Rabu, 23 Februari 2011

"NYANYIAN SERIBU BURUNG"NYA PENYAIR GILA ARSYAD INDRADI

Dimas Arika Mihardja

BAYANGKAN di sebuah taman keindahan, penuh dengan berjenis burung dengan sayap warna-warni serupa pelangi. Burung-burung itu pun menyanyi silih berganti, saling isi dalam komposisi menyerupai orkestrasi bunyi, menyenandungkan aneka suara yang penuh makna. Lihatlah, bulu-bulu aneka burung itu. Ada yang menyerupai kipas, ada yang menyerupai selendang bidadari, ada yang menarikan warna-warni bahasa jiwa. Ada kicauan burung yang seih merintih, nikmat meratap, menyuarakan gelora cinta, menyenandungkan persoalan ada dan tiada, merisalahkan kisah-kasih yang indah dan abadi. Semua itu ada di dalam buku kumpulan puisi "Nyanyian Seribu Burung" karya Arsyad Indradi.

Sampul buku berwarna pink dengan desain tulisan artistik dan dipadupadankan dengan tampilan kharismatik si Penyair "Gila" Arsyad Indradi yang sedang membaca puisi serta dilengkapi dengan logo penerbit Kelompok Studi Sastra Banjarbaru--yang semua artistik, lay out, dan proses penerbitannya ditangani sendiri oleh penyairnya menunjukkan kegilaan kreatif seorang Arsyad Indradi (AI). AI yang lahir 31 Desember 1949 di Barabai, Banjarbaru ini memang tergolong "gila". Bayangkan, AI membidani terbitnya sebuah buku fenomenal bertajuk "Antologi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan" (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006). Buku ini memuat puisi-puisi karya 142 penyair nusantara, hingga tebalnya 728 +xii). Saya katakan fenomenal, sebab buku ini diketik sendiri, dilay out sendiri, dicetak sendiri, dan dibiayai sendiri. Kegilaan lainnya ialah, AI membuatkan blog untuk penyair-penyair di setiap kota yang karyanya dimuat dalam buku ini.

Tulisan apresiatif ini hanya terkait dengan sebuah buku yang juga fenomenal, yakni "Nyanyian Seribu Burung" (Pusat Studi Sastra Banjarbaru, April 2006). Buku ini memuat 122 puisi AI yang ditulis pada rentang waktu 1970 sampai dengan tahun 1999. Sepanjang tahun ini proses kreatif AI tak kunjung berhenti.AI berkarya dan berkreasi terus seperti aliran sungai Mahakam yang beriak-riak. Kita simak pengantar AI megawali buku ini:

"Antologi puisi ini saya terbitkan sendiri dengan tujuan menghimpun puisi-puisi yang berserakn di sana-sini dari tahun 1970-1999, dan untuk mengenang Penyair Hijaz Yamani dan Yustan Aziddin. Kedua penyair senior ini saya anggap orang tua saya sendiri bahkan guru saya yang banyak membimbing saya dalam bersastra. Juga mengenang sahabat-sahabat saya Penyair Ajamuddin Tiffani dan Sabri Hermantedo. Di mana kami tahun 70-an menjadi anak jalanan dan belajar memasuki dunia sastra"


Kita baca dan nikmati betapa seorang AI melakukan introspeksi di halaman 1 buku ini:


aku berkaca

: r. mawarni


aku berkaca
pada tubuhmu
melahirkan sebuah laut
membawaku terus berlayar
entah sampai ke mana

langit menyembunyikan pantai
pada ribuan ombak dan buihbuih
dan angin membunuh burungburung
aku jadi teramat letih
tapi tak juga kau beri aku dermaga
dalam nafasku

mungkin inilah riwayat
pelayaran terdampar di sini
pada sebuah ajal

Banjarmasin, 1970


Usai membaca puisi ini, siapa pun akan merasakan betapa kuat dan memikatnya sajak lawas ini. Pada puisi ini, puisi yang ditulis 1970, menunjukkan kepada kita betapa trend menulis puisi dengan huruf kecil semua telah menjadi pilihan penyair. Hal yang menarik tentunya, saat berkaca, AI mengajak kita untuk menyelami ceruk dan lubuk kehidupan lengkap dengan metafora sebagai perbandingan dan kiasan hingga sampai batas yang disebut ajal. Sebuah puisi yang tak hanya didukung oleh keindahan tipografi, didukung oleh seleksi diksi, tetapi juga membuahkan dan menawarkan renungan dengan cara "berkaca". Saat seseorang bercermin, maka akan terpantul pula aneka bayang hidup dan kehidupan yang terrefleksikan.

AI sebagai penyair yang mulai bersajak bersama Hijaz Yamani dan Ajamuddin Tifani, misalnya menampilkan metafora laut lengkap dengan aneka gambaran yang ada di dalamnya, seperti "antara kapal berlabuh" (hal 2), "Kendati Hujan Gerimis" (hal. 3), "Semenanjung Desir" (hal.15), "Kuli Pelabuhan" (hal 24), dll. Sebuah puisi yang merekam jejak panjang perjalanan kreatif AI,kenangan bercintanya, refleksi kehidupannya tampil dengan memukau pada puisi berjudul "Ketika Kapal Lepas Pelabuhan", yang sekadar mengenal betapa kentalnya renungan hidup dan kehidupan penyair AI saya kutipkan:


Ketika Kapal Lepas Pelabuhan
: sui lan


masihkah kau di sana
dengan lambaian tangan
mencoba belajar
membaca sauh yang dinaikkan
dan peluit terakhir dibunyikan

karena laut teramat luas
arung memerlukan kesetiaan
karena ombak dan buih di buritan
tidak pernah lagi mengenal tepian

masihkah kau di sana
menghitung harihari perjanjian
sementara aku mencoba membangun
pelabuhan dalam diriku sendiri
ketika kakilangit tak lai memberi warna

banjarmasin, 1974

Puisi yang penuh dengan metafora laut, lambang hidup dan kehidupan dan juga batas kematian, dengan elegan tampil secara menawan. Puisi serupa ini, suatu ketika saya pilih sebagai wacana puisi yang perlu dikaji oleh mahasiswa dan bahkan jadi materi ujian akhir semester mata kuliah Kajian Puisi. AI, seperti juga penyair seangkatannya dikenal memilih corak puisi yang transendental, relegius, dan bahkan ada juga rona sufistik. Para penyairketika itu memang sedang memilih "Kembali ke akar, kembali ke sumber penciptaan, yakni kembali ke tradisi".

Pada puisi-puisi AI memang ditemukan sosok-sosok "ilusif" yang diterakan di bawah judul puisi, seperti r. mawarni (yang tak hanya merujuk pada sebuah nama, melainkan juga simbol "mawar"), natal (hari kelahiran), sui lan (seseorang atau sesuatu yang senyatanya mampu memberikan energi saat penciptaan puisi, memberikan dorongan dan sekaligus sebagai sesuatu yang dituju oleh penyair). Di antara puisi-puisi yang lahir dari tradisi sufistik transendental, dalam buku ini juga ditemukan sebuah puisi yang tipografinya menyerupai gaya kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri yang tipografinya resah dan gelisah seperti ini:

Kau Ada di Sana



senja
jangan cepat
kau
gemawankan
langit ini
agar
pinus
mengantarkan
aku
kesebuah derai yang jauh rintihkanlah halangin seperti rinduku pada Kau



banjarbari, 1978



East Star From Asia, saat menulis prolog di buku "Nyanyian Seribu Burung" karya AI, menandaskan tentang tiga hal yang membuat unggul suatu bangsa atau seorang pribadi: pertama, kesadaran akan waktu; mereka yang sadar waktu selalu membangkitkan motivasi melakukan sesuatu yang lebih baik. Kedua, kemampuan membuat kode bahasa. Seorang pribadi kuat ia mampu menulis sejarah dengan karyanya. Ketiga, kemampuan membuat dan menguasai alat-alat bantu untuk menghadapi dan bertahan dalam lingkugannya. AI dipandang sebagai sosok unggul serupa "Si Burung Seribu Nyanyian" yang memukau lantaran makna yang dialirkannya. AI melalui puisi-puisinya telah bernyanyi dengan notasi dan komposisi di panggung orkestrasi dunia sastra. Sebagai pamungkas apresiasi sederhana ini, saya tampilkan puisi yang ditulis 1999/2000 yang termuat di lembar terakhir buku "Nyanyian Seribu Burung" (hal 122):


Suatu Telaga Akhir Tahun

Seekor belibis terjun ke telaga
Percakapan ini terhenti seketika
Terasa aku tinggal sendiri

Samar caya di daundaun padma
Apalagi yang bisa kukenang
Bila bulan kehilangan bayang

Kala ikanikan telah menyepi
Siapa antara kita
Yang hilang dalam diri

Jika aku lahir kembali
Isyaratkan di mana riak
Menyimpan mimpi

Banjarbaru, 1999/2000


Penyair AI yang banyak mempublikasikan puisi-puisinya melalui media massa cetak, facebook, dan terutama di blog yang dikelolanya, yang mendirikan Kelopok Studi Sastra Banjarbaru, dan banyak peduli pada kegiatan Aruh Sastra di Kalimantan Selatan, wajar memperoleh penghargaan dari Majelis Bandaraya Melaka bersejarah pada pesta Genang Nusantara 7 malaysia (2004), penghargaan Seniman Tari dari Walikota Banjarbaru, mendapatkan penghargaan sebagai blogger terbaik. Sebagai teman, sahabat, dan musuh dalam dunia kreativitas saya perlu menjabat tangannya erat-erat, seperti suatu masa saat begadang semalam suntuk di halaman Taman Ismail Marzuki hanya sekadar membicarakan seni dan berkesenian. Demikianlah, salam budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar