Jumat, 25 Februari 2011

"MEDITASI RINDU" MICKY HIDAYAT

BEBERAPA bulan lalu saya mendapatkan paket buku antologi puisi dari Banjarmasin. Buku itu berjudul ”Meditasi Rindu” karya penyair Micky Hidayat diterbitkan oleh Tahura Media (Desember 2008). Buku ”Meditasi Rindu” menghimpun 108 sajak pilihan tahun 1980—2008 yang terdiri atas ”Aku Ingin Menjadi Penyair Yang” (30 sajak pilihan tahun 1980-1983), ”Sajak Cinta: Interlude (30 sajak pilihan tahun 1984-1988), ”Aku Berguru pada Sajak” (15 sajak pilihan tahun 1989-1995), ”Meditasi Rindu” (14 sajak pilihan tahun 1996-2001), dan ”Telah Kuhapus Kata-kata” (19 sajak pilihan tahun 2002-2008).

Meditasi Rindu Micky Hidayat dan Kecenderungan Sufistik-Transendental

Penyair kelahiran Banjarmasin 4 Mei 1959 ini melakukan meditasi melalui sajak-sajak berkecenderungan lirik sebagai aktualisasi dan mediasi religiusitasnya memasuki dunia sakral. Pernyataan ini dengan ringkas termuat dalam ”Komentar para Sahabat” di halaman 175, penulis (DAM) menyatakan bahwa ”sajak-sajak Micky Hidayat terkesan kuat dan memikat. Kuat lantaran pilihan tematiknya digali dari sumber yang tak pernah kering: kreativitas dan kontemplasi. Sajak-sajaknya memikat lantaran dieksplorasi dengan pola ungkap yang menawan. Alhasil, sajak-sajak Micky Hidayat kental dan kenyal disantap: gurih, sedap, dan nikmat. Dari tangan kreatif Micky Hidayat terdedah puisi yang puitis, dan berkecenderungan sufistik, imajis, metaforis, platonis, atau metafisis. Micky telah menemukan ’tanah pilih’ dalam kesusastraan Indonesia”.

Micky Hidayat tampak intensitasnya sebagai penyair pada masa 1980-an. Dekade ini menggambarkan kesan kuat adanya kecenderungan sajak-sajak sufistik dan Micky Hidayat merupakan salah satu eksponen yang berhasil menggubah sajak-sajak jenis ini. Sajak-sajak bercorak sufistik ini tampaknya juga menjadi pilihan dua penyair yang dikagumi oleh Micky Hidayat, yakni ayahnya sendiri (Hijaz Yamani, almarhum) dan Ajamuddin Tifani (almarhum). Bentuk kekaguman Micky Hidayat kepada almarhum Hijaz Yamani dapat dilacak pada judul sajak yang sekaligus dijadikan judul bukunya, yakni ”Meditasi Rindu”. Bagi Micky Hidayat, ”meditasi rindu” lebih didasari semangat atau spirit ruhaniah, batiniah, atau spiritual dalam konteks hubungan antara ”kawula—Gusti”.

Dalam hubungan antara manusia (”m” kecil) dan Sang Maha Pencipta, penyair Micky Hidayat selaku manusia selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai makhluk yang haus akan misteri Sang Maha Pencipta sembari diam-diam berusaha kreatif melakukan penciptaan sembari mengagungkan dengan rasa kagum. Wawasan estetik sajak-sajak yang digubah oleh Micky Hidayat bertolak dari konsepsi pada umumnya yang mengutamakan adanya balance, symetri, dan unity. Wawasan estetik demikian ini lebih menonjolkan keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan subjek—objek, subjek—subjek, dan subjek—segala misteri.

Dengan wawasan estetik demikian itu menjadikan sajak-sajak gubahan Micky Hidayat tampil tertib, teratur, dan didukung pemanfaatan bahasa sebagai wahana ungkap sesuatu yang bermakna. Bahasa dimanfaatkan untuk mengungkapkan makna seperti diekspresikan pada baris-baris terakhir sajak ”Aku Ingin Jadi Penyair Yang” berikut: aku ingin jadi penyair yang/menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/tapi untuk menyegarkan sukma. Ungkapan ini jelas, bahwa dunia sajak diabdikan kepada upaya ”menyegarkan sukma”. Jadi, bidang garapan sajak-sajak Micky Hidayat bersandar pada tema spiritual, batiniah, atau ruhaniah. Di sinilah kekuatan sajak-sajak Micky Hidayat: sajak-sajaknya yang berkecenderungan sufistik terasa lebih mengesankan ketimbang sajak-sajak sosialnya.

Melalui ”Meditasi Rindu” Micky Hidayat telah meriwayatkan secara relatif lengkap perjalanan batinnya sebagai penyair yang membahasakan ruhani. Seorang Micky Hidayat telah menemukan ”tanah pilih” yakni dunia kreatif penciptaan puisi yang bertolak dari wawasan estetik bahwa berkarya adalah untuk ”menyegarkan sukma”. Puisi yang menyegarkan sukma harus dibangun berdasarkan keselarasan, keseimbangan, dan kesatuan antara gagasan dan bahasa sebagai pengucapan. Bahasa merupakan mediasi penyampaian makna, sebab Micky Hidayat ”ingin jadi penyair yang tak sekadar bermain kata-kata”.


Wawasan Estetik Sufistik-Transendental

Buku ”Meditasi Rindu” yang merangkum 108 sajak pilihan yang ditulis antara tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan dedikasi seorang Micky Hidayat memilih dunia penyair sebagai pilihan. Micky Hidayat telah merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Buku ”Meditasi Rindu” mewakili kubu penyair yang menjunjung tinggi harmoni, keteraturan, disiplin yang ketat, dan percaya atas kekuatan bahasa sebagai pengungkap makna yang dapat menyegarkan sukma. Dapat dikemukakan bahwa pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah.

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya. Dalam perspektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu,secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.

Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair selalu tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi. dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.

WALHASIL, seni itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebab watak seni sastra menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Jambi, 7 Agustus 2010

Dimas Arika Mihardja
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar