Sabtu, 19 Februari 2011

MEMASUKI PINTU-PINTU PUISI, MEMAHAMI DUNIA IMAJINASI

Oleh: Dr. Sudaryono, M.Pd


Aku telah terbuka perlahan-lahan, seperti sebuah pintu, bagiku
satu persatu aku terbuka, bagai daun-daun pintu,
hingga akhirnya tak ada yang bernama rahasia;
begitu sederhana: sama sekali terbuka


(“Penyair” karya Sapardi Djoko Damono, Tonggak 2, hlm. 408—409)


Penyair dan Puisi: Pintu Terbuka
Puisi sederhana gubahan penyair Sapardi Djoko Damono ini sengaja diturunkan sebagai pangkal tolak pemikiran diskursif bahwa menghadapi dunia puisi haruslah siap menghadapi aneka kemungkinan. Melalui puisi bertajuk “Penyair” Sapardi Djoko Damono telah bertindak jujur, membuka diri dan hatinya secara terus terang, serta membuang jauh-jauh segala yang bernama rahasia. Segala rahasia tersibak bersama terkuaknya “pintu-pintu” kejujuran. Memang modal penyair dalam menulis puisi ialah kejujuran, bukan menyembunyikan sesuatu. Namun demikian, meskipun dilandasi oleh sebuah kejujuran, puisi tetaplah menawarkan misteri melalui aneka imajinasi.

Harus diakui bahwa puisi menampilkan perilaku “aneh tapi nyata”. Ternyata, puisi memiliki pintu-pintu. Pintu-pintu itu memiliki lubang kunci yang mengarahkan langkah kita memasukinya. Anehnya, melalui lubang-lubang pintu itu kita “diusik” untuk memasuki dunia imajinasi yang penuh misteri. Kita diajak memasuki dunia kreativitas tanpa batas. Dunia yang pada awalnya penuh dengan rahasia, tetapi kemudian setelah pintu-pintu pemaknaan tersibak, maka terkuak pula misteri maknanya. Kita diajak memasuki dunia penyair dan puisi yang penuh kemungkinan. Adalah “aneh tapi nyata” ketika penyair melalui puisi-puisi yang digubahnya membuat kita takjub, terheran-heran, terpukau, terpesona dan secara spontan menyatakan afirmasi: “luar biasa”. Pernyataan seperti ini relevan ditujukan pada puisi gubahan Utomo Soconingrat—Penyair cilik dari Jambi yang “aneh bin ajaib”.

Penyair cilik kelahiran 13 Oktober 1999, anak pasangan penyair E.M. Yogiswara dan penari Lilik Bekti Lestari ini telah mempublikasikan puisi-puisinya di rubrik budaya surat kabar yang ada di Jambi. Selaku orang tua, E.M. Yogiswara memberikan support positif, misalnya mengantarkan puisi-puisi gubahan anaknya ke redaktur budaya surat kabar yang ada di Jambi. Untungnya, E.M. Yogiswara juga bekerja sebagai redaktur di harian Jambi Ekspres, sehingga ada peluang untuk memperkenalkan (mempublikasikan) puisi yang ditulis oleh si Tomo ini. Tentu Ayah dan ibunya juga yang membantu menuliskan kembali puisi Si Tomo ini ke dalam program Microsoft Word. Selain menulis puisi, “anehnya” si Tomo ini suka membaca puisi di panggung apresiasi. Kepiawaiannya membaca puisi ini ditampilkannya di Panggung Apresiasi Temu Sastrawan Indonesia yang digelar di Jambi 7—11 Juli 2008, sampai-sampai penyair Asrizal Nur (Depok) ketika itu tertarik akan mengajaknya tampil di Taman Ismail Marzuki.

Dalam satu hal, saya seperti Stephen Spenders lebih menyukai puisi-puisi yang ditulis oleh penyair di awal karir kepenyairan, sebab puisi-puisi yang ditulis pada awal karier kepenyairan terasa lebih murni, lebih jujur, lebih spontan, dan jauh dari manipulasi (begitu sederhana: sama sekali terbuka). Karya-karya (puisi) yang dihasilkan oleh penyair usia muda seperti John Keats (Inggris), Arthur Rimbaud (Perancis), atau Chairil Anwar (Indonesia) mewakili kebanggaan bangsanya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika kita “tidak menganggap ada” atau mencoret puisi-puisi mereka begitu mereka menulis puisi di usia dini, apakah sejarah perpuisian Inggris, Perancis, atau Indonesia dapat ditulis? Kita dalam konteks ini tidak dapat meremehkan usia muda, sebab di usia muda ini juga tersedia nilai-nilainya. Dalam konteks memberikan nilai inilah, atau tepatnya, memberikan penghargaan bagi karya anak bangsa inilah tulisan apresiatif ini dibuat.

Buah Kreasi “Anak Kecil” dan “Sang Nabi”
Ketika menulis puisi, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh kreator. Dua pendekatan itu, pinjam terminologi Sapardi Djoko Damono, ialah sudut pandang “anak kecil” dan sudut pandang “Sang Nabi”. Secara pragmatis, ketika kita menganlisis secara kritis wacana puisi, dua pandangan itu dapat diibaratkan sebagai pintu. Pintu-pintu itu seperti imajinasi Sapardi Djoko Damono digambarkan: terbuka perlahan-lahan .... satu persatu terbuka .... hingga akhirnya tak ada yang bernama rahasia; begitu sederhana: sama sekali terbuka. Dalam alam pikir anak kecil yang penuh fantasi atau khayalan berpendar aneka imajinasi yang luar biasa. Dalam bayangan anak kecil, sebuah sapu bisa berubah menjadi pesawat terbang, bisa berubah menjadi kuda, dan dapat berubah secara imajinatif menjadi “apa saja” sesuai dengan apa yang dikhayalkan, dibayangkan, atau diangankan. Gambaran angan yang berujud imajinasi itu begitu menonjol di kepala anak kecil. Selain itu, dengan kekayaan imajinasinya itu si anak kecil asyik dalam konteks permainan yang ia ciptakan.

Melalui alam pikir anak kecil yang suka berkhayal, berimajinasi, dan berangan-angan dapat dihasilkan kekayaan penggambaran yang memiliki makna. Demikianlah, ketika kreator menggunakan pendekatan “bermain-main” dalam menulis puisi dan berusaha menjauhkan diri dari kesan “main-main” dengan kesengajaan serta dilambari oleh orisinalitas pengungkapan yang jujur akan terbuahkan aneka puisi yang penuh dengan imajinasi. Imajinasi ini dibuahkan melalui upaya pemaksimalan aktivitas psikis berkayal, melamun, merenung, dan memikirkan satu hal. Pada puisi “Matahari” Utomo Soconingrat menampilkan pemikiran khas anak-anak yang penuh dengan pertanyaan. Dan kita orang yang lebih tua sering terkejut menerima pertanyaan atau pernyataan seperti ini “Matahari/sampai kapan kau menyinari bumi/Jangan pergi dari bumi/Kalau kau tak ada bumi bak kubur/ Gulita dalam gelap”.... Sampai kapan kau menjadi sumber kami/Jangan alfa memberi cahayamu/Jika kau tak ada bumi mati// Matahari/sampai kapan apimu meredup/Gaib bersama bumi//.

Serentetan pertanyaan dan pernyataan khas anak kecil tersebut mengandung kemurnian pemikiran, jujur, dan jernih. Logika yang dipakainya juga mengesankan adanya konsep berpikir pada tataran kongkret hingga abstrak. Kita, orang tua sering dibuat terkejut oleh imajinasi anak kecil yang liar tetapi dapat dipahami. Kita terkejut membaca ungkapan “Kita tidur di bumi/Bangun di akhirat/Kelak kita dilempar di dua pintu/Neraka atau surga (“Dua Pintu Kita”). Kita selaku orang tua kaget dan berusaha memahami maksud ungkapan “Kita tidur di bumi/Bangun di akhirat”. Kehidupan di bumi hanyalah sementara dan kehidupan yang sejati dan abadi adalah di akhirat. Hidup sementara digambarkan dengan diksi “tidur di bumi” dan kehidupan abadi diwakilkan melalui diksi “Bangun di akhirat”. Bagaimana mungkin ungkapan religius seperti itu meruak dari alam pikir anak kecil? Hal ini tidaklah mengherankan, justru di benak anak kecil gambaran surga dan neraka begitu jelasnya. Yang membuat kita tersentak ialah diksi “tidur di bumi”, “bangun di akhirat”, dan “dilempar di dua pintu”. Diksi-diksi ini khas, unik, dan menarik perhatian.

Di dunia anak kecil sering kita jumpai pertanyaan-pertanyaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah sesungguhnya sang anak menggali hakikat atau substansi sesuatu. Dalam puisi bertajuk “Anak Kecil Kehilangan Ibunya” selain narasinya runtut kita dapati serangkaian pertanyaan khas anak kecil: “Kenapa ibu dimasukkan di lubang/ Kenapa ibu tidur di tanah/ Kenapa ibu ditimbun/Kenapa ibu diinjak-injak/Kenapa ibu dikasih bunga”. Serangkaian pertanyaan ini secara filosofis mengandung dan mengundang jawaban mengenai substansi yang dipertanyakan. Lantaran pemahaman anak kecil terbatas, maka pertanyaan yang mengandung jawaban hakiki banyak dilontarkan. Aneka pertanyaan itu pada akhirnya menggiring si anak memiliki pemahaman dan pengalaman yang kongkret.

Selain puisi dibuahkan kreator dari sudut pandang “anak kecil” yang penuh imajinasi, puisi juga dihasilkan melalui pendekatan “sang nabi”. Apabila puisi dihasilkan melalui sudut pandang “anak kecil” tercipta puisi yang kaya imajinasi, lincah, tak terduga, mengejutkan, dan menyenangkan, maka di pihak lain puisi yang dihasilkan dari sudut pandang “sang nabi” berisi fatwa-fatwa agamais yang religius sifatnya. Puisi-puisi yang digubah dengan sudut pandang “sang nabi” berisi dengan aneka ajaran dan pesan moral. Penyampaian ajaran dan pesan moral ini realisasinya dapat terungkap secara sederhana, namun di pihak lain dapat pula terungkap secara kompleks. Religius yang bertaraf permulaan tampil melalui kesederhanaan, sedangkan religiusitas yang bertaraf tinggi cenderung menggambarkan kompleksitasnya (berbagai tingkatan: syariat, tariqat, hakikat, dan makrifat, dan berbagai paham serta keyakinan lainnya).

Puisi yang tergolong berpendekatan “sang nabi” yang digubah oleh Utomo Soconingrat adalah “Menuju Jalan Pintumu”, “Anak Kecil Kehilangan Ibunya”, “Melihat Kebesaranmu”, “Tobat di Perut Paus”, “Subuh”, “Yang Maha Esa”, “Berpuasa”, “Ramadhan”, termasuk puisi yang diandalkan sebagai judul buku “Dua Pintu Kita”. Pada puisi “Melihat Kebesaranmu”, misalnya, kita baca repetisi “Ya Allah/sinarilah pikiranku dengan sifat-Mu”. Lantaran Allah itu tak terlihat, maka pada sajak ini ditampilkan hal-hal yang dapat dilihat sebagai representasi kebesaran Allah. Hal-hal yang dapat dilihat itu berupa benda-benda galaksi yang memperlihatkan kebesaran Allah seperti matahari, merkuri, venus, bumi, mars, jupiter, saturnus, neptunus, pluto. Untuk melihat kebesaran Allah juga ditampilkan hasil karya teknologi yang dihasilkan oleh manusia seperti ungkapan berikut: “apolo yang mendarat di bulan/ fiking yang mendarat di mars/ voyager telah diluncurkan/ke jupiter dan saturnus” (dan manusia juga ciptaan Allah).

Mengapa Utomo Soconingrat yang tergolong belia ini telah merambah pemikiran tentang dunia akhirat? Apakah puisi yang bertema Ilahiah ini digubah dengan sengaja? Bagaimanakah realisasi pemahaman keyakinan ini merasuki puisi-puisi yang digubah? Sekali lagi, seperti dinyatakan di awal tulisan ini, bahwa kita tidak boleh memandang rendah usia muda. Persoalan keyakinan, pemaknaan, dan pemahaman masalah ketuhanan bukanlah semata urusan orang tua, terlebih orang tua yang mendekati liang lahat. Masalah ketuhanan, keyakinan, pemahaman mengenai ketuhanan tentulah menjadi persoalan semua orang, termasuk anak usia muda. Dalam konteks ini kesederhanaan atau kompleksitas penggarapan tema ini tidak perlu dipermasalahkan benar.

Secara substansial, setiap umat manusia adalah tempat khilaf dan salah kemudian atas kesadaran tentang salah dan khilaf ini manusia lantas meminta ampun dan berserah diri kepada Allah. Hal ini tampil melalui puisi kutipan “Menuju Jalan Pintu-Mu ini: “Ya, Allah, taburkan ampunku/Jauhkan kami dari durhaka dan iri dengki/Jauhkan pikiranku dari kegelapan/Bersihkan pikiranku dari mimpi dunia/Sucikan hatiku dari kotoran/Tuntun langkahku, agar ku tak sesat/Menuju Pintu-Mu....”. Hal yang menarik, penyair cilik ini menggubah fabel dan parabel melalui cerita nabi Yunus sebagaimana terbaca pada puisi berjudul “Tobat Di Perut Paus”. Puisi ini digubah berpangkal tolak dari sudut pandang bahwa puisi yang baik adalah puisi yang mengandung nilai, ajaran, atau hikmah. Melalui puisi yang digubah, kreator bermaksud menyampaikan ajaran yang berkaitan dengan pemikiran religius. Yang menarik, puisi ini digubah berdasarkan referensi historis, yakni sejarah nabi Yunus. Puisi lain yang juga digubah berdasarkan referensi pengetahuan keilmuan ialah puisi berjudul “Megaloceras”. Lantaran puisi ini digubah berdasarkan referensi, maka tidaklah mengherankan jika di akhir puisi perlu ditambahkan “catatan kaki”.

Tiga Dimensi Tematis
Secara kategoris, dalam penulisan puisi kreator bertolak dari tiga dimensi tematis: religiusitas, personal (individual), atau sosial. Tiga dimensi ini secara visual dapat diskemakan dengan segitiga sama sisi seperti ini:{{ALLAH)--(MANUSIA) -- (KEHIDUPAN)}.

Skema ini disebut dengan “SEGITIGA SAMA SISI” dalam proses kreatif penciptaan puisi. Pada sudut paling atas segitiga adalah ALLAH (representasi MISTERI ILAHI); sudut bawah—kiri adalah MANUSIA (representasi MISTERI manusia); dan sudut kanan—bawah adalah KEHIDUPAN SOSIAL (representasi MISTERI kehidupan) dan bidang yang berada di tengah-tengah segi tiga adalah lingkaran MISTERI.

Dalam hubungan antara manusia dengan Ilahi terentang misteri. Pemahaman, penghayatan, dan keyakinan manusia terhadap Sang Ilahi merentangkan hubungan misterius dalam berbagai tingkatan: syariat, tariqat, hakikat, dan makrifat, dan berbagai paham serta keyakinan lainnya. Dalam hubungan antara manusia dengan kehidupan juga merentangkan sejumlah misteri: ada-tiada, berada-mengada, ada-bersama, ada-sendiri, dll. Demikian pula hubungan antara manusia, Ilahi, dan kehidupan terdapat misteri dan manusia secara filosofis-transendental selalu berupaya memahami hakikat hidup, asal muasal hidup, rona hidup, tujuan hidup, kualitas hidup, dan lainnya.

Secara triadik, di dalam segitiga sama sisi ini terdapat LINGKARAN MISTERI yang tidak habis digali selama proses kreatif penciptaan puisi. Konsepsi estetik ini, lebih lanjut memang menjadi urusan masing-masing kreator. Setiap kreator memiliki pandangan yang beragam tentang bagaimana ia menghasilkan puisi. Konsepsi estetik ini merupakan wujud nyata visi sastrawan pelahirnya. Puisi yang digubah oleh Utomo Soconingrat secara tematis berkenaan dengan tiga dimensi, yakni persoalan personal-individual, persoalan sosial, dan persoalan religius (dalam pengertian yang luas). Tiga persoalan yang merupakan tematis puisi tersebar pada 30 sajak dalam buku ini. Dalam hal ini perlu kembali diingatkan ungkapan lama yang menyatakan bahwa tema boleh sama, namun yang menarik adalah bagaimana tema itu diekspresikan oleh penggubahnya ke dalam puisi. Ini berarti bahwa daya tarik puisi terutama bukan terletak pada tematiknya, melainkan pada daya tarik ekspresinya.

Menghadapi sejumlah puisi yang terhimpun dalam buku ini ada beberapa ingatan dan catatan. Pertama, puisi yang memuisi adalah puisi yang “pintar bermain” dalam imajinasi pembaca. Puisi tersebut benar-benar “memainkan” perasaan dan tanggapan pembaca. Pembaca diajak masuk dunia “permainan” yang menyenangkan yang pada akhirnya menerima sesuatu sebagai renungan. Kedua, baik dan buruknya puisi tidak semata-mata terletak pada persoalan yang diungkapkan, melainkan yang lebih penting lagi ialah pada bagaimana mengungkapkan. Pernyataan ini berimplikasi pada hal ketiga, bahwa puisi yang baik ialah puisi yang komunikatif-estetis-kontemplatif. Puisi yang baik “dapat dipahami” oleh pembaca, mengandung estetika yang menawan, serta menawarkan perenungan secara tenang. Hal yang keempat, kita perlu mengenal pendekatan menulis puisi agar dapat memberikan pemahaman yang tepat terhadap “apa yang dimaui” oleh kreator. Akhirnya, kelima, dapat dikemukakan bahwa dunia puisi adalah dunia yang penuh teka-teki. Penuh misteri. Itulah sebabnya, puisi dapat bertahan di akhir zaman. Salam budaya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar