Kamis, 26 Januari 2012

"AKU SENANTIASA MENYERU": BEGITULAH SEHARUSNYA PENYAIR

Esai: Usup Supriyadi

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Tuhan dan mengerjakan kebajikan dan berkata: 'Sungguh, aku termasuk orang-orang yang berserah diri kepadaNya.'" - al Qur'an al Karim, Fushshilat: 33.

Seorang penyair sebagai manusia seharusnya memiliki rasa, sikap, dan jiwa yang berisi. Tidak kosong. Termasuk tidak sebatas tong kosong nyaring bunyinya. Terhadap apa yang ada disekitarnya mulai dari hal-hal yang bersifat privat hingga yang bersifat publik. Kesadaran tersebut, menurut saya dirasakan oleh Dimas Arika Mihardja hingga ia mengambil sikap yang jelas, bahwa, katanya, "Aku Senantiasa Menyeru":

aku senantiasa menyeru tanpa jemu ketika sawahsawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajahwajah
gelisah petani yang menggigil. aku
senantiasa tiada lelah memapah jiwajiwa resah
menuju lembahlembah yang dibanjiri darah. aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan katakata karena bahasa telah pecah
berdarahdarah

maka aku senantiasa menyeru jiwajiwa batu
agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangantangan penuh lumpur mengadukaduk nasib
mengolah masa depan yang suram
aku senantiasa menyeru kamu yang dengan keja
memakan insaninsan malang

aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
senantiasa menyeru kamu yang tanpa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan
nafsunafsu menggebu


Malang, 1996


Hasan Aspahani (2007) pernah bertanya kepada Sapardi Djoko Damono dengan pertanyaan: "Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?" jawab Sapardi, "Berbuat baik pada sesama lewat puisi." Saya kira, Dimas Arika Mihardja melahirkan sajak "Aku Senantiasa Menyeru" tidak lain tidak bukan karena yakin bahwa dengan puisi memang kita bisa berbagi dengan sesama. Sajaknya tersebut sangat sejalan dengan ayat Al-Qur'an yang saya kutip di muka. Maksudnya "menyeru kepada Tuhan" dijabarkan secara terang dalam bait-baitnya. Dan, apa yang diupayakan tersebut menurut saya adalah sebuah kebaikan meski tidak berupa materi. Dan ini mengisaratkan bahwa menyeru di sini tidak sebatas dan menjadikan penyair seumpama ulama, jadi bukan semata-mata "dakwah" atau "khotbah" teologis-walaupun hal itu dimungkin juga terjadi dalam sebuah puisi. Lebih kepada seruan atau ajakan kembali kepada nilai-nilai universal-spiritual. Sebab menyeru kepada kebaikan, kebajikan, dan kebenaran sama halnya menyeru kepada Tuhan. Dan itulah yang diharapkanNya dari seorang penyair yang mengaku berserah diri kepadaNya. Salah satu sajak Dimas Arika Mihardja lainnya yang menandakan seruan seperti itu misalnya, "Masjid Agung Al-Fallah", "Moratorium", dan lainnya.

Contoh nyata penyair yang senantiasa menyeru misalnya Muhammad Iqbal. Iqbal pernah menyeru kepada Barat (masyarakat di Eropa) dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul Payam-i-mashriq (Puisi dari Timur). Pesan tersebut disampaikan sebagai jawaban atas ratapan Johann Wolfgang von Goethe seabad sebelumnya. Goethe ketika menulis West-Oieslicher Divan meratapi mengapa manusia Barat (masyarakat di Eropa) menjadi sangat matrealistis serta individualistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spiritual. Iqbal dalam karyanya menjawab, yang intinya, moralitas dan agama itu penting bagi peradaban! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas! Sedang kapitalisme adalah sebuah kesesaatan yang sesat lagi hanya upaya membunuh diri sendiri, khususnya membunuh jiwa yang ada dalam raga.

Lantas, bagaimana dengan penyair di Indonesia? Hampir di setiap era ada penyair-penyair dalam kecenderungan tematik dan stilistiknya menghasilkan karya berupa seruan tidak sebatas semacam ceramah para agamawan atau janji burung para politikus. Tapi seruan yang menggerakkan pembacanya sehingga karyanya memiliki dua fungsi utama sebagaimana diungkap oleh Horatius, dulce et utile. Salah satunya tentu saja Dimas Arika Mihardja dengan sajaknya yang saya angkat kali ini menjadikan karyanyanya itu khususnya isinya seumpama kanon bagi generasi selanjutnya, khususnya yang ingin jadi penyair!

Kalau saya harus menyebut nama lainnya, misalnya Rendra, Taufiq Ismail, M.R. Dayoh, Wiji Thukul, Soni Farid Maulana, Juniarso Ridwan, Micky Hidayat, Akhmad Muhaimin Azzet, Sapardi Djoko Damono-sebagian menganggap bahwa Sapardi penyair liris romantis alias pujangga cinta bersahaja, tapi dalam Ayat-Ayat Api yang bersangkutan menunjukkan sisi lainnya. Dan lainnya, jika saya harus menyebut nama penyair muda termutakhir yang sejalan dengan apa yang saya bahas ini, misalnya Hadi Abdul Hamid dan lainnya. Untuk penyair perempuan misalnya, Nenden Lilis Aisyah, Rieke Diah Pitaloka, Nancy Meinintha Brahmana dan yang lainnya. Kesemuanya yang saya sebut itu hampir tidak menunjukkan konsep l'art pour l'art (seni untuk seni), tapi tendenzkunst (seni bertujuan).


Esai ini mungkin oleh sebagian pembaca dianggap terlalu agamis apalagi di arus zaman puisi bebas ini yang juga ditunggangi oleh mereka yang berpikiran sekuler, feminis ekstrim, dan lainnya. Tidak mengapa, namun, saya tetap tidak menafikkan bahwa setiap penyair berhak menyeru apa saja, namun ada baiknya memiliki keadaban yang beradab. Kiranya saya perlu menyitir tulisan H.B. Jassin yang mengutip pernyataan Sarojini Naidu: "Nama jenderal-jenderal besar, raja-raja, dan pendeta-pendeta dilupakan. Tetapi ucapan-ucapan seorang pengarang atau seorang penyair yang bermimpikan mimpi persatuan dan perikemanusiaan akan hidup selalu..." saya tambahkan, juga yang mengusung nilai-nilai agama, dan moralitas sebagaimana disinggung oleh Iqbal di atas. Nah, kembali lagi kepada penyair kini yang kelak akan -barangkali- bait-baitnya menjadi abadi serta dijadikan acuan. Tentu kita berharap bahwa generasi ke depan itu mendapati ucapan-ucapan atau kalimat-kalimat yang baik lagi memiliki gagasan atau ide yang bermutu.


Akhirnya, saya berharap ke depannya, akan lahir sajak-sajak yang mengajak atau menggerakkan jiwa dan raga, jasmani dan ruhani. Tidak hanya sebatas puisi yang mirip vas tapi tidak ada bunganya! atau seperti pot yang tidak ada tanamannya. Rasanya, saya sebagai pembaca karya sastra khususnya puisi, ingin bertanya: "Apakah harus selalu pembaca yang memberikan makna pada kata-kata yang dirangkai oleh seorang penyair? sedangkan penyair lepas dari tanggungjawab untuk menghasilkan sesuatu yang punya isi dan misi?" Dalam kesempatan kali ini, saya sarankan agar jangan terlalu jadi hamba Tuan Tardji-sapaan buat Sutardji Calzoum Bachri. Dengan langkah merangkai kata berharap jadi mantra yang kelak dibaca dan menghasilkan sihir sakti. Tapi dirinya sendiri sebagai penyair tidak tahu apa yang terkandung dalam rangkaian yang dibuatnya tersebut. Dengan kata lain tidak tahu wisdom pada karyanya sendiri-untuk tidak mengatakan tidak tahu diri atau tidak mau tahu dan ambil pusing dengan beban harusnya ada makna atau pesan. O, saya harapkan semoga tidak banyak penyair yang seperti itu-agaknya meski ada rasa pesimistif, saya harus optimis!


Selamat menjadi penyair yang menghasilkan puisi yang berisi! Selamat!

Salam sastra darusalam

Bogor, 26 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar