Oleh: Sandi S.
DAM itu sexy
“ DAM itu seksi !“ saya pikir ungkapan itu yang dilewatkan oleh Puja Sutrisna pada prolog SKETSA SAJAK DAM. Tak ada yang salah kok pada
prakata itu, hanya saja Puja mesti “ bercinta lebih dalam “ dengan DAM
(puisinya). Agar seterusnya ia tak canggung memanggilnya sebagai penyair
seksi.
Kenapa? Mari simak “ kredo “ DAM pada bukunya berjudul sajak emas.
Selain sebagai saksi, puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya (mampu) berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Ke-sexy-an
puisi tidak semata-0mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi
(pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan
seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian juga melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya).
( SAJAK EMAS. 200 puisi sexy DAM, 2010)
Kaitannya dengan gagasan Puja Sutrisna mengenai angkatan
‘Millennium’, DAM (panjangnya Dimas Arika Mihardja) sejatinya tak pernah
menuntut bahwa dirinya (puisi) ‘ kudu ’ disematkan sebagai inisiator
lahirnya pembabakan angkatan ‘millennium’ seperti yang dipaparkan oleh
Puja di muka buku tersebut. Rasionalisasi Puja memang logis, yang
menyebut kalau di dunia kesusastraan Indonesia perlu disepakati sebuah
armada sastra bernama millenium. Logis sebabnya DAM hingga kini
masih produktif mengalirkan karya (puisinya) dan patut diketengahkan.
Tapi perihal kesepakatan, apakah seorang Puja mampu bertanggung jawab
dan ‘mengijabkabulkan’ DAM yang seksi itu? Jawabannya kita simpan saja
terlebih dahulu.
Gagasan serupa juga pernah dihaturkan oleh tokoh-tokoh penggali
sastra semacam Arief Budiman dengan ‘ sastra kontekstualnya’ dan Korrie
Layyun Rampan dengan ‘angkatan 2000’nya. Namun perihal kesepakatan
seperti yang saya paparkan sebelumnya. Toh, mereka juga
mengalami kesulitan untuk ‘diakui’. Sastra kontekstual yang diusung oleh
Arief Budiman selanjutnya melahirnkan polemik alias perdebatan antar
tokoh, yang dewasa ini pendapat-pendapat mereka sudah dicetak dan
dibukukan berkali-kali. Sama halnya dengan ‘angkatan 2000’nya Korrie
yang sulit mendapatkan tempat, biarpun sudah membukukan pelbagai karya
sastra yang tebalnya melebihi daun pintu.
Sependapat dengan apa yang disampaikan Puja, setiap angkatan butuh
juru bicara. Ada Hamzah Fansuri dengan ‘pujangga lama’, Nur Sutan
Iskandar dengan ‘ balai pustaka’nya, STA (Sutan Takdir Alisjahbana)
bersama ‘pujangga baru’, Chairil Anwar dengan ‘angkatan
gelanggang/45’nya seterusnya hingga kepada Korrie layun Rampan yang
merintis ‘angkatan 2000’nya. Tapi DAM tetaplah DAM, yang akan menjadi
‘dam’ yang ‘mengirigasi’ kesegaran puisinya yang seksi. Biarlah puisinya
mengalir dan mengair-i kesusastraan(baca: puisi) Indonesia supaya tetap
hidup, berbunga dan mekar serta harum mewangi sepanjang hari. Saya
lebih suka DAM yang sexy ketimbang mesti gelisah, memapah dan menengadah lalu bicara“ mau dimasukkan ke angkatan mana DAM? “
Ke-sexy-an DAM secara personal juga dapat dilihat pada pengantar bukunya:
“ Saya amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih
bersifat ‘proyek rugi’ secara finansial, tetapi ‘ proyek besar’ bagi
kemanusiaan “.
(sajak emas 200 puisi sexy DAM:1)
“ lho, kenapa ?” sebab DAM itu sexy. Titik!
Dari saksi menuju seksi
Baik, untuk menopang lebih kokoh lagi perihal ‘saksi dan seksi’
tersebut mari kita santap terlebih dahulu puisi DAM yang satu ini.
PADA TIRAI YANG MELAMBAI
pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucat pasi. tiada suara
tawa atau canda. disini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa
pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang,teripang, juga segala bayang
pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi-demi-tragedi
yang tak kunjung usai
( Sajak Emas, 200 puisi sexy, 2010 hal 24)
Puisi ini menjadi saksi atas pemikiran bijak DAM mengenai hidup dan
kehidupan. Selanjutnya DAM merangsang pembaca untuk selalu ‘mikir’ dan
menggali potensi yang bakal didapat dari puisi ini. Mencermati nilai
kehidupan sebetulnya sudah tampak pada larik-larik awal. Misal /pada
tirai yang melambai/, /terasa ada badai/. /lalu mayatmayat terkulai/,
/pucat pasi. tiada suara/. Penggunaan kata /melambai/ kemudian mendapat
sahutan /badai/ adalah sebuah ‘lirik’ kehidupan yang sejatinya adalah
hal yang serupa pasang-surut, naik-turun, maju-mundurnya hidup dan
kehidupan manusia. Oleh sebab itu DAM punya visi perenungan pada puisi
ini, lebih-lebih ia mengupas tentang maut yang menjadi tandingan
kehidupan.
Perihal maut pun terang-terangan disinggung DAM pada larik /lalu
mayatmayat terkulai/, /pucat pasi. tiada suara/. Jelas betul keinginan
DAM yang mengajak pembaca agar mau ‘mikir’ kalau /tawa atau canda/.
/disini semua fana semata/. Bukanlah hal yang paradoksial kalau seorang
DAM mengangkat perihal maut pada puisinya. Sebab hal demikian membawa
kewibawaan pengarangnya terhadap sesuatu hal yang real dan konkret sekaligus memawasdirikan pembaca untuk tetap ‘mikir’ bahwasanya /disini semua fana/ tak ada yang abadi.
Selanjutnya, kata seksi bagi kebanyakan orang senantiasa representatif terhadap penampilan, wajah, body,
pinggang, tangan, betis, dan sebagainya. Tetapi menurut hemat saya
tidak demikian. Bolehlah kita pinjam kata ‘wajah’ dan ‘penampilan’ yang
memang sedikit banyak ada kaitannya dengan puisi. DAM yang pada puisi
ini ambil peran merias ‘wajah’ puisinya untuk tampil ‘seksi’, dirasa
berhasil. Ada tiga ramuan mendasar yang menurut pemahaman saya telah
menjadikan puisinya tampil ‘seksi’. Adalah diksi, imaji, dan bunyi.
Pertama, yakni diksi. Diksi adalah pilihan kata (KBBI:2008). Dalam
karya sastra khususnya puisi, diksi adalah pondasi utama lahirnya sebuah
puisi. Puisi yang berani tampil dan patut diperbincangkan tentu punya
pembendaharaan diksi yang baik pula. Tanpa memperhitungkan hal demikian,
puisi nantinya malah kabur/buram dan terkesan asal jadi. Sistem maupun
formula diksi agar sistematis dan logis pun perlu ditakar, supaya dapat
menghindari ketaksaan. Namun sehubungan dengan kreatifitas yang makin
berkembang, hal demikian dapat dimaklumi kepesatannya. Berdirinya sebuah
larik itu ditopang oleh jajaran ‘direksi’ diksi. Hingganya larik-larik
itu membentuk tembok-tembok bait yang selanjutnya disebut puisi.
Saya tentu tak akan mengupas keseluruhan diksi pada puisi ini. Sudah
barang tentu penyair sekaliber DAM punya serimbun kata dan tinggal
dipetik saban kali diciptanya sebuah puisi. Saya hanya mengupasnya
secara umum. Pada kata /tirai/ yang lazimnya bisa diasosiasikan terhadap
sesuatu yang berumbai-umbai, lentur dan terombang-ambing, serta mudah
tertiup angin. Maka dari itu DAM menyandingkannya dengan kata
/melambai/. Tentu agak ‘aneh’ jika membacanya menjadi /tirai yang
terombang-ambing/ atau /tirai yang lentur/. Sebab dari segi estetisnya
tentu larik yang begitu tak layak mendapatkan ‘ponten’.
Kedua, imaji. Imaji atau pencitraan ialah pengungkapan perasaan
sensoris penyair ke dalam kata dan ungkapan sehingga terjelma gambaran
suasana yang sebih konkrit (Djojo Suroto, 2005:20-21). Sedang menurut
kamus sastra (2006:65), citraan atau imaji adalah daya bayang yang
dihasilkan dari pengolahan kata-kata secara sungguh-sungguh untuk
memberikan kesan indah pada suatu puisi.
Pradopo dalam Hasanudin (2002:117) membagi imaji/citraan ke dalam
enam bagian, ada penglihatan, pendengaran, penciuman, rasaan, rabaan,
dan gerak. Setelah diklasifikasikan maka didapatlah tiga macam citraan
yang dapat diadaptasikan kepada puisi /pada tirai yang melambai/ ini,
yakni penglihatan, pendengaran, dan rabaan.
Untuk citraan penglihatan ada pada larik /pada tirai yang melambai/.
Sementara citra pendengaran didukung oleh adanya larik /tawa atau
canda/. /disini semua fana semata/, /hanya seremoni belaka: doadoa
sederhana/. Terakhir, citra rabaan yang terdapat pada larik /terasa ada
badai/ dan /tak henti-henti mencumbui/.
DAM sendiri pada puisi ini beberapa kali mengusung semiotika. Seperti
pada kata /pantai/, /riak/, /ombak/. Pantai adalah tempat yang kental
dengan filosofi hidup. Di pantai ada riak, ada ombak, ada ketenangan dan
keriuhan, ada pasang dan juga surut, ada siang, ada malam, ada timbul
dan tenggelam. Itulah pantai yang disajikan DAM, mengajak kita untuk
selalu ‘mikir’ tentang hari yang bernama kelak.
Ketiga adalah bunyi. Bunyi kalau menurut penelusuran google
adalah kompresi mekanikal atau gelombang longitudinal yang merambat
melalui medium. Sedang menurut KBBI bunyi adalah sesuatu yang dapat
didengar atau ditangkap telinga; atau nama lainnya nada. Saya pikir
pengertian pertama itu amat pelik, maka saya jatuhkan pilihan kepada
pengertian kedua yang ada kaitannya dengan nada. Bunyi atau nada yang
unik akan mudah tersimpan di dalam memori manusia. Seperti kolaborai
vokal-konsonan, konsonan-vokal, atau vokal-vokal. Tetapi tidak untuk
konsonan-konsonan. Sebab hal demikian tentu tak melahirkan bunyi.
Pada puisi ini DAM menunjukkan kemahirannya mengolah diksi menjadi
bunyi vokal-vokal. Vokal berakhiran i-i, a-a, atau ak-ak menjadikan
larik tersebut ringan didengar. Sebab dilihat dari segi historisnya,
masyarakat Indonesia sudah sejak lama menyukai bunyi-bunyi demikian.
Misal pada bunyi puisi lama seperti pada pantun yang bersajak ab-ab,
mantra, gurindam, seloko, dan sebagainya.
Bunyi i-i dapat dijumpai pada larik /pada tirai yang melambai/,
/terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai/, /pada tirai yang
melambai/, /kuuntai tragedi-demi-tragedi/, /yang tak kunjung usai/.
Sedang bunyi a-a ada pada /pucat pasi. tiada suara/, /tawa atau canda.
disini semua fana semata/, /hanya seremoni belaka: doadoa sederhana/,
/mengangkasa/. Terakhir bunyi ak-ak pada /tempat riak dan ombak
berontak/.
Baik, saya pikir beberapa pemaparan sederhana tersebut sudah merepresentasikan di mana letak ke-sexy-an DAM sebetulnya. Terima kasih, salam sexy!
Jambi, 13 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar