Senin, 22 April 2013

SKETSA MALAM SAJAK-SAJAK MAUT CHORY MARBAWI

/1/

Chory Marbawi (1985—2012) serupa Chairil Anwar, keduanya mati muda. Kedua penyair ini mewariskan harta paling berharga ialah sejumlah sajak yang bisa diselamatkan. Jika penyelamat Chairil Anwar ialah HB Jassin, Chory Marbawi diselamatkan oleh E.M. Yogiswara dan Sean Popo Hardi (Teater AiR, Jambi Indonesia). Satu saat Chairil sebagai penyair digelisahkan oleh rasa “dikutuksumpahi erros”, digelisahkan oleh “penerimaan” segala yang kan tiba (Nisan, buat Nenekda tercinta), merasa sunyi dan bersendiri (Senja di Pelabihan Kecil, buat Sri Ajati), khusuk dan berkecamuk di gelanggang berperang (di Mesjid), lalu melukis “Kawanku dan Aku”, digelisahkan dan ingin menjadi sosok “Beta Patti Rajawane, yang dijaga datu-datu, Cuma satu”, menyeru lantang berselempang semangat yang tak bisa mati (Diponegoro) atau gegap gempita menyeru untuk “menjaga Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahril (Kerawang Bekasi). Begitu juga Chory Marbawi, yang dalam imajinasi saya mirip dengan sosok Chairil Anwar yang dalam helaan nafasnya terhirup puisi, saat bicara keluar puisi, saat tidur bermimpi dalam puisi. Saya mengenal baik Chory Marbawi,baik dalam urusan akademik (pembimbing skripsinya) maupun mendampinginya berproses kreatif menulis puisi dan sedikit berkenalan dengan teater di kampus.

Penggalan puisi yang saya nukilkan di awal kertas kerja ini bertitimangsa 26 September 2012 sebelum beberapa hari kemudian—2 oktober 2012, Chory Marbawi memasuki kehidupan abadi. Ia mewariskan cinta di dunia kata-kata yang membangun makna kehidupannya. Kini, kita yang masih berdegup nafasnya kembali menghirup makna cinta yang diwariskan ke dalam kata-kata. Jika ada penyair muda yang selalu hidup dan menghirup udara kegelisahan dan keresahan ialah Chory Marbawi . Kegelisahan kreatif dan tenaga penciptaan anak muda ini mengangumkan. Tiada hari tanpa puisi. Sebagai  penyair, kreator, dan pencari kebenaran (dan kepuasan batin) akan selalu dilanda oleh kegelisahan eksistensial . Eksistensi manusia memang ada di tengah kepungan realitas. Manusia yang mampu survive di tengah kepungan masalah ialah manusia yang eksis. Chory Marbawi, yang selama ini memiliki prototipe sebagai manusia gelisah seperti Chairil Anwar yang sepanjang hidupnya juga gelisah dan digelisahkan oleh eksistensi, lalu melalui puisi-puisi dan ekspresi seni lainnya mampu berdiri di atas kaki sendiri (tercatat Chory pernah mendukung pementasan sebagai aktor maupun sutradara, tercatat juga sebagai jawara pembaca puisi yang baik dengan menyabet juara 3 lomba baca puisi Internasional di Taman Ismail Marzuki, dan lomba baca puisi tingkat provinsi, dan di forum Pekan Seni Mahasiswa Nasional).

Kegelisahan eksistensial itu terekam dengan baik pada sajak-sajak warisan Chory Marbawi (yang pada 02 Oktober 2012 meninggalkan kita secara tragis saat menunaikan tugas keguruannya,  semoga jasa dan amal baiknya diterima Allah Swt). Seperti Chairil Anwar juga, Chory Marbawi meninggal pada usia 27 tahun, sebuah usia produktif dalam penciptaan puisi. Ya, Chairil dan Chory sama-sama produktif, sering menulis puisi dan menyimpannya dalam dokumen pribadi. Anehnya, kedua penyair ini suka sekali denghan diksi ‘malam”,“darah’, ‘resah’ di  dalam sejumlah puisinya. Anehnya lagi (sebenarnya bukanlah keanehan, mungkin sebagai bagian dari kesalehan) jika di dalam sebagian besar puisi kedua penyair ini bertebaran tema-tema tentang maut, kematian, seakan-akan keduanya memang telah membaca isyarat tentang hal itu. Dalam buku “Aku Bawakan Cinta Buatmu” (BukuPop, 2013) terhimpun 60 sajak, dan ada 14 sajak bertajuk “Sektsa Malam”--  mulai dari "Skesta malam I sampai dengan “Sketsa Malam XIV”.  Oleh karena kertas kerja ini merupakan catatan sederhana, maka saya beri tajuk “Membaca Sketsa-sketsa malam, sajak-sajak “Maut” Chory Marbawi".

/2/

Pada ‘Sketsa Malam I”, Chory Marbawi telah bicara mengenai ‘keabadian’: Bulan redup awan hitam berkelebat/ bintangjatuh di kedalaman kelam angin diam/ daun-daun berguguran/debu-debu berlariandi wajah yang mulai asing// (bintang bulan tenggelam/keabadian). Puisi ini bicara soal keabadian, kematian, atau maut. Hal itu ditunjukkan melalui pilihan kata ‘bintang jatuh di kedalaman angin diam”, “bintang bulan tenggelam”, dan “keabadian”. Puisi ini melukiskan sketsa tentang ajal yang dibaca oleh Chory sebagai isyarat, seperti Chairil Anwar yang juga membaca isyarat “cemara menderai sampai jauh/terasa hari menjadi malam/ ada dahan pada tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam/ di Karet, di karet (daerahku y.a.d.) terasa juga deru angin”. Kegelisahan eksisitensial  yang didukung kepekaan perasaan yang dimilikipenyair, seakan memiliki indera keenam—bisa membaca isyarat kematiannya sendiri. Pada 14 Juli 2007, seorang Chory Marbawi telah membaca isyarat tentang bayang maut itu. Isyarat tentang bayang maut itu juga hadir pada puisi “Sktetsa Malam II” dalam pilihan diksi “Langit perlahan-lahan runtuh/ bulan tafakurdi atas ranjang yang kita sulam bersama angin//tarian waktu sebentar lagi mematahkan sayap duka/yang berkejaran bersama angin// “Kita takkan sempat menghitung desah/”.

Bayang maut itu serupa warna antara hitam dan putih, abu-abu: “Mencatat agenda tanpa warna,/lampu-lampu pecah cahaya kesucian makin beruban” (“Sketsa Malam III). Ini imaji yang luar biasa. Melihat kelebat bayang-bayang maut itu digambarkan ‘lampu-lampu pecah cahaya kesucian makin beruban’. Warna hitam sebagai bayanagan noda dan dosa, dan warna putih sebagai representasi kesucian semakin menua, samar, kelam, dan tampak abu-abu serupa uban, sehingga terasa “nafas menaksir liukan wewangian tinggalkan jejak”. Saat nafas terakhir berhembus, tinggallah warisan wewangian berupa jejak sajak! Lalu pada puisi “Sketsa Malam IV”, Chory berdialog dengan “Pa” (Allah): “Pa, aku ingin mencium wewangian bunga dari matamu”/ di antara gerimis angin, engkau membedah jantung/mematahkan sayap-sayap yang kemarin sore kuhadiahkan buat bunga/...”Wewangian bunga itu telah ditelan waktu, anakku”. Puisi ini juga beraroma maut yang diungkapkan dnegan bahasa bunga. Irama dan aroma maut ini pada puisi “Sketsa Malam V”dipertegas pada larik ini: dalam hitungan detik kau membeku. Pengenalan Chory pada dunia teater yang mementingkan membangun klimaks, membuat ia semakin digelisahkan oleh tema maut, seperti dengan jelas diungkapkan pada puisi ‘sketsa Malam VI’ berikut ini:

tak sempat angin itu merapat kedahan-dahan

sebab kebekuan sayapnya memasuki kedalaman kelam
membawa keringat resah mengunjungi rumah dingin
“Kemana kaki harus berpijak? Biarkan aku menyulamkeringat jalanan
agar waktu tak jatuh dan terbenam ke dalam tanah”
malam tak lagi menunggu, dalam dingin aku membukabibir
“Kau telah melempar bangkai dalam dadaku”
....
(“Sketsa Malam VI)

Tema maut, tanda-tanda kematian masih mewarnai puisi Chory marbawi. Pada puisi “Sketsa Malam VII”, Chory menulis:

“Pa, kenapa bunga di taman itu mati?

aku  masih inginmengejar wewangiannya”

....

“Nak, bunga itu telah mati malam ini,
Kau takkan mampu mengejarnya, berbaringlah di tanahaasalmu”

Pada ‘Sketsa Malam VIII pun Chory masih menulis tgema tentang maut itu: Di atas ranjang, kau seperti  aku menggigil/ bunga-bunga yang bertebaran itu layu bersama detak nadi Yang terlahir dari kesucian/....aku menggigil, kelampun berdarah”. Tema maut dengan tegasdan tandas dituangkan dalam puisi “SketsaMalam X’: di jalanan, di antara gerimis seorang anak/terbujur kaku membatu”.  Soal kematian itu, terus saja menggelisahkan mata batin Chory Marbawy sehingga pada puisi “Sketsa Malam XI” ia menulis: “haruskah aku menunggu datangnya/kematian menjemputku? ...Malam terus berdarah, lirannya/menusuk nyanyian surga yang kubawa dari/pelaminan satu arah” dan pada puisi “Sketsa Malam XII” secara implisit Chory menulis: kelam menggumpal, dedaunan terbungkus/ dalam gelombang bisu. Terakhir, pada sajak “Sketsa Malam XIV” Chory marbawi memungkasi refleksi tentang kematian dalam larik-larik seperti ini:

Malam, badai mengunyah

keringat  yangbertahun menyapa
(gelombang kematian sebentar lagi membantai)

Seketika angin luruh di ketika dedaunan
dingin  menutupaliran darah
(gagak irtu terlalu jauh memasuki perjalanan)

Malam, badai mengamuk menghantam
keringat, melumat butir-butirnya di jalanan

Kematian nurani mendekat.

(Teater AiR jambi—indonesia, 2007-2008)



/3/


Pada awalmula segala seni sastra (teristimewa puisi) adalah religius. Kepekaan Chory marbawi menangkap sinyal-sinyal, isyarat kematian, termasuk dimensi religiusitas. Hal ini terkait dengan asumsi yang telah lama tumbuh di kalangan para estetikusabad-abad lampau yang mencoba menerangkan apakah seni (puisi) itu. Seni, sambilmemperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni,lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona,satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasaPlato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkandengan ilham kerasulan. Walhasil, seni puisi itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebabwatak  seni sastra menuntut kejujuran(hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan(berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi),dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastramemang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undanganke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukanberagama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh(yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut:“Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorangberiman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasisifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lainsebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidakberarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untukmenyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi,karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalamserta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, dan Chory Marbawi melalui puisi-puisi "mautnya" telah menyadarkan kita bahwa pada hakikatnya "sang maut" itu sesungguhnya senantiasa mengintai keberadaan kita. pemahaman dan penghayatan intensif tentang "maut" di dalam puisi-puisi Chory Marbawi menunjukkan kepada kita tentang bagaimana "cara berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta.

Komunikasi antara manusia-penyair (Chory Marbawi) dengan Allahrealisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas,bentuk komunikasi antara manusia-penyair (Chory Marbawi) dengan Allah teraktualisasi dalambentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allahadalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair,dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyairlalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingikreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitungmanusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntukmengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah. Hal ini dapat kita hikmati dengan suntuk saaat membaca puisi-puisi warisan Chory Marbawi yang dirangkum dalam buku "Aku Bawakan Cinta Buatmu" (BukuPop, 2013, memuat 60 puisi terseleksi). Chory telah pergi membawa dan menuju Cinta-Nya, dan mewariskan cinta dalam wujud puisi yang selayaknya diapresiasi, diteliti untuk skripsi atau tesis oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Selain itu, Chory Marbawi ternyata juga merupakanmakhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secaraindividual, Chory Marbawi memiliki atensi pada masalah-masalah personalsebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya (baik puisi, monolog, maupun garapan teater). Dalam perspektifindividual pula, Chory Marbawi selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatandengan Sang Khalik, sampai-sampai ia menulis "Sketsa Malam" sampai 14 seri. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personalmanusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil,kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal jugaterkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta besertaisinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selainitu, secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya,termasuk menguak rahasia kematian dan rahasia-Nya.

Secara sosial, Chory Marbawi langsung atau tidaklangsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakangkenapa Chory Marbawi selalu tertarik memperbincangkan danmengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yangdiciptakannya, maupun garapan lakon teater (yang saya ingat bertajuk "Jangan Menangis Indonesia" karya Putu Wijaya yang dipentaskan di Taman Budaya Jambi).
Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalansosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habisdijadikan entry penulisan puisi dan garapan teater. Dalam perspektif ini manusia-penyair lantasberhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan,keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah,dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.


Chory Marbawi melalui serangkaian puisi bertitel ‘Sketsa Malam i s.d. XIV" telah mengaduk-aduk pikiran sebagai manifestasi kegelisahan eksistensial. Tampaknya penyair yang baik memiliki indera keenam, yang secara intuitif dapat membaca isyarat sebagai "tanda-tanda' yang akan tiba. Chory Marbawi memilikiki ketajaman intuisi, dan kemurnian nurani, sehingga seperti Chairil Anwar maupun penyair Kriapur atau Subagio Sastrowardoyo menuliskan puisi-puisi yang bertema “variasi tentang kematian, maut”.  Sebagai penyair, Chory Marbawi telah berhasil dengan sukses, sesukses membaca dan memaknai kematian sebagai sesuatu keniscayaan. Saya dan sahabat-sahabat penyair Jambi sepantasnya “iri” dengan kepergiannya menghadap Ilahi. Kini, kami yang masih bernyawa masih terus digelisahkan oleh sesuatu yang tak abadi, sedangkan Chory Marbawi telah memanen sukses mengunduh hasil karyanya di hadapan Sang Khalik.

Selamat jalan Chory Marbawi, puisi-puisimu, warisan kata cintamu akan terus hidup abadi di dada kami.

Jambi, 5 April 2013

Minggu, 24 Maret 2013

MANIFESTO: PROSES KREATIF PENCIPTAAN PUISI

Oleh: Dimas Arika Mihardja

SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan. Sajak yang kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain, semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak "Sederhana untukmu": kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh kalbu".

Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap untuk disantap:"Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana untuk keselamatan perhelatan". Penggubah sajak, dalam kaitan ini serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan perhelatan. Ya, perhelatan,sebab hiup ini senyatanya merupakan serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu. Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di atas meja hidangan.
Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, "apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.
Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.

Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi.

Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.

Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi. Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang "komunikatif" (komunikatif dalam tanda petik).

Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman.

Demikian, salam budaya.
DIMAS ARIKA MIHARDJA

MENELISIK PUISI SEBAGAI SAKSI YANG SEXY

Oleh: Sandi S.

DAM itu sexy
“ DAM itu seksi !“ saya pikir ungkapan itu yang dilewatkan oleh Puja Sutrisna pada prolog SKETSA SAJAK DAM. Tak ada yang salah kok pada prakata itu, hanya saja Puja mesti “ bercinta lebih dalam “ dengan DAM (puisinya). Agar seterusnya ia tak canggung memanggilnya sebagai penyair seksi.
Kenapa? Mari simak “ kredo “ DAM pada bukunya berjudul sajak emas.

Selain sebagai saksi, puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya (mampu) berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Ke-sexy-an puisi tidak semata-0mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian juga melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya).

( SAJAK EMAS. 200 puisi sexy DAM, 2010)

Kaitannya dengan gagasan Puja Sutrisna mengenai angkatan ‘Millennium’, DAM (panjangnya Dimas Arika Mihardja) sejatinya tak pernah menuntut bahwa dirinya (puisi) ‘ kudu ’ disematkan sebagai inisiator lahirnya pembabakan angkatan ‘millennium’ seperti yang dipaparkan oleh Puja di muka buku tersebut. Rasionalisasi Puja memang logis, yang menyebut kalau di dunia kesusastraan Indonesia perlu disepakati sebuah armada sastra bernama millenium. Logis sebabnya DAM hingga kini masih produktif mengalirkan karya (puisinya) dan patut diketengahkan. Tapi perihal kesepakatan, apakah seorang Puja mampu bertanggung jawab dan ‘mengijabkabulkan’ DAM yang seksi itu? Jawabannya kita simpan saja terlebih dahulu.

Gagasan serupa juga pernah dihaturkan oleh tokoh-tokoh penggali sastra semacam Arief Budiman dengan ‘ sastra kontekstualnya’ dan Korrie Layyun Rampan dengan ‘angkatan 2000’nya. Namun perihal kesepakatan seperti yang saya paparkan sebelumnya. Toh, mereka juga mengalami kesulitan untuk ‘diakui’. Sastra kontekstual yang diusung oleh Arief Budiman selanjutnya melahirnkan polemik alias perdebatan antar tokoh, yang dewasa ini pendapat-pendapat mereka sudah dicetak dan dibukukan berkali-kali. Sama halnya dengan ‘angkatan 2000’nya Korrie yang sulit mendapatkan tempat, biarpun sudah membukukan pelbagai karya sastra yang tebalnya melebihi daun pintu.

Sependapat dengan apa yang disampaikan Puja, setiap angkatan butuh juru bicara. Ada Hamzah Fansuri dengan ‘pujangga lama’, Nur Sutan Iskandar dengan ‘ balai pustaka’nya, STA (Sutan Takdir Alisjahbana) bersama ‘pujangga baru’, Chairil Anwar dengan ‘angkatan gelanggang/45’nya seterusnya hingga kepada Korrie layun Rampan yang merintis ‘angkatan 2000’nya. Tapi DAM tetaplah DAM, yang akan menjadi ‘dam’ yang ‘mengirigasi’ kesegaran puisinya yang seksi. Biarlah puisinya mengalir dan mengair-i kesusastraan(baca: puisi) Indonesia supaya tetap hidup, berbunga dan mekar serta harum mewangi sepanjang hari. Saya lebih suka DAM yang sexy ketimbang mesti gelisah, memapah dan menengadah lalu bicara“ mau dimasukkan ke angkatan mana DAM? “

Ke-sexy-an DAM  secara personal juga dapat dilihat pada pengantar bukunya:
“ Saya amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat ‘proyek rugi’ secara finansial, tetapi ‘ proyek besar’ bagi kemanusiaan “.
(sajak emas 200 puisi sexy DAM:1)
“ lho, kenapa ?” sebab DAM itu sexy. Titik!

 

Dari saksi menuju seksi
Baik, untuk menopang lebih kokoh lagi perihal ‘saksi dan seksi’ tersebut mari kita santap terlebih dahulu puisi DAM yang satu ini.

PADA TIRAI YANG MELAMBAI

pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucat pasi. tiada suara
tawa atau canda. disini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa

pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang,teripang, juga segala bayang

pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi-demi-tragedi
yang tak kunjung usai

( Sajak Emas, 200 puisi sexy, 2010 hal 24)


Puisi ini menjadi saksi atas pemikiran bijak DAM mengenai hidup dan kehidupan. Selanjutnya DAM merangsang pembaca untuk selalu ‘mikir’ dan menggali potensi yang bakal didapat dari puisi ini. Mencermati nilai kehidupan sebetulnya sudah tampak pada larik-larik awal. Misal /pada tirai yang melambai/, /terasa ada badai/. /lalu mayatmayat terkulai/, /pucat pasi. tiada suara/. Penggunaan kata /melambai/ kemudian mendapat sahutan /badai/ adalah sebuah ‘lirik’ kehidupan yang sejatinya adalah hal yang serupa pasang-surut, naik-turun, maju-mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu DAM punya visi perenungan pada puisi ini, lebih-lebih ia mengupas tentang maut yang menjadi tandingan kehidupan.

Perihal maut pun terang-terangan disinggung DAM pada larik /lalu mayatmayat terkulai/, /pucat pasi. tiada suara/. Jelas betul keinginan DAM yang mengajak pembaca agar mau ‘mikir’ kalau /tawa atau canda/. /disini semua fana semata/. Bukanlah hal yang paradoksial kalau seorang DAM mengangkat perihal maut pada puisinya. Sebab hal demikian membawa kewibawaan pengarangnya terhadap sesuatu hal yang real dan konkret sekaligus memawasdirikan pembaca untuk tetap ‘mikir’ bahwasanya /disini semua fana/ tak ada yang abadi.

Selanjutnya, kata seksi bagi kebanyakan orang senantiasa representatif terhadap penampilan, wajah, body, pinggang, tangan, betis, dan sebagainya. Tetapi menurut hemat saya tidak demikian. Bolehlah kita pinjam kata ‘wajah’ dan ‘penampilan’ yang memang sedikit banyak ada kaitannya dengan puisi. DAM yang pada puisi ini ambil peran merias ‘wajah’ puisinya untuk tampil ‘seksi’, dirasa berhasil. Ada tiga ramuan mendasar yang menurut pemahaman saya telah menjadikan puisinya tampil ‘seksi’. Adalah diksi, imaji, dan bunyi.

Pertama, yakni diksi.  Diksi adalah pilihan kata (KBBI:2008). Dalam karya sastra khususnya puisi, diksi adalah pondasi utama lahirnya sebuah puisi. Puisi yang berani tampil dan patut diperbincangkan tentu punya pembendaharaan diksi yang baik pula. Tanpa memperhitungkan hal demikian, puisi nantinya malah kabur/buram dan terkesan asal jadi. Sistem maupun formula diksi agar sistematis dan logis pun perlu ditakar, supaya dapat menghindari ketaksaan. Namun sehubungan dengan kreatifitas yang makin berkembang, hal demikian dapat dimaklumi kepesatannya. Berdirinya sebuah larik itu ditopang oleh jajaran ‘direksi’ diksi. Hingganya larik-larik itu membentuk tembok-tembok bait yang selanjutnya disebut puisi. 

Saya tentu tak akan mengupas keseluruhan diksi pada puisi ini. Sudah barang tentu penyair sekaliber DAM punya serimbun kata dan tinggal dipetik saban kali diciptanya sebuah puisi. Saya hanya mengupasnya secara umum. Pada kata /tirai/ yang lazimnya bisa diasosiasikan terhadap sesuatu yang berumbai-umbai, lentur dan terombang-ambing, serta mudah tertiup angin. Maka dari itu DAM menyandingkannya dengan kata /melambai/. Tentu agak ‘aneh’ jika membacanya menjadi /tirai yang terombang-ambing/ atau /tirai yang lentur/. Sebab dari segi estetisnya tentu larik yang begitu tak layak mendapatkan ‘ponten’.

Kedua, imaji. Imaji atau pencitraan ialah pengungkapan perasaan sensoris penyair ke dalam kata dan ungkapan sehingga terjelma gambaran suasana yang sebih konkrit (Djojo Suroto, 2005:20-21). Sedang menurut kamus sastra (2006:65), citraan atau imaji adalah daya bayang yang dihasilkan dari pengolahan kata-kata secara sungguh-sungguh untuk memberikan kesan indah pada suatu puisi.

Pradopo dalam Hasanudin (2002:117) membagi imaji/citraan ke dalam enam bagian, ada penglihatan, pendengaran, penciuman, rasaan, rabaan, dan gerak. Setelah diklasifikasikan maka didapatlah tiga macam citraan yang dapat diadaptasikan kepada puisi /pada tirai yang melambai/ ini, yakni penglihatan, pendengaran, dan rabaan.

Untuk citraan penglihatan ada pada larik /pada tirai yang melambai/. Sementara citra pendengaran didukung oleh adanya larik /tawa atau canda/. /disini semua fana semata/, /hanya seremoni belaka: doadoa sederhana/. Terakhir, citra rabaan yang terdapat pada larik /terasa ada badai/ dan /tak henti-henti mencumbui/.

DAM sendiri pada puisi ini beberapa kali mengusung semiotika. Seperti pada kata /pantai/, /riak/, /ombak/. Pantai adalah tempat yang kental dengan filosofi hidup. Di pantai ada riak, ada ombak, ada ketenangan dan keriuhan, ada pasang dan juga surut, ada siang, ada malam, ada timbul dan tenggelam. Itulah pantai yang disajikan DAM, mengajak kita untuk selalu ‘mikir’ tentang hari yang bernama kelak.

Ketiga adalah bunyi. Bunyi kalau menurut penelusuran google adalah kompresi mekanikal atau gelombang longitudinal yang merambat melalui medium. Sedang menurut KBBI bunyi adalah sesuatu yang dapat didengar atau ditangkap telinga; atau nama lainnya nada. Saya pikir pengertian pertama itu amat pelik, maka saya jatuhkan pilihan kepada pengertian kedua yang ada kaitannya dengan nada. Bunyi atau nada yang unik akan mudah tersimpan di dalam memori manusia. Seperti kolaborai vokal-konsonan, konsonan-vokal, atau vokal-vokal. Tetapi tidak untuk konsonan-konsonan. Sebab hal demikian tentu tak melahirkan bunyi.

Pada puisi ini DAM menunjukkan kemahirannya mengolah diksi menjadi bunyi vokal-vokal. Vokal berakhiran i-i, a-a, atau ak-ak menjadikan larik tersebut ringan didengar. Sebab dilihat dari segi historisnya, masyarakat Indonesia sudah sejak lama menyukai bunyi-bunyi demikian. Misal pada bunyi puisi lama seperti pada pantun yang bersajak ab-ab, mantra, gurindam, seloko, dan sebagainya.

Bunyi i-i dapat dijumpai pada larik  /pada tirai yang melambai/, /terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai/, /pada tirai yang melambai/, /kuuntai tragedi-demi-tragedi/, /yang tak kunjung usai/. Sedang bunyi a-a ada pada /pucat pasi. tiada suara/, /tawa atau canda. disini semua fana semata/, /hanya seremoni belaka: doadoa sederhana/, /mengangkasa/. Terakhir bunyi ak-ak pada /tempat riak dan ombak berontak/.

Baik, saya pikir beberapa pemaparan sederhana tersebut sudah merepresentasikan di mana letak ke-sexy-an DAM sebetulnya. Terima kasih, salam sexy!


Jambi, 13 Maret 2013

Jumat, 22 Maret 2013

MENELISIK KEUNIKAN PUISI DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Tuti Mardianti

Puisi merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai wujud imajinasi penulisnya. Puisi berisi ungkapan perasaan penyair dimana bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Setiap penyair memiliki keunikan tersendiri. Meskipun demikian, orang tidak akan memahami sebuah puisi secara sepenuhnya tanpa menyadari bahwa puisi itu karya seni sastra yang unik. Begitu pula dengan DAM yang memiliki alasan untuk segala keunikan yang diciptakannya.

Keunikan puisi DAM dapat dilihat dari segi tata kata yang digunakannya, dimana puisi-puisinya sarat akan makna estetik. Dalam esai yang ditulis oleh DAM yang berjudul “Puisi Sebagai Cermin Besar Peradaban”, DAM mengungkapkan bahwa teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisasinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sastrawan selaku kreator. Penyair yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Sebagai contoh, DAM menuangkan kemampuannya dalam sebuah puisi yang berjudul “Pasar Angso Duo” :

Pasar Angso Duo
 
harga cabe naik
harga diri turun
turun naik sampan
merapat di tanggo rajo

Agustus, 2010

Pada puisi tersebut dapat dilihat bahwa DAM mengungkapkan perasaannya dengan kata yang cermat. Seperti pada pemilihan judul puisi “Pasar Angso Duo”, untuk menyatakan tentang transaksi sosial politik yang terjadi di Jambi DAM menggunakan ikon Provinsi Jambi sebagai judul puisinya. “harga cabe naik”, dan “turun naik sampan” menggambarkan tentang tawar-menawar yang terjadi dalam memperebutkan kursi kekuasaan, dan “merapat di tanggo rajo” menggambarkan tujuan dari tawar-menawar politik yaitu kursi kekuasaan.

Keunikan lain dari puisi DAM yaitu rima yang digunakannya. Bunyi dalam puisi adalah hal penting untuk menggambarkan suasana dalam puisi. Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, yang merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Pradopo, 2010:22). Misalnya dapat dilihat pada puisi DAM yang berjudul “Puisi Tragedi” :

Puisi Tragedi
 
bidadari kecil itu berdesah:
“sayapku patah sebelah, ayah”

langit menghitam basah
resah pun buncah

kudengar keluh kesah:
“sebelah sayapku patah lagi, ayah”
hujan tumpah

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010

            Pada puisi tersebut, DAM menggunakan rima rangkai, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik, seperti yang terdapat pada kata “berdesah”, “patah”, “sebelah”,  “ayah”, “basah”, “resah”, “buncah”, “kesah”, “tumpah”. DAM menyusun bunyi konsonan dan vokal sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu yang menyebabkan puisi tersebut mengalir ke perasaan dan membangkitkan imaji-imaji pembaca.
            Keunikan puisi DAM terlihat juga pada penggabungan kata ulang. DAM menggabungkan dua kata hingga menjadi satu kata yang memberikan efek penyangatan seperti yang terdapat pada puisi yang berjudul “Kwatrin: Sebelum Berangkat” berikut ini.

Kwatrin Sebelum Berangkat
 
suraisurai kuda merah-putih hati memantas diri
sebelum matahari memanaskan api pembakaran
jemari tak letih menarinari menunjuk ke langit
yang mengabadikan cinta dan segala prahara

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Mengawali Mei 2010

            Dalam puisi-puisinya, DAM juga banyak mempergunakan kata dasar tanpa dibentuk dengan awalan atau akhiran. Di samping untuk mendapatkan irama, hal ini juga untuk mendapatkan ekspresi yang penuh karena kepadatannya. Misalnya pada puisi “Jambi, Tanah Pilih” berikut ini.

Jambi Tanah Pilih
 
telah kupilih tanah amanah
tempat benih
panen buah

Agustus, 2010
            Pada puisi di atas, DAM menghilangkan imbuhan pada kata “berbenih” hingga menjadi “benih” dan pada kata “memanen” hingga menjadi “panen”. Penghilangan imbuhan tersebut dilakukan oleh DAM untuk mendapatkan pemadatan puisi.
            Di samping keunikan yang telah dijelaskan sebelumnya, DAM juga melakukan pengulangan kata pada puisi-puisinya. Tak ragu-ragu DAM menulis ulang judul puisi pada larik awal bait puisinya tanpa mengurangi kepuitisan puisi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada puisi berikut.

Cinta, Selamanya


cinta, selamanya
hanya bisa disebut
dibalut kabut

cinta, selamanya
berbunga nirwana
tapi juga bertangkai neraka

cinta, selamanya
seperti udara memberi nafas
gelora yang mengombak di dada

cinta, selamanya
hanya memberi dan tak meminta
sesiapa yang memberi akan menikmati
sesiapa yang hanya mendamba akan menderita

cinta, selamanya
terasa menyiksa
lukanya seluas samudera
nikmatnya menembus angkasa

cinta, selamanya
tak pernah bertanya
tak pernah tersesat di rimba gelap


cinta, selamanya
menyelam di kedalaman rasa
cinta

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi, 2010

Pada dasarnya tidak ada satu orang pun yang sama persis. Begitu pula dengan DAM, puisi-puisinya tetap memiliki keunikan tersendiri. Kedalaman makna puisi DAM dapat dirasakan bagi siapapun yang membaca karyanya. Dalam bahasa puisinya yang cerdas tetap tercermin imaji-imaji yang tajam.


Jambi,    Maret 2013

MELANGKAH BERSAMA KARYA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Novita Sari

Judul ini saya buat karena menyangkut dengan pengalaman pribadi saya bersama karya sastra yang pernah di buat oleh DAM. Karya-karya DAM telah menjadi guru dalam langkahku mengenal sastra. Awalnya saya hanya mengenal karya sastra seperti puisi, sebelum kenal dengan DAM dan karya-karyanya, saya banyak membuat karya sastra seperti puisi, namun puisi yang saya buat tidak seindah puisi yang saya buat setelah mengenal DAM dan karya-karyanya.


Apakah yang menarik dari puisi ? puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi, imajinasi, dan kontemplasi serta tersaji sebagai teks yang menjadi “tanda-tanda zaman”. Setiap puisi tentu terdapat diksi, yakni pilihan data yang dilakukan oleh penyair. Penyair “setengah mati” mempertaruhkan diri dalam memilih kata yang secara tepatdapat mengabdikan pengalaman dan perasaannya kedalam teks puisi.

Pengertian puisi menurut Waluyo (1995:23)  mengatakan “puisi merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut menghasilkan rima, irama atau ritme.” Sedangkan Menurut Tarigan (1984:4), kata puisi berasal dari bahasa Yunani ”poeisis” yang berarti penyair. Sedangkan dalam bahasa Inggris, puisi disebut dengan istilah “poem” yang berarti syair atau sajak. Arti ini lama-kelamaan dipersempit ruang lingkupnya menjadi ”hasil sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan”.

Puisi-puisi yang di buat oleh Dimas Arika Mihardja termasuk puisi liris inilah beberapa puisi DAM yang memiliki berbagai tema seperti tema personal, sosial dan religius, puisi ini saya kaji berdasarkan analisis, interpretasi, dan  evaluasi:


Contoh puisi personal

 AKU MEMANGGIL NAMAMU IBU
(Dimas Arika Mihardja)

setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu : ibu
bagai mana bisa aku bagai mana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta ? ibu,
jika riak menjadi ombak dan ombak menggelombangkan rasa sayang
ku panggil sepenuh sepenuh gigil hanya namamu. Saat sampan dan perahu melaju
di tengah cuaca tak menentu engkaulah bandar, tempat nyaman bagai sampan
bersandar sebab di matamu ada mercusuar berbinar


jalan terjal berliku adalah lekuk tubuh ibu yang mengajarkan kesabaran
rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap di dadamu
deru lalu lintas jalanan, ramburambu dan simpang
lampu adalah nasihat yang selalu mengobarkan semangat berjihad

aku memanggil namamu ibu
sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh
aku memanggul namamu ibu
sebab segala lagu sebab segala lugu mengombak dibibirmu
aku selalu memanggil dan memanggul namamu :
ibu !


Bengkel puisi swadaya mandiri, Jambi 17 mei 2010



Dari judul puisi diatas yang berjudul “AKU MEMANGGIL NAMAMU IBU “ menurut saya dari judul puisi ini pengarang menggambarkan sosok seorang ibu yang memiliki peranan penting terhadap anaknya. Pada baris pertama puisi ini yaitu “ setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu : Ibu ! “ menurut saya pengarang menggambarkan sosok ibu yang merupakan orang yang paling berarti dalam hidup kita, karena ibulah yang melahirkan kita kedunia dan menjadikan kita ada didunia ini.

Pada baris kedua puisi ini yaitu “ bagaimana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta ? Ibu, jika riak menjadi ombak dan ombak menggelorakan rasa sayang kupanggil sepenuh gigil hanya namamu “, menurut saya pengarang menggambarkan sosok seorang ibu adalah tempat dimana kita mengungkapkan keluh-kesah yang dirasakan serta tempat dimana kita mencurahkan segenap rasa yang ada dalam jiwa, ibu juga dapat dijadikan teman, sahabat untuk kita.

Pada bait terakhir puisi ini yaitu “ aku memanggil namamu Ibu, sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh, aku memanggul namamu ibu, sebab segala lagu mengombak di bibirmu, aku selalu memanggil dan memanggul namamu : ibu ! “ menurut saya pengarang menggambarkan bahwa sosok seorang ibu itu selalu ada direlung hati anaknya, ibulah yang telah berkorban banyak demi merawat, mendidik, dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan, nama ibu dan pengorbanannya akan selalu dikenang oleh anaknya sampai akhir hayatnya dialah ibu yang paling ia sayang.


Di nilai secara interpretasinya puisi diatas berjudul “ Aku Memanggil Namamu Ibu “dari judulnya ada dugaan bahwa puisi ini bertemakan puisi sosial, dan ada dugaan juga bahwa puisi ini tergolong prismatis, dari judul puisi ini dapat kita gambarkan bahwa seorang ibu sangat berperan penting terhadap anak-anaknya. Karena pengarang lebih dominan menggunakan kata konotatif. Seperti pada bait kedua “ rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap didadamu “, dari kata tersebut dapat menimbulkan  berbagai arti dan makna yang tersirat disana karena kata itu menggunakan ungkapan tidak langsung atau kiasan.

Puisi ini juga mempunyai banyak keindahan kata yang digunakan pengarang dalam menulis puisi ini, seperti puisi yang ada dibait ketiga yaitu “aku memanggul namamu ibu sebab segala lagu mengombak dibibirmu aku selalu memanggil dan memanggul namamu: ibu ! “ disini pengarang banyak menggunakan kata konotatif, sehingga membuat puisi ini tidak langsung bisa dipahami pembaca apabila pembaca hanya sekedar atau sekilas saja membacanya.

Puisi ini mempunyai makna yang sangat dalam, karena dalam puisi ini pengarang menggambarkan betapa berartinya perjuangan seorang ibu terhadap anaknya, yang telah memberikan kasih sayang, membesarkan, mengandung, melahirkan, serta merawat dengan penuh pengorbanan.

Dari analisis dan interpretasi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi yang berjudul “ aku memanggil namamu ibu “ ini termasuk kedalam puisi yang bertemakan personal, kemudian puisi ini juga tergolong prismatis karena pengarangnya lebih dominan menggunakan kata berkonotatif, ini dapat dilihat pada bait kedua puisi ini yaitu “ rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap didadamu “, dari kata tersebut dapat menimbulkan berbagai arti dan makna yang tersirat karena kata itu menggunakan ungkapan tidak langsung atau kiasan.

Puisi ini menggambarkan sosok ibu yang merupakan seseorang yang paling berarti dalam hidup anaknya, karena ibulah yang melahirkan anaknya kedunia dan menjadikan anaknya ada didunia ini, dan sosok seorang ibu adalah tempat dimana kita mengungkapkan keluh-kesah yang dirasakan serta tempat dimana kita mencurahkan segenap rasa yang ada dalam jiwa, ibu juga dapat dijadikan teman, sahabat untuk kita.

 
contoh puisi yang bertemakan sosial

CANDI MUARO JAMBI 
(Dimas Arika Mihardja)

batu bata tersusun
kata dan doa tertimbun
ilalang bergoyang
pendatang manyun


agustus, 2010



Dari judul puisi diatas yaitu “ CANDI MUARO JAMBI “ menurut saya pengarang mengambil judul ini untuk menggambarkan keadaan candi yang berada didaerah muaro Jambi. Pada baris pertama puisi ini yaitu “ batu bata tersusun “ menurut saya dari kata ini pengarang menggambarkan bentuk candi muaro Jambi yang tersusun dari batu bata.

Pada baris kedua puisi ini yaitu “ kata dan doa tertimbun “ menurut saya dari kata ini pengarang menggambarkan bahwa telah musnahnya ucapan-ucapan dan harapan-harapan indah dari para pendatang yang berkunjung kecandi itu.

Pada baris ketiga puisi ini yaitu “ ilalang bergoyang “ menurut saya dari kata ini
pengarang menggambarkan keadaan atau situasi yang ada disekitar candi muaro Jambi yang dikelilingi atau dipenuhi rumput ilalang yang tumbuh tinggi dan bergoyang ditiup angin sehingga mengesankan keadaan candi itu tidak bersih dan jarang dirawat.

Pada baris keempat puisi ini yaitu “ pendatang pun manyun “ menurut saya  dari kata ini pengarang menggambarkan ekspresi para pengunjung yang datang dicandi muaro Jambi itu. Ekspresi para pengunjung ini ditujukan pada masyarakat disana yang tidak mempedulikan kebersihan dan keindahan candi tersebut, yang mana candi tersebut adalah salah satu kekayaan dan peninggalan bersejarah yang diwariskan kepada masyarakat muaro Jambi.

Di nilai dari interpretasinya puisi diatas berjudul “ CANDI MUARO JAMBI “  dari judul tersebut ada dugaan bahwa puisi ini bertema sosial, dan ada dugaan bahwa puisi ini tergolong prismatis. Karena pengarang menggunakan kata konotatif dalam isi puisinya.

Puisi ini menggambarkan keadaan candi muaro jambi yang dapat dilihat dari judulnya terlebih dahulu. Kemudian menurut analisis diatas, isi puisi ini menggambarkan bentuk candi yang tersusun dari batu bata, yang kemudian menggambarkan bahwa telah musnahnya ucapan-ucapan dan harapan-harapan indah dari para pendatang yang berkunjung kecandi itu.


Pada baris selanjutnya puisi ini menggambarkan suasana atau keadaan yang ada dicandi itu, ditumbuhi dengan rumput ilalang yang tinggi sehingga bergoyang-goyang ketika diterpa angin atau ditiup angin, ini membuat keadaan candi menjadi menjadi tidak indah. Kemudian pada baris terakhir puisi ini menggambarkan ekspresi para pengunjung yang datang kecandi itu, dengan penuh kekecewaan terhadap masyarakat disana yang tidak pernah merawat dan menjaga keindahan candi itu.

 Dari analisis dan interpretasi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi yang berjudul “ CANDI MUARO JAMBI “ ini bertemakan sosial dan puisi ini juga dapat di golongkan kedalam puisi prismatis karena pengarang menggunakan kata konotatif yang dapat dilihat dari puisi ini dibaris kedua yaitu “ kata dan doa tertimbun “.

Puisi ini juga menggambarkan keadaan candi muaro jambi yang kurang diperhatikan keindahannya dan kebersihannya oleh masyarakat dan pemerintahannya. Sehingga membuat para pengunjung yang datang kesana dengan niat menikmati keindahan alam dan melihat peninggalan bersejarah yang berada didaerah muaro Jambi itu kecewa dan tidak semangat lagi untuk menikmati keindahan itu.

 
Contoh puisi yang bertemakan religius


DZIKIR
(Dimas Arika Mihardja)
kueja makna kata-Nya
penuh damba

siasia sembunyikan
air mata

duka dihadapan-Nya
maha sempurna

1993


Dari judul puisi diatas yaitu “ DZIKIR “ menurut saya pengarang mengambil judul ini untuk menggambarkan seseorang yang sedang melapaskan pujian-pujian terhadap Allah lewat lantunan ayat-ayat suciNya.

Pada baris pertama puisi ini yaitu “ kueja makna kataNya penuh damba “, menurut saya pengarang disini menggambarkan bahwa seseorang itu sedang membaca ayat-ayat suci seperti al-qur’an dan pujian-pujian yang ditujukan kepada Allah.

Pada baris kedua puisi ini yaitu kata “ penuh damba ”, menurut saya pengarang menggambarkan puisi iniuntuk mengungkapkan perasaan yang penuh kerinduan kepada Allah.

Pada baris ketiga puisi ini yaitu “siasia sembunyikan air mata”, menurut saya disini pengarang menggambarkan bahwa tidak ada gunanya kita menahan air mata atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuat, karena penyesalan selalu datang belakangan.

Pada baris keempat puisi ini yaitu “duka di hadapan-nya” menurut saya pengarang menggambarkan sosok seseorang yang menyesali segala salah dan dosanya yang selama ini dilakukannya kepada Allah.

Pada baris ke lima puisi ini yaitu “maha sempurna” disini pengarang menggambarkan bahwa Allahlah yang maha segalanya, dan suatu kesempurnaan itu hanya milik milik Allah semesta.

Dinilai dari interpretasinya puisi diatas berjudul “ DZIKIR “ dari judul puisi diatas ada dugaan bahwa puisi tersebut bertemakan religius yang bersifat keagamaan, kemudian puisi ini juga diduga tergolong diafan karena pada setiap baris yang ada didalam puisi tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Puisi ini menggambarkan seseorang yang sedang membaca aya-ayat suci al-quran dan berdzikir memuji nama Allahnya untuk memohon ampunan atas segala perbuatan yang dilakukannya terhadap Allah, karena dia menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah semata, dalam dzikirnya dia tak kuasa menahan air mata, karena sedih yang dia rasa sangat dalam.

Dari analisis dan interpretasi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi yang berjudul “ DZIKIR “ ini bertemakan religius karena dari judul saja sudah terarah keunsur keagamaan, dan juga puisi ini tergolong diafan karena puisi ini apabila dibaca oleh seseorang maka akan mudah mereka mengartikan maksud dari isi puisi ini.

Puisi yang berjudul “ DZIKIR “ ini menggambarkan tentang seseorang yang sedang menyesali perbuatannya,serta kesalahannya kepada Allah dan ingin memohon ampun dari Allah, dengan cara berdzikir dan membaca ayat-ayat suci Al-qur’an, sehingga dia tak kuasa untuk menahan air matanya, dia menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah semata.


Jambi, 22 maret 2013

MISTAR KEHIDUPAN SEBUAH KONTEMPLASI

Oleh: Riani Riswati

Puisi dilihat dari segi bangunan bentuknya pada umumnya merupakan pemakaian atau penggunaan bahasa intensif yang memiliki makna yang mendalam yang telah dimanipulasi sehingga memiliki pengaruh kuat dalam menggerakkan emosi pembaca yang memunculkan gaya penuturan dan daya lukisnya. Karena puisi merupakan karangan yang terikat oleh baris dan bait, oleh rima dan irama.
Bahasa dalam puisi cenderung kepada makna konotatif. Ini adalah ciri yang sangat dominan dalam puisi. Hampir tidak ada puisi yang tidak memanfaatkan konotasi bahasa karena memang inilah alamiahnya puisi. Ketidaklangsungan ucapan adalah darah daging sebuah puisi, ketidaklangsungan itu, menurut Riffeterre (1978 : 1-2) yang disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti. Penggantian arti dapat berbentuk majas atau bahasa kiasan. Penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, dan penciptaan arti terjadi pada pemanfaatan tipografi ( ilmu cetak ; seni percetakan) tertentu. Oleh sebab itu banyak ditemukan di dalam puisi, apa yang sering disebut dengan bahasa kiasan, kegandaan arti dengan corak yang beraneka ragam. Penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menngantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978 ; 2 ). Dalam pengantian arti ini suatu kata ( Kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.
            Proses pembuatan karya sastra (Puisi) yang dapat menghasilkan sebuah puisi nan indah, bukanlah hal yang mudah, pengarang berusaha keras dan mati-matian memilah-pilih bahasa ataupun kata-kata yang indah, namun yang tidak bombastis ataupun lari dari tema awal. Untuk menghasilkan sebuah puisi yang telah pantas untuk di apresiasi merupakan bentuk dari wujud kontemplatasi yang panjang. Puisi itu adalah bentuk dunia fantasi yang berdasarkan diksi, imajinasi dan kontemplasi yang dicoba oleh penulis agar pesan yang ingin ia sampaikan, ditangkap oleh pendengar melalui tulisan-tulisannya.
Menciptakan ataupun memahami sebuah puisi dibutuhkan daya imajinasi yang luas, pembaca tidak hanya dapat memahami sebuah puisi dengan menjadikan satu titik terang. Puisi itu luas, puisi dapat difahami atapun diapresiasikan berbeda-beda bagi setiap membaca, apalagi bila puisi yang diciptakan merupakan puisi yan prismatis, puisi yang remang-remang, maka membaca ataupun pendengar dapat menafsirkan sebuah puisi kearah mana saja.
Berikut ini contoh puisi yang tergolong puisi prismatis yang berjudul MISTAR KEHIDUPAN Oleh: D. Kemalawati. D. Kemalawati lahir di Meolaboh, Aceh Barat 2 April 1965. Salah seorang pendiri Lapena (Lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan) Aceh. Bekerja sebagai guru matematika di sekolah Menengah Kejuruan (SMKN 2) Banda Aceh, salah seorang pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh. Puisinya dihimpun dalam antologi tunggal “Surat Dari Negeri Tak Bertuan” (Lapena, 2006). Puisi-puisi lainnya dimuat di beberapa antologi bersama, Novel perdananya “Seulusoh” diterbitkan Lapena 2007. Dan menerima Anugerah Sastra dari Pemerintah Aceh, 2007.
Mistar Kehidupan
           
Embun pagi bening tatapmu, saudaraku
Serupa telaga aku pun menimba
Kubasuh kering ruh ku dengan sejuk airmu
Mengalir ke sukma riak-riak cahaya
Melancar doa-doa
           
Adalah mistar kehidupan
Denga bilangan bulat positif negatif
Penambahan dan pengurangan
Pengalian dan pembagian
Kita pun kembali ketitik nol
Pada daya yang diam
Tenggelam untuk kembali kepermukaan

Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini

Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang

Meulaboh, 3 juli 2011
           
Puisi “Mistar Kehidupan” karya D. Kemalawati merupakan puisi yang indah, sengaja ia ciptakan untuk hadiah ulang tahun saudaranya, saudara yang ia katakan sebagai Saudara Jiwanya DAM. Pada puisi Mistar kehidupan Oleh D. Kemalawati, apakah dapat kita katakan bahwa “Mistar” Dalam makna yang lugas atau kias? Bila dapat kita telitik sedikit “Mistar” disini merupakan ukuran atas penambahan usia seseorang. D. Kemalawati sendiri mendapatkan inspirasinya dari penambahan usia saudaranya.

Dalam Puisi “MISTAR KEHIDUPAN” bait ke-2:
Adalah mistar kehidupan
            Denga bilangan bulat positif negatif
            Penambahan dan pengurangan
            Pengalian dan pembagian
            Kita pun kembali ketitik nol
            Pada daya yang diam
            Tenggelam untuk kembali kepermukaan

Dalam artian secara umum yakni sesuatu bilangan angka-angka. Sebenarnya adalah sebuah Metafora dalam arti yang lain, yakni sebuah penambahan umur dari bilangan bulat positif negatif, yang pada akhirnya kembali pulang (Meninggal) dan dibangkitkan kembali pada permukaan.
Disini kita akan bicarakan Bagaimana caranya menemukan makna yang sebenarnya dalam puisi diatas ?
Pertama: kita bisa mengutip bagian puisi untuk memperkuat argumentasi, pilihlah kata atau kalimat atau bait dalam puisi yang benar-benar memperkuat apa yang sedang kita bicarakan. Kalau ada pesan penyair yang tertangkap oleh pembaca, maka unsur puisi yang berisi pesan penyair itulah yang dikutip.
Kalau ada metafor yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan itu, maka kutiplah metafor itu. Begitu pula dengan aforisma-aforisma yang digunakan oleh penyair; maka yang dikutip adalah aforisma (kata-kata yang subtil, yang memiliki makna yang dalam) itu.
Kedua: dengan melihat unsur yang paling dominan dalam puisi, sehingga dapat menemukan topik yang akan dikomentari. Kalau puisi itu tidak ada judulnya, mungkin akan sulit puisi itu akan bicara tentang apa. Tapi, biasanya, judul puisi itu sangat membantu pembaca untuk menikmati dan memahami puisi itu. Judul puisi merupakan pintu gerbang untuk mencari dan menemukan makna puisi. Selain itu, pembaca juga berhak memberi makna puisi itu. Ingat, bahwa dalam teori postkolonialisme, tidak ada pembacaan yang netral. Penyair mengungkapkan fakta sesuai dengan perspektif dia. Pembaca pun bisa menafsir puisi itu dari perspektif pembaca. Misalnya, kalau penyairnya laki-laki, maka pembaca harus curiga apakah diksi atau kata-kata yang digunakannya itu mengukuhkan budaya patriarki atau meruntuhkannya. Biasanya, yang nadanya melecehkan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa penyairnya memang mengukuhkan budaya patriarki. Dan, pembaca (perempuan) yang menggunakan teori postcolonial maupun teori feminisme berhak untuk mengkritiknya.
(http://bengkelpuisi dimasarikamihardja.blog.spot.com)
Judul puisi D. Kemalawati “Mistar Kehidupan” merupakan bentuk metafor dari usia manusia, atau penambahan usia. Perhatikan bait pada puisi berikut:
Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini

Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang

Hari ini adalah hari ulang tahun Sahabat jiwa D. Kemalawati (DAM yang ke 52th), ia mencoba mengatakan bahwa DAM harus ingat tentang penambahan umur dan tentang pengurangan yang tak di ketahui oleh siapapun. Seperti setiap harinya kebaikan yang tertanam hari ini akan membekas pada “Mistar” Mistar kehidupan di neraca yang berimbang.
Junus (1981 ; 11 ) menyatakan:

“Sukar untuk memikirkan adanya proses berpikir tanpa mengunakan bahasa. Dan tak mungkin suatu pemikiran akan merupakan sesuatu yang kristal, yang terdiri atas bagian-bagian yang dapat dipisah-pisahkan. Karena itu, kekuatan suatu pikiran terletak pada kekauatan perumusannya, dan ini dirumuskan melalui struktur bahasa yang selalu bersifat linear yang berurutan”
Puisi tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah. Artinya, sebelum sebuah puisi diciptakan, sudah ada puisi lain yang mendahuluinya. Penyair tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Sebagai salah satu gendre karya sastra, puisi selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980 ; 2)

Jambi 21 maret’ 2013

ESTETIKA PENAMPILAN PUISI DAM

Oleh: Retno Daksina Argarini

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berarti penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Menurut (KBBI, 2008: - ) Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan bait dan larik. Puisi merupakan karya sastra yang memiliki nilai-nilai estetika. Estetika sangat penting keberadaanya dalam puisi, karena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetik yang dominan.

Menurut DAM : Puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi, imajinasi dan kontemplasi serta tersaji sebagai teks yang menjadi “tanda-tanda zaman”. Selain itu pada penyair selalu selektif dalam memilih kata. Karena jika pada saat penyair membuat puisi secara sembarang memasukkan kata-kata yang tidak pas atau tidak sesui maka puisi itu tidak akan jadi bagus dan indah, maka dari itu pada saat membuat puisi harus selektif dalam pemilihan kata-katanya. Selain itu bahasa yang digunakan juga harus sesuai agar tidak rancu pada saat dibaca.

Puisi karya-karya DAM tidak diragukan lagi, DAM merupakan salah satu nama yang pantas disebut sebagai tokoh dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ada beberapa puisi DAM yang membutuhkan pemahaman yang penuh, jika ingin mengetahui apa maksud dari puisi yang disampaikanya . Begitu halnya dengan saya, masih sering kesulitan untuk mengerti apa maksud dari puisi itu, walaupun kata-kata yang digunakan biasa didengar, hingga dibaca berkali-kali, itu pun masih agak binggung. Namun dipermudah dengan adanya penjelasan dari puisi itu, jadi saya bisa paham apa maksud dari puisi itu.

Esai berjudul Puisi Sebagai Cermin Besar Peradapan karya DAM  pada bagian : Penampilan puisi dapat amat beragam, seperti halnya penampilan dan perilaku seseorang yang juga beragam. Ada seseorang yang berpenampilan perlente, cantik, modis dan mengikuti tren masa kini lengkap dengan assesoris dan make up dan bahasa yang glamor. Sebaliknya, ada seseorang yang suka penampilan sederhana, tidak neko-neko, tidak banyak ulah,lembut tutur katanya, sopan, beradab, dan menjunjung tinggi norma-norma. Apakah puisi harus modis dan mengikuti tren masa kini? Apakah di balik kesederhanaan puisi tidak ditemukan sesuatu yang istimewa?

Menurut saya puisi tidak harus modis, karena yang terpenting dalam puisi adalah isi puisinya, namun jangan lupakan unsur keindahan dan penampilan puisi itu sendiri. Menurut saya dibalik kesederhanaan puisi bisa saja ditemukan sesuatu yang istimewa, walaupun penampilan sederhana namun isinya indah. Namun penampilan juga harus diperhatikan agar dapat menarik perhatian pembaca. Jadi keindahan (estetika) penampilan puisi juga harus diperhatikan juga selain isi puisi.

Berikut puisi karya DAM  yang berjudul Tarian  Jemari di Beranda Cinta,

Tarian Jemari di Beranda Cinta

saat aku mencium kembali kelebatan bayangmu
malam ini kembali aku membuka album yang menyimpan genang
kenangan
seperti museum mengabadikan ayat-ayat tentang musim senyummu begitu ranum

di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari
melukis dinding hati dengan kaligrafi
usai mengaji, kemabli kita kaji warna cinta
bahasa mawardan debar yang mendebur

persis dihalaman muka di kaca jendela memantul cahaya
sebuah pesona menyergap dan meresap
lalu kata-kata yang merapap di dinding kutangkap
dan kutangkap sebagai isyarat

sanggar kreasi, 03/02/2012

Puisi di atas menggambarkan seseorang yang sedang berdoa atau berzikir dengan mengagungkan nama-nama Allah yang Maha Kuasa, “di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari/ melukiskan dinding hati dengan kaligrafi”. Puisi tersebut banyak mengunakan bahasa kias dan mengunakan simbol. Hal itu yang membuat puisi tersebut memiliki estetika. Seperti yang dikatakan DAM dalam esai yang berjudul Puisi Sebagi Cermin Besar Peradaban : Puisi-puisi yang baik akan selalu menunjukkan corak yang menampilkan intersifikasi, korespodensi, dan musikalitas yang sederhana namun mampu menarik perhatian pembaca.

Puisi yang berjudul Tarian Jemari di Beranda Rumah Cinta memiliki tiga hal tersebut, walaupun tampak sederhana namun memiliki nilai estetika yang istimewa, sehingga dapat menarik perhatian para pembacanya. Korespodensi merupakan upaya penyair menjalin gagasan satu kesatuan, seperti “ayat-ayat “dan “kaligrafi” memiliki arti yang sama. Musikalitas merupakan upaya penyair mempermanis, memperkuat dan menonjolkan efek puitik kepada kepada hasil penyair, seperti “usai mengaji, kembali kita kaji warna cinta/ bahasa mawar dan debar yang mendebur” yang memiliki arti setelah mengaji kita mengkaji bahasa mawar (ayat yang indah). Intersifikasi merupakan upaya penyair memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa, seperti pada puisi  yang diawali dengan si penyair sedang membayangkan sesuatu, kemudian berzikir dengan mengagungkan nama-nama Allah dan setelah mengaji mencoba mengkaji ayat-ayat. Setelah mengkaji ayat-ayat hingga debar yang mendebur  si penyair merasakan  sesuatu (cahaya sebagai lambang Yang Maha Esa)  yang membuatnya terpesona  dan menyerap kata-kata  yang ada di hati yang ia tangkap sebagia suatu isyarat.

Selanjutnya puisi yang ke dua berjudul Beranda Jingga, Cinta Yessika karya DAM dalam bukunya 3 DI HATI.

BERANDA JINGGA, CINTA YESSIKA

senja merapat di beranda dada, mengabarkan
dan mengibarkan cinta semata. kembali kueja
sejumlah nama dalam lembarlembar isyatar-mu
saat matahari merendah dan mencium belahan bukit
saat rembulan keemasan mempercantik malam

beranda ini selalu terbuka. angin yang ingin
leluasa memilah dan memilih sajak paling tuak
di rak yang tersusun dari serpihan rindu
mengabadikan bayangmu

sebuah kacamata baca tergeletak di paha
usia menemu sepatah kata cinta dalam kamus hidup
sepatah kata yang lalu beranakpinak menjadi sajak
sajak yang mengajuk dan mengajak mengeja hidup
penuh degup mencinta

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010

Puisi ini menurut saya juga memiliki keindahan yang sama dengan puisi yang pertama hingga dapat menarik perhatian pembacanya. Secara fisik puisi ini terdapat menggunakan bahasa kias dan simbol, seperti “saat matahari merendah mencium belahan bukit” dan pada kata “senja” bisa jadi disimbolkan usia sudah tua. Puisi ini memiliki unsur keindahan selain bahasa kias dan simbol, tetapi cara penyair menuliskanya atau pemilihan kata-katanya. Jika salah satu kata pada puisi itu diganti dengan kata lain yang kurang tepat, maka penampilan puisi itu akan berkurang keindahanya.

Puisi yang indah tidak harus menggunakan kata-kata yang sulit atau agak asing di telinga atau menggunakan istilah, bisa membuat pembacanya tidak mengerti apa maksud dari puisi tersebut dan menjadi malas melanjutkanya membaca karena tidak mengerti. Jadi gunakan bahasa yang mudah dipahami dan sederhana namun indah isi.  Dan jangan lupa penampilan juga harus diperhatikan agar dapat menarik perhatian pembaca.


Demikian, wassalam.

Jambi, Maret 2013