Kamis, 24 Februari 2011

MENIKMATI "PHANTASY POETICA", MENGINTIMI PUISI RINI INTAMA

Oleh Dimas Arika Mihardja



HARI INI, Kamis 14 Oktober 2010, saya menerima buku kiriman Rini Intama. Sebuah buku yang memuat puisi dan cerpen karya penulis muda, satu sisi buku bertitel "Phantasy Poetica" dan satu sisi lainnya memuat cerpen yang diberi titel "Imazonation" (PM Publisher, 2010). Masuk dalam jajaran penulis muda yang menyumbang puisi-puisinya adalah: Abdul Majid Kamaludin, Angga Sukma Sky, Astri Poetry, Bekti Yustiarti, Chairul (Rolix) Ikhsan, Dwi Andari, Eros Rosita, Iin Syah, Lasinta Ari nendra Wibawa, Nanang Rusmana, Putri Fatimah Pratama, Restu Ashari Putra, Rini Intama, Riyadi, Suguh Kurniawan, dan Wardjito Soeharso. Penulis cerpen yang dimuat karyanya di antaranya Delasari Pera Belawa, Daud Al Insyirah, Elly Lizzya, Jama'atun Rohmah, Jun An Nizami, Nurfita Kusuma Dewi, Riris Raden, Talitha Huriyah, dan Yathi Hasta. Dari barisan nama-nama baru ini terselip nama yang cukup familiar, yakni Rini Intama. Review ini dibuat secara khusus terpusat pada puisi-puisi gubahan Rini Intama, yang berjiwa dan bersemangat muda.

Dalam antologi puisi "Phantasy Poetica" ini Rini Intama menyertakan 5 (lima) puisinya, masing-masing berjudul "Di Persimpangan yang Lindap", "Sajak Hampa", "Nyanyian Sang Ombak", "Merajuk", dan "Surat pada Mei". Menilik dan menelisik judul-judulnya ini pembaca mulai disuguhkan permen aneka rasa. Rasa gamang seperti di persimpangan dapat terlacak lewat puisi "Di Persimpangan yang Lindap" (hlm. 92); rasa hampa tertuang pada puisi "Hampa" (hlm. 93); persoalan gelora riak dan ombak terasa menyergap dalam puisi "Nyanyian Ombak" (hlm. 94), puisi "Merajuk" (hlm.95) secara denotatif memberi pekabaran perihal merajuk; dan persoalan reformasi terdedah melalui judul "Surat Kepada Mei" (hlm.96).

Apakah yang menarik dari puisi? Puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi dan imajinasi. Setiap puisi sudah barang tentu terdapat diksi, yakni pilihan kata yang dilakukan oleh penyair. Penyair "setengah mati" mempertaruhkan diri dalam memilih kata-kata yang secara tepat dapat mengabadikan pengalaman dan perasaannya ke dalam teks puisi. Penyair selalu selektif dalam memilih kata. Seleksi yang ketat ini biasanya lalu terkait dengan dunia fantasi yang secara nyata hadir dari pilihan dan penggarapan imajinasi. Penyair menyeleksi kata yang secara fantastis menumbuhkan ruang imajinasi bagi para pembaca puisinya. Melaui diksi dan imaji inilah penyair mengajak para pembacanya memasuki dunia fantasi lewat puisi-puisi yang digubahnya. Di sebuah persimpangan yang lindap, Rini Intama berusaha mengabadikannya dengan diksi dan imaji berikut:

kutebas pedang karat di pucuk rindu senyap
kupinang darah pekat di dada nafasku megap
di langit kisah kisah mengendap

("Di Persimpangan yang Lindap", bait 1 hlm. 92)

Pada saat perasaan merasa hampa oleh berbagai sebab, misalnya saat ada pengalaman di rumah sakit jiwa, Rini Intama memilah dan memilih diksi yang memuat imaji yang berdampak fantasi seperti ini:

tak ingkar jika melihat nestapa dalam debar
cahaya memendar melepas di depan cermin kusam
dalam waktu sepanjang badan

("Sajak Hampa: Senandung Lirih di Sebuah Rumah Sakit Jiwa", bait 3 hlm. 93)

Pada jiwa dan rasa bergolak, rasa cinta, rindu, sendu, dan aneka rasa lainnya secara imajinatif terpapar melalui diksi ombak. Kita simak "Nyanyian Sang Ombak" (hlm. 94) secara utuh-menyeluruh agar kita bisa menikmati diksi, imaji, dan dunia fantasi yang diciptakan oleh Rini Intama:

NYANYIAN SANG OMBAK

Sajak Pantai Utara, Hutan Bakau, dan Aroma Cinta
Burung burung hanyut bercengkerama lepas dalam gairah yang sublim
di atas akar akar bakau yang menjalar
menyela kokoh di rawa berlumpur
memisah kejahan dari debur ombak yang menderu
mengalun nyanyian cinta

Burung burung masih menyapa birunya mega dalam kenang
berkubang kisah metamorfosa alam
tentang tanah pantai, kuat cengkeram akar bakau
tentang buih air pasang menyeret pasir
tentang tepian merindu nyanyian sang ombak

Getar sayap menari dalam liukan berenergi gelora yang memadu
ada riang kasmaran, lugu tawa merayu
terbang beriringan sayap sepundak menunduk ragu
menungu rindu kumandang dendang
dan pelukan setumpuk jerami hangat
Kayu kayu api menyisakkan kisah akar bakau

Perasaan dan sikap "merajuk" dapat kita nikmati dalam puisi bertajuk "Merajuk" dan "Surat Pada Mei". Seseorang dapat saja merajuk oleh berbagai sebab. Sikap merajuk ini tentu saja bukan semata merupakan kecengengan, sebab di dalamnya terdapat juga sebuah gambaran sikap. Bagaimana gambaran sikap "merajuk" seorang Rini Intama ketika menghadapi peristiwa Mei saat reformasi terjadi? Kita nikmati saja puisi satu bait berjudul "Surat Pada Mei" (hlm. 96):

SURAT PADA MEI

ketika bertanya pada Mei, purnama menungguku
di tengah bulan yang terbebas, lantas menangis
bah ...
kau palingkan wajah dan sudut mata mengerling tajam
kau tak mengerti! katamu pelan tak berintonasi
tak ingin aku mengedip memandang kemarahan yang merah
di sela waktu yang membusuk
karena terlalu lama teronggok
aku tak ingin bertanya lagi Mei!

kecuali ketika pucuk cemara tertawa geli
mengundang debu jalan yang tersapu angin

Kita telah mencicipi puisi-puisi gubahan Rini Intama dalam buku "Phantasy Poetry". Puisi memang selalu memberikan ruang fantasi, ruang kontemplasi, penuhh dengan pilihan diksi yang kaya imajinasi. Sebagai pereview, saya tak mau dikelompokkan pada golongan yang nyinyir menelanjangi puisi, memberikan ruang tafsir yang njlimet dan bisa jadi membuat kepala mumet. Rini Intama yang terlahir di Garut 21 Februari (dan menyembunyikan tahunnya ini) herannya, mau bergabung dengan komunitas penulismuda Indonesia. Memang, terkadang usia tidak menjamin kematangan karya, tetapi semangat muda untuk berkarya tentulah perlu diberi penghargaan. Rini Intama, tentu saja tak tergolong tua, tak pula masuk dalam barisan muda-remaja dalam berkarya. Setidaknya, diam-diam sudah lama saya mengincar karya dan kekaryaan seorang Rini Intama yang memang perlu diintimi. Begitulah, review singkat ini dibuat, semoga tercerahkan. Salam DAM: 123 sayang semuanya.





Kota Beradat, 14 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar