Jumat, 13 Januari 2012

PUISI SEBAGAI CERMIN PERADABAN?

Esai: Puja Sutrisna

Dimas Arika Mihardja:

PUISI SEBAGAI KACA BENGGALA


dimas, keramaslah, keranda
dan kamboja begitu renta
arika papahlah luka-luka mencinta
kembali ke dalam dekap-Nya
mihardja, melesatlah menjadi buah cahaya
dengan kelezatan makna menghamba.
13/1/2012

                                                                  * * *
 MEMENUHI ‘permintaan’ Prof. Dimas Arika Mihardja (maaf prof, saya sudah kadung akrab dengan panggilan prof buat panjenengan..!) untuk berdiskusi tentang “Puisi Sebagai Cermin Peradaban” maka tulisan berikut adalah sekedar tanggapan sederhana terkait dengan tema diskusi, dan bukan untuk mengapresiasi puisi yang disajikan sebagai penghantar diskusi. Akan tetapi, betapapun juga puisi yang dijadikan penghantar diskusi  layak juga diperhatikan sebab dari titik inilah pembicaraan bisa dimulai.


dimas, keramaslah, keranda
dan kamboja begitu renta


arika papahlah luka-luka mencinta
kembali ke dalam dekap-Nya
mihardja, melesatlah menjadi buah cahaya
dengan kelezatan makna menghamba.

Puisi ‘pesan’ pada diri sendiri sebagaimana tertuang dalam bait di atas adalah semacam ingatan saja bagi penulis,  akan usia yang sudah beranjak ‘tua’. Seperti diketahui, dan siapapun akan mengalami, bahwa akhir dari sebuah kehidupan adalah kematian (sebuah kepastian yang pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi). Juga Dimas pun sama, akan mati. Sebagaimana umumnya setelah mati menjadi jasad, maka jenasah akan dikuburkan ke makam. Pemakaman identik dengan pokok-pokok kamboja. Itu saja!

Pesan pada bait kedua adalah setelah jasad terkubur maka jiwa akan menghadap ke Sang Pencipta. Dan pada bait selanjutnya, jiwa, roh, atau nur akan menerima pahala atas perbuatannya.


Sebuah puisi yang berisi pesan singkat, sederhana, jelas, dan gamblang, ditujukan buat diri sendiri (penulisnya), sekaligus sebagai pesan moral kepada pembaca bahwa siapapun akan mengalami hal yang serupa.  

                                                         * * *

Berbicara tentang puisi sebagai cermin peradaban maka hal pertama dan utama yang perlu dipahami adalah bahwa puisi bukan sekedar untaian kalimat ‘indah’ yang ditata ke dalam larik dan bait-bait. Oleh karenanya, untuk menciptakan sebuah puisi yang benar-benar puisi, diperlukan serangkaian kerja keras sejak dari: pemilihan tema, maksud dan tujuan penciptaan, pilihan bahasa, dan yang harus ada juga adalah ‘pesan moral’ apa yang hendak dituangkan ke dalam bait-bait kalimat yang diciptakan.

Puisi DAM di atas, misalnya, meskipun dari segi bentuk dan pilihan bahasa sangat sederhana tetapi secara substansi sangat menarik perhatian. Karena di sana ada pesan jelas yang ingin disampaikan kepada pembaca, bahwa sebuah kematian pasti tiba, manusia harus beramal dan berbuat baik untuk mendapatkan pahala di sana-Nya. Sebuah pesan moral yang – menurut saya – seharusnya selalu ada pada sebuah puisi.

Pesan moral ini penting karena sesungguhnya di sinilah subtansi sebuah puisi ini perlu hadir dan diciptakan! Sebuah puisi yang baik akan mampu menggiring khalayak ke dalam sebuah perenungan yang mendalam, introspeksi diri, dan ‘hati’ tergetar. Ada semacam ‘kontak’ batin yang luar biasa pada diri pembaca, sehingga – bisa jadi – puisi yang hebat akan menjadi ‘kitab suci’ kedua bagi pembaca, setelah Kitab Suci yang sesungguhnya.

Pada titik inilah puisi menjadi cermin peradaban. Puisi mampu mempengaruhi jiwa, pikiran, dan hati pembacanya, dan karena sebuah puisi ‘wajib’ mengandung pesan mora,l maka mau tidak mau pengaruhnya adalah pembaca  menjadi bermoral. Kesatuan moralitas pembaca ke dalam satu kesamaan perilaku akan membentuk peradaban menjadi beradab.

Celakanya,  saat sekarang banyak di antara penyair yang – maaf – matang secara karbitan. Meskipun secara kuantitatif menunjukkan keunggulan dalam berkarya, tetapi dari segi kualitas banyak yang tergesa-gesa untuk segera menjadi penyair. Kalau seorang penyair dihitung berdasarkan hasil puisi yang diciptakan, maka saat sekarang ribuan penyair telah tumbuh merimbun berjejal-jejal. Tetapi tunggu dulu, dari sekian banyak ‘penyair’ berapakah yang bisa disebut benar-benar penyair?

Kelemahan yang sering terjadi adalah banyak di antara penyair yang ‘hanya’ bermanis-manis dalam menyusun kata, bermain dengan ungkapan-ungkapan ‘romantis’, atau sesekali ‘uji coba’, sampai-sampai seringkali lupa atas pesan apa yang ingin disampaikan kepada khalayak. (Dalam istilah saya puisi-puisi demikian saya sebut sebagai ‘puisi jatuh cinta’)  

Mengingat begitu pentingnya puisi sebagai bagian dari kehidupan yang membawa perubahan pada moral manusia, maka hendaknya kita bersepakat untuk kembali merenungi diri sendiri, sudahkah kita mengabdi pada kemanusiaan yang beradab melalui sebuah puisi?!

Jawabnya ada di dada kita…., semoga!


Puja Sutrisna, 13 Januari 2012    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar