Jumat, 25 Februari 2011

MELACAK “JEJAK ARUS” SOFYAN DAUD

Dimas Arika Mihardja



Sofyan Daud, kelahiran Ternate 26 Oktober 1972, melalui inbox facebook dan email meminta saya menulis “Prolog” buku antologi Jejak Arus. Buku ini rencananya akan dipralanunching 26 Oktober 2010 sebagai penanda kelahirannya di dunia. Buku ini juga akan dibawa serta penyair Sofyan Daud mengikuti serangkaian acara Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang 28—31 Oktober 2010. Dalam tempo “sesingkat-singkatnya” saya diminta menyelesaikan prolog ini. Ada sedikit kerepotan tentunya, misal terkait dengan pertanyaan dengan pendekatan apa membaca sajak-sajak dalam buku ini? Saya lantas memutuskan memilih pendekatan ala pemandu wisata untuk turut melacak Jejak Arus Sofyan Daud, penyair yang juga menjadi wakil rakyat di DPRD Kota Tidore 2009-2014. Penyair ini produktif menulis dekade 1988—2010.

Buku yang nerangkum 99 puisi ini terbagi dalam beberapa bagian, yakni Jejak Arus Perih, Sajak Hanya Kata, Interlude, Pencarian, Arus Segala Setia, Langit Tanah Kami, Jejak Pengembara, dan Catatan Harian Dua Jiwa. Menilik corak pemilahan dan pemilihan puisi, lalu terkait dengan jumlah 99, pembaca lalu terasosiasikan dengan Asmaul Husna—nama-nama kemuliaan Allah. Hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Maha Pencipta memang terasa menyergap dan mendominasi puisi-puisi dalam buku ini, namun lantaran penyair menjejak di bumi Ternate (dan Indonesia) maka wajar jika dalam buku ini terdapat puisi-puisi yang “membumi”. Dalam garis besarnya, untuk memudahkan klasifikasi, buku ini memuat “puisi-puisi bumi” dan “puisi-puisi langit”.

Puisi-puisi yang terkait dengan “bumi” melukiskan “jejak pengembara” yang mengungkapkan “jejak dua jiwa”, yang terkadang serupa “jejak arus perih” di “langit tanah kami”, mendedahkan “arus segala setia” dalam “pencarian” dan pengolahan “sajak hanya kata” di saat “interlude” sekali pun. Buku ini, Jejak Arus, menjadi semacam rekam jejak penyairnya sebagai kalifah di bumi yang tak lelah menatap kelebat sayap dan senyap di langit yang penuh rahasia.


+++

Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Di samping fungsinya yang bersifat umum tersebut, bahasa memiliki fungsi-fungsi yang bersifat khusus. Fungsi-fungsi yang bersifat khusus itu tetap merupakan bagian atau aspek fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi komunikatif “puisi” diasumsikan sama dengan fungsi ba­hasa pada umumnya. Adalah suatu kenyataan bahwa manusia memperguna­kan bahasa sebagai sarana komunikasi. Demikian juga penyair dalam menu­lis puisi pada dasarnya untuk memenuhi keinginan berkomunikasi dengan para pembacanya. Pada satu sisi penyair bertindak selaku penutur dan pada pihak lain pembaca bertindak sebagai mitra tutur. Dalam komunikasi yang wajar dan lancar hubungan antara pembicara dan penyimak terasa se­bagai suatu peristiwa biasa dan wajar.

Fungsi bahasa yang bersifat khusus itu bermacam-macam dan klasifikasinya pun beraneka ragam. Sejumlah ahli bahasa telah menaruh perhatian besar terhadap fungsi bahasa. Halliday dalam buku berjudul Explorations in the Functions of Language (1973) mengemukakan tujuh fungsi bahasa sebagai berikut: (1) fungsi instrumental (instrumental function), melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi; (2) fungsi regulasi (the regulatory function), bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa sehingga muncul ben­tuk-bentuk persetujuan, celaan, keti­daksetujuan, dll.; (3) fungsi pemerian (the representational function), yakni peng­gunaan bahasa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta, dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan dengan cara menggambarkan; (4) fungsi interaksi (the interactional function) bertugas untuk menjamin serta meman-tapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi, interaksi sosial; (5) fungsi perorangan (the personal function) memberi kesempatan kepada seseorang pembicara untuk mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang mendalam. Kepriba­dian seseorang biasanya ditandai oleh penggunaan fungsi per­sonal bahasanya dalam berko­munikasi dengan orang lain. Dalam konteks ini, kesadaran, perasaan, dan budaya turut bersama-sama dalam in­teraksi; (6) fungsi heuristik (the heuristic function) melibatkan penggunaan ba­hasa untuk memperoleh pengetahuan, mempelajari seluk-beluk lingkungan dengan mengajukan per­tanyaan; dan (7) fungsi imajinatif (the imaginative function) melayani pen­ciptaan sis­tem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.

Dengan istilah lain, Levinson meminjam pendapat Jakobson (1960) untuk mengungkapkan fungsi ujaran (baca: fungsi komuni­katif bahasa) se­bagai berikut: (1) fungsi referensial, memusatkan perhatian kepada isi acuan sesuatu pesan; (2) fungsi emotif (ekspresif), memusatkan perhatian kepada keadaan sang pem­bicara; (3) fungsi konatif (direktif), memusatkan perhatian kepada keinginan-keinginan sang pembicara untuk dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyi­mak; (4) fungsi metalinguistik, memusatkan perhatian kepada sandi atau kode yang dipergunakan; (5) fungsi fatik, memusatkan perhatian kepada saluran; dan (6) fungsi puitik (estetik), memusatkan perhatian kepada bagaimana ca­ranya suatu pesan disandikan atau ditulis dalam sandi. Fungsi emotif dalam terminologi Jacobson identik dengan fungsi ekspresif, fungsi konatif identik dengan fungsi direktif, dan fungsi puitik identik dengan fungsi estetik.

Ahli bahasa yang lain, Finochiaro (1977) membedakan fungsi bahasa menjadi lima kelompok. Kelompok itu adalah sebagai berikut (1) fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa pikiran maupun berupa perasaan; (2) fungsi interpersonal, yakni merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antarpenutur atau antarpersona untuk menjalin hubungan sosial; (3) fungsi direktif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain, menyuruh orang lain, memberikan saran untuk melakukan tindakan, atau meminta sesuatu; (4) fungsi referensial, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referen dengan menggunakan lambang bahasa; dan (5) fungsi imajinatif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan berimajinasi.

Apabila dikaji lebih lanjut, meskipun terdapat beragam pendapat dan klafisikasi fungsi bahasa dari para pakar, dapat dinyatakan bahwa bahasa dalam gubahan Sofyan Daud berfungsi mengkomunikasikan tiga hal, yakni pikiran, perasaan, dan sikap. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa bahasa dalam kehidupan manusia memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Dengan bahasa manusia hidup dalam dunia pengalaman nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Manusia mengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi pada dunia simbolik. Selain itu, manusia memberi arti bagi yang indah dalam hidup ini dengan bahasa. Dari sanalah tercipta karya yang mengungkapkan nilai-nilai estetik, antara lain berupa puisi. Akhirnya, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa dengan bahasa manusia dapat mengungkapkan pikirannya, mengekspresikan perasaannya, dan menyatakan sikapnya.

Akhirnya, pembicaraan ini sampai pada muara, bahwa Sofyan Daud selaku kreator berusaha menggedor-gedor pintu harti pembacanya secara lembut, santun, dan tidak meletup-letup tetapi cukup hidup. Pembaca puisi Sofyan Daud bisa jadi lantas manggut-manggut memahami makna puisi yang digubahnya sembari menyeruput kopi hitam di tengah hujan yang lantas mendapatkan sentuhan kehangatan. Demikianlah, sekilas pembacaan bagaimana seorang Sofyan Daud mengeksplorasi cara berkomunikasi melalui puisi yang digubahnya.

+++

Puisi-puisi yang terangkum dalam Jejak Arus karya Sofyan Daud dengan demikian dapat diklasifikasikan sebagai puisi yang berpijak di bumi (Ternate dan Indonesia) dan puisi-puisi “melangit”. Satu ketika penyair ini meraagukan potensi puisi untuk menggugah rasa kemanusiaan (baca: bagian Sajak Hanya Kata). Jika penyair telah “melabeli” puisinya dengan Sajak Hanya Kata, maka kesangsian dan keraguan penyair atas potensi puisi sebagai silaturahmi kultural disangsikan sendiri oleh penyairnya. Kenapa? Sebagian sajak yang digubah oleh penyair biasanya mengendap di ruang senyap, tak terjamah pembaca, dan pada akhirnya komunikasi batiniah menjadi sesuatu yang mewah.

Bagian “Puisi Langit” secara umum merisalahkan betapa Sofyan Daud sebagai penyair berusaha sangat keras menyibak rahasia Ilahi. Pergumulan kemanusiaan di bumi dan di bawah langit lalu ‘menjeritkan luka mencinta”. Seperti pintu-pintu yang berderit, perlahan terbuka; atau seperti jendela yang terkuak, pembaca buku ini dapat melacak jejak tanda cinta penyairnya dalam bergumul persoalan hidup dan kehidupan di bumi dan mengarah ke ketinggian langit. Selamat membaca dan menikmati gubahan penyaair Sofyan Daud. Semoga, pembaca budiman memperoleh hikmah kebaikan. Salam.

Jambi, 11 Oktober 2010
Dimas Arika Mihardja
Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar