Sabtu, 19 Februari 2011

MEMBACA “PUISI RELIGI” FARADINA IDZHIHARY

Oleh: Dimas Arika Mihardja


MALAM ini, 24 Agustus 2010 saya menerima surat elektronik dari Faradina Idzhihary (FI) atau nama aslinya Istiqomah, kelahiran 7 Juli 1971. Intinya, saya diminta menuliskan kata pengantar untuk penerbitan buku puisi secara indie. Penerbitan buku antologi puisi secara “Indie” yang dia maksudkan ialah menerbitkan buku secara swadaya mandiri untuk kalangan terbatas sebagai rekam jejak kepenyairannya. FI dikenal pertama kali melalui jejaring sosial facebook, dan melalui jejaring sosial ini pula lalu Ia berkolaborasi dengan 8 wanita penyair lainnya menerbitkan secara bersama-sama buku antologi puisi “Perempuan dalam Sajak” (Penerbit Kosa Kata Kita, 2010) yang merangkum puisi karya 9 penyair yang dibidani oleh Kueniawan Junaedie. Lantaran beberapa penyair dari 9 penyair ini telah menerbitkan buku secara perorangan, sebut saja Susy Ayu dengan “Rahim Kata-kata”nya dan Kwek Li Na dengan puisi rindu dan cintanya, kini FI terpacu juga untuk turut menyemarakkan dengan dunia perbukuan. Mudah-mudahan keinginan menerbitkan buku ini bukan sekadar latah, melainkan memang sebagai fitrah dan kiprah yang menuju ke satu arah: penyair yang diperhitungkan.

Sebenarnya, selama pergaulan saya dengan FI lebih banyak diwarnai oleh silang-sengkarut dan perbedaan persepsi dalam hal penciptaan puisi. Entah apa yang mendorongnya menulis pesan melalui ink box “Mas, tolong buatkan pengantar untuk puisi-puisi religi yang akan saya terbitkan secara ‘indie’ sebagai rekam-jejak perjalanan agar bisa dibaca oleh anak-cucu, anak didik, dan teman-teman”. Mungkin jiwa keguruan saya tergugah sehingga lantas permintaannya itu saya iyakan. FI lalu mengirimkan 77 puisi yang diberi judul “Antologi Puisi Religi”. Menurut penghitungan saya, puisi yang ia kirimkan pada saya bukanlah 77, melainkan 80 puisi, sebab puisi yang ia beri nomor 77 (mestinya ia beri nomor 78) sejatinya terdapat 3 puisi. Lantas, dari mana dan bagaimana saya mulai memberikan pengantar?

Pengantar sebuah antologi puisi sebenarnya tidak selalu relevan, bisa dianggap nyinyir, cerewet, dan mungkin dapat menyesatkan pembaca. Sebuah antologi puisi sebaiknya tidak diberi pengantar dan membiarkan para pembacanya langsung berhadapan dengan puisi-puisi yang tersaji. Namun, lagi-lagi jiwa keguruan saya selaku pendidik tergugah (dan mengalah) untuk membuat kata pengantar ini dengan pertimbangan, pertama, dapat memberikan sedikit panduan bagi “pelajar” yang memiliki keinginan besar memahami dan mamaknai puisi. Kedua, kata pengantar sebuah buku puisi dapat dipandang sebagai jembatan penghubung antara penyair dan pembaca melalui puisi-puisi yang diciptakan. Ketiga, lantaran puisi ditulis dengan tujuan berkomunikasi, maka amat dimungkinkan terjadi kebuntuan komunikasi antara pembaca yang masih belajar dengan apa yang dimaui oleh penyair. Maka, tanpa bermaksud “menggurui”, pengantar ini dibuat dengan itikad memperlancar arus silaturahmi karya-kekaryaan.

***

MENYITIR pandangan Romo Mangunwijaya (alm.), pada awal mula segala seni sastra adalah religious. Itulah sebabnya mengapa paraa estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend (ada puisi transcendental, puisi sufistik, puisi Islami, dan puisi religious), dlam dinamikanya yang murni lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari,sesuatu yang transcendental—yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan keindahan sejati, yang menurut Bergson maupun Igbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Walhasil, seni puisi itu sesuatu yang luhur, sebab watak seni puisi menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menunut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati dan bukan dari ideology ke ideology), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni puisi memng bergeral dari “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan kea rah kedalaman. “Arus bawah” ini ini dikenal dengan religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri,memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan oranag tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas ini terdapat nilai ibadah.

Seni puisi atau sajak, di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman,mengagungkan Tuhan,dan di lain pihak ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Tuhan seperti Asmaul-Husna (99 sifat Allah) dalam diri manusia seperti ccinta kasih, penyayang, dan lain sebagainya, yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Penyair berkarya menciptakan puisi untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Dapat dinyatakan bahwa konsepsi estetik manusia-penyair berpangkal tolak dri tiga dimensi: religiusitas, personal-individual, dan mengungkap persoalan sosial. Berpangkal tolak dari konsepsi estetik seperti itu, marilah kita lacak beberapa sajak karya gubahan FI dalam buku ini.


***

Kita catat, puisi gubahan FI memiliki kecenderungan naratif yang terpapar secara cukup panjang. Kita turunkan sebuah puisi yang (bukan puisi terbaik) tetapi dapat kita pakai sebagai acuan mengenal puisi-puisi karya FI. Kita simak selengkapnya“Trilogy Belajar Setia pada Ibu” berikut:

1. SURAT BUAT IBU: PELAJARAN YANG TERLUPA

bila kering angin menerbangkan lembar surat yang basah air mata ini sampai di pangkuanmu, harapku tak ada hujan di wajah tirusmu, kutahu kertas lusuh ini sdh tak mampu menampung sedihmu

Bu,
Ibu masih suka kepiting rebus dan saos tomat makanan kesukaan kita dulu, bukan? begitulah wajahku sekarang saat surat ini kutuliskan. ada banyak tanya dan galau yang hendak kutanyakan padamu, meski aku bukan lagi perawan yang tak mengerti lekuk liku nafas lelaki dan kehangatan.

Bu, semua yang kau ajarkan padaku, tentang dapur dan bumbu-bumbu, tentang almari dan baju-baju, tentang kamar dan deru nafsu, telah kutemu dan kuterapkan ilmumu. bahkan lelakiku sering berseru di antara nafas yang memburu, betapa sempurna perempuanku. saat itu, selalu kutemu wajahmu tersenyum di langit-langit kamarku.

tapi, bu
sepekan ini, ada yang tak mampu kujawab dengan ilmu yang darimu telah kuserap. aku tak tahu apakah sengaja engkau sembunyikan, atau kau anggap aku tak memerlukan? ibu, jangan menatapku seperti itu (aku tahu, saat ini pasti matamu menatap tajam padaku, jika saja aku hadir di hadapanmu).

ini tentang rindu yang lindap, Bu. tentang dingin yang tiba-tiba menyergap saat selimut malamku tersingkap, meski hasrat telah ditulis tamat. Bu, rindu itu ... (aku tahu kini, ibu menggigil memegang kertas lusuh ini), tapi maafkan...

Ibu ingat, bukan? Belum pernah ibu ajarkan padaku, bagaimana mengusir rindu yang lindap? yang menembus celah sunyi yang lupa tertutupi, meski liangnya hanya sehelai rambut. namun bulu dada lelakiku yang lepas satu semalam, membuatnya nganga, dan rindu yang lindap itu begitu cepat menyergap.

ia mengirim hangat. hingga mengejang segala urat.

bu, ajari aku bagaimana harus bersikap? mengusir hasrat yang mengejang
kau tahu, tak ada dayaku menendang, pesonanya membuatku limbung, bahkan darahku gelinjang, tubuhku terbakar.

bu.... pernahkah rindu yang lindap menyergap dingin selimut malammu yang tersingkap?
kemana harus sembunyi saat tubuh menggigilkan harap?
rindu yang lindap itu seperti candu, merasuk dalam darahku
masihkah petuahmu tentang rindu yang menulis takdirnya, berlaku?


2. MENGAPA TAK KAU BALAS SURATKU

bu... kutulis lagi surat ini padamu, saat rindu yang lindap kembali menghangat, menyelusup ke balik selimutku yang tersingkap

mengapa tak kau balas suratku, bu? dengan amarah yang kau kirim pada titik air yang basah atau pada desir angin yang dingin, seperti dulu saat kutolak lelaki pilihanmu.
atau karena engkau percaya bahwa aku sungguh bukan perawan yang pantas berkeluh saat baru mengenal cinta. entahlah, diammu bagiku seperti bara api yang kau lemparkan pada rindu yang makin merimbun di hatiku. panasnya membakar keakuanku.

bu, hanya sebesara satu helai rambut saja rasa itu menyergap. ia menutup lubang yang tak sengaja nganga sebab lelakiku lupa menanamkan satu bulu dadanya di pori-pori hatiku. tapi, bu.., rindu yang lindap itu seperti mimpi buruk bagiku, mencekik setia yang bertahun kutanam di ladang hati, menebas tulus bakti yang bertahun kusiangi. ia menjelma gulma yang pelan menghisap batang rindu di akar hidupku.

tapi akarku mencengkeramnya, seperti parasit yang kubiarkan saja menggerogoti batang pokokku.

bu, ibu tahu, ia yang mengirim rindu yang lindap itu tak pernah menawarkan senyum padaku. mungkin ia anggrek pada mimpi penyair, mungkin ia rinai hujan saat musim kering terlalu panjang. tapi ia bukan rimbun bebatang tempat rindu kusandarkan. ia melengkapi indahku menatap masa depan.

bu, rindu itu seperti bulu-bulu angsa yang tumbuh di kedua sayapnya. aku senang, berharap suatu kali bisa terbang dan bersandar di ranting yang menegak menegur bulan. bila kukepakkan sayap hendak ke langit aku terbang, kusadari tempatku ada di sini, buka di pucuk reranting.

bu... maafkan bila aku salah mengartikan bulu-bulu yang tumbuh itu. biar ia menjadi catatan tentang sebuah perjalanan. tak mungkin aku, mengulang salah di jebakan hidup yang sama.

kuharap saat hujan reda nanti, selengkung pelangi menggaris langit depan rumahku, yang mengirim senyum ibu. sebab, anakmu tahu rindu yang lindap itu sungguh candu. memabukkan di awal, menewaskan pelanpelan, dalam pelukan mimpi dan khayalan.

bila pun, belum mampu kutebas akar rindu itu, kirimkan saja doa-doa seperti dulu ketika padamu selalu kuadukan segala resah dan takutku. ibu,hanya kau yang mengerti, anakmu kini sedang puber kedua, dan ia butuh tangan yang menuntun, bahu kokh tempat bersandar, dan bukan tatap mata hakim penuntut kesetiaan.

ibu, balas suratku...

3. MENUNGGU SURAT IBU

di sisa malam yang masih menetes pada subuh putik, putaran tasbih menjadi gasing yang memutar kealpaan, meruntuhkan keangkuhan menjadi ketidakberdayaan, terhuyung di ujung waktu, jiwa rapuh ini seperti benang yang hampir tercerabut.

di antara bintang da kunang yang hinggap di pandang, wajah ibu terbayang. tak ada senyum di wajah tirus dan pias itu. kulihat ribuan jarum yang kutusukkan di dada tipisnya membekaskan lebam biru hingga ke tatap mata. ibu, maafkan bila lakuku, kataku, juga tangisku melukaimu. Kutahu surat yang kukirim padamu tentang rindu yang diam-diam menjadi candu dalam darahku, menjadi pedang bagimu. Di bahu kirimu tepat biasa kutumpah tangis dulu, jelas terlihat luka pedang itu.

ibu masih diam. wajah dukanya mempercepat malam meembus kelam. dini hari mengirim gigil tentang khianat yang lindap, bersembunyi di belukar fitrah rasa yang kusebut cinta. masih tertulis di dadaku kalimat sakral mencintai bukan dosa. aku, anakmu manusia yang tak kuasa saat cinta kedua menyergap hatinya. kaki yang rapuh, nafsu yang gemuruh, dan hati yang tak kukuh membuat hati luruh. dalam genangan hujan, seharian kuhitung sesal tak berkesudahan.

cinta dan dosa merajam. menghukum pendosa. terkelupaskah rindu yang lindap di hati? terhapuskah nama indah yang terpatri? atau ia bahkan menjadi taman mimpi-mimpi, tempatistirah ketika gundah diri, menutup dahaga yang kadang tak sempat terbasahkan. dan hatiku adalah ladang yang tak bisa lari ketika kemarau panjang. bila perlu satu-satu dedaun yang tumbuh padanya kuluruhkan.

ibu, suratmu mengapa tak juga datang?

aku tahu telah salah. mengharap disiram air kembang, sementara hujan sepanjang musim mengguyur ladang dan bunga-bunga rimbun bermekaran.

bu, saat puber kedua datang padamu dulu, apa yang kau lakukan? meminta tangan itu menyiramkan air kembang atau membunuh rindumu dalam nisan bernama penasaran?

bu, tiba-tiba bayangan nisan bertulis namamu menampar-nampar mataku. dan kematian adalah jawaban. ia pasti, sedang rinduku yang lindap adalah dedaun kamboja yang luruh, kering, tanpa makna. angin membawanya kembara, entah kemana, waktu menuntaskan ceritanya.

bu... semoga tak salah aku membaca pesanmu.

Trilogi puisi karya FI tersaji secara panjang, sebab format surat ia pakai untuk mengungkapkan berbagai persoalan yang diungkapkan melalui perasan perasaan aku lirik, menghendaki pemaparan secara panjang. Meski puisi ini terpapar secara panjang, namun cirri-ciri puisi seperti kepadatan, ketidaklangsungan ekspresi, dan korespondensi terjaga dengan baik. Hanya saja, menurut saya, kecermatan dalam penulisan ejaan (ada pemakaian huruf KAPITAL dan huruf kecil secara silih berganti dapat mengurangi estetika sebuah puisi). Perhatikan penulisan “bu” dan “Bu” sebagai sapaan, ditulis secara silih berganti antara pemakaian huruf capital dan huruf kecil, yang secara tekstual sulit diungkap signifikansi pemaknaannya.
Sosok ibu yang dirindukan secara samar-samar dapat diinterpretasikan sebagai personifikasi Tuhan yang juga dirindukan. Lantaran Tuhan bersifat abstrak, maka untuk mendapatkan gambaran yang kongkret ditampilkan sosok ibu sebagai personifikasi Tuhan. Kerindun aku lirik itu lalu berjalin-berkelindan dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, yang untuk keperluan memperkongkret pengungkapan dipergunakan perbandingan dan metafora yang dapat dicerap senyata nyata oleh pembaca. Misalnya, ungkapan seperti ini:

Ibu masih suka kepiting rebus dan saos tomat makanan kesukaan kita dulu, bukan? begitulah wajahku sekarang saat surat ini kutuliskan. ada banyak tanya dan galau yang hendak kutanyakan padamu, meski aku bukan lagi perawan yang tak mengerti lekuk liku nafas lelaki dan kehangatan.

Ungkapan perbandingan itu secara metaforis memberikan gambaran kongkret tentang seorang putri yang merangkak dewasa, namun tidak juga dapat menahan kerinduan. Rasa rindu itu bahkan serupa “candu”seperti ungkapan berikut ini:

bu.... pernahkah rindu yang lindap menyergap dingin selimut malammu yang tersingkap?
kemana harus sembunyi saat tubuh menggigilkan harap?
rindu yang lindap itu seperti candu, merasuk dalam darahku
masihkah petuahmu tentang rindu yang menulis takdirnya, berlaku?

Penyajian secara utuh-menyeluruh puisi “Trilogi Belajar Setia pada Ibu” memberikan gambaran bagaimana bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Tuhan. Komunikasi antara manusia-penyair dengan Tuhan tertuang dalam bentuk kerinduan dan kekaguman manusia-penyair terhadap berbagai bentuk ciptaan Tuhan—Tuhan adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya. Lantaran sosok Tuhan itu begitu jauh, tak terjangkau, maka senantiasa menghadirkan kerinduan. Kerinduan itu juga merupakan sesuatuyang abstrak. Untuk memperkongkret kerinduan itu ditulisnya sebuah surat (doa-doa) kepada ibu (Allah). Sebuah doa yang panjang, yang merepresentasikan rasa rindu yang mencandu.

Saya ingin menampilkan satu sajak lengkap yang mewakili religiusitas penyair FI. Kita simak bersama:

DI DEPAN PINTU 99
: Nadratul Aini (Thx kiriman artikel tentang 99 dosa besarnya)

telah kuputuskan pagi ini
menggenapkan perjalanan
hingga pintu ke sembilan puluh sembilan
namun surat yang kaukirimkan
di antara riuh pesta dan hingar cahaya
tergeletak tepat di depan pintu kamar

pesan yang kau tulis
seperti jutaan pedang
menusuk setiap lubang pori
: 99 pintu menuju jerit tak bertepi

gigil tubuhku
melesat-lesat dalam lingkar waktu
menghitung jumlah pintu
yang telah kujadikan tempat singgah
kutemu, kurang satu
menggenapkan keabadaian tangisku

lewat kicau murai pagi
kaubisikkan, "bahkan seorang pembunuh
yang telah menggenapkan perjalanan
berhak atas tawa sedunia
saat jarak ke titik mula lebih dekat
dari ujung pintu sembilan puluh sembilan"

tak dengan pedang kupaksa nyawa melayang
lidah penuh fitnah meremukkan tulang-tulang
menebas sesiapa yang benari menantang

tidak dengan paha kujilati nikmat cinta
namun mata, bibir, dan kata-kata
mengirim orgasme lebih dari nyata

tidak pula kusimpan berhala dan arca-arca
kupuja sekutu Nya
namun kesempurnaan diri
kupatut-patut setiap hari
menenggelamkannama-Nya dari dada

di depan pintu nomor sembilan puluh sembilan
gemetar aku terkapar
sebelum hitam seluruh jalan
kutetapkan kembali ke titik awal
meski merangkak, aku yakin
Dia lebih cepat bergerak
menarikku sampai

setan terus berseru-seru
sia-sia saja, tulangmu telah lebur
sebelum sampai tujuan
di sinilah tempatmu menjerit sepanjang waktu
menghitung sesal tak bertepian

andai rasa mampu mengukur jarak
hendak kuhitung
masihkah sempat sampai ke batas minimal
agar dapat kuraih selembar pengampunan
sebelum ajal menjatuhkan putusan

sebelum kumasuki pintu sembilan puluh sembilan
kudengar seruan
kembalilah ...
Dia menunggumu tak pernah lelah
(Batu, 19 Februari 2010)

Puisi ini saya tampilkan sebagai penguat bahwa puisi-puisi FI cenderung panjang pemaparannya. Meskipun panjang, namun terasa benar kadar kepuitisannya, sebab di dalam setiap puisi yang diciptakannya memang didukung oleh unsure dan sarana kepuitisan seperti diksi, kata kongkret, majas, kias, lambang, korespondensi,intensifikasi, dan musikalitas. Puisi-puisi lain terpapar melalui judul-judul seperti berikut ini memberikan gambaran tentang substansi isinya: “Kesaksian”, “Sebelum Maut, kematian”, “Sesal”, “Tentang Hati”, “Dalam Kerinduan” “Aku Melihatmu Menangis dalam Airmataku”, “Tafakur”, “Pasrah”, “Pilihan”, “Padamu”, “Ia yang Rindu”, “Jangan”, “Aku Malu, Malu”, “Mencarimu”, “Rindu, Rindu Ini”, dan aneka pertanyaan tentang “Engkau di mana?”, “Suaramukah?”, “Airmata Siapa?”, dan berbagai pernyataan seperti “Subuh Seorang Pelacur”, “Lakukan”, “Ajari Aku”, “Ia yang Kembali”, “Yang Hilang” dan lain-lain judul lagi yang memberikan gambaran usaha si aku lirik berdekatan, bersanding, bertemu, dan berdekapan.

***

Sebagai penyair yang terus berproses, FI menunjukkan produktivitas dalam berkarya. Hal yang perlu dicermati ketika seorang penyair produktif berkarya ialah kecenderungan kurang cukupnya pengendapan dan perenungan atas objek yang diungkapkan. Produktivitas berkarya pada taraf tertentu memiliki nilai positif. Namun,jika produktivitas hanya mengejar keinginan menulis, terkadang ada risiko terkait dengan penataan aspek kebahasaan, persoalan ejaan dan tanda baca, dan persoalan kedalaman perenungan.

Tanpa bermaksud memuji, puisi-puisi yang terdapat di dalam buku ini cukup mewakili “obsesi” penyairnya untuk memilih tema garapan puisinya, yakni puisi yang mengarah ke relegiusitas, transcendental, atau sufistik. Namun, harus jujur juga dikatakan bahwa penyair besar yang telah memilih persoalan yang diungkapkan, misalnya puisi yang cenderung Islami, jika diikuti intensitas berproses secara kontinyu, terus-menerus, dan bahkan kalau perlu sampai “berdarah-darah” (sangat-sangat intens dan serius, bukan sebagai kerja sambilan) maka potensi penyair ini pada masanya pantas diperhitungkan sebagai penyair yang telah “memilih” penyair sebagai profesi dan memanfaatkan puisi sebagai sarana “mendidik” dan “mendewasakan” jiwa para pembacanya.

Demikianlah, pembacaan selintas-kilas puisi-puisi “religi” gubahan Faradina Izdhihary, yang menurut saya masuk dalam kategori puisi-puisi Islami, semoga dengan pengantar ringkas ini semakin membuat FI “istiqomah”. Salam kreatif.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
Jambi, 24 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar