Oleh: Arie Permana Putra
Dalam dunia sastra tentunya kita mengenal apa itu puisi. Puisi adalah
ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta
penyusunan bait dan larik (KBBI, 2008:-). Dalam pengertian lain seperti
yang diungkapkan oleh Edwin Arlington Robinson (Cole, 1931:25)
menyebutkan “poetry has two outstanding characteristic. One is that
it is, after all, undefineable, the other is that it is eventually
unmistakable”. Puisi dikatakan memiliki karakter yang tidak dapat
didefenisikan atau justru ketika didefenisikan maka pemaknaan itu tidak
ada yang salah.
Pradopo (2002:7) juga menyimpulkan bahwa “puisi memiliki unsur-unsur
emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera,
susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan dan perasaan pengarang semua
hal tersebut terungkap dalam media bahasa”. Jadi ada semacam pemaknaan
yang memerlukan pendekatan melalui sistem tanda yang lebih di kenal
dengan semiotika, karena menurut Pradopo (1991:278) menyatakan lagi
bahwa “karya sastra merupakan sistem tanda”
Saya sebagai orang yang masih belum mengerti benar dunia perpuisian
disini berupaya untuk mengutarakan pendapat dan pemikiran saya.
Sebenarnya bidang dan kegemaran saya adalah menulis lagu yang juga
mengadopsi teknik dan cara penulisan puisi, dimana dalam menulis sebuah
lirik lagu juga mamakai media bahasa yang bentuknya sama persis dengan
puisi, yakni bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan
bait dan larik. Semi (1988:106) mengatakan “lirik adalah puisi yang
pendek yang mengekspresikan emosi”. Dari pernyataan ini dapat dilihat
kesaamaan antara lirik lagu dan puisi. Hanya saja dalam pembuatan lirik
lagu harus benar-benar memperhatikan harmonisasi huruf vokal di akhir
tiap-tiap bait, bahasa yang ditulis juga bahasa dengan metafora yang
sederhana dan tidak serumit puisi.
Dalam dunia perpuisian nama Dimas Arika Mihardja memang tidak
diragukan lagi, beliau juga termasuk kedalam sastrawan angkatan 2000
(Milenium), setiap tahunnya (saat ulang tahun) sesuai dengan informasi
yang saya dapat, Dimas Arika Mihardja atau disingkat DAM sering
menerbitkan antologi puisinya, baik yang tunggal maupun kompilasi atau
bercampur dengan puisi dari penyair lain. Puisi-puisi DAM memang
memiliki stilistika yang berbeda dari penyair lainnya, dari segi
keindahan bunyi (eufoni) puisi-puisi DAM cukup menarik, ini dapat
dilihat di setiap akhir larik bait puisi DAM yang jika dibaca akan
menimbulakan efek harmonisasi bunyi. Bunyi memang memegang peranan
penting dalam keindahan suatu puisi demi untuk mempermudah menentukan
makna dan kepuitisannya. Eufoni adalah keserasian dari percampuran bunyi
sehingga menghasilkan bunyi yang harmonis. Wellek (1993:197) mengatakan
“kualitas bunyi ini merupakan unsur yang di manipulasi dan dimanfaatkan
oleh pengarang agar dapat menggambarkan perasaan indah”.
Pemilihan bahasa kiasan yang beragam dan sedikit nakal membuat
keunikan tersendiri dalam puisi-puisi DAM. Saya juga menemukan beberapa
bahasa kiasan yang menjadi mayoritas yakni kata “senja”, “basah”,
“sajak”, “beranda”, “rumah” dan lain-lain. Pemilihan bahasa kiasan ini
semakin memperkuat pengalaman menulis puisi DAM yang luar biasa dan
sudah di bilang sangat mapan. Hanya saja bagi orang yang belum mengerti
betul tentang puisi akan sangat kesulitan memahami makna dari bahasa
kiasan di dalam pusi-puisi DAM. Karena di setiap bait puisi banyak di
temukan kata-kata benda, penunjuk waktu dan lain-lain yang tentunya
mempunyai makna tersendiri dan akan menimbulkan penafsiran yang berbeda
dari pembacanya. Butuh konsentrasi dan penjiwaan yang tinggi agar bisa
mengerti apa makna yang ditulis dalam puisi tersebut. Ditambah lagi
dengan bait nya yang panjang, butuh kejelian dan ketelitian agar dapat
memahami bagian demi bagian dari bait-bait puisi tersebut. menurut
William J. Grace dalam Sayuti (1985:14) “watak puisi lebih mengutamakan
intuisi, imajinasi dan sintesa dibanding denga prosa yang lebih
mengutamakan pikiran, kontruksi dan analisis”. Jadi wajar jika butuh
perhatian khusus agar bisa memahami puisi lebih mendalam.
Dari segi tematik puisi-puisi DAM banyak membahas tentang kehidupan
sosial, religius, sejarah budaya daerah dan kasih sayang (cinta).
Seperti yang terdapat dalam puisi berjudul “Sajak 11 September” puisi
ini membahas tentang tragedi kemanusian yang terjadi atas pengeboman
gedung WTC, entah siapa yang salah dalam kejadian itu tentunya masih
menjadi tanda tanya besar bagi saya dan mungkin peristiwa itu juga
menjadi kegelisahan tersendiri bagi DAM.
Menanggapi esai yang ditulis oleh Puja Sutrisna “Mengembarai Sketsa
Sajak DAM: Bercinta Dengan Tuhan?” di bagian tertentu saya setuju,
dimana fenomena munculnya polemik yang diprakarsai Emha Ainun Nadjib
dkk. Membuat gagasan “angkatan independen” atau “angkatan kontekstual”
menjadi pembeda dengan angkatan sebelumnya baik itu masa imperium
Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri. Tapi di bagian pernyataan
“kerinduan akan mitos kejayaan nama besar sastrawan sebelumnya, kecuali
menjadi stagnasi penyair juga hanya akan melahirkan penyair-penyair
bebek (membebek idolanya)” saya agak kurang setuju dengan pendapat ini
karena setiap penyair-penyair baru pasti membutuhkan rekreasi atau
semacam pengaruh (inspirasi) dari penyair yang sudah mapan sampai pada
titik tertentu ia akan menemukan gaya menulis puisinya sendiri. Dalam
dunia sastra ini lazim terjadi dan bukan tabu lagi, tapi tentunya dengan
etika tertentu. Seperti halnya belajar, tentunya kita butuh guru dan
petunjuk sebelum kita benar-benar menguasai ilmu tersebut. Jika penyair
baru tersbut benar-benar serius dan konsisten menekuni dunia perpuisian
seperti yang dilakukan DAM bukan tidak mungkin dia akan menemukan gaya
menulis puisi sendiri tanpa harus mebebek idolanya, dan semua memang
butuh proses dan pengalaman.
Mengenai media yang digunakan dalam menyebarluaskan karya-karya
sastra berbentuk puisi, langkah yang dilakukan DAM sudah sangat tepat
dan “up to date” , facebook sangat dikenal di seluruh dunia dan telah menghubungkan banyak orang di semua belahan dunia, jadi dengan mudah kita bisa memposting
karya-karya sastra berbentuk puisi tersebut untuk mendapat respon dan
penilaian dari orang lain, baik yang berkompeten atau sekedar iseng.
Dengan kemajuan teknologi ini pastinya ada dampak positif dan negatif
nya. Tapi apapun itu jika dilakukan atas dasar demi kemajuan sastra
tidak ada salahnya, tujuan kita adalah menggunakan teknologi tersebut
untuk mempermudah berbagi karya sastra puisi dengan banyak kalangan,
baik yang masih awam maupun yang memang berkecimpung di dunia
kesusastraan Indonesia.
Telanaipura Jambi
9 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar