Jumat, 01 Maret 2013

HABIS GELAP, TERBITLAH HARAP*)
Oleh: Dimas Arika Mihardja *)

HABIS GELAP, TERBITLAH TERANG. Begitulah frasa ajaib warisan R.A. Kartini sejak dikenal sebagai perintis emansipasi wanita—tak hanya di Indonesia, melainkan juga dalam skala dunia. Setidaknya surat-surat Kartini yang lalu terhimpun dalam sebuah buku menjadi jejak historis pemikiran kaum Hawa tentang banyak hal. Srikandi dari Jepara itu melalui penguasaan terhadap bahasa Belanda—yang ia peroleh dengan gigih melalui bangku sekolah—di kemudian hari menjadikan namanya “harum” sebagai wanita pemikir dalam konteks gerakan emansipasi wanita.

Secara metaforis frasa “Habis Gelap” lalu diikuti “terbitlah terang” menunjukkan sebuah lanskap serupa silhuet—perpaduan antara gelap dan terang, yang menampilkan suatu sosok. Artinya, sebuah sosok itu berada antara gelap dan terang dalam sosok profil wanita yang mewacanakan pemikiran bahwa wanita tidak bisa dipandang sebelah mata (sebab jika dipandang sebelah mata, apalagi sebelah mata dipejamkan, itu genit namanya). Bagi saya, Suryatati A. Manan merupakan silhuet antara gelap dan terang, yang mencitrakan sosok perempuan yang hingga hari ini mendapatkan resepsi dan apresiasi melalui banyak hal dan banyak perspektif seperti ditunjukkan oleh sejumlah puisi yang dimuat dalam buku ini.

Bukanlah menjadi rahasia jika kesuksesan yang diraih di dunia ini, dalam konteks keberadaban, didukung oleh sosok wanita, bahkan wanita sebagai pelaku dan motor penggeraknya. Selain Kartini, kita dapat mencatat sosok Cut Nyak Dhien, Kemalahayati, Dewi Sartika, hingga pejuang memberantas kemiskinan kota. Sosok dan kiprah wanita menurut catatan historis telah dilakukan sejak zaman kerajaan besar di Jawa. Dari satu sumber yang terpercaya, sepak terjang wanita terkait emansipasi dan segala urusan kehidupan dapat ditilik dari pandangan berikut ini.

Jika emansipasi dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, maka sesungguhnya hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini. Kita tentu masih ingat kalau Majapahit sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian Utara dan Madagaskar di Barat, ternyata dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah diperintah 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.

Catatan sejarah yang lebih tua dari Majapahit dikenal pula sosok perempuan sebagai panutan yang sangat dihormati yaitu Fatimah Binti Maimun. Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang terletak di Leran (dekat Gresik) dalam prasasti tersebut selain nama, juga keterangan wafat yaitu tahun 1028 M. Bukan hanya itu dalam catatan sejarah yang lebih tua lagi dari semua yang dikemukakan di atas, dikenal juga wanita kesohor dari kerajaan Kalingga (Holing/Keling), masa keemasan kerajaan ini justru berpuncak ketika “Ratu Sima” berkuasa yang diperkirakan berlangsung pada abad VII M. Dalam masa itu menurut sejarah, rakyat sungguh-sungguh sangat merasakan nuansa kemakmuran dan keadilan(Emansipasi Wanita di Balik Kepeloporan Kartini, Sumber : Majalah Gema Bersemi edisi 03/2010).

***

HABIS GELAP, TERBITLAH HARAP. Benarkah persoalan wanita telah selesai? Benarkah setelah habis gelap akan terbit harap? Ya, harapan adalah penanda kehidupan. Banyak persoalan wanita dan perjuangan perempuan yang harus terus digelorakan. Satu bentuk upaya menggelorakan itu ialah diterbitkananya buku ini. Buku antologi puisi ini serupa resepsi dan apresiasi sosok wanita dalam sebuah silhuet. Dengan momen ini buku ini nantinya dapat sebagai perwujudan dedikasi, pengabdian, penghormatan (pengorbanan tenaga dan pikiran) sosok perempuan bernama Suryatati A. Manan untuk Tuhan , keluarga , sesama, masyarakat (Kemanusiaan) , bangsa dan negara. Buku puisi ini setidaknya menjadi tumpuan harapan bagi eksistensi wanita di dunia kepenyairan. Wanita penyair dalam perspektif sastra Indonesia tampak belum mengemuka—meski ada sejumlah penyair yang telah eksis di dunia kepenyairan, seperti terangkum dalam buku ini.

Buku ini boleh dipandang sebagai sebentuk keberagaman harapan perempuan, yakni mengenai apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dirisaukan, dirindukan, diharapkan, dan segala macam manifestasi harapan sebagai insan berbudaya, berakal budi, dan bercita rasa. Membaca buku ini, kita dapat “menyauk” berbagai wacana refleksi kaum wanita dalam aneka sudut pandang dan kehalusan rasa. Semua itu dibuahkan dari sebuah inspirasi memandang sebuah silhuet sosok wanita bernama Suryatati A. Manan. Sebuah resepsi dan apresiasi hakikatnya merupakan upaya memberikan harga sepantasnya. Secara pribadi, saya meresepsi dan mengapresiasi sosok Suryatati A. Manan sebagai sosok wanita penyuka puisi dari “Negeri pantun” dan “Kota Gurindam”. Perhatiannya pada sastra dan budaya pada umumnya tampak melalui berbagai upaya mengangkat harkat dan martabat sastra (budaya) Melayu melalui berbagai peristiwa budaya dalam konteks lokal dan regional. Upayanya itu alih-alih meneruskan ungkapan Hang Tuah: “Takkan Melayu Hilang di Bumi”. Begitulah sedikit “Kata Penutup” untuk buku ini, semoga bermanfaat sebagai upaya pemartabatan diri dan kedirian kita selaku manusia yang insya Allah terjauh dari sikap pendewaan pada sosok seorang wanita bernama Suryatati A. Manan, melainkan sebagai upaya pendewasaan pekikiran. Tabik.

Salam Budaya,

Jambi, 24 Februari 2013

*) KATA PENUTUP BUKU PUISI DEDIKASI Suryatati A. Manan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar