Jumat, 25 Februari 2011

IDENTITAS, INTENSITAS, DAN KUALITAS PENYAIR

Catatan: Dimas Arika Mihardja

DISKURSUS yang memerlukan perbincangan serius sepanjang masa terkait dengan tiga hal, yakni identitas, intensitas, dan kualitas penyair. Wacana ini pernah saya lontarkan melalui esai yang dimuat dalam koran "Merdeka", Minggu Kedua Februari 1993. Saat itu, banyak tanggapan yang munculsebagai respon dan bahkan menjadi polemik terbuka. Saat ini, ketika media komunikasi dan sosialisasi karya begitu terbuka melalui jejaring sosial facebook, blog, dan media online lainnya menurut saya perlu dikemukakan lagi diskursus "lama" tetapi selalu aktual itu, yakni sekitar identitas, intensitas, dan kualitas penyair. Anggap saja tulisan ini sebagai reposting sambil berharap mendapat respon menurut pemikiran baru.

Identitas Penyair


Premis pertama yang saya kemukakan ialah bahwa seseorang disebut penyair ialah mereka yang menulis syair (puisi/sajak) dengan "sepenuh hati". Frasa "sepenuh hati" dalam konteks ini hendaknya dimaknai dengan upaya bersungguh-sungguh dan jauh dari keisengan,main-main, atau coba-coba. Frasa "dengan sepenuh hati" juga bermakna bahwa seseorang yang disebut dengan penyair itu meneyerahkan dan mencurahkan "hidup dan matinya" demi menghasilkan puisi yang sebaik-baiknya.

Premis ini muncul sebagai tanggapan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa ukuran seorang penyair ditentukan oleh mass media koran/majalah yang memuat karyanya atau diukur dengan buku antologi yang memuat puisi dan diterbitkan oleh penerbit yang berwibawa. Menyandarkan dalil identitas seseorang penyair pada partisipasi koran/majalah dan penerbit sebagai ukuran identitas kepenyairan seseorang merupakan kecerobohan, sebab tidak setiap koran/majalah dan penerbit memiliki citarasa yang beragam. Dengan demikian, menyandarkan identitas kepenyairan seseorang hanya aterkait dengan koran/majalah yang memuat karyanya atau penerbit yang membukukan puisinya, tentu saja tidak sepenuhnya dapat dijadikan barometer.

Identitas kepenyairan seseeorang mestilah disandarkan pada kualitas puisi yang dihasilkannya. Korrie Layun Rampan ("Horison/7/XXVI/Juli 1992) mencacat dan menyebut Dr. Sanento Yuliman sebagai "Penyair Satu Sajak". Hanya dengan satu sajak saja seseorang disebut penyair. Tentu saja sajak yang dihasilkan oleh Sanento Yuliman (mungkin) tidak hanya satu, cuma sajak yang dinilai sebagai sajak yang berkualitas dan menunjukkan identitas kepenyairannya ditunjukkan oleh sebuah sajak yang paling berkualitas dan berkelas. Sejalan dengan alur pemikiran ini, lewat judul "Potensi dan Impotensi Sastrawan di Daerah" (dimuat di Singgalang, Minggu 20 Desember 1992) saya tegaskan bahwa soal potensi dan soal impotensi menyangkut perjalanan masing-masing sastrawan. Soal potensi dan impotensi terkait dengan pergumulan sastrawan selaku kreator, respon pembaca selaku penikmat, dan sambutan kritikus selaku pengamat.

Identitas kepenyairan seseorang selain didasaekan pada kualitas karya yang dihasilkan, juga ditentukan oleh intensitas, produktivitas, dan kretivitas dalam menggumuli dunia penulisan kreaatif puisi. Kerja menyair (menulis puisi) bukanlah kerja main-main (meski sebuah puisi yang baik dapat dihasilkan dengan pendekatan main-main) seperti main petak umpet atau kucing-kucingan (pinjam istilah Harta Pinem, semoga semakin sehat dari penyakit matanya, terutama mata pencaharian). Identitas kepenyairan ditunjukkan oleh intensitas unjuk kinerja. Dengan intensitas (pergumulan secara serius di dunia penulisan puisi) dapat diharapkan lahir puisi yang bernas, berkualitas, dan berbobot. Identitas seorang penyair juga ditunjukkan oleh produktivitas dan kontinyuitas dalam berkarya.

Identitas kepenyairan dapat diamati dari puisi-puisi yang dipublikasikannya. Identitas kepenyairan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, melainkan sebagai sesuatu yang diperjuangkan secara "berdarah-darah" atau serius. Tugas utama penyair ialah terus berkarya sembari mendewasakan pemikiran dan wawasannya, sedangkan predikat penyair akan diberikan oleh pengamat yang dengan intensif mencatat dan mendedahkan puisi yang diciptakannya. Dengan identitas yang jelas, intensitas, dan produktivitas itu dapat diharapkan lahir penyair yang berkelas dan berkualitas.

Intensitas dan Kualitas

Seseorang yang terpanggil masuk dan menjadi penyair dituntut memiliki intensitas. Intensitas ini selayaknya sebagai nafas yang dihirup dan dihembuskan. Dengan kata lain, intensitas itu lebih bersifat kontekstual dan kondisional. Setiap penyair hendaklah menciptakan konteks dan situasi-kondisi yang secara intens diperjuangkan. Intensitas dan keuletan penyair dalam bergumul di dunia kreativitas penciptaan akan menopang keberhasilannya menghasilkan puisi yang unggul. Dalam konteks ini, mellui tulisan berjudul "Puisi Versus Globalisasi" (Merdeka Minggu Ketiga,Desember 1992) saya melihat kemampuan penyair Indonesia mutakhir pintar meresponsnya dalam bingkai puisi yang transendental. Puisi-puisi mutakhir agaknya cukup pintar menghindar dari puisi-puisi realis, yang jika tidak cerdik dan pintar mengemasnya penyair dapat diberangus. Kemahiran penyair mutakhir Indonesia dalam mengantisipasi karut-marut realitas kondisi Indonesia ke dalam puisi transendental merupakan buah dari intensitas penyair untuk kembali ke sumber penciptaan, kembali ke tradisi warisan leluhur yang arif menikapi zamannya.

Penyair mutakhir tidak lari dari realitas yang pahit dan kemudian mengadukan persoalan itu ke hadirt Ilahi, dengan intensitas pergumulannya mampu menulis puisi-puisi yang khas dan berbeda dengan genre puisi sebelumnya. Dengan intensitas yang dimilikinya, penyair dekade mutakhir lebih memilih dunia alienasi, kegelisahan, keresahan, dan kepasrahannya melalui karya-karya yang lebih menyodorkan refleksi batiniah dan spiritulitas. Dalam konteks ini kita lalu dapat menyebut kepenyairan D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Soni Farid maulana, Dorothea Rosa Herliany, dan lain-lainya.

Kualitas Penyair dan Idealisme

Penyair sejati memerlukan idealisme. Tanpa idealisme siapapun tidak akan pernah menjadi sesuatu apapun. Chairil Anwar,misalnya, memiliki idealisme dan memperjuangkan ide-idenya yang berlandaskan keyakinan dan kebenaran. Ia terus memperjuangkan idealismenya itu dengan dengan kejujuran dan keberanian dan tak mau berkompromi dengan arus pemikiran umum (commond sense). Ranggawarsita merasa perlu tapa kungkum (bertpa dengan cara berendam) demi menghasilkan puisi yang benr-benar "memuisi" (bernilai sebagai puisi yang agung). Demikian pula para pujangga istana (para kawi) perlu "melakukan" sesuatu, berpuasa misalnya, untuk dapat mendengar Sabda-Nya, wahyu, atau ilham dari Sang Hyang Maha Pemberi.

Jika penyair masa kini tidak melakukan apa yang dilakukan oleh para pujangga istana itu, tidak serta merta mereka kehilangan idealiame. Idealisme tetap dijadikan anutan dan acuan oleh penyair sepanjang masa. Hanya saja, idealisme itu selalu mengalami proses metamorfosis sesuai dengan gerak zamannya. Idealisme tetapmenyala dan berkobar, hanya realisasinya dan manifestasinya sesuai dengan perkembangan zaman.

Kualitas penyair tampaknya juga terkait dengan idealisme. Idealisme itulah yang akan meronai apakah seorang penyair kokoh dalam pendirian dan keyakinan, atau sebaliknya labil dan mudah goyah oleh aneka iming-iming yang sifatnya material. Idealisme ini tak pelak lagi merupakan bahan bakar yang memberikan energi penciptaan, sehingga yang bernama inentitas, intensitas, dan kualitas puisi yang dihasilkannya akan merupakan jaminan kediriannya atau kepribadiannya yang matang dan dewasa. Demikianlah, diskursus sederhana ini kembali dikemukakan sebagai sebuah ingatan bahwa kerja kepenyairan memerlukan sikap bersungguh-sungguh, kerja keras, dan bergumul dengan aneka ragam tantangan kreatif sebagai buah pengalaman berharga saat berkarya.

Erry Amanda menambahkan, sesungguhnya seorang pekerja seni (baca: sastra/penyair) bukan saja bersandar pada nilai2 idealisma, menurut saya justru harus menghidupkan gagasan di dalam dunia kepenyairan secara SIPAR (Sintesa, Idealis, Pragmatis, Analisis dan Realis). Dunia bohemian tidak harus diterjemahkan sebagai sosio marginalis (baca: nyeniman), justru ruas pandang pada konteks KEPEKAAN MENANGKAP REALISMA SOSIAL yang hanya didasarkan pada idealisma-idealisma - senantiasa akan terjebak pada simpang realitas itu sendiri (jika bahasa pesan merupakan bahasa keluruhan realitas mukiman kebersamaan dari sejumlah pertikaian dan perpotongantegak lurus dari berbagai masalah kehidupan.

Seorang penyair dalam mengolah data dengan menyertakan secara autopoesis terhadap proses penggalian nilai2, mengolah data, menyajikan data, bukan hanya mempercayakan ruang imagi, kepekaan menangkap moment (esensi ruang gagas) namun lebih kepada mendayakan selurug emosi (feel, taste, think, imaginary, temper) = rasa (perasaan), citra, pikiran, khayalan, amarah, yang masing2 element bergerak dalam satu kesatuan nilai (suatu agent tak akan memiliki fungsi tanpa agent yang lain.

Jika hanya bersandar pada idealisma, pada jalur pengaryaan sering terjebak pada ketertutupan ruang jelajah (atmosperikal) obyektif, sebab karya (apa pun bentuknya) bukan tertuju pada satu ranah kepentingan dan pada sudut orientasi namun lebih kepada nilai kesadaran pada seluruh lingkungan hinian dan penghuninya (tanpa batasan stratifikasi) kecuali kesadaran ke seluruh aspek pengguna hidup dan kehidupan.

Sisi lain, seorang penyampai kebenaran dan membuka kesadaran, saat berkarya TIDAK HARUS TERIKAT OLEH TEKNIK2 AKDEMIS, sebab jiwa yang meruangkan idea2 tak akan pernah mampu dikendalikan oleh wacana apa pun, kecuali gejolak kesadaran itu sendiri (baca: BUKAN BEBAS NILAI) namun adalah melepaskan diri dari self opinion.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar