Minggu, 27 Februari 2011

D. KEMALAWATI DAN "SERONG"-NYA

Prolog:

Apakah yang terjadi jika ada dua orang penulis kreatif chating? Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya melakukan dialog intensif tentang karya dan kekaryaan, bertegur sapa biasa sembari membicarakan denyut hidup dan kehidupan, curhat sebagaimana umumnya orang melakukan chatting sembari saling berkomunikasi menyampaikan rencana-rencana kecil ke depan terkait dengan karir penulisan, atau kemungkinan akan terjadi interaksi yang bertolak dari rangsang kreatif sesama kreator. Sebuah interaksi dan komunikasi antarsesama kreator melalui media bahasa tulis, meskipun dalam format chatting, selalu saja tumbuh miskomunikasi, mispersepsi, terkait dengan masalah adanya paham dan salah paham, dan kemungkinan memunculkan juga bias-bias yang mereduksi sebuah interpretasi.

Satu masa, di bulan Februari 2010, saat saya online di YM dan FB, ada tamu hadir menyapaku dengan ucapan "Dah Jumatan?". Pertanyaan pembuka ini alih-alih menunjukkan bahwa antara yang bertanya (D. Kemalawati) dan pihak yang disapa (Dimas Arika Mihardja) saat itu sama-sama memiliki kepedulian terkait dengan kewaajiban ummat muslim, yakni melakukan sholat Jumat bagi kaum laki-laki. Pertanyaan ini tentu saja tidak sekedar basa-basi, sebab di balik ucapan itu juga tergambar sikap kepedulian seorang D. Kemalawati pada kewajiban sahabatnya untuk melaksanakan ritual sholat Jumat. Di balik sapaan "Dah Jumatan" juga terbayang sikap relegius penyanya dan pihak yang ditanya.

Pertanyaan "Dah Jumatan" itu lalu dijawab dengan respons jawaban “Sudah dong, ni masih berdegup .. isi khotbahnya.” Interaksi dan komunikasi terkait dengan dunia keyakinan dan keimanan itu semakin terasa "degupnya" mana kala pembicaraan mengarah pada sebuah karya, dengan pernyataan yang tidak sekadar berbasa-basi, melainkan berfungsi memperlancar intensitas pembicaraan. Kata "degup" itu tampaknya menjadi penanda dan kata kunci atau pintu untuk memasuki dunia karya kreatif yang dibaca dan diresepsi dengan kalimat berikut: “Duh… ikut berdegup juga nih… iri deh sama puisi-puisimu yang membuat degup jantungku ketika membacanya…”.

Lantaran saya kurang sreg jika membicarakan puisi karya sendiri, saya lalu menjawab pernyataan itu dengan kalimat: “Ya tulisan sederhana, sekadar tegur sapa, selain doa-doa tentunya… Kemarin Pak Harun nelpon katanya ngundangku ngajar di kampusnya”. Kalimat ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk mengalihkan topik pembicaraan karya, melainkan sekedar mengabarkan bahwa pada hari sebelumnya saya memang menerima telefon dari saudara Mohd. Harun, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Syah Kuala. Dengan kabar itu saya berharap suatu ketika saya bisa bertemu dengan D Kemalawati beserta keluarga besar di Banda Aceh.

Kalimat yang memberitakan sedikit rasa gembiraku untuk berkunjung ke Banda Aceh suatu ketika, atas undangan sahabat di Unsyiah itu pun direspon D. Kemalawati dengan kalimat berikut:

“waow.. surprais.. kabar bagus. Aku sering ceritain dirimu pada suamiku, suatu hari kami pasti akan menjadi tuan rumah untukmu.”

Seperti tak mengubris kegembiraanku, ia melanjutkan.

“Kuceritakan pada Harun bahwa kita sering tegur sapa, tapi beliau buru-buru mengingatkanku “hati-hati, istri orang” dan aku pun tertawa renyah, sebab ingatannya tak relevan dengan aku ha ha ha…”

“ Ya.. ya.. aku ingat bahwa diriku istri orang ketika bertegur sapa dengan orang lain, ah, masih ada diantara kita yang dilumuri prasangka..”

Dialog interaktif ini secara intensif memberikan penekanan-penekanan mengenai beberapa keinginan. Saya memang punya keinginan untuk sampai menginjakkan kaki di tanah rencong, Aceh. D. Kemalawati juga berkeinginan bertemu dan bahkan bertekad mengundangku sampai di rumahnya. Keinginan itu, alhamdulillah dapat terwujud atas undangan Lapena untuk melaksanakan launching buku 3 DI HATI, sebuah buku yang memuat puisi-puisi Diah Hadaning (Jakarta), Dimas Arika Mihardja (Jambi), dan D. Kemalawati (Banda Aceh). Saya benar-benar diundang, disambut, dan dijamu hingga tuan dan puan rumah (Helmi Hass dan D. Kemalawati) memberikan layanan istimewa (antar jemput mengenakan mobil yang dipinjami Pemda Kota Banda Aceh, diajak keliling melakukan silaturahmi dan ziarah tsunami, minum kopi di markas GAM, dibelikan banyak cinderamata khas Aceh). Mohd. Harun sahabatku itu, justru turut memanfaatkan kehadiranku atas undangan Lapena untuk tampil di hadapan mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Pascasarjana Universitas Syah Kuala bersama tuan Djazlam Zainal dari Melaka, Malaysia.

Cerita selanjutnya, chatting kami mengarah pada persoalan salah paham dan miskomunikasi soal "selingkuh" atau menurut cerita pendek yang digubah oleh D. Kemalawati sebagai hasil murni pembicaraan selama chatting dan cerita pendek ini saat dimuat di media koran Aceh, sempat juga mengundang keriuhan dan tanggapan beragam dari masyarakat pembaca. Hal yang perlu dicatat di dalam konteks ini ialah bahwa ternyata media komunikasi YM/Facebook tak selamanya berkonotasi negatif, sebab senyatanya dari chatting itu oleh penulis yang kreatif dapat diwujudkan ke dalam karya yang layak untuk wacana dan perenungan. D.Kemalawati mengabadikan hasil dan proses chatting antara saya (DAM) dan dirinya (D.Kemalawati) menjadi sebuah cerita pendek yang diberi tajuk "SERONG".

Pembaca dan sahabatku, silakan menikmati D.Kemalawati dan "Serong"-nya yang saya kopipaste dari http://rumohsastradekeumalawati.blogspot.com/, selamat menikmati semoga tercerahkan.


SERONG
Cerpen D Kemalawati

“Dah Jumatan?”

kata-kata itu terpampang di layar monitor laptopku. Tak tahu kenapa begitu melihat namanya ada di daftar teman yang online jemariku langsung bergerak, menarikan tuts-tuts keybort hingga tertera kalimat singkat itu. Tak menunggu lama mataku sudah melihat deretan huruf muncul di bawahnya.

“Sudah dong, ni masih berdegup .. isi khotbahnya.”

Aku langsung ingat puisi yang baru beberapa jam lalu ia tag untukku dan seorang teman lainnya.

“Duh… ikut berdegup juga nih… iri deh sama puisi-puisimu yang membuat degup jantungku ketika membacanya…”

Kuingat petikan baris ketiganya: /Cericit burung adalah kumandang azan /bersahutan. Jauh melayang menembus awan/ tak pernah jatuh gemanya/ kecuali terus ngalir di urat nadi/ rasakan degup-nya/bulan dan bintang/ terlukis di dinding hatinya.

“Ya tulisan sederhana, sekadar tegur sapa, selain doa-doa tentunya… Kemarin Pak Harun nelpon katanya ngundangku ngajar di kampusnya”

Dia mengalihkan pembicaraan, kebiasaannya bila aku komentari puisi-puisinya.

“waow.. surprais.. kabar bagus. Aku sering ceritain dirimu pada suamiku, suatu hari kami pasti akan menjadi tuan rumah untukmu.”

Seperti tak mengubris kegembiraanku, ia melanjutkan.

“Kuceritakan pada Harun bahwa kita sering tegur sapa, tapi beliau buru-buru mengingatkanku “hati-hati, istri orang” dan aku pun tertawa renyah, sebab ingatannya tak relevan dengan aku ha ha ha…”

“ Ya.. ya.. aku ingat bahwa diriku istri orang ketika bertegur sapa dengan orang lain, ah, masih ada diantara kita yang dilumuri prasangka..”

Ingatanku terbang pada sosok Harun, lelaki santun yang sangat mencintai keluarganya. Kelebat apa yang muncul di pikirannya saat dia mengatakan kata “hati-hati, istri orang” kepada teman dosenya itu. Curigakah ia.

Belum sempat aku berpikir jauh di layar monitorku muncul lagi baris-baris kalimat.

“Aku cuma cerita tentang pak Harun, jujur, aku selalu takut berkomunikasi dengan sahabat…”

Ops.. aku kaget, kata-kata itu membuat aku terbelenggu.

“Aku menganggap dirimu suhuku. Tak pada tempatnya aku memiliki “ perasaan lain”, sementara aku memiliki keluarga yang sangat menghormatiku. Tapi aku harus jujur mengatakan padamu bahwa kepedulianmu terhadap tulisanku membuat semangat menulisku bertambah. Apa itu salah, dan membuat aku harus mengikat diriku untuk tak bertegur sapa denganmu? Kalau itu terjadi, naïf benar diriku, mas.”

Ya, seperti baru mendapatkan pisau tajam memotong tali temali yang mengikat tubuhku, kata-kata itu lepas menyeruak begitu saja.

“Oke, baik, kita larungkan semua wasangka, memang komunikasi tulis itu tak mudah, soal paham dan tak paham terus akan bermunculan. Kita cuci dada kita hanya semata silaturrahmi dan saling tegur sapa sahaja.”

Benar, salah paham terlalu mudah terjadi maka larungkan wasangka itu. Aku berguman sendiri. Tapi ada yang belum tuntas saat aku mencuci hati. Kerikil-kerikil halus masih melekat tak mau hilang. Lalu jemariku menari lagi, huruf-huruf memintal kata menjadi kalimat-kalimat muncul lagi di layar putih persegi. Layar kecil yang dilatari baris-baris puisinya.

“Mungkin Harun tak kenal betul dengan diriku, meski kami sudah bergaul lama. Alhamdulillah, suamiku paham sekali sepak terjangku dan tak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Sebelum aktif di efbe, hapeku sering berdering dini hari bahkan saat-saat sebelum subuh. Sms-sms yang berisi puisi masuk dari beberapa teman penyair, ya, kadang memang kalau tak hati-hati bisa saja aku salah tafsir dengan puisi-puisi yang dikirimkan, maaf seperti puisimu yang membuatku berdegup. Jelas ketika sampai pada suatu titik aku pun memahami betapa releginya mereka, seperti dirimu juga yang membuat aku iri. Mas, beberapa puisimu yang aku suka sering aku share dengannya. Jadi tak ada peraturan bahwa aku istri orang saat aku membaca dan berkarya. Dia tahu aku telah jadi dan public mengenalku…”

“Ya, sekarang aku sedang menulis, sesuatu yang terus terang terinspirasi dari komunikasi kita lewat efbe. Menurut catatanku, kita sudah dua kali salah paham. Jadi tolong koreksi setelah membaca puisi yang nanti aku kirimkan, ya, semacam penafsiran tentang budaya Aceh yang sungguh sama sekali tak kupahami..”

Aku tersentak. Sudah dua kali salah paham? Kurasa aku harus mempertanyakan “salah paham- salah paham ” yang dimaksudkannya. Tapi tanda bulat hijau di sisi kanan bawah kotak obrolan terlanjur pudar. Aku tahu dia telah berlalu.

Meski aku kecewa, kucoba pahami baris-baris puisi yang kembali menghiasi layar monitorku.

Rencong, bentukmu memang bengkok
tapi sama sekali tak ada makna serong

……………………………………..

(Dimas Arika Miharja)

Banda Aceh, 19 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar