Oleh: Dimas Arika Mihardja
SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan
perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara
kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak
lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil
olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan. Sajak yang
kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan
mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain,
semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam
aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak "Sederhana
untukmu": kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah
sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah
sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh
kalbu".
Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap
untuk disantap:"Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah
yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana
untuk keselamatan perhelatan". Penggubah sajak, dalam kaitan ini
serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang
hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan
perhelatan. Ya, perhelatan,sebab hiup ini senyatanya merupakan
serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa
sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan
tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang
terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu.
Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di
atas meja hidangan.
Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu
sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi
saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy?
Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil
dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah
keseksian secara batiniah. Nah, "apa pula keseksian yang bersifat
batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha
memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.
Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini,
puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair,
siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan
pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di
sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan
pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak
langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara
kontekstual terjadi pada masanya.
Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena,
berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang
realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna,
atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata
yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan
demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks
ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas,
rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi.
Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya
berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya.
Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata
wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang,
abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada
keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi
puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna
(perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk
bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga
indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan
makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian
merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan
korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.
Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang
indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang
membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi.
Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan
bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat
beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca,
terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok
puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang
ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami
oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca
menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana
terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang
"komunikatif" (komunikatif dalam tanda petik).
Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi
kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya.
Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara
jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni
puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya
berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas
berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks
religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium,
yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium
(panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman.
Demikian, salam budaya.
DIMAS ARIKA MIHARDJA
Syair dan puisi juga berkenaan dengan bakat.
BalasHapusSyair dan puisi adalah pelepasan jiwa kak. Mengeluarkan segala perasaan dalam meida tulisan, layaknya penyayi atau pelukis. Mantul kak!
BalasHapusDan Mohon Untuk Izin Comment yah Gan^^
Pelangislot
Menyediakan 7 Games Dalam 1 User ID diantaranya sbb:
TOGEL
CASINO
GAMES
SLOT GAMES
SABUNG AYAM
SPORTSBOOK
POKER LEGENDS
HUBUNGI KAMI
WA : +6282323351494