Jumat, 01 Maret 2013

"MEDITADI RINDU" MICKY HIDAYAT


Oleh: Dimas Arika Mihardja


Pengenalan Awal, Ikhwal “Meditasi Rindu”

Buku ”Meditasi Rindu” (Tahura Media, 2008) merangkum 108 sajak pilihan yang ditulis antara tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan dedikasi seorang Micky Hidayat memilih dunia penyair sebagai pilihan. Micky Hidayat telah merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Buku ”Meditasi Rindu” mewakili kubu penyair yang menjunjung tinggi harmoni, keteraturan, disiplin yang ketat, dan percaya atas kekuatan bahasa sebagai pengungkap makna yang dapat menyegarkan sukma.

Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Walhasil, seni itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebab watak  seni sastra menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah.

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya. Dalam perspektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu,secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.

Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair selalu tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi. dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.


Pengenalan Lanjut, Menikmati Rindu

Rindu, barangkali merupakan fenomena manusiawi. Rasa rindu, secara manusiawi merupakan gejolak rasa manusiawi yang tumbuh sebagai manifestasi hubungan antara manusia dengan manusia lain, hubungan antara manusia dengan “kekasih”nya, dan hubungan antara manusia dan “sesuatu” yang didambakannya. Manifestasi rindu antara manusia dengan manusia aalain itu termanifestasi sebagai dampak adanya rasa perhatian, dukungan, kasih sayang, cinta, kepercayaan, pengertian, kebahagiaan, kekuatan, doa, semangata, inspirasi, sumber energi dan kreativiats kepenyairan. Micky Hidayat lahir dari keluarga penyair. Ayahandanya, Hijaz Yamani dipandangnya sebagai “hamparan sajadah kebijaksanaan yang menerangi semesta rindu” (iii). “Sajak Untukmu” yang mengawali bagian “Aku Ingin Menjadi Penyair Yang” (Sajak-sajak 1980—1983) merupakan “sapa pembuka”:

bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu

bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu

bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

(“Sajak Untukmu”, halaman 2)


Sajak sapa pembuka ini tentu saja merujuk pada engkau personal (sahabat, kekasih, keluarga, ayah-bunda, dan bisa jadi Allah) dan sekaligus menyapa pembaca buku ini. Micky Hidayat ingin mengatakan kepada semuanya bahwa ia “Ingin Menjadi Penyair Yang” (hal. 10). Puisi ini tentu saja berkorespondensi dengan “Sajak Untukmu”, sebab bagi Micky “aku tetap menulis sajak-sajak untukmu” – apa pun yang terjadi, sajak dijadikan media pemgungkap rindu. Apa pun yang terjadi, bagi Micky Hidayat acap memasang kata-kata kunci di hampir seluruh sajaknya: rindu, sepi, luka dan cinta. Secara eksplisit, Micky menulis selengkapnya seperti ini:

aku ingin jadi penyair yang
setia mencintai bunga
tak peduli wangi yang disemburkannya
hanya meracuni taman angan-anganku

aku ingin jadi penyair yang
memeluk mesra keindahan bulan
tak peduli tanganku yang hampa
hanya mampu menggapai batas udara

aku ingin jadi penyair yang
senantiasa menunjukkan ketegaran
seperti matahari yang terus tengadah
tak pernah mengeluhkan lelah

aku ingin menjadi penyair yang
kuasa mengarungi keluasan laut tiada tara
tak peduli kedahsyatan badai dan ombaknya
menenggelamkanku ke dalam dasarnya

aku ingin jadi penyair yang
hidup seperti burung-burung
bebas terbang ke mana suka
bebas melesat ke segenap penjuru cakrawala
bebas mengarungi bentangan bumi
bebas hinggap ke dahan-dahan pohonan
sambil terus berkicau
dan bernyanyi sepanjang musim

aku ingin jadi penyair yang
menulis puisi tak sekedar bermain kata-kata
tapi untuk menyegarkan sukma

(“Aku Ingin Jadi Penyair Yang”, halaman 10—11).                                

Penyair kelahiran Banjarmasin 4 Mei 1959 ini melakukan meditasi melalui sajak-sajak berkecenderungan lirik sebagai aktualisasi dan mediasi religiusitasnya memasuki dunia sakral. Pernyataan ini dengan ringkas termuat dalam ”Komentar para Sahabat” di halaman 175, penulis menyatakan bahwa ”sajak-sajak Micky Hidayat terkesan kuat dan memikat. Kuat lantaran pilihan tematiknya digali dari sumber yang tak pernah kering: kreativitas dan kontemplasi. Sajak-sajaknya memikat lantaran dieksplorasi dengan pola ungkap yang menawan. Alhasil, sajak-sajak Micky Hidayat kental dan kenyal disantap: gurih, sedap, dan nikmat. Dari tangan kreatif Micky Hidayat terdedah puisi yang puitis, dan berkecenderungan sufistik, imajis, metaforis, platonis, atau metafisis. Micky telah menemukan ’tanah pilih’ dalam kesusastraan Indonesia”.

Micky Hidayat tampak intensitasnya sebagai penyair pada masa 1980-an. Dekade ini menggambarkan kesan kuat adanya kecenderungan sajak-sajak sufistik dan Micky Hidayat merupakan salah satu eksponen yang berhasil menggubah sajak-sajak jenis ini. Sajak-sajak bercorak sufistik ini tampaknya juga menjadi pilihan dua penyair yang dikagumi oleh Micky Hidayat, yakni ayahnya sendiri (Hijaz Yamani, almarhum) dan Ajamuddin Tifani (almarhum). Bentuk kekaguman Micky Hidayat kepada almarhum Hijaz Yamani dapat dilacak pada judul sajak yang sekaligus dijadikan judul bukunya, yakni ”Meditasi Rindu”.

Bagi Micky Hidayat, ”meditasi rindu” lebih didasari semangat atau spirit ruhaniah, batiniah, atau spiritual dalam konteks hubungan antara ”kawula—Gusti”. Dalam hubungan antara manusia (”m” kecil) dan Sang Maha Pencipta, penyair Micky Hidayat selaku manusia selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai makhluk yang haus akan misteri Sang Maha Pencipta sembari diam-diam berusaha kreatif melakukan penciptaan sembari mengagungkan dengan rasa kagum. Wawasan estetik sajak-sajak yang digubah oleh Micky Hidayat bertolak dari konsepsi pada umumnya yang mengutamakan adanya balance, symetri, dan unity. Wawasan estetik demikian ini lebih menonjolkan keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan subjek—objek, subjek—subjek, dan subjek—segala misteri.

Dengan wawasan estetik demikian itu menjadikan sajak-sajak gubahan Micky Hidayat tampil tertib, teratur, dan didukung pemanfaatan bahasa sebagai wahana ungkap sesuatu yang bermakna. Bahasa dimanfaatkan untuk mengungkapkan makna seperti diekspresikan pada baris-baris terakhir sajak ”Aku Ingin Jadi Penyair Yang” berikut: aku ingin jadi penyair yang/menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/tapi untuk menyegarkan sukma. Ungkapan ini jelas, bahwa dunia sajak diabdikan kepada upaya ”menyegarkan sukma”. Jadi, bidang garapan sajak-sajak Micky Hidayat bersandar pada tema spiritual, batiniah, atau ruhaniah. Di sinilah kekuatan sajak-sajak Micky Hidayat: sajak-sajaknya yang berkecenderungan sufistik terasa lebih mengesankan ketimbang sajak-sajak sosialnya.

Melalui ”Meditasi Rindu” Micky Hidayat telah meriwayatkan secara relatif lengkap perjalanan batinnya sebagai penyair yang membahasakan ruhani. Seorang Micky Hidayat telah menemukan ”tanah pilih” yakni dunia kreatif penciptaan puisi yang bertolak dari wawasan estetik bahwa berkarya adalah untuk ”menyegarkan sukma”. Puisi yang menyegarkan sukma harus dibangun berdasarkan keselarasan, keseimbangan, dan kesatuan antara gagasan dan bahasa sebagai pengucapan. Bahasa merupakan mediasi penyampaian makna, sebab Micky Hidayat ”ingin jadi penyair yang tak sekadar bermain kata-kata”.


Komposisi Buku “Meditasi Rindu”, Menyigi Substansi

Buku “Meditasi Rindu” terpapar dalam lima bagian. Bagian 1 “Aku Ingin Jadi Penyair Yang” menghimpun sajak-sajak yang ditulis antara tahun 1980—1983, yakni: “Sajak Untukmu”, “Tangkap Aku, Kekasihku”, “Fantasi Malam’, “Bicara Pada Batu”, “Mabuk Aku”, “Sungai Martapura”, “Bayangan”, “Interlude (1)’, “Aku Ingin Jadi Penyair Yang”, “Ada Yang Memisah Kita”, “Belati”, “Angin”, “Batas”,  “Lelah”, “Ektase Puisi, 1”, “Interlude 2”, “Kemerdekaan Gelatik”, “Mata Pisau”, ‘Masuklaah, Pintu Masih Terbuka”, “Di Kaki Malam”, “Lagu Lapar”, “Sajak Petualang”, “The Power of Love (1)”, “The Power of Love (2)”, “Cerita tentang Musim”, “Interlude (3), “Yang Bernama”, “Ektase Puisi, 2”, “Pelayaran”, dan “Muhammad”. Sajak-sajak dalam bagian ini, seperti dirujuk oleh tajuk-tajuk puisi secara substansial mengungkapkan persoalan personal dan sosial yang dibingkai benang : rindu, luka, sedih, dan cinta. Sajak-sajak ini merupakan pengendapaan pemikiran Micky terkait kegelisahannya dalam merindu—yang dengan itu ia ingin menyapa dan mempersembahakan sajak-sajaknya itu kepada pembaca (baik pembaca awam, pembaca apresiatif, maupun pembaca kritis).

Bagian kedua diberi tajuk “Sajak Cinta: Interlude” yang merangkum sajak-sajak yang ditulis antara kurun 1984—1988). Bagian ini merangkum 30 sajak yang didominasi sajak-sajak sosial seperti: "Lanskap Kota", "Terminal", "Seperti Laut", "Pergi", "Ziarah", "Perjalanan", "Sehabis Percakapan" , "Malam Jakarta",  "Berkali-kali Aku Mabuk", "Instrumentalia Jakarta",  "Tubuhmu yang Terpahat di Batu Dasar Kali", "Diskotek Tanamur", "Persenggamaan Matahari dan Bulan", "Sajak Perpisahan", "Lukisan Bapak", "Fantasia Gunung Tangkuban Perahu', "Memo Jakarta", dan "Membaca Sajak Afrizal Malna". Meski sajak-sajak ini bersetting dunia luar dalam konteks sosial, hal yang menonjol, persoalan dunia luar itu menyatu dalam pengendapan kontemplasi Micky Hidayat.  Seperti telah dikemukakan, sajak-sajak sosial Micky Hidayat ibarat “lebah tanpa sengat”, aspek kritis dan kritiknya pada dunia luar kurang bergigi, sebab telah dipadupadan dengan refleksi personal penyairnya.

Bagian ketiga diberi tajuk “Aku Berguru pada Sajak”, merangjum 15 sajak yang dirtuis pada kurun 1989—1995. Dalam bagian ini secara eksplisit Micky Hidayat seakan-akan berteriak lantang untuk menyatakan ketidaksanggupannya menghadapi dunia luar yang mengepung. Persoalan sosial dirasakannya nsebagai “penjara” bagi individualitas penyair. Kita baca sebuah sajaknya selengkapnya:

Aku Tak Sanggup Lagi

Aku tak sanggup lagi memandang dunia
dengan segala warnanya
Sebab langit telah membutakan mataku
dan matahari yang terus memburu kematianku

Aku tak sangup lagi mendengar segala doa
dan pekik-tangis duka
Sebab awan hitam telah menyumbat telingaku
Begitu pun hujan yang tak henti-henti
mengguyur tubuhku

1989

Apa yang menarik dari puisi bertitimangsa 1989 ini? Jika pada sajak-sajak Micky sebelumnya ada kecenderungan menulis dengan tipografi huruf kecil di awal larik, pada sajak ini mulai digunakannya huruf kapital di awal larik. Apakah ini menunjukkan proses kreatif yang menunjukkan progres kepenyairannya atau hanya kebetulan saja? Hal ini tentu saja menarik untuk ditelisik secara khusus, apakah peneraaan huruf kapital sebagai upaya memperjelas pengungkapan atau hanyalah mood sesaat?

Bagian empat buku diberi tajuk “Meditasi Rindu” yanag merangkum 14 sajak bertitimanagsa antara 1996—2001. Bisa jadi, bagian ini diandalkan oleh penyair dan editor buku, sebab bagian ini dijadikan judul utama antologi. Ternyata, dalam bagian ini ada sebuah sajak yang relatif panjang—lebih panjang jika dibandingkan kecenderungan sajak-sajak Micky Hidayat bertajuk “Meditasi Rindu”. Sajak panjang ini didedikasikan kepada ayahandanya yang juga penyair, yakni Hijaz Yamani. Tampaknya, Hijaz Yamani—meskipun telah almarhum—bagi Micky Hidayat mewariskan sajak-sajak yang selalu dibacanya. Ia membaca sajak sebagai jejak dan warisan yang tak pernah selesai dibaca, bahkan Micky Hidayat terang-terangan menyatakan “belajar dari sajak”.

Buku “Meditasi Rindu” ditutup bagian kelima, yakni “Telah Kuhapus Kata-kata” yang menghimpun 19 sajak yang bertitimangsa 2002—2008. Tajuk bagiaan ini agaknya diambil dari sebuah judul sajak sama, yakni “Telah Kuhapus Kata-kata” yang selengkapnya saya kutipkan sebagai penutup tulisan ini:

Telah Kuhapus Kata-kata*)

telah kuhapus kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan kecemasan
atau kekosongan dan kekecewaan
hingga langit yang kutasbihkan
pecah berkeping dan jatuh di lautan

telah kuhapus kata-kata yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku tak kuasa menterjemahkan
rahasia angin, badai, dan gelombang
sebab perahu jiwaku yang retak makin gamang
putar haluan atau meneruskan saja pelayaran

telah kuhapus kata-kata
dan biarlah segalanya kulupakan
sebelum matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada

2007

*) 100 Puisi Indonesia Terbaik—Anugerah Sastra Pena Kencana (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008).


Puisi ini ntak pelak lagi sebagai pamungkas dari seranagkaian prosesi sajak-sajak yang dimuat dalam buku ini. Hal yang menarik, sajak ini tampaknya berkorespondensi dengan sebuah sajak di halaman 170 bertajuk Sajak Tak Berisi yang ditulis tahun 2008. Sajak Tak Berisi benar-benar tak berisi, sebab hanya ditampilkan judul “Sajak Tak Berisi’ dan angka tahun 2008. Apakah ini sebentuk skeptisisme, nihilisme, atau justru frustrasi? Salam budaya!

Jambi, Februari 2013

Rujukan

Hidayat, Micky. 2008. Meditasi Rindu. Banjarmasin: Tahura Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar