Selasa, 22 Februari 2011

MEMASUKI “LABIRIN SAJAK-SAJAK” TENGSOE TJAHJONO

Salam Mempelai: dari Labirin ke Labirin

Penyair Tengsoe Tjahjono menjelang malam 17 Agustus 2010 mengirimkan draft kumpulan sajak “Salam Mempelai”. Draft buku ini dibagi ke dalam tiga subjudul, yakni Labirin Mataangin, Labirin Perjalanan, dan Labirin Kabut. Masing-masing subjudul, merangkum sejumlah sajak yang jumlahnya mencapai puluhan sajak. Kesan dan komentar pertama yang muncul dari pembacaan awal ialah ungkapan keakraban khas antarsahabat: “uedan tenan”, “diancuk”. Ungkapan keakraban ini menunjukkan keterperangahan saya saat mengetahui bahwa sebagian besar sajak yang ada, pertama-tama dipublikasikan melalui situs jejaring social facebook. Hal yang membuat saya terperangah ialah Tengsoe Tjahjono menulis dan mempublikasikan sajak-sajaknya setiap hari! Hal yang lebih gila lagi, dengan cengegesan ia bilang melalui inbox saya, “Selamat memasuki labirin puisi-puisi saya.”

Ya, malam itu, saya kembali memasuki labirin sajak-sajak karya Tengsoe Tjahjono. Labirin yang diciptakan oleh Tengsoe Tjahjono melalui sajak-sajaknya ternyata sering membuat saya tersesat dan sekaligus terpikat oleh kepiawaian jemari penyair ini dalam mengolak sebuah sajak. Ya, sajak-sajak Tengsoe Tjahjono menunjukkan hasil olah kreativitas yang tak terbatas, menawarkan estetika yang terjaga dan terpelihara, serta menawarkan lanskap makna yang sungguh tak terkira lantaran setiap sajak yang ia gubah memang menyediakan labirin yang penuh dengan kelokan, godaan keindahan melalui misteri dan pesona kata, serta terus mengajak bertualang menyusuri setiap celah-celah sajaknya.

Tengsoe Tjahjono berhasil menggodaku melalui sajak-sajak yang selain enak dibaca, menawarkan aneka lanskap kontemplasi. Perhatikan cara Tengsoe Tjahjono memberikan label: “Salam Mempelai”, “Labirin Mataangin”, “Labirin Perjalanan”, dan “Labirin Kabut”. Semua title dan tajuk yang diberikan menampilkan simbolisasi atau setidaknya isyarat tentang berbagai ikhwal pemikiran penyairnya. Judul utama, “Salam Mempelai” mengindikasikan isyarat ada pewartaan tentang sepasang “mempelai” pada sebuah pesta pernikahan yang agung,sacral,dan monumental. Mempelai itu, jika dipersempit perspektifnya, terkait dengan diri dan kedirian sang penyair yang bersanding di pelaminan “kata-kata”. Yang duduk sebagai pengantin ialah diri sang penyair yang bersanding dengan berbagai rangsang kreatif yang kemudian diabadikan dalam dunia kata. Sebagai sepasang mempelai, saat bersanding, mereka berdua lantas memandang sebuah perjalanan yang terentang sebagai labirin yang harus ditapaki untuk sampai kepada istana makna.

Subjudul “Labirin Mataangin” mengungkap banyak hal seperti: surat putih, senja, pengembara, kwatrin ibunda, serentang awan, setandan nafas, dan aneka sajak yang mengungkapkan pencerapan penyairnya terkait dengan arah mata angin terkait dengan cuaca, aneka pertanyaan,dan seruan pernyataan. Kita cicipi beberapa sajak dalam “Labirin Mataangin”. Pada sajak “Surat Putih 2”, misalnya, penyair Tengsoe Tjahjono mampu mengabadikan tragika sebuah kehidupan yang terpapar dengan hanya dua bait sajak. Dua bait sajak yang membuat pembaca turut terisak dan sesak oleh penderitaan seseorang, seperti kutipan ini:

SURAT PUTIH 2

selembar kertas
tanpa kata-kata
terus dibaca

selembar kertas
setetes air mata
gugur di putihnya!

15/06/2009-13:44

Kita selaku pembaca oleh penyair diajak memasuki labirin kesedihan seseorang, entah kenapa, dan kita turut terdiam bungkam kehilangan kata-kata serta turut puls meneteskan airmata keharuan. Perasaan “turut bersedih”, haru, dan tersentak juga tersaji dengan baik pada sajak ini:

SENJA 1

ketika senja, kemana burung kembali pulang
sarang tembikar menghanguskan daunan
cericitnya hanyalah sejarah yang terbuang

Dengan dua sajak itu, kiranya cukup dijadikan acuan dan sebagai ilustrasi betapa penyair Tengsoe Tjahjono—sebagai dosen puisi yang sekaligus penyair mengamalkan teori dan pengalamannya dalam mengkreasi sajak-sajaknya. Teori-teori perpuisian dengan baik diaplikasikan oleh penyair ini. Misalnya terkait dengan konvensi puisi liris yang meliputi (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.

Pertama, jarak dan deiksis. Puisi atau sajak itu tergolong karya rekaan, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, ada “jarak” antara situasi si aku penyair dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.

Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.

Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya. Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.

Corak Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono
Corak sajak-sajak Tengsoe Tjahjono selain konvensi yang telah dikemukakan, ada juga konvensi puisi yang lain, seperti dikemukakan oleh Riffaterre bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusinya, ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris. Cermati kembali sajak “Surat Putih” dan “Senja 1”. Kedua sajak ini memenuhi persyaratan ketidaklangsungan ekspresi. Baik berupa penggantian arti, penyimpangan arti, maupun penciptaan arti.

Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma-salah kehidupan. Berbagai ma¬salah kehidupan, baik berupa peris¬tiwa yang terjadi dalam kehidupan se¬hari-hari, se¬suatu yang dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-so¬sial-politik-ekonomi-bu¬daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha¬yatan, pe¬mikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisa¬sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sas¬trawan selaku kreator. Sastrawan yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Teks puisi “di¬bentuk dan dicipta¬kan oleh penyair berdasarkan de¬sakan emosional dan rasional” (Su¬mardjo, 1982: 12). Puisi menu¬rut wawasan Luxemburg, merupakan se¬buah ciptaan, se¬buah kreasi, dan bukan sebuah imi¬tasi. Oleh karena itu, wajar apa¬bila un¬sur-unsur pribadi penyair seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang dicipta¬kannya. Secara fisik, teks puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe-nuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Peng¬gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh seorang sas¬trawan dimaksudkan untuk me¬madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung¬kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa penyair dapat mencipta¬kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas.

Intensi¬fi¬kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya sastra berbentuk puisi. Intensifikasi merupakan upaya sastrawan memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon¬densi merupakan upaya sastrawan menjalin gagasan menjadi satu ke¬satuan. Musikalitas meru¬pakan upaya penyair mempermanis, mem¬perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu¬sikalitas yang baik penyair mampu men¬ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi¬fat memusat dalam perenungan. Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono menunjukkan corak puisi yang menampilkan intensifikasi, korespondensi,dan musikalitas yang baik. Perhatikan kutipan berikut ini dan cermati bagaimana intensifikasi, korspondensi, dan musikalitasnya.


DATANGLAH, MAKA AKU KAN PERGI

datanglah, maka aku kan pergi
begitu kata kuncup kepada mekar
saat kelopak bunga menggelar gelombang
kuncup pun memenjarakan diri dalam kelam abadi

tak seorang pun tahu
di mana epitaf itu diukir
sebab abjad senantiasa tak terbaca
para peziarah

hanya kisah selalu diperbincangkan
di warung-warung kopi saat wajah mengelabu
di halte-halte perjalanan
serbuk-serbuk bunga ditaburkan ke udara
angin menebarkan jadi taman

datanglah, maka ku akan pergi
begitu kata awan kepada hujan
saat bumi basah oleh guyuran
tak tahu di mana mendung berada

hanya hari mencatat banjir dari sungai
sungai dari air, air dari hujan, hujan dari awan
narasi kekal
terbenam dalam jiwa

datanglah
maka ku akan pergi!

29/06/09-12:33

Penggunaan diksi dalam teks puisi “Datanglah, maka Aku Kan Pergi” se¬cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau¬pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis. Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka pencip-taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se¬mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat denotatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Secara asosiatif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me¬miliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an¬tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber¬sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacu¬kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.

Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka¬limat. Imaji meru¬pakan un¬sur dasar yang khas dalam karya ber¬ben¬tuk puisi. Menurut Preminger imaji adalah re¬produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per¬sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber¬hubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image). Sajak “Datanglah, maka Aku Kan Pergi” memancarkan aneka imaji melalui diksi yang terseleksi.

Riffaterre dengan tepat mengungkapkan karakteristik teks puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai teks mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning) yakni pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) yakni digunakannya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan arti (creating of meaning) yakni oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Surat Putih” dan “Datanglah, maka Aku Kan Pergi”. Kedua sajak ini selain memiliki unsur intensifikasi, korespondensi, musikalitas, juga menggambarkan ekspresi yang tidak langsung.

Penyimpangan arti di dalam teks puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.

Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.

Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan. Perhatikan kutipan ini:

datanglah, maka aku kan pergi
begitu kata kuncup kepada mekar
saat kelopak bunga menggelar gelombang
kuncup pun memenjarakan diri dalam kelam abadi

datanglah, maka ku akan pergi
begitu kata awan kepada hujan
saat bumi basah oleh guyuran
tak tahu di mana mendung berada

Teks puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggu-nakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.

Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi.

Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Aku lirik di dalam teks puisi menyapa seseorang. Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, ataupun gejala-gejala.
Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono juga banyak memanfaatkan symbol. Simbol (symbol) adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol berbeda dengan lambang, simbol merupakan kata atau sesuatu yang dapat dianalogikan sebagai kata yang terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Hubungan antara simbol dan yang disimbolkan bersifat satu arah. Kata “bunga”, misalnya, tidak hanya memiliki hubungan timbal balik antara gambaran yang disebut “bunga”, melainkan secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan ‘keindahan’, ‘kelembutan’, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesadaran simbolis selain dapat menampilkan gambaran objek yang diacu juga dapat menggambarkan idea, citraan, maupun konfigurasi gagasan yang mengatasi bentuk simbolik maupun gambaran objeknya sendiri. Dengan demikian pembuahan makna dari suatu simbol pada dasarnya merupakan perepresentasian ciri semantis yang secara abstrak juga dapat membentuk satuan pengertian tertentu.

Dapat dinyatakan bahwa simbol merupakan gejala khusus dari lambang. Sebagai bagian dari lambang, meskipun tidak semua lambang adalah simbol, simbol itu sendiri dapat disebut sebagai lambang. Simbol sebagai gejala khusus dari lambang karena keberadaan simbol terkait dengan lambang dan interpretasi, penggunaan dan penikmatan, keikutsertaan dan pemasukan ciri, seni dan mitologi, serta gejala lain menyangkut pengkreasian lambang. Sedangkan lambang merupakan ‘fakta’ yang dapat didudukkan secara isolatif terlepas dari hubungannya dengan penafsiran. Dapat dinyatakan bahwa lambang mengacu pada gejala yang lebih luas daripada simbol dan simbol hanya mengacu pada simbol verbal.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Eco bahwa “The symbolic is the activity by which experience is not only coordinate but also communicated”. Kreasi simbolik bukan hanya menyangkut kegiatan kreasi simbolik tetapi juga terkait dengan penyampaian lambang itu dalam komunikasi. Penyusunan dan penyampaian lambang itu selain berhubungan dengan untaian isi juga berhubungan dengan bentuk yang mewujudkan untaian isi sebagai bentuk ekspresi. Oleh sebab itu, sebagai sistem, sistem simbolik selain terkait dengan dunia pengalaman, pengetahuan, dan intensi penuturnya juga terkait dengan konteks sosial budaya pemakainya.

Bentuk simbolik merupakan bentuk kebahasaan yang sudah terkait dengan dunia penafsiran pemakai bahasa dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu sendiri. Unsur hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu antara lain ciri acuan simbolik, ciri acuan simbolik dengan pengertian lain yang diasosiasikan, hubungan antarsimbol dalam satuan teksnya, dan implikasi penggarapan bentuk simbolik itu pada wujud tuturannya. Jika bentuk simbolik terkait dengan bentuk, makna, dan perwujudannya sebagai teks maka pembicaraan tentang bentuk simbolik ditinjau dari objeknya akan merujuk pada bentuk kebahasaan dalam suatu teks, dalam hal ini adalah teks puisi.

Lambang ialah suatu pola arti, sehingga apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan terjadi suatu hubungan asosiasi. Lambang itu sendiri tidak langsung menunjukkan sesuatu. Kitalah yang menghubungkan lambang dengan apa yang dilambangkan. Dalam dunia puisi lambang-lambang yang dipergunakan seorang penyair seringkali sangat pribadi dan sukar dimengerti. Seperti halnya personifikasi, maka lambang-lambang yang dipergunakan oleh penyair Tengsoe Tjahjono pun pada umumnya bersifat metaforik.

Lambang dalam wacana puisi, menurut Bachtiar (1982), se¬cara kate¬goris dapat dibedakan (1) lambang konstitutif, yakni lam¬bang yang membentuk keper¬cayaan-kepercayaan, (2) lambang kogni¬tif, yakni lambang yang mem¬bentuk pengeta¬huan, (3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai moral, dan (4) lambang ekspresif, yakni lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik, menurut Suryawinata (Promotor I Disertasi) dapat ditambahkan untuk melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lam¬bang estetik, penyair dapat mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan ima¬jinasi, intuisi, dan ide-idenya.

Wujud lambang budaya dalam teks puisi dibedakan dalam lima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneu¬tika (the hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon; (2) kode semantik (the code of semantic or signi¬fier), yakni kode yang berada pada kawasan penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya sendiri menawarkan makna konotasi; (3) kode simbolik (the symbolic code), yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan meleburkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi sehingga menggiring kemungkinan makna ke kemungkinan yang lainnya dalam indetermi¬nasi; (4) kode proraetik (the proraitic code), adalah kode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code), yakni kode yang mengatur dan mem¬bentuk ‘suara-suara kolektif’ dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam.
Pembahasan bentuk simbolik dapat dihubungkan dengan figure. Todorov (1987:91) mengemukakan, “Figure, this word come from fingere, in the sense of efformare, componere, to form, to dispose, to arrange”. Figure menyangkut perihal pembentukan, penempatan, penataan, pengurutan unsur kebahasaan dalam penyampaian gagasan. Penataan, pembentukan, dan pengurutan tersebut memiliki kekhasan, karena sebagaimana halnya dengan gaya, penataan, pembentukan, dan pengurutan unsur kebahasaan tersebut merupakan upaya mencapai efek tertentu sejalan dengan intensi penyairnya. Meskipun memiliki kekhasan, penggunaan figure bukan merupakan penyimpangan kaidah karena pengga-rapannya terkait dengan pengolahan kaidah kebahasaan guna menghasilkan paparan yang khas sehingga memiliki kekayaan nilai bagi pembacanya. Karakteristiknya selain ditentukan oleh ciri sistemik kaidahnya juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan oleh penyairnya.

Sajak atau puisi sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks beretolak dari konfigurasi gagasan maupun bentuk ekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan bentuk ekspresinya. Dalam puisi upaya menciptakan efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.

Kata adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada dasarnya adalah simbol. Berbeda dengan gambaran penger-tian simbol sebagaimana dikemuka-kan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:

“A symbol is a sign which refers to the object that is donotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object”.

Simbol diartikan sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya.

Selain symbol, sajak-sajak Tengsoe Tjahjono juga banyak memanfaatkan kata kias. Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.

Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.

Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampil-kan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.

Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun penghubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.

Epilog: Jejak Sajak harus Dilacak
Selain “Labirin Mataangin”, para pembaca dipersilakan melacak jejak saja-sajak Tengsoe Tjahjono dengan memasuki “Labirin Perjalanan” dan “Labirin Kabut”. Saat pembaca melacak jejak perjalanan penyair ke berbagai ranah dan wilayah, pembaca akan dapat memperoleh aneka panorama dan pencerapan penyair Tengsoe Tjahjono dalam pengembaraan fisik, mental, maupun spiritualnya. Selain itu, sesuai dengan subjudul “Labirin Kabut”, pembaca dapat memasuki dunia yang samar, dunia yang tidak jelas, dunia maya, sampai ke dunia pemikiran reflektif penyairnya. Dapat dikemukakan di sini bahwa buku “Salam Mempelai” menyediakan aneka perenungan mengenai hidup dan kehidupan. Sebagai penyair Tengsoe Tjahjono telah menyampaikan salam, dan kita selaku pembaca selayaknya menyambut uluk salam itu. Demikianlah catatan sederhana ini dikemukakan dengan satu harapan, semoga catatan ini tidak menambah “runyam” sebuah kenikmatan pembacaan. Salam kreatif.

Jambi, 17 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar