Minggu, 22 Januari 2012

"PUISI BUAT KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN" MENUJU PUITISASI

Esai: Usup Supriyadi

"Bukan soal ketidakjelasan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu. Namun, yang dikhawatirkan adalah menangnya nafsu atas dirimu." - Ibnu Athaillah al-Sakandari, al Hikam

KETIKA membahas puisi-puisi D. Zawawi Imron, Kuntowijoyo mengemukan istilah intellectual exercise. Puisi, katanya, tidak untuk dianalisis, maka pembahasan atas karya puisi terpaksa dilakukan sekadar sebagai latihan intelektual (Hasan Aspahani: 2007). Berpuisi bagi saya kurang lebih juga sama seperti itu, sebuah proses melatih diri dalam mencari makna tersembunyi yang minimal berguna bagi diri saya pribadi. Dan itu memang erat kaitannya dengan intelek.

Kali ini saya tertarik untuk mengulas sajak Dimas Arika Mihardja-untuk selanjutnya disingkat DAM. yang terdapat pada antologi puisi karya penyair nusantara raya: BERANDA RUMAH CINTA: Senja di Batas Kata. Sajaknya terdapat pada bagian sajian penutup dalam buku antologi tersebut. Berikut saya tulis-ulang secara keseluruhan sajak yang dimaksud:

PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI
KELAHIRAN


[PUISI UNTUK KEKASIH]

rob dan sob*) hanyalah citra cinta
gambaran kasihku padamu yang sebagai gelombang
menghantam karangkarang terjal
mencumbu batubatu lumutan
rayuanmu serupa kerikil, membuat keri tapak kaki
di pantaipantai yang tangan nyiurnya melambai
di bibir waktu yang tak henti merindu
bagimu, aku hanyalah cangkang kerang
mengerang saat mengeja bayang
mengejang melacak jalan pulang

[SEBAGAI NARASI]

kita lahir dan tersihir oleh gerlap waktu
"demi masa," katamu dan aku ingin lahir kembali
sebagai narasi yang mengisahkan jalinan kasih
sebagai matarantai yang mengikat kuatkuat
ya, kita hadir sebagai narasi
membaca diri tiada henti
memaknai suara hati dalam tragedi
ya ya, sebagai narasi
kita menapaki eksposisi yang penuh komplikasi
menanjak menggapai puncak klimaks
lalu menuruni resolusi menemu kata kunci:
adaku dan arah jalanku semakin pasti, hanya padamu


[KELAHIRAN]

tangantangan berjemari ini tak lelah kugerakkan
membantu persalinan saat kelahiran kata
menjalin menjadi frasa dan satuan wacana
lalu hidup terasa berdenyut
penuh warnawarni
menyangga diri
: menjadi puisi!
1 Juli 2011 pukul 07:36
*) rob dan sob adalah term untuk air sungai atau laut saat pasang-surut


TIGA buah sajak yang begitu ahad, ini bukan bentuk trinitas tapi benar-benar satu kesatuan yang membentuk makna utuh sebagaimana dalam bentuk gabung judulnya. saya akan coba memahami puisi ini secara mandiri dan berdasar sudut pandang yang saya pilih sendiri.

Dalam Puisi Untuk Kekasih, saya mendapati lahirnya sajak ini akibat kegelisahaan transeden aku-lirik sebagai hamba Tuhan. Pada bait pertama, aku-lirik (dalam hal ini barangkali si penyair secara hakiki) begitu sadar bahwa iman di lubuk hati begitu fluktuatif, ia bisa pasang dan surut, dan penggubahan tersebut sesuai dengan kesepakatan jumhur ulama ahli sunah waljamaah bahwa iman memang bisa bertambah dan berkurang. Bait kedua mengisaratkan angin lalu yang kadang tak tentu begitu cepat dalam sekali lesat pada sekali waktu; hingga rindu menjadi gigil ingin segera terkail jamuan perjuampaan. Pada bait ketiga, cangkang kerang sebagai simbol bayangan bahwa pada setiap diri ada sesuatu dalam sesuatu! Nah, sampai di sini saya tidak mau cepat-cepat mendapat kesimpulan. Saya akan coba lanjutkan dengan sajak berikutnya.

Pada rupa (sajak) jejak Sebagai Narasi kita di bibir waktu bisa lahir dan tersihir dan demi masa manusia memang berada dalam tapal batas antara bebas kebablasan dan keselamatan. Sebagai manusia kita kerap dihadapkan pada gemerlap narasi yang bertubi dan terkadang tanpa kita bayangkan sebelumnya akan mendatangi kita. Namun dengan membaca diri tiada henti sebagaimana wahyu pertama: Iqra! Maka lambat laun, perlahan-lahan akan semakin terang, bahwa segala hikmah menjadi semacam kata kunci: bagi pintu rumah yang menuju hanya padamu!

Dan kesadaran yang dicapai aku-lirik mengabarkan sebuah Kelahiran kembali sebagai bentuk elutriasi ruh suci. Namun di sini bukan dalam artian kelahiran kembali dalam maksud reinkarnasi tapi dalam bentuk kesalehan yang lebih baik atau dalam hal ini penyair DAM menggunakan istilah: menjadi puisi!


Lantas? Apa hubungannya dengan kutipan Ibnu Athaillah yang saya sajikan dimuka? Ini sebenarnya hanya penguat dari apa yang hendak saya ungkap: bahwa kita jangan memikirkan bentuk ibadah yang mana yang akan ditempuh di jalan-Nya, sebab semua ibadah sama saja, yang salah ya yang tidak beribadah sama sekali, manalah mungkin akan mendapat upahNya? yang justru harus kita pikirkan dan baca ialah diri kita, tabiat kita, sifat dasar yang sangat mempengaruhi rob dan sob dari keimanan di dada kita! Ini karena, ibadah yang ringan sekali pun jikalau nafsu yang menang atas diri kita maka akan terasa berat dalam beribadat. Tidak masalah ibadah hanya itu-itu saja, telah dikatakan bahwa bertakwalah sesuai kemampuan. Asal jangan berenti mengekang nafsu yang memberahi, agar berjalan kian lesat, agar berakhir menjadi air yang berlabuh di lautNya. Tidak di botol-botol, atau bahkan di tempat pembuangan yang kotor!

Dan berkaitan dengan judul esai ini: MENUJU PUITISASI, maksudnya, apa yang telah diupayakan oleh DAM adalah bentuk nyata dari PUITISASI atas segala narasi dalam hidup(nya?), itulah yang saya dapati dalam sajak-sajak DAM, tidak hanya yang dimaksud kali ini, tapi pada kebanyakan sajaknya. Selalu bernas! Dan bertitiktolak pada realita atau hal nyata yang teralam-rasai, tidak hanya sebatas upaya main rangkai-rangkai kata semata!


Demikianlah! Tuhan begitu puisi
diri-Nya begitu menjejak sajak
suka dengan segala hal yang puitis
tidakkah diri ini tertarik?
memuisikan narasi pada diri pribadi?
selamat menjadi puisi!


dalam perjalanan sambil menikmati dua antologi yang dikirimi DAM beberapa hari yang lalu, Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar