Sabtu, 07 Mei 2011

MEMBEBASKAN PUISI

(Catatan Pelatihan Penulisan Kreatif Puisi di Komunitas Pintu)

Oleh: Dimas Arika Mihardja


Prolog

Dalam mengisi peringatan Hari Pendidikan Nasional, saya memenuhi undangan Komunitas Pintu (Art and Culture) untuk tampil sebagai pemateri Penulisan Kreatif Puisi. Satu agenda kerja yang menurut pertimbangan saya wajib dihadiri dan diharapkan bisa menyebarkan “virus cinta” puisi bagi peserta pelatihan. Menurut catatan, peserta pelatihan sebanyak 70 peserta terdiri atas pelajar dan mahasiswa yang ada di kabupaten Tebo. Satu hal yang ingin saya tularkan kepada peserta pelatihan ialah upaya membebaskan siapa saja dalam menulis puisi. Konsep membebaskan ini hakikatnya memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk secara leluasa memperkenalkan cara ungkap karya puisinya.

Membebaskan menulis puisi mengandung makna memberi kesempatan seluas-luasnya bagi calon penyair mengekspresikan ragam gaya dan bentuk kepenyairannya. Dengan membebaskan kreasi maka akan dimungkinkan munculnya beraneka corak dan ragam puisi sesuai dengan relativitas gaya dari tradisi sastra yang berkembang di masing-masing daerah. Dengan kekebasan itu pula dimungkinkan pemakaian lambang dan simbol-simbol bahasa yang muncul dari setiap karya memberikan kesegaran baru di dunia penulisan kreatif. Selain itu akan bervariatif pula pemakaian metafora, analogi, atau personifikasi dalam imajinasi calon penyair yang bterabadikan di dalam karya ciptaannya.

Penulisan kreatif puisi yang dihelat oleh Komunitas Pintu merupakan perwujudan dari upaya membentuk ruang komunikasi bersama serta mempererat hubungan silaturahmi di antara penyair dan masyarakatnya. Menyadari kemungkinan adanya perbedaan tradisi sastra yang berkembang. Berbagai konsep dan proses kreatif penciptaan puisi pada gilirannya memungkinkan dilakukan pemetaan untuk menganalisis setiap perkembangan yang terjadi dengan tujuan yang lebih konkrit membaca fenomena tradisi sastra dalam perkembangannya di kelompok pluralisme sosial masyarakat.

Penyair dan karya puisi bisa jadi memiliki keterkaitan yang kuat dengan tradisi masyarakatnya. Akan tetapi, secara geografis, suku, agama, dan adat istiadat, sejumlah karya lain bisa jadi tidak memiliki batas keterkaitan dan keterikatan pada bentuk dan gaya penulisan. Karena itu, lingkungan kehidupan manusia dan benda-benda selalu dijadikan sebagai objek yang tidak hanya bersinggungan dengan dunia realitas, tetapi juga kontribusinya terhadap alam dan makhluk hidup. Sasaran yang akan dicapai melalui workshop penulisan kreatif puisi ini, mempertemukan setiap perbedaan. dengan semangat kedaerahan, membaca dan mengindentifikasi tradisi sastra yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat multietnis.


Pelahiran Puisi

Dari dulu hingga kini selalu ada upaya pelahiran puisi. Puisi lahir dari rahim sastrawan yang karena profesi dan ”panggilan” hati nuraninya selalu didorong untuk melahirkan karya-karyanya. Puisi bagi sastrawan ibarat anak kandung kehidupan yang dicurahi dan dilandasi rasa kasih sayang. Bedanya dengan jabang bayi umumnya, janin sastra dikandung oleh sastrawan dalam kurun waktu yang tiada terbatas. Ada sastrawan yang mengandung ”janin sastra” selama sebulan, lima bulan, setahun, bahkan bertahun-tahun bergantung ”pendewasaan” dan kesiapan masing-masing sastrawan. Selama mendewasakan janin sastra, sastrawan tak pernah lelah mengasup gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan janin sastra berupa perenungan, pertimbangan, dan ketepatan momentum pelahirannya.

Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apapun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran puisi. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran puisi. Puisi bisa lahir di manapun dan dalam kondisi apapun sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya. Menurut kodratnya, puisi dapat lahir sendiri dengan selamat karena pelahiran puisi itu bersifat personal dan individual. Namun, ada kalanya kelahiran puisi perlu ditolong dan dibantu oleh bidan (baca: instruktur yang bertindak sebagai pemateri workshop) dan dirawat oleh seorang Bapak Bijak (baca: pengamat/kritisi). Masalahnya adalah kehadiran bidan yang siaga yang siap melayani dan Bapak Bijak (pengamat/kritisi) yang penuh perasaan cinta untuk merawat dan memelihara pelahiran puisi semakin langka.

Memang, puisi dapat lahir, tumbuh, dan kemudian berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri. Sastrawan dapat ”berdarah-darah” merawat tumbuh dan berkembangnya puisi. Ia menyerahkan hidup dan matinya demi kemajuan capaian estetika puisi. Ia tak mengenal cuaca. Tak mengenal musim. Tak mengenal perubahan panca roba. Sastrawan ialah ibu kandung sastra yang selalu memelihara anak-anaknya dengan penuh perasaan bertanggung jawab, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan selalu menjunjung kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Itulah sebabnya kemudian kita bisa memiliki khasanah sastra Indonesia klasik, sastra Indonesia baru, dan sastra Indonesia mutakhir. Sastrawan yang baik selalu mengawal karya yang dilahirkannya hingga tumbuh menembus perjalanan waktu. Tugas utama sastrawan ialah bagaimana ia melahirkan karya sastra yang bernilai literer, best seller, dan menawarkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri, karyanya, dan terutama demi kebaikan orang lain.

Catatan yang dapat dikemukakan terkair dengan pelatihan penulisan kreatif puisi adalah sebagai berikut. Pertama, ditilik dari semangat, setip peserta yang hadir mengikuti pelatihan tampak bergelora. Mereka dating dari berbagai pelosok desa, setidaknya berasal dari tujuh kecamatan yang ada di kabupaten Tebo. Mereka banyak yang masih mengenakan seragam sekolah, meski pelatihan dilaksanakan di hari Minggu. Seragam sekolah inilah yang secara tidak langsung juga meronai keseragaman semangat mereka mengikuti pelatihan. Apalagi kehadiran siswa dan mahasiswa itu dikawal oleh guru dan dosen mereka. Celakanya, dalam penulisan puisi keseragaman ini merupakan sesuatu yang menjadi penghambat, sebab kreativitas itu hakikatnya tidak seragam, melainkan beragam.

Kedua, antusiasisme dan semangat peserta pelatihan merupakan sesuatu yang menguntungkan dan bernilai positif. Dengan antusiasisme serta semangat yang dimiliki oleh peserta, memungkinkan tumbuhnya respon positif terhadap pelatihan menulis puisi. Begitu instruktur member kesempatan mereka menulis puisi, mereka dengan cepat menyelesaikan puisi. Peserta juga telah menyiapkan dua puisi yang dibawa dari rumah masing-masing. Hal ini memudahkan instruktur untuk mengkritisi puisi-puisi yang ditulis oleh peserta.

Ketiga, lantaran menulis puisi merupakan proses (dari prapenulisan, penulisan draft, revisi, dan menulis naskah jadi), maka alur ini dilalui secara mengasyikkan. Hal yang utama di sini ialah sebuah pemahaman bahwa puisi yang baik memerlukan proses dan tidak sekali tulis langsung jadi. Peserta pelatihan antusias membacakan karyanya di hadapan peserta lain dan instruktur. Peserta lain lalu diberi ruang untuk meresepsi, mengkritisi, dan memberikan tanaggapan atas puisi yang ditampilkan. Proses “apresiasi” ini penting sebagai bagian bahwa penulis puisi yang baik hendaknya juga memiliki wawasan tentang puisi yang baik dan berkualitas. Dalam kaitan ini, puisi yang baik dan berkualitas, ditunjukkanlah 10 indikator puisi yang baik dan berualitas.

Keempat, catatan yang dapat diberikan dalam konteks ini ialah bahwa rata-rata peserta pelatihan menulis puisi memilih puisi yang cenderung konvensional, terpola, dan diwarnai oleh diksi yang biasa saja. Terkit dengan hal ini, instruktur tentu memberikan advis agar setiap peserta pelatihan berani menghasilkan idiom baru, ungkapan baru, dan wacana baru dengan memanfaatkan potensi penggunaan metafora, symbol, kias, dan sebagainya. Kepada para peserta pelatihan diminta menciptakan ungkapan baru semisal “instalasi dada”, “sungai dalam diri”, “bara kasih” dan seterusnya. Ungapan-ungkapan ini alaih-aloh untuk menggantikan dan sekaligus member kesegaran baru yang menggantikan diksi klasik yang dimiliki oleh peserta seperti “asa” dan kata-kata sehari-hari lainnya.

Kelima, di masa depan, jika diadakan pelatihan penulisan kreatif dengan frekuensi yang tinggi, mereka akan terasah dan terarah dalam menulis puisi. Puisi tidak memerlukan keseragaman, melainkan keberagaman. Keberanian mengungkapkan, penjelajahan, dan eksperimentasi baru akan lebih mendatangkan sesuatu yang mengasyikkan. Sesuatu itu akan lebih mengasyikkan ketika, misalnya, Komunitas Pintu berencana menyelenggarakan proyrk baca puisi dan membukukan karya peserta pelatihan.


Menulis dan Membaca

Menulis terkait erat dengan budaya membaca. Pepatah yang telah mendunia: “Buku adalah jendela dunia”. Pepatah ini tidak sekadar sebagai sebuah rangkaian kata yang telah melawat dalam telinga masyarakat dunia, tetapi juga memiliki makna yang tepat terkait dengan pentingnya aktivitas membaca bagi kemajuan sebuah peradaban. Namun, hal yang tampak ironis ialah realita bahwa tradisi membaca di kalangan masyarakat Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah, terutama untuk masyarakat Indonesia yang notabene berpendidikan rendah.

Menurut data yang diberikan Mendiknas, ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf, dengan presentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen! Tahun 1999, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 (1 surat kabar dibaca oleh 43 orang), bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 : 1,74), serta lndia (1: 38,14). Dari data statistik itu dapat kita temui sebuah kenyataan bahwa melek huruf yang tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan kebiasaan membaca buku.

Survei yang dilakukan Taufiq Ismail terhadap pengajaran sastra dan mengarang di SMU beberapa negara menunjukkan hal yang memprihatinkan. Setiap tahun di Amerika, siswa ditugasi membaca novel sastra sebanyak 32 judul, Belanda 30 judul, Prancis 20 judul, Jerman 22 judul, Jepang 15 judul, Kanada 13 judul, Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Thailand 5 judul, sedangkan di Indonesia 0 (nol) judul. Pantas saja kalau UNDP (2003) menempatkan minat baca masyarakat Indonesia di urutan ke-39, dari 41 negara yang disurvei. Goenawan Mohamad mengibaratkan bangsa ini telah melangkah terlalu lebar, dari dunia visual wayang menuju dunia visual televisi. Sementara dunia baca terlewatkan, miskin referensi dan literasi (bacaan).

Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktivitas membaca. Salah satunya manfaat membaca adalah semakin bertambahnya ilmu pengetahuan. Disamping itu membaca juga menjadi salah satu alat yang jitu untuk menghilangkan stress atau paling tidak rasa jenuh setelah sekian hari bergelut dengan dunia kerja. Dengan membaca, rasa jenuh, letih atau tekanan-tekanan yang membuat otak bekerja ekstra seolah lenyap oleh ramuan membaca. Dalam membaca yang tujuan utamanya untuk menghilangkan kejenuhan, maka harus disesuaikan dengan jenis bacaan, baik yang berbobot atau sebaliknya. Untuk tujuan ini, jenis bacaan yang dibutuhkan adalah bacaan yang ringan, dalam arti dapat menghibur pembaca serta membawa pembaca seolah ikut terlibat dalam kehidupan cerita tersebut. Cerpen, novel, infotainment atau majalah, mudah dicerna oleh akal merupakan bacaan yang tepat dan bersifat menghibur.

Dengan sering membaca seseorang dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang lain, seperti mencontoh kearifan orang bijaksana dan kecerdasan para sarjana. Keyakinan seseorang akan bertambah ketika dia membaca buku-buku yang bermanfaat, terutama buku-buku yang ditulis oleh penuli-penulis muslim yang saleh. Buku adalah penyampai ceramah terbaik dan ia mempunyai pengaruh kuat untuk menuntun seseorang menuju kebaikan dan menjauhkannya dari kejahatan. Selain itu, membaca juga mempunyai manfaat penting dalam kaitannya dengan peningkatan mutu sumber daya manusia. Dengan gemar membaca, terutama tentang ilmu-ilmu pengetahuan baik alam maupun sosial, maka akan diperoleh berbagai informasi dan pengetahuan yang belum kita ketahui sebelumnya.

Membaca sebenarnya merupakan aktivitas yang mudah, namun begitu sulit untuk meluangkan waktu untuk melaksanakannya. Apalagi, di era globalisasi ini, yang dipenuhi oleh teknologi-teknologi canggih, sehingga membaca tidak lagi menjadi sebuah rutinitas hidup melainkan kerjaan sampingan saja. Mungkin ini pulalah salah satu penyebab rendahnya sumber daya manusia Indonesia. Ketidakgemaran membaca membuat kita terasa amat kecil, dunia terasa sempit dikarenakan sedikitnya informasi yang kita peroleh. Padahal informasi dan ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu semakin lama semakin bertambah pesat. Bagaimana dengan kita manusia Indonesia? Akankah kita akan tertinggal jauh dari perkembangan zaman? Kita sebagai manusia, yang diberi akal yang lebih baik dibanding makhluk lain seharusnya mampu menelaah lebih dalam tentang ilmu pengetahuan yang tak pernah habis walaupun kita menggalinya. Dan membaca adalah salah satu sarana untuk mencapai itu semua. Sekarang, tinggal bagaimana cara kita untuk menumbuhkan sikap gemar membaca dimana pun kita berada.