Jumat, 22 Maret 2013

MISTAR KEHIDUPAN SEBUAH KONTEMPLASI

Oleh: Riani Riswati

Puisi dilihat dari segi bangunan bentuknya pada umumnya merupakan pemakaian atau penggunaan bahasa intensif yang memiliki makna yang mendalam yang telah dimanipulasi sehingga memiliki pengaruh kuat dalam menggerakkan emosi pembaca yang memunculkan gaya penuturan dan daya lukisnya. Karena puisi merupakan karangan yang terikat oleh baris dan bait, oleh rima dan irama.
Bahasa dalam puisi cenderung kepada makna konotatif. Ini adalah ciri yang sangat dominan dalam puisi. Hampir tidak ada puisi yang tidak memanfaatkan konotasi bahasa karena memang inilah alamiahnya puisi. Ketidaklangsungan ucapan adalah darah daging sebuah puisi, ketidaklangsungan itu, menurut Riffeterre (1978 : 1-2) yang disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti. Penggantian arti dapat berbentuk majas atau bahasa kiasan. Penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, dan penciptaan arti terjadi pada pemanfaatan tipografi ( ilmu cetak ; seni percetakan) tertentu. Oleh sebab itu banyak ditemukan di dalam puisi, apa yang sering disebut dengan bahasa kiasan, kegandaan arti dengan corak yang beraneka ragam. Penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menngantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978 ; 2 ). Dalam pengantian arti ini suatu kata ( Kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.
            Proses pembuatan karya sastra (Puisi) yang dapat menghasilkan sebuah puisi nan indah, bukanlah hal yang mudah, pengarang berusaha keras dan mati-matian memilah-pilih bahasa ataupun kata-kata yang indah, namun yang tidak bombastis ataupun lari dari tema awal. Untuk menghasilkan sebuah puisi yang telah pantas untuk di apresiasi merupakan bentuk dari wujud kontemplatasi yang panjang. Puisi itu adalah bentuk dunia fantasi yang berdasarkan diksi, imajinasi dan kontemplasi yang dicoba oleh penulis agar pesan yang ingin ia sampaikan, ditangkap oleh pendengar melalui tulisan-tulisannya.
Menciptakan ataupun memahami sebuah puisi dibutuhkan daya imajinasi yang luas, pembaca tidak hanya dapat memahami sebuah puisi dengan menjadikan satu titik terang. Puisi itu luas, puisi dapat difahami atapun diapresiasikan berbeda-beda bagi setiap membaca, apalagi bila puisi yang diciptakan merupakan puisi yan prismatis, puisi yang remang-remang, maka membaca ataupun pendengar dapat menafsirkan sebuah puisi kearah mana saja.
Berikut ini contoh puisi yang tergolong puisi prismatis yang berjudul MISTAR KEHIDUPAN Oleh: D. Kemalawati. D. Kemalawati lahir di Meolaboh, Aceh Barat 2 April 1965. Salah seorang pendiri Lapena (Lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan) Aceh. Bekerja sebagai guru matematika di sekolah Menengah Kejuruan (SMKN 2) Banda Aceh, salah seorang pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh. Puisinya dihimpun dalam antologi tunggal “Surat Dari Negeri Tak Bertuan” (Lapena, 2006). Puisi-puisi lainnya dimuat di beberapa antologi bersama, Novel perdananya “Seulusoh” diterbitkan Lapena 2007. Dan menerima Anugerah Sastra dari Pemerintah Aceh, 2007.
Mistar Kehidupan
           
Embun pagi bening tatapmu, saudaraku
Serupa telaga aku pun menimba
Kubasuh kering ruh ku dengan sejuk airmu
Mengalir ke sukma riak-riak cahaya
Melancar doa-doa
           
Adalah mistar kehidupan
Denga bilangan bulat positif negatif
Penambahan dan pengurangan
Pengalian dan pembagian
Kita pun kembali ketitik nol
Pada daya yang diam
Tenggelam untuk kembali kepermukaan

Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini

Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang

Meulaboh, 3 juli 2011
           
Puisi “Mistar Kehidupan” karya D. Kemalawati merupakan puisi yang indah, sengaja ia ciptakan untuk hadiah ulang tahun saudaranya, saudara yang ia katakan sebagai Saudara Jiwanya DAM. Pada puisi Mistar kehidupan Oleh D. Kemalawati, apakah dapat kita katakan bahwa “Mistar” Dalam makna yang lugas atau kias? Bila dapat kita telitik sedikit “Mistar” disini merupakan ukuran atas penambahan usia seseorang. D. Kemalawati sendiri mendapatkan inspirasinya dari penambahan usia saudaranya.

Dalam Puisi “MISTAR KEHIDUPAN” bait ke-2:
Adalah mistar kehidupan
            Denga bilangan bulat positif negatif
            Penambahan dan pengurangan
            Pengalian dan pembagian
            Kita pun kembali ketitik nol
            Pada daya yang diam
            Tenggelam untuk kembali kepermukaan

Dalam artian secara umum yakni sesuatu bilangan angka-angka. Sebenarnya adalah sebuah Metafora dalam arti yang lain, yakni sebuah penambahan umur dari bilangan bulat positif negatif, yang pada akhirnya kembali pulang (Meninggal) dan dibangkitkan kembali pada permukaan.
Disini kita akan bicarakan Bagaimana caranya menemukan makna yang sebenarnya dalam puisi diatas ?
Pertama: kita bisa mengutip bagian puisi untuk memperkuat argumentasi, pilihlah kata atau kalimat atau bait dalam puisi yang benar-benar memperkuat apa yang sedang kita bicarakan. Kalau ada pesan penyair yang tertangkap oleh pembaca, maka unsur puisi yang berisi pesan penyair itulah yang dikutip.
Kalau ada metafor yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan itu, maka kutiplah metafor itu. Begitu pula dengan aforisma-aforisma yang digunakan oleh penyair; maka yang dikutip adalah aforisma (kata-kata yang subtil, yang memiliki makna yang dalam) itu.
Kedua: dengan melihat unsur yang paling dominan dalam puisi, sehingga dapat menemukan topik yang akan dikomentari. Kalau puisi itu tidak ada judulnya, mungkin akan sulit puisi itu akan bicara tentang apa. Tapi, biasanya, judul puisi itu sangat membantu pembaca untuk menikmati dan memahami puisi itu. Judul puisi merupakan pintu gerbang untuk mencari dan menemukan makna puisi. Selain itu, pembaca juga berhak memberi makna puisi itu. Ingat, bahwa dalam teori postkolonialisme, tidak ada pembacaan yang netral. Penyair mengungkapkan fakta sesuai dengan perspektif dia. Pembaca pun bisa menafsir puisi itu dari perspektif pembaca. Misalnya, kalau penyairnya laki-laki, maka pembaca harus curiga apakah diksi atau kata-kata yang digunakannya itu mengukuhkan budaya patriarki atau meruntuhkannya. Biasanya, yang nadanya melecehkan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa penyairnya memang mengukuhkan budaya patriarki. Dan, pembaca (perempuan) yang menggunakan teori postcolonial maupun teori feminisme berhak untuk mengkritiknya.
(http://bengkelpuisi dimasarikamihardja.blog.spot.com)
Judul puisi D. Kemalawati “Mistar Kehidupan” merupakan bentuk metafor dari usia manusia, atau penambahan usia. Perhatikan bait pada puisi berikut:
Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini

Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang

Hari ini adalah hari ulang tahun Sahabat jiwa D. Kemalawati (DAM yang ke 52th), ia mencoba mengatakan bahwa DAM harus ingat tentang penambahan umur dan tentang pengurangan yang tak di ketahui oleh siapapun. Seperti setiap harinya kebaikan yang tertanam hari ini akan membekas pada “Mistar” Mistar kehidupan di neraca yang berimbang.
Junus (1981 ; 11 ) menyatakan:

“Sukar untuk memikirkan adanya proses berpikir tanpa mengunakan bahasa. Dan tak mungkin suatu pemikiran akan merupakan sesuatu yang kristal, yang terdiri atas bagian-bagian yang dapat dipisah-pisahkan. Karena itu, kekuatan suatu pikiran terletak pada kekauatan perumusannya, dan ini dirumuskan melalui struktur bahasa yang selalu bersifat linear yang berurutan”
Puisi tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah. Artinya, sebelum sebuah puisi diciptakan, sudah ada puisi lain yang mendahuluinya. Penyair tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Sebagai salah satu gendre karya sastra, puisi selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980 ; 2)

Jambi 21 maret’ 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar