Selasa, 22 Februari 2011

SEKAPUR SIRIH, CATATAN JURI LOMBA BACA PUISI HISKI BUNGO

TULISAN ini kuberi nama Sekapur Sirih catatan juri lomba baca puisi oleh HISKI Komisariat Bungo. Sahdan, untuk memperingati hari Pahlawan, Hari PGRI, dan sekaligus Bulan Bahasa, HISKI Komisariat Bungo yang belum genap berusia satu semester telah mulai menunjukkan kiprahnya. Ada dua agenda yang digelar, yakni Lomba Baca Puisi untuk guru dan dosen, lomba baca cerpen untuk pelajar SMP dan SMA serta Workshop penulisan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurutku, dua agenda acara ini layak mendapatkan catatan baik dari segi tatalaksana lomba maupun dari materi lomba itu sendiri. Catatan ini difokuskan pada Lomba Baca Puisi yang diikuti oleh guru dan dosen di kota ini.

Baca puisi (poetry reading) di hadapan audien hakikatnya masuk dalam wilayah performance. Dalam baca puisi, pembaca berusaha merealisasikan kembali perwujudan bunyi yang semula tertuang dalam bentuk ideografi. Pembaca puisi berupaya mengungkapkan suatu ide dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan. Bunyi bahasa yang indah adalah bunyi bahasa yang euphonic, musical, ritmis, ornamentic dan symbolic yang “mengenakkan” pendengaran kita (volume suara yang sangat mengesankan, tidak terlalu kuat, tidak terlalu lemah, tidak terlalu kecil, tidak terlalu besar, tidak menyakitkan telinga). Keindahan bunyi itu juga disebabkan oleh realisasi bunyi yang bersifat artikulatif.

Pembaca puisi harus mampu mengucapkan bunyi-bunyi vokal: a, i, u, e, o dan bunyi-bunyi konsonan seperti k, l, m, r, d, dan seterusnya sesuai dengan proses kewajaran. Apabila volume suara sudah cukup dan artikulasinya sudah tepat, aspek lain yang harus diperhitungkan adalah bunyi pembawaan (performance). Bunyi ini didukung oleh bunyi-bunyi kuantitatif: panjang-pendeknya ucapan, keras-lemahnya tekanan, lama-singkatnya ucapan yang umumnya disebut tempo. Peranan subjektif dan kreatif ikut menentukan sukses-tidaknya dalam membaca puisi secara estetis.

Aspek lain yang penting dikuasai oleh pembaca puisi adalah aspek dinamis. Aspek dinamis ini lebih sulit diketahui secara langsung oleh pembaca puisi. Aspek dinamis biasanya dipakai untuk membaca persamaan dan perbedaan, perulangan, dan selingan bunyi yang tampil pada larik-larik puisi. Bagian-bagian yang perlu mendapatkan tekanan dinamis adalah bagian-bagian puisi yang perlu mendapatkan intensifikasi pengertian. Lambang-lambang yang menyatakan berbagai perasaan, misalnya bimbang, ragu-ragu, kepastian, harapan,dan sebagainya direalisir dengan memperkecil aspek dinamisnya, yakni dengan cara melemahkan pembacaan, mengurangi tekanan, melambatkan tempo, dan meninggikan nada pengucapan. Semua ini berkaitan dengan penjiwaan puisi.

Setiap pembaca puisi harus memperhatikan (1) pemanfaatan alat ucap, (2) menguasai faktor kebahasaan, dan (3) menguasai performance. Pertama, pemanfaatan alat ucap. Setiap orang yang normal memiliki alat ucap. Yang menjadi masalah ialah bagaimana pembaca puisi dapat memanfaatkan alat ucap secara maksimal dalam membaca puisi secara estetis? Alat ucap itu dimanfaatkan untuk merealisasikan faktor kebahasaan seperti lafal, intonasi, dan jeda.

Kedua, penguasaan faktor kebahasaan seperti lafal, intonasi, dan jeda. Pelafalan ialah usaha untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa, baik suku kata, kata, frasa, maupun kalimat. Pelafalan dalam membaca puisi maksudnya ialah pelafalan bunyi bahasa sesuai dengan jiwa dan tema puisi. Intonasi dalam pembacaan puisi menyangkut ketepatan penyajian tinggi-rendah irama puisi. Irama ini dapat diperoleh dengan mempertimbangkan berbagai jenis tekanan, yaitu (1) tekanan dinamik (tekanan pada aspek yang ditekankan), (2) tekanan nada (tinggi-rendahnya pengucapan), dan (3) tekanan tempo (panjang-pendeknya pengucapan).

Ketiga, penguasaan performance meliputi (1) sikap wajar dan tenang,(2) gerak-gerik dan mimik, (3) volume suara, dan (4) kelancaran dan kecepatan. Pembaca puisi yang baik bisa bersikap wajar dan tenang; gerak-gerik dan mimiknya (ekspresi wajah) menggambarkan bahwa ia dapat memahami dan menghayati puisi yang dibacanya dan secara tepat dapat mendukung (menghidupkan) puisi yang dibacanya; pembaca puisi yang berpengalaman dapat menyesuaikan volume suara dengan tempat, jumlah penonton, dan ada-tidaknya pengeras suara. Kelancaran, kecepatan, dan ketepatan pembacaan puisi dapat mendukung kesuksesan dalam membaca puisi cecara estetis.

Bagaimanakah cara agar pembaca puisi penampilannya komunikatif, indah, dan memikat penikmat? Pembaca puisi minimal harus memiliki (1) penghayatan, (2) pelafalan, dan (3) penampilan. Penghayatan adalah pengalaman batin. Pembaca puisi sebaiknya memahami dan menghayati apa yang dirasakan oleh penyair pada saat menciptakan puisinya, memahami dan menghayati persoalan yang ditulis di dalam puisi, menangkap nada dan suasana puisi yang dibacanya. Selain itu, pembaca puisi perlu menguasai pelafalan yang meliputi kejelasan ucapan, artikulasi, kemerduan, dan kesesuaian tekanan dinamik (keras-lamah), tekanan tempo (cepat-lambat), tekanan nada (tinggi-rendah), dan modulasi (perubahan bunyi desah, gestur,dll.), tidak mengkorupsi dan menambah kata. Aspek penampilan meliputingerak kecil, gerak besar, dan mimik. Oleh karena itu, untuk mendukung penampilannya, pembaca puisi perlu menciptakan kondisi psikologis seperti pemusatan pikiran, percaya diri, dan memiliki pemahaman yang tepat secara kontekstual.

Berikut ini dikemukakan catatan lomba baca puisi yang diikuti oleh guru dan dosen serta resep jitu untuk membaca puisi secara estetis.

1. Berhasil-tidaknya penampilan baca puisi secara estetis bergantung apakah pembaca puisi memiliki rasa percaya diri (PD). Percaya diri ini merupakan gejala psikologis yang berkaitan dengan luas-sempitnya wawasan, pengetahuan, dan pengalaman si pembaca puisi. Semakin luas wawasan, pengetahuan, dan pengalaman maka semakin besarlah rasa percaya dirinya. Peserta lomba baca puisi di Bungo perlu meningkatkan rasa PD serta diimbangi dengan pemahaman yang lebih baik atas puisi yang dibaca. Lumayan banyak peserta baca puisi yang terjebak pada kekeliruan saay melafalkan kata "sayang" pada rangkaian frase "sepuluh tahun yang lalu dia terbaring, tapi tidak tidur, sayang (pengucapan "sayang" dalam konteks ini mengarah pada sikap "menyayangkan" atas sesosok jasad yang elok, masih muda, dan banyak dijadikan dambaan, tetapi kenyataan menunjukkan wajah rupawan dan penuh semangat itu kini terbujur sebagai mayat. Sayang kan?
2. Untuk membaca puisi secara estetis diperlukan pemahaman terhadap isi puisi yang akan dibaca. Pembaca puisi yang memiliki pemahaman isi puisi secara tepat dimungkinkan dapat membaca puisi secara tepat pula. Pemahaman terhadap isi puisi merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh pembaca puisi. Dengan dasar pemahaman itulah si pembaca puisi dapat menghayati isi puisi. Sikap "menyayangkan" pemuda tampan yang jadi korban saat pertempuran, dan bahkaan diidenifikasi sebagai "pahlawan tak dikenal" pada sajak Toto Sudarto Bachtiar jika bisa dibawakan dengan tepat niscaya akan menumbuhkan simpati.
3. Membaca puisi secara estetis menuntut penguasaan penampilan (ekspresi). Suasana sedih, gembira, murung, atau marah dapat diekspresikan dengan berbagai cara: sorot mata, raut wajah, dan gerakan tangan dan kaki. Ekspresi yang baik tentulah bertolak dari tema, nada, dan suasana puisi. Para peserta lomba perlu banyak mengasah kepekaan berbagai rasa ini saat mengikuti lomba baca puisi.
4. Penguasaan irama (ritme) pembacaan dengan memperhatikan berbagai variasi pembacaan dapat menunjang keberhasilan penampilan baca puisi secara estetis. Bedakan pembacaan tanda baca koma, titik, tanda seru, tanda tanya dalam larik-larik puisi.
5. Membaca puisi dengan perasaan atau tidak tentu sangat berbeda. Pemanfaatan emosi haruslah tepat takarannya. Makin wajar emosi, makin berhasil dalam penampilan. Andai peserta lomba bisa sedikit bersikap "santai", tenang, dan berani bergaya tutur niscaya akan memberikan nuansa yang lain.
6. Penguasaan panggung dan arena juga perlu disiasati oleh pembaca puisi. Kuasailah arena dengan berbagai cara, misalnya berjalan ke kanan, ke kiri, atau ke belakang dengan langkah dinamik dan ritmik.
7. Atur nafas baik-baik, jangan sampai terputus atau terbatuk dan dapat merusak suasana dan keindahan baca puisi. Nafas yang baik digunakan oleh pembaca puisi adalah nafas diafragma, bukan nafas dada.
8. Pusatkan pikiran dan perhatian (konsentrasi) hanya pada pembacaan puisi, jangan memperhatikan hal-hal lain di luar pembacaan puisi. Jangan terganggu oleh suara orang lain.
9. Ketika tampil membaca puisi, usahakan berkas puisi jangan menutupi wajah, sehingga menghalangi penonton menikmati ekspresi pembaca puisi.

Demikian catatan ringkas ini dibuat sebagai sebentuk pertanggungjawaban profesional selalu dewan juri.



Dewan Juri
Dimas Arika Mihardja (Ketua/ anggota)
Ramayani (anggota)
Asro Al-Murtawy (anggota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar