Jumat, 25 Februari 2011

PUISI-PUISI BERCORAK HERMETIS DI "RUANG JINGGA"

SAAT saya mengapresiasi sebiji puisi Rini Intama berjudul "Aku dan Kataku" (Ruang Jingga hal.4) saya memperkenalkan 3 corak penulisan puisi, yakni puisi diaphan, puisi prismatis, dan puisi hermetis. Puisi diaphan dapat diibaratkan sebagai kaca yang jernih, bening, dan bersih sehingga dapat melihat sesuatu yang jelas saat memandang kaca jernih itu. Puisi bercorak prismatis dapat diibaratkan sebagai kaca yang buram, memiliki motif-motif, dan saat memandang kaca itu berpendaran gambar, bayangkan, sesuatu yang bergerak, tetapi tidak jelas betul sesuatunya tersebab bersifat samar. Puisi bercorak hermetis dapat diibaratkan dengan kaca yang gelap. Memandang kaca yang gelap (membaca puisi yang gelap) kita tidak bisa dengan jelas melihat apa yang terungkap. Kali ini, saya akan menampilkan contoh-contoh puisi yang bercorak hermetis ini.

Contoh-contoh yang saya tampilkan ini mohon disikapi sebagai ilustrasi ke arah pemahaman dan pemaknaan yang lebih baik. Pembicaraaan ini juga tidak berpretensi "mengadili" sebuah puisi, melainkan sebatas menunjukkan bahwa di dalam puisi terkadang memunculkan "sisi-sisi gelap" yang tidak dapat dicerna oleh pembaca puisi. Puisi yang tidak dapat dicerna oleh pembaca puisi dapat diartikan telah mengalami kegagalan dalam berkomunikasi. Setiap penyair saat menulis dan mempublikasikan puisi hakikatnya hendak berkomunikasi dengan para pembacanya. Lantaran hubungan antara penyair dan pembaa tidak langsung (diperantarai oleh puisi yang banyak menggunakan simbol dan piranti puisi lainnya), maka puisi acap tidak dapat dipahami.

Tidak dapatnya sebuah puisi dipahami oleh pembaca, tentu dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, mungkin penyair "gagal" mengkomunikasikan gagasannya. Kedua, mungkin ungkapan puisi terlampau khusus (yang hanya dimengerti oleh penyairnya) dan pembaca kelabakan memahaminya. Ketiga, mungkin terdapat "jarak estetik" antara penyair dan pembaca. Keempat, mungkin bekal pembaca untuk memahami sebuah puisi tidak mencukupi.

Kita simak contoh-contoh puisi (bagian puisi) yang tergolong hermetis, seperti kaca gelap, dan sulit dinikmati oleh pembaca. Pada puisi "Rembang Pagi" (hal. 27) karya Lendy Soekarno kita dapati bait pembuka puisi seperti ini:

Pintu qori,
terkadang aku datang, dengan cakarku yang masih pucat,
kepada kepodang keil, teman senandung angin
kami sering bertapa bersama,di pekat alas kendaga samping pintu qori
sekedar menghabiskan malam dan menyambut rembang ufuk
....

Pintu istilah lainnya ialah qori. Siapakah yang datang ke pintu, yang memiliki cakar yang pucat kepada kepodang kecil,teman senandung angin yang sering bertapa bersama di pekat alas kendaga samping pintu qori? Keseluruhan ungkapan yang hadir di sini terasa gelap dan tidak memberikan jejak petunjuk tentang "siapa yang bercakar" bertapa di pekat alas kendaga samping pintu qori sekedar menghabiskan malam? Gelap. Komunikasi antara penyair dan pembaca terputus oleh ungkapan yang "menyesatkan". Bahkan pada puisi yang berjudul "Dalam kata-kata yang sederhana" pun kita menemukan ungkapan Lendy Soekarno yang terasa gelap. Di bait terakhir (hal. 29) kita temukan ungkapan seperti iji:

namun sungguh,...! tak terbilang degup mencambuk mimpi
mimpi senjakala sakral
mencaci kita yang tak kunjung beranjak lantaran,
lebih memilih rerantingan....sebagai ranjang tidur dan
tempat
sembunyi

sby 22 april 2010

Kutipan bait terakhir puisi berjudul "Dalam Kata Kata Sederhana" kita temukan ungkapan yang tidak sederhana, yang terasa gelap bagi pembaca lantas bertanya "apakah makna ungkapan ini?"

Pada puisi berjudul "Bayangan Menghilang" (hal. 34) karya Restu Hariyanto terdapat ungkapan "Aku terduduk, tanpa menyadri ranting lahirkan tunas/baru dan bulan berbaring menatap nanar fajar pagi". Pada puisi "Hal Selanjutnya" karyab Restu Haryanto kita temukan ungkapan seperti ini: "Pecahan cendana/ kulipat rapi dalam kelembutan sapu tangan sutra, yg pada/ sudutnya sulaman apel bertuliskan namaku".

Di awal tulisan ini telah saya kemukakan beberapa hal terkait dengan corak puisi hermetis, yang memiliki ruang gelap dan membuat jarak komunikasi antara penyair dan pembaca. Tidak dapatnya sebuah puisi dipahami oleh pembaca, tentu dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, mungkin penyair "gagal" mengkomunikasikan gagasannya. Kedua, mungkin ungkapan puisi terlampau khusus (yang hanya dimengerti oleh penyairnya) dan pembaca kelabakan memahaminya. Ketiga, mungkin terdapat "jarak estetik" antara penyair dan pembaca. Keempat, mungkin bekal pembaca untuk memahami sebuah puisi tidak mencukupi. Berbagai kemungkinan ini pada intinya terfokus pada gagalnya penyair mengemas puisi dengan ungkapan yang mengandung simbol atau kias atau majas lainnya dan minimnya pembaca dalam hal wawasan keasastraan.

Demikian. Salam kreatif.

Dimas Arika Mihardja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar