Selasa, 22 Februari 2011

MENIKMATI "ASAP", NOVEL PERDANA EWA

Masyarakat fesbuker mulai tahu bahwa Ersis Warmansyah Abbas (EWA) adalah penulis produktif. Tulisannya beraneka ragam: puisi, esai motivasi, esai tentang menulis, menulis dan menulis. EWA memang lalu eksis di bidang tulis-menulis. Buku-buku yang semula dibidani sendiri lalu diterbitkan dan dipasarkan. Satu buku yang kali ini saya resensi ialah "Asap", sebuah novel perdana yang dibidani sendiri oleh EWA (Diterbitkan oleh Wahana Jaya Abadi, 2010). Maksud dibidani sendiri di dalam konteks ini ialah: menulis sendiri, mengeditori sendiri, melayout sendiri, memeriksa sendiri, dan sekaligus menjadi kritikus sendiri. Setelah selesai, draft buku itu lantar diberikan kepada penerbit untuk mencetak (dan mungkin untuk produksi mungkin dibiayai sendiri.

Dari segi tampilan, buku ini sebenarnya tidak memberikan informasi yang jelas apakah novel, kumpulan tulisan pemikiran tentang berbagai hal yang mendapatkan perhatiannya. Cover "Asap" secara visual judul ASAP yang berlatar gambar asa dan dipadupadan semacam puisi "Alam adalah kehidupan/tanda-tanda KebesaranNya". Tata letak (layout) yang dirancang sendiri oleh EWA lumayan baagus, hanya fonasi (pemilihan huruf) arial untuk keseluruhan teks mengesankan novel ini terasa kaku, kurang "lentur atau luwes", dan ukuran huruf teks terkesan terlampau besar untuk novel berjenis karya sastra (meski untuk mata tua sepertiku jenis huruf ini lumayan membantu).

MUATAN novel ini dimulai dengan subsjudul seperti ini: Lapangan Murdjani, laboratorium, Cempaka, Rawang, Pekonina, Manajemen Mata, Universitas Pendidikan Banjarbaru, Kolam Belanda, Profesor kancil, Danau Cinta, Densiko, Tahura Sultan Adam, Sergapan Subuh, Menanam Meratus, Komet, Batu Akik, Menunggu, Kapak Perang, Teh Telur, Operasi Pembebasan, Munafik Pendidikan, Thai Box, Merah Putih, dan Mabuk Kecubung. Kesan yang buru-buru meuncul dari membaca judul ini ialah seperti rasa permen: asin-asem-manis-realistis-magis-mengiris. Semua itu didedahkan oleh EWA dalam latar alam yang sedang tidak bersahabat. Peribahasa mengatakan ada api ada asap. Peribahasa itu bisa dilanjutkan "ada nasi ada harap".

Jika pembaca pernah mencermati novel "Laskar Pelangi"-nya Andrean Hirata, maka novel "Asap"-nya EWA ini mendapatkan apa yang disebut hipogram. Novel ini berlatar dunia pendidikan. Jika "Laskar Pelangi" berlatar SD Muhammadiyah di Belitong, novel "ASAP" berlatar di sebuah pergurun tinggi plus mahasiswa yang bergerak sebagai aktivisnya. Intinya, novel ini lebih mengisahkan sepak terjang mahasiswa selaku aktivis lingkungan yang gencar melakukan aksi terhadap phak-pihak yang layak dikritisi.

Novel "Asap" dikemas serupa repertoar yang secara lincah-cerdas mengungkapkan berbagai fenomena yang layak didedahkan dengan bahasa yang lincah. Kelincahan itu tampil dari kalimat-kalimat pendek yang beruntun dan berangkai seperti kita baca pada bagian pembuka novel ini:

BULAN Agustus puncak musin (musim? DAM) kemarau. Matahari membakar. Gambut kerontang. Kebakaran terjadi di mana-mana. Asap menjadi 'penguasa' tahunan. Pandangan terbatas. Tidak nyaman kemana-mana (ke mana-mana, DAM). Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru baru beroperasi pukul 11.00 WITA ketika matahari mampu menembus asap. Aktivitas kehidupan terbelenggu (hal. 1).

Dalam satu paragraf ini saja saya temukan dua kali kesalahan tulis, yakni "musin" (mestinya "musim") dan "kemana-mana" mestinya "ke mana-mana" ("ke" merupakan kata depan yang dalam tata tulisnya mestinya dipisahkan. Kesalahan kecil serupa ini merupakan "kecelakaan" dan risiko sebab novel ini senyatanya tidak memanfaatkan profreaders--pembaca profesional dan naskah ini dilay-out sendiri oleh pengarangnya.

EWA yang penyuka celana jins dan berambut panjang ini adalah Presiden Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pmbangunan Kalimantan (LPKPK), Pemimpin Umum Bandjarbaore Post, dan beberapa media lokalis lainnya itu menutup novel "Asap" seperti ini:

Mentari membakar.Suara azan mengalun dari menara mesjid. Anggota Markas Gerilya bersepakat: Melanjutkan aksi membongkar kedok PT CMC. Mereka berjanji dengan saling mengepalkan tangan.

Anak-anak muda tersebut dapat pelajaran berharga. Apa yang menurut mereka sudah direncanakan begitu rapih, cermat,dan aplikabel, ternyata mental pada realitas.

Kehidupan adalah pembelajran. Mereka bertekad membelajarkan diri memperjuangkan kebenaran.

Tak pelak lagi, novel ini sarat nilai-nilai edukasi. Nilai edukasi ini tentu saja lekat dengan keseharian EWA sebagai pendidik. Akhirnya, nover setebal 240 halaman ini, sebagai novel perdana, pantas disambut, sebab di akhir novel EWA merasa perlu menginformasikan seperti ini:

NB: Pembaca sekalian, Bagaimana usaha dan aksi Markas Gerilya membongkar kecurangan PT CMC? Bagaimana percintaan Pekonina dengan Lawe? Pasti lebih seru. Mencekam dan mencerahkan. Tunggu novel kedua: ISOLA.

Begitulah pembacaan selintas novel "ASAP" karya EWA yang lucunya sampai mengirimi novel yang sama sampai dua kali! Salam kreatif selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar