang diselenggarakan komunitas sastra Aceh dan diterbitkan dalam buku Teriak Mereka:

PADA TIRAI YANG MELAMBAI

pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucatpasi. tiada suara
tawa atau canda. di sini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa

pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang, teripang, juga segala bayang

pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi—demi—tragedi
yang tak kunjung usai

Menggubah sajak, dalam konteks tertentu, merupakan aktualisasi dari sikap yang “memberontak” (memberontak dalam tanda kutip) terhadap situasi tertentu sebagai manifestasi kreatif. Dunia puitiknya yang terungkap dalam sajak dengan demikian lebih berupa kesaksian atau catatan atas peristiwa yang di dalamnya tertuang adanya koreksi terhadap dunia dan kehidupan. Dalam kaitan ini Suminto A Sayuti (1993) menulis seperti ini,

Bagi Dimas, pemberontakannya lewat penciptaan sajak merupakan upaya nyata, bukan merupakan sesuatu yang semu. Hal ini dapat dilihat, terutama karena tindakan tersebut bermula dari sebuah kesadaran tertentu: “Aku/terus melangkah mengucurkan darah ketika/penyair/ kehilangan katakata karena bahasa telah pecah/ berdarahdarah (Sajak “Aku Senantiasa Menyeru”). Disamping itu, dan karenanya, upaya mengabdi pada nilai kemanusiaan menjadi pegangan yang nyata: sebagai bentuk silaturahmi ketika “telah sekian kali kukunjungi/ makammakam peradaban di altar persembahan”, ternyata “kita” tetap saja “merasa asing oleh derapwaktu/dan tahu jalan yang dituju taktentu”, dan bahkan ketika sudah “berapa ribu kita bercumbu untuk mengurai misteri jarak pendakian”, ternyata tetap saja, “tak satu pun jua arti bisa dipahami”, karena “segalanya melindap” (Sajak “Silaturahmi”).
Dalam Catatan Ringkas terhadap Negeri Angsa Putih (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri—Daya Kreativitas Insani, 2007), kritikus Korrie Layun Rampan memberikan penilaian atas sajak-sajak karya Dimas Arika Mihardja seperti kutipan berikut.

Sebagai penyair yang telah menemukan bahasa dan pengucapan estetiknya sendiri, Dimas Arika Mihardja secara intens menyajikan warna lokal yang kental dengan pengucapan keakuan yang membayangkan nuansa esoterik. Kata-kata dan ungkapan yang kadang ditampilkan dengan bunyi yang bersahutan, mencirikan puisi-puisi kalimat yang merdu, seperti, “kata dan frasa berserak di atas tongkang/ yang diayun gelombang. biduk-biduk sayak/bersajak tentang tempoyak, riak, dan ombak batanghari/ di lapak-lapak pasar lopak yang sesak...”. Dengan kata-kata dan kalimat seperti itu, penyair ini menyajikan sisi lain dari gerakan Afrizalian yang menempatkan benda sebagai persona antropomorfisme, sehingga benda-benda muncul sebagai keakuan atau kekitaan, akan tetapi di dalam sajak-sajak Dimas benda-benda ditempatkan sebagai sarana informasi .... Di samping lirik-liriknya yang liris, sajak doktor puisi ini memberikan perspektif lain dari lirik naratif yang disenyawakan di dalam puisi kalimat yang lentur dan patetik menginformasikan dunia Jambi kiwari. Seperti halnya sajak “Balada Musyafir Gila” yang secara kongkret menginformasikan tentang sebuah antologi “142 Penyair Menuju Bulan” yang disusun oleh Arsyad Indradi, seebuah antologi puisi penyair nusantara (Banjarbaru, Desember 2006, 728 + xiii halaman) yang di dalamnya tercakup puisi Dimas yang berbicara tentang tanah air, nuansa religius, dan “sorga begitu sepi”. Puisi-puisi penyair ini sangat menonjol ditinjau dari segi pengucapan maupun tematik, dan menampakkan perkembangan dari sajak-sajaknya yang dikutip Korrie Layun Rampan untuk buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Gramedia Widiasarana Indonesia).

Sajak-sajak Dimas Arika Mihardja seperti “Sajak Sederhana Untukmu”, “Perjalanan 2”, “Perjalanan 4”, “Kado Ulang Tahun”, “Masjid Agung Al-Fallah”, “Candi Muaro Jambi”, dan “Riak dan Ombak Batanghari” dipilih dan dimuat dalam buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2000). Angkatan 2000 ini ditandai dengan wawasan estetik berikut: (1) pencerminan karya reformis yang melahirkan revolusi dalam bentuk, (2) pencerminan karya inspiratif yang menawarkan kejenialan ide dan tematik, (3) revolusioner lantaran kekuatan estetiknya (hal. xxxiv). Dalam kata pengantar yang berjudul “Wawasan Estetik Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” pada halaman x1iv KRL menulis seperti ini,

Para penyair angkatan ini tanpa canggung mempertemukan berbagai unsur vital dari berbagai realitas yang menjadi trend pemikiran abad manusia zaman kita dan menyatakannya kembali dengan pengucapan estetik yang mencirikan penemuan zamannya. Dalam sajak-sajak itu, aku lirik bergeser menjadi aku massal yang mencerminkan peniadaan keakuan, sehingga sajak menjadi netral dalam pemberian tanda dan menyikapi penandaan dari lirik. Sementara keakuan yang masih dipertahankan mencerminkan peleburan dari elan vital individu kepada elan vital massa, benda, atau suatu idea. Sajak-sajak Arif B Prasetya, Cecep Syamsul Hari, Remy Novaris DM, Beni R. Budiman, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Dimas Arika Mihardja, Nenden Lilis A., Omi Intan Naomi, Medy Loekito, Wowok Hesti Prabowo, Sitok Srengenge, Kusprihyanto Namma, Aslan A. Bidin, dan lain-lain menunjukkan sifat-sifat unik pengucapan estetik demikian.

Sebagai pelengkap, berikut ini diturunkan kembali sajak “Perjalanan 4”, “Kado Ulang Tahun”, “Candi Muaro Jambi”, dan “Riak dan Ombak Batanghari”.

PERJALANAN 4
buat Afrizal Malna

dalam sepatu kita isi rindurindu
sokrates netes: mencairkan luka
chairil menggigil saat kaupanggil
dan tardji di manamana menagih janji

puisi jadi basi, tanpa kita sadari
puisi jadi saksi, tanpa kita pahami
puisi jadi melati, tanpa mewangi
puisi jadi belati, menusuk relung hati

satu lagi: kita berpusarpusar di tengah pasar melelang sesuatu
yang telah hilang: kesederhanaan
0, dimana filsafat kausimpan di mana
makrifat kaupahat di mana
“abad yang berlari” di mana
kausembunyikan suarasuara-maknamakna-lukaluka
mikrofon?

o, abad yang berlari
melesat tinggalkan kita
sendiri
Jambi, 1993

KADO ULANG TAHUN
-buat Korrie Layun Rampan-

(17 agustus ialah hari kelahiran
hari kemerdekaan menghirup kehidupan)

padang perburuan, padang perbukuan
ladang pengabdian, pandang menjanjikan
semua tumbuh subur di lahan-lahan garapan

di lahan-lahan harapan, kusimpan puisi kehidupan
kupersembahkan kepada Pujangga Sejati—Allah
ke nama pun kaki melangkah semua mengarah

ke mana pun doa melesat semua jadi berkah
ke manapun mengalir, satu muaranya: cinta
korrie berkayuh di atas perahu kayu
mengalir dari tepian mahakam menuju jakarta
korrie bersimpuh di muka makam menjelang senja

menjelang senja kuuntai doa
semoga bahagia dan sejahtera
Jambi, 1994

MASJID AGUNG AL-FALLAH

sebuah rumah putih tak letih menunggumu
menumpahkan rindu. masihkah engkau berlalu
ketika azan memanggilmu? cucilah dirimu dari kurap waktu
kenapa engkau termangu memandangku?
cuci tangan dan kakimu
masuklah ke serambi hatiku

beribu hari aku berdiri di sini
tetapi kenapa engkau kalap menangkap isyarat?
aku lebih besar dari meja bilyar
tetapi engkau lebih memilih berjudi dengan nasib
berpusar-pusar di tengah pasar
tak letih menawar agar-agar

aku menjulang melebihi gunung kerinci
tetapi engkau masih juga bingung menghitung makna rezeki
aku megah di atas sepucuk jambi sembilan lurah
tetapi engkau masih juga gelisah

pulanglah ke rumah: tumpahkan segala desah
masuklah ke dalam hatimu sendiri
di sana tegak mimbar kayu jati:
agama ageming ati
Islamic Centre, 1994


CANDI MUARO JAMBI

aku dengar keluh batubatu runtuh
berpeluh. tak ada arca atau stupa
hanya ilalang bergoyang terpanggang matahari
sebuah situs tak terurus menggerus hati
pejalan sunyi, sendiri memikul luka diri
mengaca pada bayang batanghari
yang tiada henti merangkum tragedi

aku sendiri membangun candi
dalam mimpi yang sulit diurai
di kedalaman hati: kau tegar
abadi.

Jambi, 1994

RIAK DAN OMBAK BATANGHARI

ada masanya engkau bicara kecipak riak
atau teriak ombak dalam sajak
semuanya saling desak
jika ingin bicaralah tentng angin
cuaca dingin atau soal lain:
satwa, aneka derita
doa-doa purba
bersilancar bersama debar
atau menggulung layar

di bidang dadaku tumbuh menyemak pusaran waktu
tetapi selalu lupa kaucumbu
sampan dan perahu melaju di hatiku
sejuta kata mengarus dan berpusar
di pasar: orang-orang saling menawar harga diri
gengsi atau menjajakan mimpi

di urat nadiku budak-budak jambi lasak
mengejar matahari—membakar sesaji
menebar jala—merenda makna
sementara irama gerakku—riak dan ombak itu
terus menderu menghanyutkan mimpimu

Pasar Angso Duo, 1994


Berikut ini dinukilkan dua sajak, yakni “Aku Senantiasa Menyeru” dan “Silaturahmi” agar memperoleh gambaran yang lebih lengkap.

AKU SENANTIASA MENYERU

aku senantiasa menyeru tanpa jemu ketika sawahsawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajahwajah
gelisah petani yang menggigil. aku
senantiasa tiada lelah memapah jiwa-jiwa resah
menuju lembahlembah yang dibanjiri darah. aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan katakata karena bahasa telah pecah
berdarahdarah

maka aku senantiasa menyeru jiwajiwa batu
agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangantangan penuh lumpur mengadukaduk nasib
mengolah masa depan yang suram
aku senantiasa menyeru kamu yang dengan kejam
memakan insaninsan malang

aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
senantiasa menyeru kamu yang tanpaa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan
nafsunafsu menggebu

Malang, 1996

SILATURAHMI

sekian kali kukunjungi
makam-makam peradaban di altar persembahan
kita sama merasa asing oleh derapwaktu
dan tahu jalan yang dituju taktentu

beraparibu kita bercumbu
mengurai missteri jarak pendakian
tapi tak satu jua arti bisa dipahami

di atas geriap sayapsayap keasingan
kembali kueja makna pertemuan ini
hingga waktu enggan berbagi

Sajak “Aku Senantiasa Menyeru” secara khusus dibahas oleh Sutardji Calzoum Bachri sebagaimana dimuat dalam buku Mimbar Penyair Abad 21 (1996, halaman 373—374) dan DAM di undang Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki untuk membacakan sajak-sajaknya, seperti dikutipkan berikut ini:

Menghadapi kehancuran nilai-nilai, konflik dan ketimpangan sosial, serta keterasingan eksistensial sebagai dampak negatif dunia kini yang mereka hidupi, para penyair terkini sering menggoreskan larik-larik muram, kadang mengesankan perlawanan lantang atauoun lembut menyaran, bahkan kadang kepasrahan atau rasa kesia-siaan. Ucap Ari Setya Ardhi: aku menjadi bagian dunia/mendiami jiwa angin yang kehilangan roh/serta mempersiapkan onggokan nisan ke atas keranda (Menjadi Bagian Dunia). Tapi apa artinya harapan/ kalau lumbung menggunung di tanah mereka (Abdul Wachid BS, Keluarga Larut Malam) Dimas Arika Mihardja: maka aku selalu menyeru jiwa-jiwa batu/agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan tangantangan penuh lumpur mengadukaduk nasib/mengolah masa depan yang suram/aku senantiasa menyeru kamu yang dengan kejam/memakan insaninsan malang (Aku Senantiasa Menyeru). Nilai-nilai kemanusiaan hancur: gandhi dan theresia mati ditembak di sarajevo (Aslan A. Abidin, Sarajevo Jantung yang Tertembak). Dan Kurnia Effendi berseru: Sungguh, bumi hangus ini bukan tempat bagi kami lagi (Telah Kami Serahkan). Beberapa sajak protes ada yang ditulis dengan bayang-bayang Rendra atau Taufiq Ismail.

Sutardji Calzoum Bachri lalu menutup ulasannya dengan kesimpulan seperti kutipan berikut.

Akhirulkalam, puisi akhir abad yang terhimpun dalam buku ini, pada hemat saya tumbuh wajar, menyambut gayung perpuisian para pendahulunya. Ia tak lepas dari sejarah perkembangan perpuisian sebelumnya dan dalam merespon dunia di zamannya ia tidak tercerabut dari masalah-masalah zaman. Pemanfaatan kreativitas para penyair pendahulu oleh beberapa bakat kuat dari penyair terkini melahirkan puisi-puisi mempesona.

Menurut Suminto A Sayuti, jika benar hakikat sajak adalah menyairkan kehidupan, maka bagi sejumlah penyair, agaknya: kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”. Pelancongan kultural. Sebuah “perjalanan” pasti ada awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni “perjalanan budaya” yang sedang menciptakan sejarahnya sendiri lewat proses kemenjadian terus-menerus. Sejak semula, dalam sejarah “perjalananannya” manusia harus “mengurai misteri jarak pendakian,” karena “segalanya melindap” dan berada “di atas geriap sayapsayap keasingan.” Untuk itu semua, manusia pun harus ingat akan asal-muasal kejadian, sejarah awal kita itu, stasiun, terminal, atau pelabuhan tempat keberangkatan kita, hingga kini seperti tampak pada sajak “Silaturahmi” .

Sajak yang digubah oleh penyair tidak lain merupakan buah pengalaman estetis. Mudji Sutrisno & Prof. Dr. Crist Verhaak (1993) dalam buku Estetika Filsafat Keindahan menjelaskan bahwa “Pengalaman estetis ini menenteramkan dan menggembirakan manusia, karena di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, memikat, dan memanggil dia kepada-Nya”. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Plotinos tentang emanasi di mana segalanya dimulai dari Ada dan akan kembali ke Ada lewat suatu proses “mengalir”. Di dalam “megalir” itulah hadir berbagai ragam pengalaman. Juga termasuk di dalamnya pengalaman estetis. Hal ini sejalan dengan konsepsi kepenyairan yang pernah saya nyatakan pada tahun-tahun awal kepenyairan Dimas Arika Mihardja. Saya nyatakan bahwa proses kepenyairan itu “mengalir”, mengenali arus, tidak melawan arus, dan tidak hanyut di dalam arus kemudian terus mengalir dan mengarus terus-menerus.

Kita simak pandangan kritikus Korrie Layun Rampan ketika menulis Kata Pengantar buku kumpulan sajak DAM berjudul Upacara Gerimis (1994) sebagai berikut:

Pengalaman estetis dimungkinkan karena kreator menangkap dan menerjemahkan dengan ungkapan yang mencerminkan wibawa bahasa sebagai sarana ekspresi. Setiap penyair yang sudah menemukan bahasa memiliki viriousitas dalam usahanya menerjemahkan seluruh kenyataan, sehingga kenyataan itu meyakinkan pembaca, sebagaimana setiap manusia meyakinkan ciptaan sang Khalik. Di sinilah uniknya karya sastra, di sinilah khasnya puisi atau sajak, karena nafasnya bersumber dari roh kata dan bahasa.

Di akhir pembicaraan ini, perlu dikemukakan catatan reflektif tentang Dimas Arika Mihardja (DAM). DAM adalah semacam bendungan yang dapat menampung air dari banjir (luapan emosi, imajinasi, ide, dan pemikiran kreatif penyair). DAM tidak saja menampung air yang melimpah ruah, akan tetapi DAM juga mengalirkannya ke dalam karya kreatif-imajinatif berupa sajak. Sesuai dengan fungsinya, DAM melakukan pembagian air (sajak) secara adil dan seimbang untuk mengairi sawah-sawah yang dilanda kekeringan. Sawah-sawah (baca: khalayak pembaca) yang telah teraliri air dengan cukup, selanjutnya dapat menafasi aneka tetumbuhan dan tanaman (sikap dan perilaku hidupnya) secara lebih bermartabat bagi kehidupanya. Semoga sawah-sawah yang mendapat “jatah” pengairan dari DAM dapat menanam kebajikan dan memanen kebaikan, sebab sejatinya sebuah sajak digubah untuk “memanusiakan manusia”, agar lebih manusiawi sebagai manusia. Dengan kata lain, sajak akan mengukuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan ini harus senantiasa disuarakan seperlunya.

Demikian salam sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar