Senin, 28 Februari 2011

MENGENAL DIKSI DAN KARAKTERISTIK PUISI

Pengunaan diksi dalam puisi

Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan (Ahmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan tema, audien, dan ke­jadian. Diksi juga berarti penataan, penyusunan, dan pemilahan kata-kata ke dalam susunan tertentu yang secara efektif dapat mengung-kapkan ide, gagasan, dan perasaan. Prinsip utama dalam diksi ada­lah bahwa dalam pemilihan dan penempatan kata harus se­suai, tepat, eko­nomis, dan tegas. Misalnya, larik puisi “Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang” (“Aku”, Chairil Anwar). Kata ‘aku’ dipandang lebih sesuai, tepat, ekonomis, dan tegas daripada kata ‘saya, beta, hamba, atau daku’, diksi ‘binatang jalang’ dipandang lebih tepat daripada “binatang liar atau buas’, dan seterusnya. Hal yang penting diperhatikan ten­tang diksi dalam pen­ciptaan puisi, menurut Ahmadi (1988: 126-127), ialah bahwa setiap kata merupa­kan lambang atau simbol yang mengacu kepada sesuatu yang lain. Kata ‘aku’ dan ‘binatang jalang’ keduanya melambangkan kebebasan.

Penggunaan diksi dalam puisi, menurut Aminuddin (1995:215) se­cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau­pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis. Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka pencip­taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se­mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat de­notatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Se­cara aso­si­atif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me­miliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an­tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber­sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacu­kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa diguna­kan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.


Penggunaan unsur imaji dalam puisi

Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka­limat. Imaji meru­pakan un­sur dasar yang khas dalam karya ber­ben­tuk puisi. Menurut Preminger (lihat Badrun, 1989) imaji adalah re­produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per­sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber­hubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image) (Wellek dan War­ren, 1979: 236-237). Nukilan bait pertama puisi “Riwayat” (Sajak-sajak Lengkap, 1961—2001:8) karya Goenawan Mohamad berikut ini terdapat berbagai macam imaji.


Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh daun
yang amat rimbun dan amat teduh
Dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan

(Goenawan Mohamad, “Riwayat”)



Gaya bahasa dalam wacana puisi

Gaya menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rus­tapa, Hani’ah, 1994) adalah cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya meliputi pilihan kata, majas, sarana retorika, bentuk kalimat, bentuk paragraf, dan setiap aspek pemakaian bahasa oleh penulis. Gaya ba­hasa, menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984) adalah pema­kaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang arti har­fiahnya. Gaya bahasa yang baik menimbulkan citra tertentu di dalam pikiran pem­baca puisi. Dengan kata lain, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui ba­hasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepriba­dian. Oleh Hartoko dan Rahmanto (1986) gaya bahasa diarti­kan sebagai cara yang khas untuk mengungkap­kan diri. Cara terse­but meliputi setiap aspek bahasa seperti pemilihan kata-kata, peng­gunaan kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa kias dalam puisi termasuk bagian dari gaya bahasa.

Ruang lingkup kajian gaya bahasa meliputi identifikasi ben­tuk, ciri, unsur, hubungan antarunsur dalam wacana puisi. Dengan demikian, kajian gaya bahasa me­masuki wilayah yang berkaitan dengan komponen yang hadir secara simultan, yakni wacana puisi itu sendiri. Dari wacana puisi itu lebih lanjut dikaji aspek formal yang berkaitan dengan unit-unit gaya bahasa. Ka­jian unit-unit gaya ba­hasa itu dimanfaat­kan sebagai dasar pemilahan jenis gaya bahasa, identifikasi ciri, serta dasar dalam menafsirkan satuan-satuan pesan yang dikandungnya. Jenis gaya bahasa secara umum dibedakan menjadi gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan. Gaya bahasa tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah pe­milihan dan penggunaan kata serta pemvaria­sian struktur. Dalam kaitan ini, Ah­madi (1991) menyatakan bahwa “gaya bahasa adalah kualitas visi, pan­dangan penu­lis/penutur, karena gaya bahasa mere­fleksikan cara seseorang pengarang memilih dan meletakkan kata-kata dan kalimat dalam tubuh karangan”. Pe­milihan dan pema­kaian suatu kata sangat ditentukan oleh kemam­puan penulis dalam menangkap “rasa kata” atau tingkatan makna pada kata tersebut.

Gaya bahasa, termasuk di dalamnya bahasa kias, dapat dike­lompok­kan menurut berbagai segi, antara lain berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan lang­sung-tidaknya makna. Gaya bahasa yang memiliki acuan makna tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris mencakup: aliterasi, asonansi, anastrof, apo­fasis, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, pleo­nasme, tautologi, peri­frasis, prolepsis, pertanyaan retoris, koreksio, hiperbola, para­doks. Gaya ba­hasa kiasan mencakup: persamaan atau simile, metafora, alegori, per­soni­fi­kasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoche, metonimi, antonomasia, hiplase, ironi, satire, antifrasis, dan paranomasia.

Ahmadi (1991) mengelompokkan gaya bahasa ke dalam dua kelom­pok, yakni gaya perasosiasian dan gaya penegasan. Pengelom­pokan Ahmadi ini sejajar dengan kategori gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang dikemukakan oleh Yassin (1996). Dari ber­bagai referensi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa kias sejajar dengan istilah gaya bahasa. Akhirnya, gaya bahasa dapat dikelom­pokkan ke dalam tiga kategori, yakni gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya ba­hasa asosiasi (per­tautan dan perulangan) (Darmawan, 1995). Penelitian ini mengacu pada klasifikasi gaya bahasa yang dilakukan oleh Darmawan. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan pemakaian gaya bahasa metafora dalam puisi “Berlayar” karya Linus Suryadi A.G.

Kesetiaan kepada hidup
hidup kepada kesetiaan
Laksana jaring-jaring ikan
dijalin lalu dikembangkan
( Linus Suryadi A.G., “Berlayar”)



Ritme dan rima dalam wacana puisi

Ritme dan rima besar pengaruhnya dalam memperjelas makna sebuah puisi. Ritma dan rima puisi ini erat berhubungan dengan pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan tu­juan (intention). Lebih lanjut, hubungan ritme dan rima dinyatakan oleh Morris, dkk., 1964: 620) “rhythm is the result of sys­temati­cally stressing or accenting words and sylables, whereas rime repeats similar sounds in some apparent scheme”. Dalam sastra Indone­sia, khususnya puisi, ritme tidak selalu berhubungan dengan tekanan dan ak­sen, melainkan pada panjang dan pendeknya tuturan, cepat dan lambatnya pembacaan, dan ditentukan oleh tipografi puisi.

Rima dibeda­kan men­jadi rima awal dan rima akhir.

Contoh rima awal:

Bagaikan banjir gulung gemulung
Bagaikan topan deruh-menderuh
Demikian rasa datang semasa
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh

(J.E. Tatengkeng, “Perasaan Seni” bait I)


Contoh rima akhir:

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
(Amir Hamzah, “Padamu Jua” bait I)


Berdasarkan susunannya rima dapat berupa (1) rima berang­kai dengan susunan aa, bb, cc, dd …; (2) rima berselang, dengan susunan abab, cdcd…; (3) rima berpeluk dengan susunan abba, cddc.

Contoh rima berangkai dengan susunan aa, bb, cc, dd:

Di mata air di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam

Di kawan awan kian kemari
Di situ juga jawab kucari

Kepada gung penjaga waktu
Kutanya jawab kebenaran tentu
(J.E. Tatengkeng, “Kucari Jawab”)

Contoh rima berselang dengan susunan abab, cdcd:

Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air-kaca,
Lagu diayunkan lagu ombak

Lautan besar bagai bermimpi
Tiada gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring
(J.E. Tatengkeng, “Sepantun Laut” bait I, II)

Contoh rima berpeluk dengan susunan abba:

Perasaan siapa takkan nyala
Melihat anak berlagu dendang
Seorang sahaja berlagu dendang
Tiada berbaju buka kepala

Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
(M. Yamin, “Gembala”)


Pandangan Riffaterre tentang karakteristik wacana puisi

Riffaterre (1978:1—2) dengan tepat mengungkapkan karakteristik wacana puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono dalam suatu kesempatan “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai wacana mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.

Penggantian arti

Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Sajak Putih” karya Chairil Anwar (1959:19) berikut ini.

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....

(Chairil Anwar, “”Sajak Putih”)

Bait pertama baris ke-3: Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Kata ‘mawar’ dan ‘melati’ adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain, yakni sesuatu yang indah atau cinta yang murni. Secara umum, bahasa kias di dalam puisi seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu biasa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan lain, memiliki sifat sendiri: metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.

Dalam bait kedua baris pertama sepi menyanyi adalah personi-fikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi: ‘sepilah yang menyanyi’ karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang beriak seperti air kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan 4 Dan dalam dadaku memerdu lagu menarik menari seluruh aku kata ‘lagu’ dan ‘menari’ itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar pada tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

Dalam bait ketiga baris pertama: Hidup dari hidupku, pintu terbuka, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya, yang dikiaskan dengan Selama matamu bagiku menengadah. Ketika kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. Selama engkau darah mengalir dari luka berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah, tidak bercerai. Semuanya itu merupakan “Sajak Putih”, yaitu pernyataan hati si penyair (sajak) yang diucapkan dengan tulus ikhlas (putih).

Penyimpangan arti dalam wacana puisi

Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar bait ke-3 dan 4, baris-baris itu sesungguh-nya ambigu: Hidup dari hidupku, pintu terbuka selama mataamu bagiku menengadah. Ini dapat ditafsirkan dengan arti gandi bahwa hidup si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan, atau kegairahan. Selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghendakinya, masih membutuhkan si aku, maka si aku akan tetap merasa hidup bergairah. Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang membelah... itu dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan arti kata dan kalimat yang terdapat di dalam ungkapan itu, misalnya: selama kau masih hidup, masih dapat merasakan sakitnya hidup, antara si aku dan kekasihnya tidak bertengkar, berselisih pendapat, dan juga tidak bercerai, maka si aku hidup penuh dengan harapan.

Di dalam wacana puisi juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardoyo sering meng-gunakan ironi, misalnya pada puisi berjudul “Nyanyian Ladang” berikut.

Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas hutang
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani, jangan menangis.
(Subagio Sastrowardoyo, “Nyanyian Ladang”)

Dalam wacana puisi tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, punya sandang setelah lunas hutang, cukup punya pangan sesudah kondangan, cukup punya ladang buat bersawah. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan sengsara, sebab penyair banyak menggunakan ungkapan Kau akan.... di balik ungkapan Pak tani, jangan menangis terdapat ironi: pak tani harus menagis dalam keadaan menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, punya makan setelah pergi kondangan.

Penyimpangan arti di dalam wacana puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.

Penciptaan arti dalam wacana puisi

Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengor-ganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesung-guhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam wacana puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi berjudul “Mari” (1981:25) karya Sutardji Calzoum Bachri yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan.

mari pecahkan botolbotol
ambil lukanya
jadikan bunga
mari pecahkan tiktok jam
ambil jarumnya
jadikan diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan terang
mari patahkan rodaroda
kembalikan asalnya:
jadikan jalan
mari kembali
pada Adam
sepi pertama
dan duduk memandang
diri kita
yang telah kita punahkan
ada dan tiada
yang disediakan Adam pada kita
dan
mari berlari
pada siri kita
dan kembali menyimaknya
dengan keheranan Adam pada perjumpaan
pertama dengan dunia
(Sutardji Calzoum Bachri, “Mari”)


Wacana puisi tergolong wacana transaksional

Wacana puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Wacana puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun wacana puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, wacana puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, wacana puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.

Wacana puisi berisi monolog

Wacana puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam wacana puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam wacana puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Misalnya wacana puisi “Pamflet Penyair” karya Rendra berikut ini praktis sama dengan penyairnya sendiri.

Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Kepadamu aku bertanya.
(Rendra, “Pamflet Penyair”)

Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari wacana itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Wacana itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Kedua puisi berikut, misalnya, menampilkan wajah aku lirik yang berbeda.

Kami jalan sama. Sudah larut.
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
(Chairil Anwar, “Kawanku dan Aku”)

Kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
karna dindingku, karna dindingmu
dari mana kita, dunia bersatu
(Linus Suryadi AG, “Dinding-dinding Kota Yogya”)


Aku lirik di dalam wacana puisi menyapa seseorang, misalnya “engkau”, “kawan”, “-mu”, dan lain-lain. Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, gejala-gejala, para dewa, angin, awan, samodera, sebuah kota. Dalam sapaan retorik aku lirik memang menyapa seseorang atau sesuatu, tetapi tidak mengharapkan jawaban. Ungkapan serupa itu disebut apostrof.

Semoga, catatan yang terkesan teknis akademis ini sedikit bermanfaat bagi pembaca yang mengawali mengayunkan langkah di dunia puisi.

Minggu, 27 Februari 2011

D. KEMALAWATI DAN "SERONG"-NYA

Prolog:

Apakah yang terjadi jika ada dua orang penulis kreatif chating? Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya melakukan dialog intensif tentang karya dan kekaryaan, bertegur sapa biasa sembari membicarakan denyut hidup dan kehidupan, curhat sebagaimana umumnya orang melakukan chatting sembari saling berkomunikasi menyampaikan rencana-rencana kecil ke depan terkait dengan karir penulisan, atau kemungkinan akan terjadi interaksi yang bertolak dari rangsang kreatif sesama kreator. Sebuah interaksi dan komunikasi antarsesama kreator melalui media bahasa tulis, meskipun dalam format chatting, selalu saja tumbuh miskomunikasi, mispersepsi, terkait dengan masalah adanya paham dan salah paham, dan kemungkinan memunculkan juga bias-bias yang mereduksi sebuah interpretasi.

Satu masa, di bulan Februari 2010, saat saya online di YM dan FB, ada tamu hadir menyapaku dengan ucapan "Dah Jumatan?". Pertanyaan pembuka ini alih-alih menunjukkan bahwa antara yang bertanya (D. Kemalawati) dan pihak yang disapa (Dimas Arika Mihardja) saat itu sama-sama memiliki kepedulian terkait dengan kewaajiban ummat muslim, yakni melakukan sholat Jumat bagi kaum laki-laki. Pertanyaan ini tentu saja tidak sekedar basa-basi, sebab di balik ucapan itu juga tergambar sikap kepedulian seorang D. Kemalawati pada kewajiban sahabatnya untuk melaksanakan ritual sholat Jumat. Di balik sapaan "Dah Jumatan" juga terbayang sikap relegius penyanya dan pihak yang ditanya.

Pertanyaan "Dah Jumatan" itu lalu dijawab dengan respons jawaban “Sudah dong, ni masih berdegup .. isi khotbahnya.” Interaksi dan komunikasi terkait dengan dunia keyakinan dan keimanan itu semakin terasa "degupnya" mana kala pembicaraan mengarah pada sebuah karya, dengan pernyataan yang tidak sekadar berbasa-basi, melainkan berfungsi memperlancar intensitas pembicaraan. Kata "degup" itu tampaknya menjadi penanda dan kata kunci atau pintu untuk memasuki dunia karya kreatif yang dibaca dan diresepsi dengan kalimat berikut: “Duh… ikut berdegup juga nih… iri deh sama puisi-puisimu yang membuat degup jantungku ketika membacanya…”.

Lantaran saya kurang sreg jika membicarakan puisi karya sendiri, saya lalu menjawab pernyataan itu dengan kalimat: “Ya tulisan sederhana, sekadar tegur sapa, selain doa-doa tentunya… Kemarin Pak Harun nelpon katanya ngundangku ngajar di kampusnya”. Kalimat ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk mengalihkan topik pembicaraan karya, melainkan sekedar mengabarkan bahwa pada hari sebelumnya saya memang menerima telefon dari saudara Mohd. Harun, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Syah Kuala. Dengan kabar itu saya berharap suatu ketika saya bisa bertemu dengan D Kemalawati beserta keluarga besar di Banda Aceh.

Kalimat yang memberitakan sedikit rasa gembiraku untuk berkunjung ke Banda Aceh suatu ketika, atas undangan sahabat di Unsyiah itu pun direspon D. Kemalawati dengan kalimat berikut:

“waow.. surprais.. kabar bagus. Aku sering ceritain dirimu pada suamiku, suatu hari kami pasti akan menjadi tuan rumah untukmu.”

Seperti tak mengubris kegembiraanku, ia melanjutkan.

“Kuceritakan pada Harun bahwa kita sering tegur sapa, tapi beliau buru-buru mengingatkanku “hati-hati, istri orang” dan aku pun tertawa renyah, sebab ingatannya tak relevan dengan aku ha ha ha…”

“ Ya.. ya.. aku ingat bahwa diriku istri orang ketika bertegur sapa dengan orang lain, ah, masih ada diantara kita yang dilumuri prasangka..”

Dialog interaktif ini secara intensif memberikan penekanan-penekanan mengenai beberapa keinginan. Saya memang punya keinginan untuk sampai menginjakkan kaki di tanah rencong, Aceh. D. Kemalawati juga berkeinginan bertemu dan bahkan bertekad mengundangku sampai di rumahnya. Keinginan itu, alhamdulillah dapat terwujud atas undangan Lapena untuk melaksanakan launching buku 3 DI HATI, sebuah buku yang memuat puisi-puisi Diah Hadaning (Jakarta), Dimas Arika Mihardja (Jambi), dan D. Kemalawati (Banda Aceh). Saya benar-benar diundang, disambut, dan dijamu hingga tuan dan puan rumah (Helmi Hass dan D. Kemalawati) memberikan layanan istimewa (antar jemput mengenakan mobil yang dipinjami Pemda Kota Banda Aceh, diajak keliling melakukan silaturahmi dan ziarah tsunami, minum kopi di markas GAM, dibelikan banyak cinderamata khas Aceh). Mohd. Harun sahabatku itu, justru turut memanfaatkan kehadiranku atas undangan Lapena untuk tampil di hadapan mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Pascasarjana Universitas Syah Kuala bersama tuan Djazlam Zainal dari Melaka, Malaysia.

Cerita selanjutnya, chatting kami mengarah pada persoalan salah paham dan miskomunikasi soal "selingkuh" atau menurut cerita pendek yang digubah oleh D. Kemalawati sebagai hasil murni pembicaraan selama chatting dan cerita pendek ini saat dimuat di media koran Aceh, sempat juga mengundang keriuhan dan tanggapan beragam dari masyarakat pembaca. Hal yang perlu dicatat di dalam konteks ini ialah bahwa ternyata media komunikasi YM/Facebook tak selamanya berkonotasi negatif, sebab senyatanya dari chatting itu oleh penulis yang kreatif dapat diwujudkan ke dalam karya yang layak untuk wacana dan perenungan. D.Kemalawati mengabadikan hasil dan proses chatting antara saya (DAM) dan dirinya (D.Kemalawati) menjadi sebuah cerita pendek yang diberi tajuk "SERONG".

Pembaca dan sahabatku, silakan menikmati D.Kemalawati dan "Serong"-nya yang saya kopipaste dari http://rumohsastradekeumalawati.blogspot.com/, selamat menikmati semoga tercerahkan.


SERONG
Cerpen D Kemalawati

“Dah Jumatan?”

kata-kata itu terpampang di layar monitor laptopku. Tak tahu kenapa begitu melihat namanya ada di daftar teman yang online jemariku langsung bergerak, menarikan tuts-tuts keybort hingga tertera kalimat singkat itu. Tak menunggu lama mataku sudah melihat deretan huruf muncul di bawahnya.

“Sudah dong, ni masih berdegup .. isi khotbahnya.”

Aku langsung ingat puisi yang baru beberapa jam lalu ia tag untukku dan seorang teman lainnya.

“Duh… ikut berdegup juga nih… iri deh sama puisi-puisimu yang membuat degup jantungku ketika membacanya…”

Kuingat petikan baris ketiganya: /Cericit burung adalah kumandang azan /bersahutan. Jauh melayang menembus awan/ tak pernah jatuh gemanya/ kecuali terus ngalir di urat nadi/ rasakan degup-nya/bulan dan bintang/ terlukis di dinding hatinya.

“Ya tulisan sederhana, sekadar tegur sapa, selain doa-doa tentunya… Kemarin Pak Harun nelpon katanya ngundangku ngajar di kampusnya”

Dia mengalihkan pembicaraan, kebiasaannya bila aku komentari puisi-puisinya.

“waow.. surprais.. kabar bagus. Aku sering ceritain dirimu pada suamiku, suatu hari kami pasti akan menjadi tuan rumah untukmu.”

Seperti tak mengubris kegembiraanku, ia melanjutkan.

“Kuceritakan pada Harun bahwa kita sering tegur sapa, tapi beliau buru-buru mengingatkanku “hati-hati, istri orang” dan aku pun tertawa renyah, sebab ingatannya tak relevan dengan aku ha ha ha…”

“ Ya.. ya.. aku ingat bahwa diriku istri orang ketika bertegur sapa dengan orang lain, ah, masih ada diantara kita yang dilumuri prasangka..”

Ingatanku terbang pada sosok Harun, lelaki santun yang sangat mencintai keluarganya. Kelebat apa yang muncul di pikirannya saat dia mengatakan kata “hati-hati, istri orang” kepada teman dosenya itu. Curigakah ia.

Belum sempat aku berpikir jauh di layar monitorku muncul lagi baris-baris kalimat.

“Aku cuma cerita tentang pak Harun, jujur, aku selalu takut berkomunikasi dengan sahabat…”

Ops.. aku kaget, kata-kata itu membuat aku terbelenggu.

“Aku menganggap dirimu suhuku. Tak pada tempatnya aku memiliki “ perasaan lain”, sementara aku memiliki keluarga yang sangat menghormatiku. Tapi aku harus jujur mengatakan padamu bahwa kepedulianmu terhadap tulisanku membuat semangat menulisku bertambah. Apa itu salah, dan membuat aku harus mengikat diriku untuk tak bertegur sapa denganmu? Kalau itu terjadi, naïf benar diriku, mas.”

Ya, seperti baru mendapatkan pisau tajam memotong tali temali yang mengikat tubuhku, kata-kata itu lepas menyeruak begitu saja.

“Oke, baik, kita larungkan semua wasangka, memang komunikasi tulis itu tak mudah, soal paham dan tak paham terus akan bermunculan. Kita cuci dada kita hanya semata silaturrahmi dan saling tegur sapa sahaja.”

Benar, salah paham terlalu mudah terjadi maka larungkan wasangka itu. Aku berguman sendiri. Tapi ada yang belum tuntas saat aku mencuci hati. Kerikil-kerikil halus masih melekat tak mau hilang. Lalu jemariku menari lagi, huruf-huruf memintal kata menjadi kalimat-kalimat muncul lagi di layar putih persegi. Layar kecil yang dilatari baris-baris puisinya.

“Mungkin Harun tak kenal betul dengan diriku, meski kami sudah bergaul lama. Alhamdulillah, suamiku paham sekali sepak terjangku dan tak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Sebelum aktif di efbe, hapeku sering berdering dini hari bahkan saat-saat sebelum subuh. Sms-sms yang berisi puisi masuk dari beberapa teman penyair, ya, kadang memang kalau tak hati-hati bisa saja aku salah tafsir dengan puisi-puisi yang dikirimkan, maaf seperti puisimu yang membuatku berdegup. Jelas ketika sampai pada suatu titik aku pun memahami betapa releginya mereka, seperti dirimu juga yang membuat aku iri. Mas, beberapa puisimu yang aku suka sering aku share dengannya. Jadi tak ada peraturan bahwa aku istri orang saat aku membaca dan berkarya. Dia tahu aku telah jadi dan public mengenalku…”

“Ya, sekarang aku sedang menulis, sesuatu yang terus terang terinspirasi dari komunikasi kita lewat efbe. Menurut catatanku, kita sudah dua kali salah paham. Jadi tolong koreksi setelah membaca puisi yang nanti aku kirimkan, ya, semacam penafsiran tentang budaya Aceh yang sungguh sama sekali tak kupahami..”

Aku tersentak. Sudah dua kali salah paham? Kurasa aku harus mempertanyakan “salah paham- salah paham ” yang dimaksudkannya. Tapi tanda bulat hijau di sisi kanan bawah kotak obrolan terlanjur pudar. Aku tahu dia telah berlalu.

Meski aku kecewa, kucoba pahami baris-baris puisi yang kembali menghiasi layar monitorku.

Rencong, bentukmu memang bengkok
tapi sama sekali tak ada makna serong

……………………………………..

(Dimas Arika Miharja)

Banda Aceh, 19 Februari 2010

Jumat, 25 Februari 2011

IDENTITAS, INTENSITAS, DAN KUALITAS PENYAIR

Catatan: Dimas Arika Mihardja

DISKURSUS yang memerlukan perbincangan serius sepanjang masa terkait dengan tiga hal, yakni identitas, intensitas, dan kualitas penyair. Wacana ini pernah saya lontarkan melalui esai yang dimuat dalam koran "Merdeka", Minggu Kedua Februari 1993. Saat itu, banyak tanggapan yang munculsebagai respon dan bahkan menjadi polemik terbuka. Saat ini, ketika media komunikasi dan sosialisasi karya begitu terbuka melalui jejaring sosial facebook, blog, dan media online lainnya menurut saya perlu dikemukakan lagi diskursus "lama" tetapi selalu aktual itu, yakni sekitar identitas, intensitas, dan kualitas penyair. Anggap saja tulisan ini sebagai reposting sambil berharap mendapat respon menurut pemikiran baru.

Identitas Penyair


Premis pertama yang saya kemukakan ialah bahwa seseorang disebut penyair ialah mereka yang menulis syair (puisi/sajak) dengan "sepenuh hati". Frasa "sepenuh hati" dalam konteks ini hendaknya dimaknai dengan upaya bersungguh-sungguh dan jauh dari keisengan,main-main, atau coba-coba. Frasa "dengan sepenuh hati" juga bermakna bahwa seseorang yang disebut dengan penyair itu meneyerahkan dan mencurahkan "hidup dan matinya" demi menghasilkan puisi yang sebaik-baiknya.

Premis ini muncul sebagai tanggapan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa ukuran seorang penyair ditentukan oleh mass media koran/majalah yang memuat karyanya atau diukur dengan buku antologi yang memuat puisi dan diterbitkan oleh penerbit yang berwibawa. Menyandarkan dalil identitas seseorang penyair pada partisipasi koran/majalah dan penerbit sebagai ukuran identitas kepenyairan seseorang merupakan kecerobohan, sebab tidak setiap koran/majalah dan penerbit memiliki citarasa yang beragam. Dengan demikian, menyandarkan identitas kepenyairan seseorang hanya aterkait dengan koran/majalah yang memuat karyanya atau penerbit yang membukukan puisinya, tentu saja tidak sepenuhnya dapat dijadikan barometer.

Identitas kepenyairan seseeorang mestilah disandarkan pada kualitas puisi yang dihasilkannya. Korrie Layun Rampan ("Horison/7/XXVI/Juli 1992) mencacat dan menyebut Dr. Sanento Yuliman sebagai "Penyair Satu Sajak". Hanya dengan satu sajak saja seseorang disebut penyair. Tentu saja sajak yang dihasilkan oleh Sanento Yuliman (mungkin) tidak hanya satu, cuma sajak yang dinilai sebagai sajak yang berkualitas dan menunjukkan identitas kepenyairannya ditunjukkan oleh sebuah sajak yang paling berkualitas dan berkelas. Sejalan dengan alur pemikiran ini, lewat judul "Potensi dan Impotensi Sastrawan di Daerah" (dimuat di Singgalang, Minggu 20 Desember 1992) saya tegaskan bahwa soal potensi dan soal impotensi menyangkut perjalanan masing-masing sastrawan. Soal potensi dan impotensi terkait dengan pergumulan sastrawan selaku kreator, respon pembaca selaku penikmat, dan sambutan kritikus selaku pengamat.

Identitas kepenyairan seseorang selain didasaekan pada kualitas karya yang dihasilkan, juga ditentukan oleh intensitas, produktivitas, dan kretivitas dalam menggumuli dunia penulisan kreaatif puisi. Kerja menyair (menulis puisi) bukanlah kerja main-main (meski sebuah puisi yang baik dapat dihasilkan dengan pendekatan main-main) seperti main petak umpet atau kucing-kucingan (pinjam istilah Harta Pinem, semoga semakin sehat dari penyakit matanya, terutama mata pencaharian). Identitas kepenyairan ditunjukkan oleh intensitas unjuk kinerja. Dengan intensitas (pergumulan secara serius di dunia penulisan puisi) dapat diharapkan lahir puisi yang bernas, berkualitas, dan berbobot. Identitas seorang penyair juga ditunjukkan oleh produktivitas dan kontinyuitas dalam berkarya.

Identitas kepenyairan dapat diamati dari puisi-puisi yang dipublikasikannya. Identitas kepenyairan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, melainkan sebagai sesuatu yang diperjuangkan secara "berdarah-darah" atau serius. Tugas utama penyair ialah terus berkarya sembari mendewasakan pemikiran dan wawasannya, sedangkan predikat penyair akan diberikan oleh pengamat yang dengan intensif mencatat dan mendedahkan puisi yang diciptakannya. Dengan identitas yang jelas, intensitas, dan produktivitas itu dapat diharapkan lahir penyair yang berkelas dan berkualitas.

Intensitas dan Kualitas

Seseorang yang terpanggil masuk dan menjadi penyair dituntut memiliki intensitas. Intensitas ini selayaknya sebagai nafas yang dihirup dan dihembuskan. Dengan kata lain, intensitas itu lebih bersifat kontekstual dan kondisional. Setiap penyair hendaklah menciptakan konteks dan situasi-kondisi yang secara intens diperjuangkan. Intensitas dan keuletan penyair dalam bergumul di dunia kreativitas penciptaan akan menopang keberhasilannya menghasilkan puisi yang unggul. Dalam konteks ini, mellui tulisan berjudul "Puisi Versus Globalisasi" (Merdeka Minggu Ketiga,Desember 1992) saya melihat kemampuan penyair Indonesia mutakhir pintar meresponsnya dalam bingkai puisi yang transendental. Puisi-puisi mutakhir agaknya cukup pintar menghindar dari puisi-puisi realis, yang jika tidak cerdik dan pintar mengemasnya penyair dapat diberangus. Kemahiran penyair mutakhir Indonesia dalam mengantisipasi karut-marut realitas kondisi Indonesia ke dalam puisi transendental merupakan buah dari intensitas penyair untuk kembali ke sumber penciptaan, kembali ke tradisi warisan leluhur yang arif menikapi zamannya.

Penyair mutakhir tidak lari dari realitas yang pahit dan kemudian mengadukan persoalan itu ke hadirt Ilahi, dengan intensitas pergumulannya mampu menulis puisi-puisi yang khas dan berbeda dengan genre puisi sebelumnya. Dengan intensitas yang dimilikinya, penyair dekade mutakhir lebih memilih dunia alienasi, kegelisahan, keresahan, dan kepasrahannya melalui karya-karya yang lebih menyodorkan refleksi batiniah dan spiritulitas. Dalam konteks ini kita lalu dapat menyebut kepenyairan D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Soni Farid maulana, Dorothea Rosa Herliany, dan lain-lainya.

Kualitas Penyair dan Idealisme

Penyair sejati memerlukan idealisme. Tanpa idealisme siapapun tidak akan pernah menjadi sesuatu apapun. Chairil Anwar,misalnya, memiliki idealisme dan memperjuangkan ide-idenya yang berlandaskan keyakinan dan kebenaran. Ia terus memperjuangkan idealismenya itu dengan dengan kejujuran dan keberanian dan tak mau berkompromi dengan arus pemikiran umum (commond sense). Ranggawarsita merasa perlu tapa kungkum (bertpa dengan cara berendam) demi menghasilkan puisi yang benr-benar "memuisi" (bernilai sebagai puisi yang agung). Demikian pula para pujangga istana (para kawi) perlu "melakukan" sesuatu, berpuasa misalnya, untuk dapat mendengar Sabda-Nya, wahyu, atau ilham dari Sang Hyang Maha Pemberi.

Jika penyair masa kini tidak melakukan apa yang dilakukan oleh para pujangga istana itu, tidak serta merta mereka kehilangan idealiame. Idealisme tetap dijadikan anutan dan acuan oleh penyair sepanjang masa. Hanya saja, idealisme itu selalu mengalami proses metamorfosis sesuai dengan gerak zamannya. Idealisme tetapmenyala dan berkobar, hanya realisasinya dan manifestasinya sesuai dengan perkembangan zaman.

Kualitas penyair tampaknya juga terkait dengan idealisme. Idealisme itulah yang akan meronai apakah seorang penyair kokoh dalam pendirian dan keyakinan, atau sebaliknya labil dan mudah goyah oleh aneka iming-iming yang sifatnya material. Idealisme ini tak pelak lagi merupakan bahan bakar yang memberikan energi penciptaan, sehingga yang bernama inentitas, intensitas, dan kualitas puisi yang dihasilkannya akan merupakan jaminan kediriannya atau kepribadiannya yang matang dan dewasa. Demikianlah, diskursus sederhana ini kembali dikemukakan sebagai sebuah ingatan bahwa kerja kepenyairan memerlukan sikap bersungguh-sungguh, kerja keras, dan bergumul dengan aneka ragam tantangan kreatif sebagai buah pengalaman berharga saat berkarya.

Erry Amanda menambahkan, sesungguhnya seorang pekerja seni (baca: sastra/penyair) bukan saja bersandar pada nilai2 idealisma, menurut saya justru harus menghidupkan gagasan di dalam dunia kepenyairan secara SIPAR (Sintesa, Idealis, Pragmatis, Analisis dan Realis). Dunia bohemian tidak harus diterjemahkan sebagai sosio marginalis (baca: nyeniman), justru ruas pandang pada konteks KEPEKAAN MENANGKAP REALISMA SOSIAL yang hanya didasarkan pada idealisma-idealisma - senantiasa akan terjebak pada simpang realitas itu sendiri (jika bahasa pesan merupakan bahasa keluruhan realitas mukiman kebersamaan dari sejumlah pertikaian dan perpotongantegak lurus dari berbagai masalah kehidupan.

Seorang penyair dalam mengolah data dengan menyertakan secara autopoesis terhadap proses penggalian nilai2, mengolah data, menyajikan data, bukan hanya mempercayakan ruang imagi, kepekaan menangkap moment (esensi ruang gagas) namun lebih kepada mendayakan selurug emosi (feel, taste, think, imaginary, temper) = rasa (perasaan), citra, pikiran, khayalan, amarah, yang masing2 element bergerak dalam satu kesatuan nilai (suatu agent tak akan memiliki fungsi tanpa agent yang lain.

Jika hanya bersandar pada idealisma, pada jalur pengaryaan sering terjebak pada ketertutupan ruang jelajah (atmosperikal) obyektif, sebab karya (apa pun bentuknya) bukan tertuju pada satu ranah kepentingan dan pada sudut orientasi namun lebih kepada nilai kesadaran pada seluruh lingkungan hinian dan penghuninya (tanpa batasan stratifikasi) kecuali kesadaran ke seluruh aspek pengguna hidup dan kehidupan.

Sisi lain, seorang penyampai kebenaran dan membuka kesadaran, saat berkarya TIDAK HARUS TERIKAT OLEH TEKNIK2 AKDEMIS, sebab jiwa yang meruangkan idea2 tak akan pernah mampu dikendalikan oleh wacana apa pun, kecuali gejolak kesadaran itu sendiri (baca: BUKAN BEBAS NILAI) namun adalah melepaskan diri dari self opinion.

PUISI-PUISI BERCORAK HERMETIS DI "RUANG JINGGA"

SAAT saya mengapresiasi sebiji puisi Rini Intama berjudul "Aku dan Kataku" (Ruang Jingga hal.4) saya memperkenalkan 3 corak penulisan puisi, yakni puisi diaphan, puisi prismatis, dan puisi hermetis. Puisi diaphan dapat diibaratkan sebagai kaca yang jernih, bening, dan bersih sehingga dapat melihat sesuatu yang jelas saat memandang kaca jernih itu. Puisi bercorak prismatis dapat diibaratkan sebagai kaca yang buram, memiliki motif-motif, dan saat memandang kaca itu berpendaran gambar, bayangkan, sesuatu yang bergerak, tetapi tidak jelas betul sesuatunya tersebab bersifat samar. Puisi bercorak hermetis dapat diibaratkan dengan kaca yang gelap. Memandang kaca yang gelap (membaca puisi yang gelap) kita tidak bisa dengan jelas melihat apa yang terungkap. Kali ini, saya akan menampilkan contoh-contoh puisi yang bercorak hermetis ini.

Contoh-contoh yang saya tampilkan ini mohon disikapi sebagai ilustrasi ke arah pemahaman dan pemaknaan yang lebih baik. Pembicaraaan ini juga tidak berpretensi "mengadili" sebuah puisi, melainkan sebatas menunjukkan bahwa di dalam puisi terkadang memunculkan "sisi-sisi gelap" yang tidak dapat dicerna oleh pembaca puisi. Puisi yang tidak dapat dicerna oleh pembaca puisi dapat diartikan telah mengalami kegagalan dalam berkomunikasi. Setiap penyair saat menulis dan mempublikasikan puisi hakikatnya hendak berkomunikasi dengan para pembacanya. Lantaran hubungan antara penyair dan pembaa tidak langsung (diperantarai oleh puisi yang banyak menggunakan simbol dan piranti puisi lainnya), maka puisi acap tidak dapat dipahami.

Tidak dapatnya sebuah puisi dipahami oleh pembaca, tentu dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, mungkin penyair "gagal" mengkomunikasikan gagasannya. Kedua, mungkin ungkapan puisi terlampau khusus (yang hanya dimengerti oleh penyairnya) dan pembaca kelabakan memahaminya. Ketiga, mungkin terdapat "jarak estetik" antara penyair dan pembaca. Keempat, mungkin bekal pembaca untuk memahami sebuah puisi tidak mencukupi.

Kita simak contoh-contoh puisi (bagian puisi) yang tergolong hermetis, seperti kaca gelap, dan sulit dinikmati oleh pembaca. Pada puisi "Rembang Pagi" (hal. 27) karya Lendy Soekarno kita dapati bait pembuka puisi seperti ini:

Pintu qori,
terkadang aku datang, dengan cakarku yang masih pucat,
kepada kepodang keil, teman senandung angin
kami sering bertapa bersama,di pekat alas kendaga samping pintu qori
sekedar menghabiskan malam dan menyambut rembang ufuk
....

Pintu istilah lainnya ialah qori. Siapakah yang datang ke pintu, yang memiliki cakar yang pucat kepada kepodang kecil,teman senandung angin yang sering bertapa bersama di pekat alas kendaga samping pintu qori? Keseluruhan ungkapan yang hadir di sini terasa gelap dan tidak memberikan jejak petunjuk tentang "siapa yang bercakar" bertapa di pekat alas kendaga samping pintu qori sekedar menghabiskan malam? Gelap. Komunikasi antara penyair dan pembaca terputus oleh ungkapan yang "menyesatkan". Bahkan pada puisi yang berjudul "Dalam kata-kata yang sederhana" pun kita menemukan ungkapan Lendy Soekarno yang terasa gelap. Di bait terakhir (hal. 29) kita temukan ungkapan seperti iji:

namun sungguh,...! tak terbilang degup mencambuk mimpi
mimpi senjakala sakral
mencaci kita yang tak kunjung beranjak lantaran,
lebih memilih rerantingan....sebagai ranjang tidur dan
tempat
sembunyi

sby 22 april 2010

Kutipan bait terakhir puisi berjudul "Dalam Kata Kata Sederhana" kita temukan ungkapan yang tidak sederhana, yang terasa gelap bagi pembaca lantas bertanya "apakah makna ungkapan ini?"

Pada puisi berjudul "Bayangan Menghilang" (hal. 34) karya Restu Hariyanto terdapat ungkapan "Aku terduduk, tanpa menyadri ranting lahirkan tunas/baru dan bulan berbaring menatap nanar fajar pagi". Pada puisi "Hal Selanjutnya" karyab Restu Haryanto kita temukan ungkapan seperti ini: "Pecahan cendana/ kulipat rapi dalam kelembutan sapu tangan sutra, yg pada/ sudutnya sulaman apel bertuliskan namaku".

Di awal tulisan ini telah saya kemukakan beberapa hal terkait dengan corak puisi hermetis, yang memiliki ruang gelap dan membuat jarak komunikasi antara penyair dan pembaca. Tidak dapatnya sebuah puisi dipahami oleh pembaca, tentu dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, mungkin penyair "gagal" mengkomunikasikan gagasannya. Kedua, mungkin ungkapan puisi terlampau khusus (yang hanya dimengerti oleh penyairnya) dan pembaca kelabakan memahaminya. Ketiga, mungkin terdapat "jarak estetik" antara penyair dan pembaca. Keempat, mungkin bekal pembaca untuk memahami sebuah puisi tidak mencukupi. Berbagai kemungkinan ini pada intinya terfokus pada gagalnya penyair mengemas puisi dengan ungkapan yang mengandung simbol atau kias atau majas lainnya dan minimnya pembaca dalam hal wawasan keasastraan.

Demikian. Salam kreatif.

Dimas Arika Mihardja

"MEDITASI RINDU" MICKY HIDAYAT

BEBERAPA bulan lalu saya mendapatkan paket buku antologi puisi dari Banjarmasin. Buku itu berjudul ”Meditasi Rindu” karya penyair Micky Hidayat diterbitkan oleh Tahura Media (Desember 2008). Buku ”Meditasi Rindu” menghimpun 108 sajak pilihan tahun 1980—2008 yang terdiri atas ”Aku Ingin Menjadi Penyair Yang” (30 sajak pilihan tahun 1980-1983), ”Sajak Cinta: Interlude (30 sajak pilihan tahun 1984-1988), ”Aku Berguru pada Sajak” (15 sajak pilihan tahun 1989-1995), ”Meditasi Rindu” (14 sajak pilihan tahun 1996-2001), dan ”Telah Kuhapus Kata-kata” (19 sajak pilihan tahun 2002-2008).

Meditasi Rindu Micky Hidayat dan Kecenderungan Sufistik-Transendental

Penyair kelahiran Banjarmasin 4 Mei 1959 ini melakukan meditasi melalui sajak-sajak berkecenderungan lirik sebagai aktualisasi dan mediasi religiusitasnya memasuki dunia sakral. Pernyataan ini dengan ringkas termuat dalam ”Komentar para Sahabat” di halaman 175, penulis (DAM) menyatakan bahwa ”sajak-sajak Micky Hidayat terkesan kuat dan memikat. Kuat lantaran pilihan tematiknya digali dari sumber yang tak pernah kering: kreativitas dan kontemplasi. Sajak-sajaknya memikat lantaran dieksplorasi dengan pola ungkap yang menawan. Alhasil, sajak-sajak Micky Hidayat kental dan kenyal disantap: gurih, sedap, dan nikmat. Dari tangan kreatif Micky Hidayat terdedah puisi yang puitis, dan berkecenderungan sufistik, imajis, metaforis, platonis, atau metafisis. Micky telah menemukan ’tanah pilih’ dalam kesusastraan Indonesia”.

Micky Hidayat tampak intensitasnya sebagai penyair pada masa 1980-an. Dekade ini menggambarkan kesan kuat adanya kecenderungan sajak-sajak sufistik dan Micky Hidayat merupakan salah satu eksponen yang berhasil menggubah sajak-sajak jenis ini. Sajak-sajak bercorak sufistik ini tampaknya juga menjadi pilihan dua penyair yang dikagumi oleh Micky Hidayat, yakni ayahnya sendiri (Hijaz Yamani, almarhum) dan Ajamuddin Tifani (almarhum). Bentuk kekaguman Micky Hidayat kepada almarhum Hijaz Yamani dapat dilacak pada judul sajak yang sekaligus dijadikan judul bukunya, yakni ”Meditasi Rindu”. Bagi Micky Hidayat, ”meditasi rindu” lebih didasari semangat atau spirit ruhaniah, batiniah, atau spiritual dalam konteks hubungan antara ”kawula—Gusti”.

Dalam hubungan antara manusia (”m” kecil) dan Sang Maha Pencipta, penyair Micky Hidayat selaku manusia selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai makhluk yang haus akan misteri Sang Maha Pencipta sembari diam-diam berusaha kreatif melakukan penciptaan sembari mengagungkan dengan rasa kagum. Wawasan estetik sajak-sajak yang digubah oleh Micky Hidayat bertolak dari konsepsi pada umumnya yang mengutamakan adanya balance, symetri, dan unity. Wawasan estetik demikian ini lebih menonjolkan keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan subjek—objek, subjek—subjek, dan subjek—segala misteri.

Dengan wawasan estetik demikian itu menjadikan sajak-sajak gubahan Micky Hidayat tampil tertib, teratur, dan didukung pemanfaatan bahasa sebagai wahana ungkap sesuatu yang bermakna. Bahasa dimanfaatkan untuk mengungkapkan makna seperti diekspresikan pada baris-baris terakhir sajak ”Aku Ingin Jadi Penyair Yang” berikut: aku ingin jadi penyair yang/menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/tapi untuk menyegarkan sukma. Ungkapan ini jelas, bahwa dunia sajak diabdikan kepada upaya ”menyegarkan sukma”. Jadi, bidang garapan sajak-sajak Micky Hidayat bersandar pada tema spiritual, batiniah, atau ruhaniah. Di sinilah kekuatan sajak-sajak Micky Hidayat: sajak-sajaknya yang berkecenderungan sufistik terasa lebih mengesankan ketimbang sajak-sajak sosialnya.

Melalui ”Meditasi Rindu” Micky Hidayat telah meriwayatkan secara relatif lengkap perjalanan batinnya sebagai penyair yang membahasakan ruhani. Seorang Micky Hidayat telah menemukan ”tanah pilih” yakni dunia kreatif penciptaan puisi yang bertolak dari wawasan estetik bahwa berkarya adalah untuk ”menyegarkan sukma”. Puisi yang menyegarkan sukma harus dibangun berdasarkan keselarasan, keseimbangan, dan kesatuan antara gagasan dan bahasa sebagai pengucapan. Bahasa merupakan mediasi penyampaian makna, sebab Micky Hidayat ”ingin jadi penyair yang tak sekadar bermain kata-kata”.


Wawasan Estetik Sufistik-Transendental

Buku ”Meditasi Rindu” yang merangkum 108 sajak pilihan yang ditulis antara tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan dedikasi seorang Micky Hidayat memilih dunia penyair sebagai pilihan. Micky Hidayat telah merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Buku ”Meditasi Rindu” mewakili kubu penyair yang menjunjung tinggi harmoni, keteraturan, disiplin yang ketat, dan percaya atas kekuatan bahasa sebagai pengungkap makna yang dapat menyegarkan sukma. Dapat dikemukakan bahwa pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah.

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya. Dalam perspektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu,secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.

Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair selalu tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi. dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.

WALHASIL, seni itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebab watak seni sastra menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Jambi, 7 Agustus 2010

Dimas Arika Mihardja
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

IMAM SETYONO MEMBACA "SURAT YESSIKA"

Pengantar:

Untuk memberikan rona ramadhan agar semakin terasa aromanya, sebiji sajak saya bertajuk "Surat Yessika Sebelum Buka Puasa" ditanggapi secara memadai oleh Imam Setyono. Berikut ini kembali diturunkan sebiji sajak saya dan komentar oleh Imam Setyono yang ditampilkan secara apa adanya. Harapan saya, melalui puisi kiranya jembatan silaturahmi dapat mendatangkan manfaat. Selamat menikmati.


SURAT YESSIKA SEBELUM BUKA PUASA
(Dimas Arika Mihardja)


sayang, sebelum bedug berkumandang
sebelum burungburung pulang ke sarang
sarungkan parang dan belati nafsu mencumbuku
hembus dan lafazkan nafas cinta tanpa belitan nafsu

sayang, sebelum kelapa muda kau buka
pahamilah bahwa kulit serabutnya ialah syariat, rangkaian ayatayat
batok lunak adalah tarekat, tempat daging dan air menggenang
pada daging kelapa muda itu terlekat hakikat, di mana cinta kita saling terikat
dan di dalam air jernihnya terdapat makrifat, tempat kau dan aku memuaskan dahaga cinta

sayang, sebelum kau pergi ke mushola atau ke langgar
persiapkan bekal di jalan, waspadai setiap simpang dan tikungan
benamkan jari-jemarimu sedalam lahan subur dan gembur
rawatlah ia dari hama dan gulma pengganggu pertumbuhannya
pupuk dan airi dengan kasih sayang sebagaimana kau mencintaiku

salam sayang,
rawatlah bengkel puisi swadaya mandiri
tulislah puisi yang membahasakan jiwa mencinta
salam 123, sayang semuanya



Membaca Surat Yessika ini..Ada TIGA hal yang mendetak rasa:

1. Bait kedua... sayang, sebelum kelapa muda kau bukapahamilah bahwa kulit serabutnya ialah syariat, rangkaian ayatayatbatok lunak adalah tarekat, tempat daging dan air menggenangpada daging kelapa muda itu terlekat hakikat, di mana cinta kita saling terikatdan di dalam air jernihnya terdapat makrifat, tempat kau dan aku memuaskan dahaga cinta

Pembaca dibawa memikir rasa, mengolah jiwa,memaknai dan mensyukuri apa-apa yang ada.Seperti halnya perjalanan sebuah BUAH KELAPA MUDA yang tersaji buat berBUKA. Telah ditempuhnya medan-medana. SYARIAT(Aturan-aturan menanam bagi tumbuh POHON KELAPAhingga berbuah lalu tiada)b. THORIQOT(Jalan-jalan yang telah ditempuhnya yang selalu mengagungkan nama-Nya dengan liuk-liuk tasbihnya, dan sifat fisik-Nya sebagai sebuah pohon kelapa menuju kepada-Nya)c. HAKIKAT(Memaknai keberadaannya dari mula, putik, cengkir, degan/kelapa mudatua, kelapa hingga kopra)d. MARIFAT(Mengerti dan memahami keberadaannya dan NYA sesungguhnya)


2. Bait ketiga...sayang, sebelum kau pergi ke mushola atau ke langgarpersiapkan bekal di jalan, waspadai setiap simpang dan tikunganbenamkan jari-jemarimu sedalam lahan subur dan gemburrawatlah ia dari hama dan gulma pengganggu pertumbuhannyapupuk dan airi dengan kasih sayang sebagaimana kau mencintaiku

Pembaca dibawa pada perjalanan SALIK (Pencari Tuhan) berTAHALLI, membuang hal-hal yang mengotori hatidari hama dan gulma pengganggu pertumbuhan..

Apa itu HAMA dan GULMA? Imam Ghazali membeberkan bahwa dalam perjalanan Sang Salik akan menemu AQOBAH (Jalan-jalan mendaki yang sulit). Ada Tujuh Aqobah. Namun HAMA dan GULMA awal tersebut ada pada AQOBAH yang ketiga yaitu Aqobatul Awaaiq (Jalan Penuh Rintangan).Empat Rintangan yang menghalangi Ibadah yaitu:1. Kepentingan Duniawi2. Lingkungan3. Setan dan4. NafsuSolusi:1. Membebaskan diri dari kepentingan duniawi2. Menghindari pengaruh lingkungan3. Menghadapi syetan4. Menghancurkan nafsu (=mengalahkannya)Diantara keempatnya NAFSU yang terberat. Sebab tidak mungkin orang terlepas darinya, mengalahkan serta menghancurkannya sampai luluh. Karena nafsu merupakan kendaraan dan sarana manusia untuk mendapatkan kebahagiaan.Dibutuhkan RASA TAKWA untuk mengendalikannya agar ia selalu memberi keuntungan dan tunduk dalam beribadah sehingga hamba tersebut TIDAK DURHAKA. PUASA RAMADHAN adalah salah satu jalan untuk melatih menaklukkannya hingga mencapai FITRI/SUCI. Dengan kata lain: Ia dapat menggunakan nafsu dalam berbagai kebaikandan mencegah dari berbuat kerusakan


3. Bait terakhir...salam sayang,rawatlah bengkel puisi swadaya mandiritulislah puisi yang membahasakan jiwa mencintasalam 123, sayang semuanya

Demikianlah Yessika menuliskan surat-suratnya.Seperti yang termaktub dalam Firman-Nya:"Fadzakiir innafa'atidz dzikraa.Sayadz-dzakkara-may yakhsyaa."(Oleh karena itu berilah pengajaran. Semoga pengajaran itu berguna.Orang yang bertakwa pada Allah, pasti dapat menerimanya)(QS AL GHASYIAH: 9-11)



Thanks Prof..



Salam Yessika..

MELACAK “JEJAK ARUS” SOFYAN DAUD

Dimas Arika Mihardja



Sofyan Daud, kelahiran Ternate 26 Oktober 1972, melalui inbox facebook dan email meminta saya menulis “Prolog” buku antologi Jejak Arus. Buku ini rencananya akan dipralanunching 26 Oktober 2010 sebagai penanda kelahirannya di dunia. Buku ini juga akan dibawa serta penyair Sofyan Daud mengikuti serangkaian acara Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang 28—31 Oktober 2010. Dalam tempo “sesingkat-singkatnya” saya diminta menyelesaikan prolog ini. Ada sedikit kerepotan tentunya, misal terkait dengan pertanyaan dengan pendekatan apa membaca sajak-sajak dalam buku ini? Saya lantas memutuskan memilih pendekatan ala pemandu wisata untuk turut melacak Jejak Arus Sofyan Daud, penyair yang juga menjadi wakil rakyat di DPRD Kota Tidore 2009-2014. Penyair ini produktif menulis dekade 1988—2010.

Buku yang nerangkum 99 puisi ini terbagi dalam beberapa bagian, yakni Jejak Arus Perih, Sajak Hanya Kata, Interlude, Pencarian, Arus Segala Setia, Langit Tanah Kami, Jejak Pengembara, dan Catatan Harian Dua Jiwa. Menilik corak pemilahan dan pemilihan puisi, lalu terkait dengan jumlah 99, pembaca lalu terasosiasikan dengan Asmaul Husna—nama-nama kemuliaan Allah. Hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Maha Pencipta memang terasa menyergap dan mendominasi puisi-puisi dalam buku ini, namun lantaran penyair menjejak di bumi Ternate (dan Indonesia) maka wajar jika dalam buku ini terdapat puisi-puisi yang “membumi”. Dalam garis besarnya, untuk memudahkan klasifikasi, buku ini memuat “puisi-puisi bumi” dan “puisi-puisi langit”.

Puisi-puisi yang terkait dengan “bumi” melukiskan “jejak pengembara” yang mengungkapkan “jejak dua jiwa”, yang terkadang serupa “jejak arus perih” di “langit tanah kami”, mendedahkan “arus segala setia” dalam “pencarian” dan pengolahan “sajak hanya kata” di saat “interlude” sekali pun. Buku ini, Jejak Arus, menjadi semacam rekam jejak penyairnya sebagai kalifah di bumi yang tak lelah menatap kelebat sayap dan senyap di langit yang penuh rahasia.


+++

Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Di samping fungsinya yang bersifat umum tersebut, bahasa memiliki fungsi-fungsi yang bersifat khusus. Fungsi-fungsi yang bersifat khusus itu tetap merupakan bagian atau aspek fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi komunikatif “puisi” diasumsikan sama dengan fungsi ba­hasa pada umumnya. Adalah suatu kenyataan bahwa manusia memperguna­kan bahasa sebagai sarana komunikasi. Demikian juga penyair dalam menu­lis puisi pada dasarnya untuk memenuhi keinginan berkomunikasi dengan para pembacanya. Pada satu sisi penyair bertindak selaku penutur dan pada pihak lain pembaca bertindak sebagai mitra tutur. Dalam komunikasi yang wajar dan lancar hubungan antara pembicara dan penyimak terasa se­bagai suatu peristiwa biasa dan wajar.

Fungsi bahasa yang bersifat khusus itu bermacam-macam dan klasifikasinya pun beraneka ragam. Sejumlah ahli bahasa telah menaruh perhatian besar terhadap fungsi bahasa. Halliday dalam buku berjudul Explorations in the Functions of Language (1973) mengemukakan tujuh fungsi bahasa sebagai berikut: (1) fungsi instrumental (instrumental function), melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi; (2) fungsi regulasi (the regulatory function), bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa sehingga muncul ben­tuk-bentuk persetujuan, celaan, keti­daksetujuan, dll.; (3) fungsi pemerian (the representational function), yakni peng­gunaan bahasa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta, dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan dengan cara menggambarkan; (4) fungsi interaksi (the interactional function) bertugas untuk menjamin serta meman-tapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi, interaksi sosial; (5) fungsi perorangan (the personal function) memberi kesempatan kepada seseorang pembicara untuk mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang mendalam. Kepriba­dian seseorang biasanya ditandai oleh penggunaan fungsi per­sonal bahasanya dalam berko­munikasi dengan orang lain. Dalam konteks ini, kesadaran, perasaan, dan budaya turut bersama-sama dalam in­teraksi; (6) fungsi heuristik (the heuristic function) melibatkan penggunaan ba­hasa untuk memperoleh pengetahuan, mempelajari seluk-beluk lingkungan dengan mengajukan per­tanyaan; dan (7) fungsi imajinatif (the imaginative function) melayani pen­ciptaan sis­tem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.

Dengan istilah lain, Levinson meminjam pendapat Jakobson (1960) untuk mengungkapkan fungsi ujaran (baca: fungsi komuni­katif bahasa) se­bagai berikut: (1) fungsi referensial, memusatkan perhatian kepada isi acuan sesuatu pesan; (2) fungsi emotif (ekspresif), memusatkan perhatian kepada keadaan sang pem­bicara; (3) fungsi konatif (direktif), memusatkan perhatian kepada keinginan-keinginan sang pembicara untuk dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyi­mak; (4) fungsi metalinguistik, memusatkan perhatian kepada sandi atau kode yang dipergunakan; (5) fungsi fatik, memusatkan perhatian kepada saluran; dan (6) fungsi puitik (estetik), memusatkan perhatian kepada bagaimana ca­ranya suatu pesan disandikan atau ditulis dalam sandi. Fungsi emotif dalam terminologi Jacobson identik dengan fungsi ekspresif, fungsi konatif identik dengan fungsi direktif, dan fungsi puitik identik dengan fungsi estetik.

Ahli bahasa yang lain, Finochiaro (1977) membedakan fungsi bahasa menjadi lima kelompok. Kelompok itu adalah sebagai berikut (1) fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa pikiran maupun berupa perasaan; (2) fungsi interpersonal, yakni merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antarpenutur atau antarpersona untuk menjalin hubungan sosial; (3) fungsi direktif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain, menyuruh orang lain, memberikan saran untuk melakukan tindakan, atau meminta sesuatu; (4) fungsi referensial, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referen dengan menggunakan lambang bahasa; dan (5) fungsi imajinatif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan berimajinasi.

Apabila dikaji lebih lanjut, meskipun terdapat beragam pendapat dan klafisikasi fungsi bahasa dari para pakar, dapat dinyatakan bahwa bahasa dalam gubahan Sofyan Daud berfungsi mengkomunikasikan tiga hal, yakni pikiran, perasaan, dan sikap. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa bahasa dalam kehidupan manusia memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Dengan bahasa manusia hidup dalam dunia pengalaman nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Manusia mengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi pada dunia simbolik. Selain itu, manusia memberi arti bagi yang indah dalam hidup ini dengan bahasa. Dari sanalah tercipta karya yang mengungkapkan nilai-nilai estetik, antara lain berupa puisi. Akhirnya, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa dengan bahasa manusia dapat mengungkapkan pikirannya, mengekspresikan perasaannya, dan menyatakan sikapnya.

Akhirnya, pembicaraan ini sampai pada muara, bahwa Sofyan Daud selaku kreator berusaha menggedor-gedor pintu harti pembacanya secara lembut, santun, dan tidak meletup-letup tetapi cukup hidup. Pembaca puisi Sofyan Daud bisa jadi lantas manggut-manggut memahami makna puisi yang digubahnya sembari menyeruput kopi hitam di tengah hujan yang lantas mendapatkan sentuhan kehangatan. Demikianlah, sekilas pembacaan bagaimana seorang Sofyan Daud mengeksplorasi cara berkomunikasi melalui puisi yang digubahnya.

+++

Puisi-puisi yang terangkum dalam Jejak Arus karya Sofyan Daud dengan demikian dapat diklasifikasikan sebagai puisi yang berpijak di bumi (Ternate dan Indonesia) dan puisi-puisi “melangit”. Satu ketika penyair ini meraagukan potensi puisi untuk menggugah rasa kemanusiaan (baca: bagian Sajak Hanya Kata). Jika penyair telah “melabeli” puisinya dengan Sajak Hanya Kata, maka kesangsian dan keraguan penyair atas potensi puisi sebagai silaturahmi kultural disangsikan sendiri oleh penyairnya. Kenapa? Sebagian sajak yang digubah oleh penyair biasanya mengendap di ruang senyap, tak terjamah pembaca, dan pada akhirnya komunikasi batiniah menjadi sesuatu yang mewah.

Bagian “Puisi Langit” secara umum merisalahkan betapa Sofyan Daud sebagai penyair berusaha sangat keras menyibak rahasia Ilahi. Pergumulan kemanusiaan di bumi dan di bawah langit lalu ‘menjeritkan luka mencinta”. Seperti pintu-pintu yang berderit, perlahan terbuka; atau seperti jendela yang terkuak, pembaca buku ini dapat melacak jejak tanda cinta penyairnya dalam bergumul persoalan hidup dan kehidupan di bumi dan mengarah ke ketinggian langit. Selamat membaca dan menikmati gubahan penyaair Sofyan Daud. Semoga, pembaca budiman memperoleh hikmah kebaikan. Salam.

Jambi, 11 Oktober 2010
Dimas Arika Mihardja
Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

Kamis, 24 Februari 2011

MENIKMATI "PHANTASY POETICA", MENGINTIMI PUISI RINI INTAMA

Oleh Dimas Arika Mihardja



HARI INI, Kamis 14 Oktober 2010, saya menerima buku kiriman Rini Intama. Sebuah buku yang memuat puisi dan cerpen karya penulis muda, satu sisi buku bertitel "Phantasy Poetica" dan satu sisi lainnya memuat cerpen yang diberi titel "Imazonation" (PM Publisher, 2010). Masuk dalam jajaran penulis muda yang menyumbang puisi-puisinya adalah: Abdul Majid Kamaludin, Angga Sukma Sky, Astri Poetry, Bekti Yustiarti, Chairul (Rolix) Ikhsan, Dwi Andari, Eros Rosita, Iin Syah, Lasinta Ari nendra Wibawa, Nanang Rusmana, Putri Fatimah Pratama, Restu Ashari Putra, Rini Intama, Riyadi, Suguh Kurniawan, dan Wardjito Soeharso. Penulis cerpen yang dimuat karyanya di antaranya Delasari Pera Belawa, Daud Al Insyirah, Elly Lizzya, Jama'atun Rohmah, Jun An Nizami, Nurfita Kusuma Dewi, Riris Raden, Talitha Huriyah, dan Yathi Hasta. Dari barisan nama-nama baru ini terselip nama yang cukup familiar, yakni Rini Intama. Review ini dibuat secara khusus terpusat pada puisi-puisi gubahan Rini Intama, yang berjiwa dan bersemangat muda.

Dalam antologi puisi "Phantasy Poetica" ini Rini Intama menyertakan 5 (lima) puisinya, masing-masing berjudul "Di Persimpangan yang Lindap", "Sajak Hampa", "Nyanyian Sang Ombak", "Merajuk", dan "Surat pada Mei". Menilik dan menelisik judul-judulnya ini pembaca mulai disuguhkan permen aneka rasa. Rasa gamang seperti di persimpangan dapat terlacak lewat puisi "Di Persimpangan yang Lindap" (hlm. 92); rasa hampa tertuang pada puisi "Hampa" (hlm. 93); persoalan gelora riak dan ombak terasa menyergap dalam puisi "Nyanyian Ombak" (hlm. 94), puisi "Merajuk" (hlm.95) secara denotatif memberi pekabaran perihal merajuk; dan persoalan reformasi terdedah melalui judul "Surat Kepada Mei" (hlm.96).

Apakah yang menarik dari puisi? Puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi dan imajinasi. Setiap puisi sudah barang tentu terdapat diksi, yakni pilihan kata yang dilakukan oleh penyair. Penyair "setengah mati" mempertaruhkan diri dalam memilih kata-kata yang secara tepat dapat mengabadikan pengalaman dan perasaannya ke dalam teks puisi. Penyair selalu selektif dalam memilih kata. Seleksi yang ketat ini biasanya lalu terkait dengan dunia fantasi yang secara nyata hadir dari pilihan dan penggarapan imajinasi. Penyair menyeleksi kata yang secara fantastis menumbuhkan ruang imajinasi bagi para pembaca puisinya. Melaui diksi dan imaji inilah penyair mengajak para pembacanya memasuki dunia fantasi lewat puisi-puisi yang digubahnya. Di sebuah persimpangan yang lindap, Rini Intama berusaha mengabadikannya dengan diksi dan imaji berikut:

kutebas pedang karat di pucuk rindu senyap
kupinang darah pekat di dada nafasku megap
di langit kisah kisah mengendap

("Di Persimpangan yang Lindap", bait 1 hlm. 92)

Pada saat perasaan merasa hampa oleh berbagai sebab, misalnya saat ada pengalaman di rumah sakit jiwa, Rini Intama memilah dan memilih diksi yang memuat imaji yang berdampak fantasi seperti ini:

tak ingkar jika melihat nestapa dalam debar
cahaya memendar melepas di depan cermin kusam
dalam waktu sepanjang badan

("Sajak Hampa: Senandung Lirih di Sebuah Rumah Sakit Jiwa", bait 3 hlm. 93)

Pada jiwa dan rasa bergolak, rasa cinta, rindu, sendu, dan aneka rasa lainnya secara imajinatif terpapar melalui diksi ombak. Kita simak "Nyanyian Sang Ombak" (hlm. 94) secara utuh-menyeluruh agar kita bisa menikmati diksi, imaji, dan dunia fantasi yang diciptakan oleh Rini Intama:

NYANYIAN SANG OMBAK

Sajak Pantai Utara, Hutan Bakau, dan Aroma Cinta
Burung burung hanyut bercengkerama lepas dalam gairah yang sublim
di atas akar akar bakau yang menjalar
menyela kokoh di rawa berlumpur
memisah kejahan dari debur ombak yang menderu
mengalun nyanyian cinta

Burung burung masih menyapa birunya mega dalam kenang
berkubang kisah metamorfosa alam
tentang tanah pantai, kuat cengkeram akar bakau
tentang buih air pasang menyeret pasir
tentang tepian merindu nyanyian sang ombak

Getar sayap menari dalam liukan berenergi gelora yang memadu
ada riang kasmaran, lugu tawa merayu
terbang beriringan sayap sepundak menunduk ragu
menungu rindu kumandang dendang
dan pelukan setumpuk jerami hangat
Kayu kayu api menyisakkan kisah akar bakau

Perasaan dan sikap "merajuk" dapat kita nikmati dalam puisi bertajuk "Merajuk" dan "Surat Pada Mei". Seseorang dapat saja merajuk oleh berbagai sebab. Sikap merajuk ini tentu saja bukan semata merupakan kecengengan, sebab di dalamnya terdapat juga sebuah gambaran sikap. Bagaimana gambaran sikap "merajuk" seorang Rini Intama ketika menghadapi peristiwa Mei saat reformasi terjadi? Kita nikmati saja puisi satu bait berjudul "Surat Pada Mei" (hlm. 96):

SURAT PADA MEI

ketika bertanya pada Mei, purnama menungguku
di tengah bulan yang terbebas, lantas menangis
bah ...
kau palingkan wajah dan sudut mata mengerling tajam
kau tak mengerti! katamu pelan tak berintonasi
tak ingin aku mengedip memandang kemarahan yang merah
di sela waktu yang membusuk
karena terlalu lama teronggok
aku tak ingin bertanya lagi Mei!

kecuali ketika pucuk cemara tertawa geli
mengundang debu jalan yang tersapu angin

Kita telah mencicipi puisi-puisi gubahan Rini Intama dalam buku "Phantasy Poetry". Puisi memang selalu memberikan ruang fantasi, ruang kontemplasi, penuhh dengan pilihan diksi yang kaya imajinasi. Sebagai pereview, saya tak mau dikelompokkan pada golongan yang nyinyir menelanjangi puisi, memberikan ruang tafsir yang njlimet dan bisa jadi membuat kepala mumet. Rini Intama yang terlahir di Garut 21 Februari (dan menyembunyikan tahunnya ini) herannya, mau bergabung dengan komunitas penulismuda Indonesia. Memang, terkadang usia tidak menjamin kematangan karya, tetapi semangat muda untuk berkarya tentulah perlu diberi penghargaan. Rini Intama, tentu saja tak tergolong tua, tak pula masuk dalam barisan muda-remaja dalam berkarya. Setidaknya, diam-diam sudah lama saya mengincar karya dan kekaryaan seorang Rini Intama yang memang perlu diintimi. Begitulah, review singkat ini dibuat, semoga tercerahkan. Salam DAM: 123 sayang semuanya.





Kota Beradat, 14 Oktober 2010

Rabu, 23 Februari 2011

"NYANYIAN SERIBU BURUNG"NYA PENYAIR GILA ARSYAD INDRADI

Dimas Arika Mihardja

BAYANGKAN di sebuah taman keindahan, penuh dengan berjenis burung dengan sayap warna-warni serupa pelangi. Burung-burung itu pun menyanyi silih berganti, saling isi dalam komposisi menyerupai orkestrasi bunyi, menyenandungkan aneka suara yang penuh makna. Lihatlah, bulu-bulu aneka burung itu. Ada yang menyerupai kipas, ada yang menyerupai selendang bidadari, ada yang menarikan warna-warni bahasa jiwa. Ada kicauan burung yang seih merintih, nikmat meratap, menyuarakan gelora cinta, menyenandungkan persoalan ada dan tiada, merisalahkan kisah-kasih yang indah dan abadi. Semua itu ada di dalam buku kumpulan puisi "Nyanyian Seribu Burung" karya Arsyad Indradi.

Sampul buku berwarna pink dengan desain tulisan artistik dan dipadupadankan dengan tampilan kharismatik si Penyair "Gila" Arsyad Indradi yang sedang membaca puisi serta dilengkapi dengan logo penerbit Kelompok Studi Sastra Banjarbaru--yang semua artistik, lay out, dan proses penerbitannya ditangani sendiri oleh penyairnya menunjukkan kegilaan kreatif seorang Arsyad Indradi (AI). AI yang lahir 31 Desember 1949 di Barabai, Banjarbaru ini memang tergolong "gila". Bayangkan, AI membidani terbitnya sebuah buku fenomenal bertajuk "Antologi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan" (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006). Buku ini memuat puisi-puisi karya 142 penyair nusantara, hingga tebalnya 728 +xii). Saya katakan fenomenal, sebab buku ini diketik sendiri, dilay out sendiri, dicetak sendiri, dan dibiayai sendiri. Kegilaan lainnya ialah, AI membuatkan blog untuk penyair-penyair di setiap kota yang karyanya dimuat dalam buku ini.

Tulisan apresiatif ini hanya terkait dengan sebuah buku yang juga fenomenal, yakni "Nyanyian Seribu Burung" (Pusat Studi Sastra Banjarbaru, April 2006). Buku ini memuat 122 puisi AI yang ditulis pada rentang waktu 1970 sampai dengan tahun 1999. Sepanjang tahun ini proses kreatif AI tak kunjung berhenti.AI berkarya dan berkreasi terus seperti aliran sungai Mahakam yang beriak-riak. Kita simak pengantar AI megawali buku ini:

"Antologi puisi ini saya terbitkan sendiri dengan tujuan menghimpun puisi-puisi yang berserakn di sana-sini dari tahun 1970-1999, dan untuk mengenang Penyair Hijaz Yamani dan Yustan Aziddin. Kedua penyair senior ini saya anggap orang tua saya sendiri bahkan guru saya yang banyak membimbing saya dalam bersastra. Juga mengenang sahabat-sahabat saya Penyair Ajamuddin Tiffani dan Sabri Hermantedo. Di mana kami tahun 70-an menjadi anak jalanan dan belajar memasuki dunia sastra"


Kita baca dan nikmati betapa seorang AI melakukan introspeksi di halaman 1 buku ini:


aku berkaca

: r. mawarni


aku berkaca
pada tubuhmu
melahirkan sebuah laut
membawaku terus berlayar
entah sampai ke mana

langit menyembunyikan pantai
pada ribuan ombak dan buihbuih
dan angin membunuh burungburung
aku jadi teramat letih
tapi tak juga kau beri aku dermaga
dalam nafasku

mungkin inilah riwayat
pelayaran terdampar di sini
pada sebuah ajal

Banjarmasin, 1970


Usai membaca puisi ini, siapa pun akan merasakan betapa kuat dan memikatnya sajak lawas ini. Pada puisi ini, puisi yang ditulis 1970, menunjukkan kepada kita betapa trend menulis puisi dengan huruf kecil semua telah menjadi pilihan penyair. Hal yang menarik tentunya, saat berkaca, AI mengajak kita untuk menyelami ceruk dan lubuk kehidupan lengkap dengan metafora sebagai perbandingan dan kiasan hingga sampai batas yang disebut ajal. Sebuah puisi yang tak hanya didukung oleh keindahan tipografi, didukung oleh seleksi diksi, tetapi juga membuahkan dan menawarkan renungan dengan cara "berkaca". Saat seseorang bercermin, maka akan terpantul pula aneka bayang hidup dan kehidupan yang terrefleksikan.

AI sebagai penyair yang mulai bersajak bersama Hijaz Yamani dan Ajamuddin Tifani, misalnya menampilkan metafora laut lengkap dengan aneka gambaran yang ada di dalamnya, seperti "antara kapal berlabuh" (hal 2), "Kendati Hujan Gerimis" (hal. 3), "Semenanjung Desir" (hal.15), "Kuli Pelabuhan" (hal 24), dll. Sebuah puisi yang merekam jejak panjang perjalanan kreatif AI,kenangan bercintanya, refleksi kehidupannya tampil dengan memukau pada puisi berjudul "Ketika Kapal Lepas Pelabuhan", yang sekadar mengenal betapa kentalnya renungan hidup dan kehidupan penyair AI saya kutipkan:


Ketika Kapal Lepas Pelabuhan
: sui lan


masihkah kau di sana
dengan lambaian tangan
mencoba belajar
membaca sauh yang dinaikkan
dan peluit terakhir dibunyikan

karena laut teramat luas
arung memerlukan kesetiaan
karena ombak dan buih di buritan
tidak pernah lagi mengenal tepian

masihkah kau di sana
menghitung harihari perjanjian
sementara aku mencoba membangun
pelabuhan dalam diriku sendiri
ketika kakilangit tak lai memberi warna

banjarmasin, 1974

Puisi yang penuh dengan metafora laut, lambang hidup dan kehidupan dan juga batas kematian, dengan elegan tampil secara menawan. Puisi serupa ini, suatu ketika saya pilih sebagai wacana puisi yang perlu dikaji oleh mahasiswa dan bahkan jadi materi ujian akhir semester mata kuliah Kajian Puisi. AI, seperti juga penyair seangkatannya dikenal memilih corak puisi yang transendental, relegius, dan bahkan ada juga rona sufistik. Para penyairketika itu memang sedang memilih "Kembali ke akar, kembali ke sumber penciptaan, yakni kembali ke tradisi".

Pada puisi-puisi AI memang ditemukan sosok-sosok "ilusif" yang diterakan di bawah judul puisi, seperti r. mawarni (yang tak hanya merujuk pada sebuah nama, melainkan juga simbol "mawar"), natal (hari kelahiran), sui lan (seseorang atau sesuatu yang senyatanya mampu memberikan energi saat penciptaan puisi, memberikan dorongan dan sekaligus sebagai sesuatu yang dituju oleh penyair). Di antara puisi-puisi yang lahir dari tradisi sufistik transendental, dalam buku ini juga ditemukan sebuah puisi yang tipografinya menyerupai gaya kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri yang tipografinya resah dan gelisah seperti ini:

Kau Ada di Sana



senja
jangan cepat
kau
gemawankan
langit ini
agar
pinus
mengantarkan
aku
kesebuah derai yang jauh rintihkanlah halangin seperti rinduku pada Kau



banjarbari, 1978



East Star From Asia, saat menulis prolog di buku "Nyanyian Seribu Burung" karya AI, menandaskan tentang tiga hal yang membuat unggul suatu bangsa atau seorang pribadi: pertama, kesadaran akan waktu; mereka yang sadar waktu selalu membangkitkan motivasi melakukan sesuatu yang lebih baik. Kedua, kemampuan membuat kode bahasa. Seorang pribadi kuat ia mampu menulis sejarah dengan karyanya. Ketiga, kemampuan membuat dan menguasai alat-alat bantu untuk menghadapi dan bertahan dalam lingkugannya. AI dipandang sebagai sosok unggul serupa "Si Burung Seribu Nyanyian" yang memukau lantaran makna yang dialirkannya. AI melalui puisi-puisinya telah bernyanyi dengan notasi dan komposisi di panggung orkestrasi dunia sastra. Sebagai pamungkas apresiasi sederhana ini, saya tampilkan puisi yang ditulis 1999/2000 yang termuat di lembar terakhir buku "Nyanyian Seribu Burung" (hal 122):


Suatu Telaga Akhir Tahun

Seekor belibis terjun ke telaga
Percakapan ini terhenti seketika
Terasa aku tinggal sendiri

Samar caya di daundaun padma
Apalagi yang bisa kukenang
Bila bulan kehilangan bayang

Kala ikanikan telah menyepi
Siapa antara kita
Yang hilang dalam diri

Jika aku lahir kembali
Isyaratkan di mana riak
Menyimpan mimpi

Banjarbaru, 1999/2000


Penyair AI yang banyak mempublikasikan puisi-puisinya melalui media massa cetak, facebook, dan terutama di blog yang dikelolanya, yang mendirikan Kelopok Studi Sastra Banjarbaru, dan banyak peduli pada kegiatan Aruh Sastra di Kalimantan Selatan, wajar memperoleh penghargaan dari Majelis Bandaraya Melaka bersejarah pada pesta Genang Nusantara 7 malaysia (2004), penghargaan Seniman Tari dari Walikota Banjarbaru, mendapatkan penghargaan sebagai blogger terbaik. Sebagai teman, sahabat, dan musuh dalam dunia kreativitas saya perlu menjabat tangannya erat-erat, seperti suatu masa saat begadang semalam suntuk di halaman Taman Ismail Marzuki hanya sekadar membicarakan seni dan berkesenian. Demikianlah, salam budaya.

Selasa, 22 Februari 2011

MEMASUKI “LABIRIN SAJAK-SAJAK” TENGSOE TJAHJONO

Salam Mempelai: dari Labirin ke Labirin

Penyair Tengsoe Tjahjono menjelang malam 17 Agustus 2010 mengirimkan draft kumpulan sajak “Salam Mempelai”. Draft buku ini dibagi ke dalam tiga subjudul, yakni Labirin Mataangin, Labirin Perjalanan, dan Labirin Kabut. Masing-masing subjudul, merangkum sejumlah sajak yang jumlahnya mencapai puluhan sajak. Kesan dan komentar pertama yang muncul dari pembacaan awal ialah ungkapan keakraban khas antarsahabat: “uedan tenan”, “diancuk”. Ungkapan keakraban ini menunjukkan keterperangahan saya saat mengetahui bahwa sebagian besar sajak yang ada, pertama-tama dipublikasikan melalui situs jejaring social facebook. Hal yang membuat saya terperangah ialah Tengsoe Tjahjono menulis dan mempublikasikan sajak-sajaknya setiap hari! Hal yang lebih gila lagi, dengan cengegesan ia bilang melalui inbox saya, “Selamat memasuki labirin puisi-puisi saya.”

Ya, malam itu, saya kembali memasuki labirin sajak-sajak karya Tengsoe Tjahjono. Labirin yang diciptakan oleh Tengsoe Tjahjono melalui sajak-sajaknya ternyata sering membuat saya tersesat dan sekaligus terpikat oleh kepiawaian jemari penyair ini dalam mengolak sebuah sajak. Ya, sajak-sajak Tengsoe Tjahjono menunjukkan hasil olah kreativitas yang tak terbatas, menawarkan estetika yang terjaga dan terpelihara, serta menawarkan lanskap makna yang sungguh tak terkira lantaran setiap sajak yang ia gubah memang menyediakan labirin yang penuh dengan kelokan, godaan keindahan melalui misteri dan pesona kata, serta terus mengajak bertualang menyusuri setiap celah-celah sajaknya.

Tengsoe Tjahjono berhasil menggodaku melalui sajak-sajak yang selain enak dibaca, menawarkan aneka lanskap kontemplasi. Perhatikan cara Tengsoe Tjahjono memberikan label: “Salam Mempelai”, “Labirin Mataangin”, “Labirin Perjalanan”, dan “Labirin Kabut”. Semua title dan tajuk yang diberikan menampilkan simbolisasi atau setidaknya isyarat tentang berbagai ikhwal pemikiran penyairnya. Judul utama, “Salam Mempelai” mengindikasikan isyarat ada pewartaan tentang sepasang “mempelai” pada sebuah pesta pernikahan yang agung,sacral,dan monumental. Mempelai itu, jika dipersempit perspektifnya, terkait dengan diri dan kedirian sang penyair yang bersanding di pelaminan “kata-kata”. Yang duduk sebagai pengantin ialah diri sang penyair yang bersanding dengan berbagai rangsang kreatif yang kemudian diabadikan dalam dunia kata. Sebagai sepasang mempelai, saat bersanding, mereka berdua lantas memandang sebuah perjalanan yang terentang sebagai labirin yang harus ditapaki untuk sampai kepada istana makna.

Subjudul “Labirin Mataangin” mengungkap banyak hal seperti: surat putih, senja, pengembara, kwatrin ibunda, serentang awan, setandan nafas, dan aneka sajak yang mengungkapkan pencerapan penyairnya terkait dengan arah mata angin terkait dengan cuaca, aneka pertanyaan,dan seruan pernyataan. Kita cicipi beberapa sajak dalam “Labirin Mataangin”. Pada sajak “Surat Putih 2”, misalnya, penyair Tengsoe Tjahjono mampu mengabadikan tragika sebuah kehidupan yang terpapar dengan hanya dua bait sajak. Dua bait sajak yang membuat pembaca turut terisak dan sesak oleh penderitaan seseorang, seperti kutipan ini:

SURAT PUTIH 2

selembar kertas
tanpa kata-kata
terus dibaca

selembar kertas
setetes air mata
gugur di putihnya!

15/06/2009-13:44

Kita selaku pembaca oleh penyair diajak memasuki labirin kesedihan seseorang, entah kenapa, dan kita turut terdiam bungkam kehilangan kata-kata serta turut puls meneteskan airmata keharuan. Perasaan “turut bersedih”, haru, dan tersentak juga tersaji dengan baik pada sajak ini:

SENJA 1

ketika senja, kemana burung kembali pulang
sarang tembikar menghanguskan daunan
cericitnya hanyalah sejarah yang terbuang

Dengan dua sajak itu, kiranya cukup dijadikan acuan dan sebagai ilustrasi betapa penyair Tengsoe Tjahjono—sebagai dosen puisi yang sekaligus penyair mengamalkan teori dan pengalamannya dalam mengkreasi sajak-sajaknya. Teori-teori perpuisian dengan baik diaplikasikan oleh penyair ini. Misalnya terkait dengan konvensi puisi liris yang meliputi (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.

Pertama, jarak dan deiksis. Puisi atau sajak itu tergolong karya rekaan, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, ada “jarak” antara situasi si aku penyair dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.

Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.

Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya. Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.

Corak Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono
Corak sajak-sajak Tengsoe Tjahjono selain konvensi yang telah dikemukakan, ada juga konvensi puisi yang lain, seperti dikemukakan oleh Riffaterre bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusinya, ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris. Cermati kembali sajak “Surat Putih” dan “Senja 1”. Kedua sajak ini memenuhi persyaratan ketidaklangsungan ekspresi. Baik berupa penggantian arti, penyimpangan arti, maupun penciptaan arti.

Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma-salah kehidupan. Berbagai ma¬salah kehidupan, baik berupa peris¬tiwa yang terjadi dalam kehidupan se¬hari-hari, se¬suatu yang dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-so¬sial-politik-ekonomi-bu¬daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha¬yatan, pe¬mikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisa¬sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sas¬trawan selaku kreator. Sastrawan yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Teks puisi “di¬bentuk dan dicipta¬kan oleh penyair berdasarkan de¬sakan emosional dan rasional” (Su¬mardjo, 1982: 12). Puisi menu¬rut wawasan Luxemburg, merupakan se¬buah ciptaan, se¬buah kreasi, dan bukan sebuah imi¬tasi. Oleh karena itu, wajar apa¬bila un¬sur-unsur pribadi penyair seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang dicipta¬kannya. Secara fisik, teks puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe-nuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Peng¬gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh seorang sas¬trawan dimaksudkan untuk me¬madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung¬kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa penyair dapat mencipta¬kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas.

Intensi¬fi¬kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya sastra berbentuk puisi. Intensifikasi merupakan upaya sastrawan memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon¬densi merupakan upaya sastrawan menjalin gagasan menjadi satu ke¬satuan. Musikalitas meru¬pakan upaya penyair mempermanis, mem¬perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu¬sikalitas yang baik penyair mampu men¬ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi¬fat memusat dalam perenungan. Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono menunjukkan corak puisi yang menampilkan intensifikasi, korespondensi,dan musikalitas yang baik. Perhatikan kutipan berikut ini dan cermati bagaimana intensifikasi, korspondensi, dan musikalitasnya.


DATANGLAH, MAKA AKU KAN PERGI

datanglah, maka aku kan pergi
begitu kata kuncup kepada mekar
saat kelopak bunga menggelar gelombang
kuncup pun memenjarakan diri dalam kelam abadi

tak seorang pun tahu
di mana epitaf itu diukir
sebab abjad senantiasa tak terbaca
para peziarah

hanya kisah selalu diperbincangkan
di warung-warung kopi saat wajah mengelabu
di halte-halte perjalanan
serbuk-serbuk bunga ditaburkan ke udara
angin menebarkan jadi taman

datanglah, maka ku akan pergi
begitu kata awan kepada hujan
saat bumi basah oleh guyuran
tak tahu di mana mendung berada

hanya hari mencatat banjir dari sungai
sungai dari air, air dari hujan, hujan dari awan
narasi kekal
terbenam dalam jiwa

datanglah
maka ku akan pergi!

29/06/09-12:33

Penggunaan diksi dalam teks puisi “Datanglah, maka Aku Kan Pergi” se¬cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau¬pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis. Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka pencip-taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se¬mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat denotatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Secara asosiatif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me¬miliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an¬tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber¬sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacu¬kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.

Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka¬limat. Imaji meru¬pakan un¬sur dasar yang khas dalam karya ber¬ben¬tuk puisi. Menurut Preminger imaji adalah re¬produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per¬sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber¬hubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image). Sajak “Datanglah, maka Aku Kan Pergi” memancarkan aneka imaji melalui diksi yang terseleksi.

Riffaterre dengan tepat mengungkapkan karakteristik teks puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai teks mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning) yakni pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) yakni digunakannya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan arti (creating of meaning) yakni oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Surat Putih” dan “Datanglah, maka Aku Kan Pergi”. Kedua sajak ini selain memiliki unsur intensifikasi, korespondensi, musikalitas, juga menggambarkan ekspresi yang tidak langsung.

Penyimpangan arti di dalam teks puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.

Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.

Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan. Perhatikan kutipan ini:

datanglah, maka aku kan pergi
begitu kata kuncup kepada mekar
saat kelopak bunga menggelar gelombang
kuncup pun memenjarakan diri dalam kelam abadi

datanglah, maka ku akan pergi
begitu kata awan kepada hujan
saat bumi basah oleh guyuran
tak tahu di mana mendung berada

Teks puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggu-nakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.

Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi.

Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Aku lirik di dalam teks puisi menyapa seseorang. Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, ataupun gejala-gejala.
Sajak-sajak Tengsoe Tjahjono juga banyak memanfaatkan symbol. Simbol (symbol) adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol berbeda dengan lambang, simbol merupakan kata atau sesuatu yang dapat dianalogikan sebagai kata yang terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Hubungan antara simbol dan yang disimbolkan bersifat satu arah. Kata “bunga”, misalnya, tidak hanya memiliki hubungan timbal balik antara gambaran yang disebut “bunga”, melainkan secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan ‘keindahan’, ‘kelembutan’, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesadaran simbolis selain dapat menampilkan gambaran objek yang diacu juga dapat menggambarkan idea, citraan, maupun konfigurasi gagasan yang mengatasi bentuk simbolik maupun gambaran objeknya sendiri. Dengan demikian pembuahan makna dari suatu simbol pada dasarnya merupakan perepresentasian ciri semantis yang secara abstrak juga dapat membentuk satuan pengertian tertentu.

Dapat dinyatakan bahwa simbol merupakan gejala khusus dari lambang. Sebagai bagian dari lambang, meskipun tidak semua lambang adalah simbol, simbol itu sendiri dapat disebut sebagai lambang. Simbol sebagai gejala khusus dari lambang karena keberadaan simbol terkait dengan lambang dan interpretasi, penggunaan dan penikmatan, keikutsertaan dan pemasukan ciri, seni dan mitologi, serta gejala lain menyangkut pengkreasian lambang. Sedangkan lambang merupakan ‘fakta’ yang dapat didudukkan secara isolatif terlepas dari hubungannya dengan penafsiran. Dapat dinyatakan bahwa lambang mengacu pada gejala yang lebih luas daripada simbol dan simbol hanya mengacu pada simbol verbal.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Eco bahwa “The symbolic is the activity by which experience is not only coordinate but also communicated”. Kreasi simbolik bukan hanya menyangkut kegiatan kreasi simbolik tetapi juga terkait dengan penyampaian lambang itu dalam komunikasi. Penyusunan dan penyampaian lambang itu selain berhubungan dengan untaian isi juga berhubungan dengan bentuk yang mewujudkan untaian isi sebagai bentuk ekspresi. Oleh sebab itu, sebagai sistem, sistem simbolik selain terkait dengan dunia pengalaman, pengetahuan, dan intensi penuturnya juga terkait dengan konteks sosial budaya pemakainya.

Bentuk simbolik merupakan bentuk kebahasaan yang sudah terkait dengan dunia penafsiran pemakai bahasa dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu sendiri. Unsur hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu antara lain ciri acuan simbolik, ciri acuan simbolik dengan pengertian lain yang diasosiasikan, hubungan antarsimbol dalam satuan teksnya, dan implikasi penggarapan bentuk simbolik itu pada wujud tuturannya. Jika bentuk simbolik terkait dengan bentuk, makna, dan perwujudannya sebagai teks maka pembicaraan tentang bentuk simbolik ditinjau dari objeknya akan merujuk pada bentuk kebahasaan dalam suatu teks, dalam hal ini adalah teks puisi.

Lambang ialah suatu pola arti, sehingga apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan terjadi suatu hubungan asosiasi. Lambang itu sendiri tidak langsung menunjukkan sesuatu. Kitalah yang menghubungkan lambang dengan apa yang dilambangkan. Dalam dunia puisi lambang-lambang yang dipergunakan seorang penyair seringkali sangat pribadi dan sukar dimengerti. Seperti halnya personifikasi, maka lambang-lambang yang dipergunakan oleh penyair Tengsoe Tjahjono pun pada umumnya bersifat metaforik.

Lambang dalam wacana puisi, menurut Bachtiar (1982), se¬cara kate¬goris dapat dibedakan (1) lambang konstitutif, yakni lam¬bang yang membentuk keper¬cayaan-kepercayaan, (2) lambang kogni¬tif, yakni lambang yang mem¬bentuk pengeta¬huan, (3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai moral, dan (4) lambang ekspresif, yakni lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik, menurut Suryawinata (Promotor I Disertasi) dapat ditambahkan untuk melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lam¬bang estetik, penyair dapat mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan ima¬jinasi, intuisi, dan ide-idenya.

Wujud lambang budaya dalam teks puisi dibedakan dalam lima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneu¬tika (the hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon; (2) kode semantik (the code of semantic or signi¬fier), yakni kode yang berada pada kawasan penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya sendiri menawarkan makna konotasi; (3) kode simbolik (the symbolic code), yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan meleburkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi sehingga menggiring kemungkinan makna ke kemungkinan yang lainnya dalam indetermi¬nasi; (4) kode proraetik (the proraitic code), adalah kode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code), yakni kode yang mengatur dan mem¬bentuk ‘suara-suara kolektif’ dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam.
Pembahasan bentuk simbolik dapat dihubungkan dengan figure. Todorov (1987:91) mengemukakan, “Figure, this word come from fingere, in the sense of efformare, componere, to form, to dispose, to arrange”. Figure menyangkut perihal pembentukan, penempatan, penataan, pengurutan unsur kebahasaan dalam penyampaian gagasan. Penataan, pembentukan, dan pengurutan tersebut memiliki kekhasan, karena sebagaimana halnya dengan gaya, penataan, pembentukan, dan pengurutan unsur kebahasaan tersebut merupakan upaya mencapai efek tertentu sejalan dengan intensi penyairnya. Meskipun memiliki kekhasan, penggunaan figure bukan merupakan penyimpangan kaidah karena pengga-rapannya terkait dengan pengolahan kaidah kebahasaan guna menghasilkan paparan yang khas sehingga memiliki kekayaan nilai bagi pembacanya. Karakteristiknya selain ditentukan oleh ciri sistemik kaidahnya juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan oleh penyairnya.

Sajak atau puisi sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks beretolak dari konfigurasi gagasan maupun bentuk ekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan bentuk ekspresinya. Dalam puisi upaya menciptakan efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.

Kata adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada dasarnya adalah simbol. Berbeda dengan gambaran penger-tian simbol sebagaimana dikemuka-kan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:

“A symbol is a sign which refers to the object that is donotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object”.

Simbol diartikan sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya.

Selain symbol, sajak-sajak Tengsoe Tjahjono juga banyak memanfaatkan kata kias. Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.

Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.

Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampil-kan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.

Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun penghubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.

Epilog: Jejak Sajak harus Dilacak
Selain “Labirin Mataangin”, para pembaca dipersilakan melacak jejak saja-sajak Tengsoe Tjahjono dengan memasuki “Labirin Perjalanan” dan “Labirin Kabut”. Saat pembaca melacak jejak perjalanan penyair ke berbagai ranah dan wilayah, pembaca akan dapat memperoleh aneka panorama dan pencerapan penyair Tengsoe Tjahjono dalam pengembaraan fisik, mental, maupun spiritualnya. Selain itu, sesuai dengan subjudul “Labirin Kabut”, pembaca dapat memasuki dunia yang samar, dunia yang tidak jelas, dunia maya, sampai ke dunia pemikiran reflektif penyairnya. Dapat dikemukakan di sini bahwa buku “Salam Mempelai” menyediakan aneka perenungan mengenai hidup dan kehidupan. Sebagai penyair Tengsoe Tjahjono telah menyampaikan salam, dan kita selaku pembaca selayaknya menyambut uluk salam itu. Demikianlah catatan sederhana ini dikemukakan dengan satu harapan, semoga catatan ini tidak menambah “runyam” sebuah kenikmatan pembacaan. Salam kreatif.

Jambi, 17 Agustus 2010