Oleh: Riani Riswati
Puisi dilihat dari segi bangunan bentuknya pada umumnya merupakan
pemakaian atau penggunaan bahasa intensif yang memiliki makna yang
mendalam yang telah dimanipulasi sehingga memiliki pengaruh kuat dalam
menggerakkan emosi pembaca yang memunculkan gaya penuturan dan daya
lukisnya. Karena puisi merupakan karangan yang terikat oleh baris dan
bait, oleh rima dan irama.
Bahasa dalam puisi cenderung kepada makna konotatif. Ini adalah ciri
yang sangat dominan dalam puisi. Hampir tidak ada puisi yang tidak
memanfaatkan konotasi bahasa karena memang inilah alamiahnya puisi.
Ketidaklangsungan ucapan adalah darah daging sebuah puisi,
ketidaklangsungan itu, menurut Riffeterre (1978 : 1-2) yang disebabkan
oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti.
Penggantian arti dapat berbentuk majas atau bahasa kiasan. Penyimpangan
arti terjadi pada ambiguitas, dan penciptaan arti terjadi pada
pemanfaatan tipografi ( ilmu cetak ; seni percetakan) tertentu. Oleh
sebab itu banyak ditemukan di dalam puisi, apa yang sering disebut
dengan bahasa kiasan, kegandaan arti dengan corak yang beraneka ragam.
Penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan
menngantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi
(Riffaterre, 1978 ; 2 ). Dalam pengantian arti ini suatu kata ( Kias)
memiliki acuan makna sesuatu yang lain.
Proses pembuatan karya sastra (Puisi) yang dapat
menghasilkan sebuah puisi nan indah, bukanlah hal yang mudah, pengarang
berusaha keras dan mati-matian memilah-pilih bahasa ataupun kata-kata
yang indah, namun yang tidak bombastis ataupun lari dari tema awal.
Untuk menghasilkan sebuah puisi yang telah pantas untuk di apresiasi
merupakan bentuk dari wujud kontemplatasi yang panjang. Puisi itu adalah
bentuk dunia fantasi yang berdasarkan diksi, imajinasi dan kontemplasi
yang dicoba oleh penulis agar pesan yang ingin ia sampaikan, ditangkap
oleh pendengar melalui tulisan-tulisannya.
Menciptakan ataupun memahami sebuah puisi dibutuhkan daya imajinasi
yang luas, pembaca tidak hanya dapat memahami sebuah puisi dengan
menjadikan satu titik terang. Puisi itu luas, puisi dapat difahami
atapun diapresiasikan berbeda-beda bagi setiap membaca, apalagi bila
puisi yang diciptakan merupakan puisi yan prismatis, puisi yang
remang-remang, maka membaca ataupun pendengar dapat menafsirkan sebuah
puisi kearah mana saja.
Berikut ini contoh puisi yang tergolong puisi prismatis yang berjudul
MISTAR KEHIDUPAN Oleh: D. Kemalawati. D. Kemalawati lahir di Meolaboh,
Aceh Barat 2 April 1965. Salah seorang pendiri Lapena (Lembaga yang
bergerak di bidang kebudayaan) Aceh. Bekerja sebagai guru matematika di
sekolah Menengah Kejuruan (SMKN 2) Banda Aceh, salah seorang pengurus
Dewan Kesenian Banda Aceh. Puisinya dihimpun dalam antologi tunggal
“Surat Dari Negeri Tak Bertuan” (Lapena, 2006). Puisi-puisi lainnya
dimuat di beberapa antologi bersama, Novel perdananya “Seulusoh”
diterbitkan Lapena 2007. Dan menerima Anugerah Sastra dari Pemerintah
Aceh, 2007.
Mistar Kehidupan
Embun pagi bening tatapmu, saudaraku
Serupa telaga aku pun menimba
Kubasuh kering ruh ku dengan sejuk airmu
Mengalir ke sukma riak-riak cahaya
Melancar doa-doa
Adalah mistar kehidupan
Denga bilangan bulat positif negatif
Penambahan dan pengurangan
Pengalian dan pembagian
Kita pun kembali ketitik nol
Pada daya yang diam
Tenggelam untuk kembali kepermukaan
Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini
Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang
Meulaboh, 3 juli 2011
Puisi “Mistar Kehidupan” karya D. Kemalawati merupakan puisi yang
indah, sengaja ia ciptakan untuk hadiah ulang tahun saudaranya, saudara
yang ia katakan sebagai Saudara Jiwanya DAM. Pada puisi Mistar kehidupan
Oleh D. Kemalawati, apakah dapat kita katakan bahwa “Mistar” Dalam
makna yang lugas atau kias? Bila dapat kita telitik sedikit “Mistar”
disini merupakan ukuran atas penambahan usia seseorang. D. Kemalawati
sendiri mendapatkan inspirasinya dari penambahan usia saudaranya.
Dalam Puisi “MISTAR KEHIDUPAN” bait ke-2:
Adalah mistar kehidupan
Denga bilangan bulat positif negatif
Penambahan dan pengurangan
Pengalian dan pembagian
Kita pun kembali ketitik nol
Pada daya yang diam
Tenggelam untuk kembali kepermukaan
Dalam artian secara umum yakni sesuatu bilangan angka-angka.
Sebenarnya adalah sebuah Metafora dalam arti yang lain, yakni sebuah
penambahan umur dari bilangan bulat positif negatif, yang pada akhirnya
kembali pulang (Meninggal) dan dibangkitkan kembali pada permukaan.
Disini kita akan bicarakan Bagaimana caranya menemukan makna yang sebenarnya dalam puisi diatas ?
Pertama: kita bisa mengutip bagian puisi untuk
memperkuat argumentasi, pilihlah kata atau kalimat atau bait dalam puisi
yang benar-benar memperkuat apa yang sedang kita bicarakan. Kalau ada
pesan penyair yang tertangkap oleh pembaca, maka unsur puisi yang berisi
pesan penyair itulah yang dikutip.
Kalau ada metafor yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan
itu, maka kutiplah metafor itu. Begitu pula dengan aforisma-aforisma
yang digunakan oleh penyair; maka yang dikutip adalah aforisma
(kata-kata yang subtil, yang memiliki makna yang dalam) itu.
Kedua: dengan melihat unsur yang paling dominan
dalam puisi, sehingga dapat menemukan topik yang akan dikomentari. Kalau
puisi itu tidak ada judulnya, mungkin akan sulit puisi itu akan bicara
tentang apa. Tapi, biasanya, judul puisi itu sangat membantu pembaca
untuk menikmati dan memahami puisi itu. Judul puisi merupakan pintu
gerbang untuk mencari dan menemukan makna puisi. Selain itu, pembaca
juga berhak memberi makna puisi itu. Ingat, bahwa dalam teori
postkolonialisme, tidak ada pembacaan yang netral. Penyair mengungkapkan
fakta sesuai dengan perspektif dia. Pembaca pun bisa menafsir puisi itu
dari perspektif pembaca. Misalnya, kalau penyairnya laki-laki, maka
pembaca harus curiga apakah diksi atau kata-kata yang digunakannya itu
mengukuhkan budaya patriarki atau meruntuhkannya. Biasanya, yang nadanya
melecehkan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa penyairnya memang
mengukuhkan budaya patriarki. Dan, pembaca (perempuan) yang menggunakan
teori postcolonial maupun teori feminisme berhak untuk mengkritiknya.
(http://bengkelpuisi dimasarikamihardja.blog.spot.com)
Judul puisi D. Kemalawati “Mistar Kehidupan” merupakan bentuk metafor
dari usia manusia, atau penambahan usia. Perhatikan bait pada puisi
berikut:
Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini
Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang
Hari ini adalah hari ulang tahun Sahabat jiwa D. Kemalawati (DAM yang
ke 52th), ia mencoba mengatakan bahwa DAM harus ingat tentang
penambahan umur dan tentang pengurangan yang tak di ketahui oleh
siapapun. Seperti setiap harinya kebaikan yang tertanam hari ini akan
membekas pada “Mistar” Mistar kehidupan di neraca yang berimbang.
Junus (1981 ; 11 ) menyatakan:
“Sukar untuk memikirkan adanya proses berpikir tanpa mengunakan
bahasa. Dan tak mungkin suatu pemikiran akan merupakan sesuatu yang
kristal, yang terdiri atas bagian-bagian yang dapat dipisah-pisahkan.
Karena itu, kekuatan suatu pikiran terletak pada kekauatan perumusannya,
dan ini dirumuskan melalui struktur bahasa yang selalu bersifat linear
yang berurutan”
Puisi tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah.
Artinya, sebelum sebuah puisi diciptakan, sudah ada puisi lain yang
mendahuluinya. Penyair tidak begitu saja mencipta, melainkan ia
menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga
berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Sebagai
salah satu gendre karya sastra, puisi selalu berada dalam ketegangan
antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw,
1980 ; 2)
Jambi 21 maret’ 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar