Oleh: Suparti
Senantiasa hidup bermasyarakat dalam sebuah lingkungan merupakan
suatu hal yang lumrah dan memang harus dalam menjalani hidup di muka
bumi. Dengan adanya bermasyarakat, maka terjadilah pergaulan antar
manusia dalam bermacam-macam budaya yang ada. Dari bermasyarakat pula
dapat diketahui bagaimana budaya atau peradaban yang ada pada suatu
tempat dalam suatu daerah/wilayah.
Suatu peradaban banyak sekali termuat dalam media massa terutama
media cetak atau media tulis. kita dapat menemukannya di koran, majalah,
tabloit, ataupun buku, dapat berupa artikel, cerpen, puisi, dan
sebagainya.
Berbicara tentang puisi memang tak akan pernah ada habisnya. Mengapa
demikian? Karena pemahaman/pengkajian puisi tidak hanya sebatas
kata-katanya atau kalimat-kalimatnya. Unsur-unsur yang dikaji dalam
sebuah puisi adalah tema, rasa, nada, amanat, diksi (pilihan kata),
imajinasi, dan gaya bahasa yang digunakan. Dari puisi pula dapat kita
ketahui peristiwa apa saja yang tercantum di dalamnya.
Menurut pendapat saya, puisi adalah wakil dari perasaan seseorang
yang ditujukan pada orang lain dan biasanya disampaikan melalui bahasa
tulis. Menurut ahli, William Wordsworth menjelaskan bahwa puisi adalah
peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh
asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
H.B. Jassin menjelaskan bahwa puisi adalah pengucapan dengan perasaan
yang didalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan.
Pemuisi biasanya menggunakan bahasa atau kata yang sedikit namun
mempunyai arti yang banyak. Misalnya, frase “beranda rumah cinta”
mengarah ke sebuah gambaran tempat cinta yaitu hati (Reparasi dan
Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri : 33). Frase “beranda rumah
cinta” bisa saja berarti beranda rumah yang dicinta atau grup beranda
rumah cinta (tempat puisi berkumpul dan bergumul) bagi yang mengetahui
atau bisa saja memiliki arti yang lain.
Puisi sebagai cermin peradaban? Menurut saya, iya (setuju dengan
pendapat/esai Dimas Arika Mihardja). Karena puisi selalu menggambarkan
atau menerangkan tentang peristiwa atau unsur-unsur kehidupan
masyarakat. Menurut saya, puisi berkembang searah dengan perkembangan
zaman. Dan ini menunjukkan bahwa puisi terus mengalir dalam kehidupan
masyarakat.
Puisi mewakili perasaan sastrawan juga dapat mewakili perasaan
masyarakat luas, sebagaimana dijelaskan oleh Dimas Arika Mihardja :
Teks puisi memliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara
ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan, baik
berupa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang
dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-sosial-politik-ekonomi-budaya,
maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan,
pemikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik (Reparasi dan
Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri : 18).
Untuk menjelaskan bahwa puisi sebagai cermin peradaban, mari kita
pahami tentang peristiwa yang terjadi dalam puisi Pilkada dan Pilkoplo
karya Dimas Arika Mihardja yang ditulisnya dalam buku Sajak Emas:
PILKADA DAN PIL KOPLO
“Pilkada, pemilihan kepala daerah”, katamu
Senja itu. asap mengepul di cerobong mulutmulut berdebu
Tas plastik dan selembar uang limapuluhribuan berhamburan
Mencari alamat rakyat. Suarasuara di panggung terbuka hanya berjanji
Untuk diingkari. Suara mereka adalah lagu dangdut
Bergoyang di tengah lapang dengan loudspeaker
Memecahkan kesunyian
Meresahkan binatang peliharaan
“pil koplo, adalah obat mujarab ketika rakyat muntah”, jelasmu
Di pasarpasar sembari berteriak “hayo siapa jauh mendekat.
Siapa dekat merapat. Siapa rapat kian terdekap”
Di mata penjual obat, semuanya nomor Satu
pil koplo yang di oplos dari berbagai macam obat
hanyalah racun yang membuat kepala puyeng
pilkada dan pil koplo, keduanya racun!
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010
Puisi yang berjudul Pilkada dan Pilkoplo di atas terdiri dari 3 bait,
dan masing-masing bait menerangkan begian-bagian yang berbeda namun
saling berkaitan. Dalam puisi tersebut, penulis menggunakan kata kias
sebagai penekanan atas tujuan akan pentingnya hal yang ia sampaikan
melalui tulisan puisinya.
Bait pertama, menjelaskan tentang pilkada dan hal-hal yang sering
terjadi di kalangan masyarakat. Diterangkan bahwa setelah terbenamnya
matahari, maka mereka (tim sukses pilkada) mendatangi rumah rakyat satu
persatu. Mereka memberikan sekantong plastik bahan makanan atau selembar
kain dan uang lima puluh ribuan kepada setiap satu kepala keluarga,
meminta satu, dua, bahkan tiga suara sekaligus bergantung berapa jumlah
anggota keluarga yang ada pada satu kepala keluarga tersebut.
Pada bait pertama juga terlihat jelas tentang mereka yang melakukan
kampanye di beberapa tempat, yang bertujuan menarik, memicu, dan merayu
perhatian dan minat rakyat. Kampanye yang dilakukan penuh dengan janji
dan iming-iming. Kalau saya ibaratkan, janji yang manisnya melebihi madu
dan iming-iming yang tingginya terkira. Janji dan iming-iming disebar,
disemai, ditanam di setiap rumah warga. Janji penuh semangat sEtiap kali
kampanye. Namun setelah terpilih, janji janji dan iming-iming itu
dicabut, dikumpulkan, dan disimpan dalam keranjang sampah. Janji tinggal
janji, tiada terbukti dan hanya memenderitakan rakyat.
Bait kedua, menjelaskan tentang obat yang sangat ampuh, obat yang
bisa membuat orang lupa diri bahkan mati jika tidak bisa menahan diri
untuk menghindari. Selayaknya pilkada, pilkoplo pun dijual bebas
pasar-pasar bahkan di lingkungan masyarakat lainnya. Penjual pilkoplo
pun sama dengan calon dalam pilkada (menjual suara). Tak tahu apapun
bahan/zat yang dimasukkan ke dalam pilkoplo, tetap saja mereka
menjualnya dengan bebas sehingga berakibat fatal bagi yang mengkonsumsi.
Bait ketiga, hanya ada satu baris. Pernah saya baca di media internet
'Biasanya satu bait puisi terdiri dari empat baris. Namun ada juga
puisi yang satu baitnya berisi lebih dari empat baris'. Namun karena
satu kalimat ini bagian dari sebuah puisi, tetap saja saya sebut sebagai
bait. Pada bait ketiga ini menjelaskan tentang persamaan antara pilkada
dan pilkoplo yaitu sama-sama membuat rakyat resah dan gelisah serta
menderita karena mereka (pilkada dan pilkoplo) adalah racun.
Puisi yang berisi tentang pilkada dan pilkoplo di atas, menjelaskan
tentang masalah kemanusiaan yang banyak bahkan sering terjadi di
kalangan masyarakat. Dalam pilkada sering terjadi ketidakjujuran yang
menyebabkan hal-hal negatif _ paling sering terjadi adalah korupsi.
Sedangkan pilkoplo adalah salah satu jenis narkoba yang sangat
meresahkan masyarakat. Puisi tersebut adalah salah satu contoh bahwa
puisi adalah cermin peradaban, dan masih banyak lagi cermin peradaban
dari puisi lainnya.
Jambi, 22 maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar