Kamis, 12 Januari 2012

MENGUPAS BUAH SIMALAKAMA

Esai: Muhammad Rois Rinaldi


BUAH SIMALAKAMA ITU
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan
lalu kita kembali ingat wasiat abdul hadi: tuhan
begitu dekat seperti juga rabiah al-adawiyah
merentang panjang sejarah!

bpsm, 11/1/2012

Penyair masa kini, adalah yang dituju langsung oleh puisi karya Abah DAM ini. Dari kacamata pribadi saya dapat menangkap ada kerisauan, ada harapan, ada usaha untuk terus membimbing para penyair muda dengan cara yang cantik, yakni jika kebanyakan orang yang belajar diminta untuk mengikuti segala hal-ihwal dari gurunya abah DAM mengajarkan agar para penyair muda benar-benar menemukan sendiri apa yang disebut dengan puisi yang benar-benar terlepas dari berbagai pengaruh, walau tak dapat dipungkiri keterpengaruhan selalu akan ada, namun tentunya porsinya harus benar-benar ditata dengan baik. Agar dalam sebuah puisi yang ditulis oleh penyair muda benar-benar menggambarkan wajahnya,  aroma, dan jiwa yang benar-benar utuh dirinya. Sebuah puisi yang diberi judul "BUAH SIMALAKAMA ITU" ini awalnya membuat saya mengerutrkan dahi, lantaran dalam pemikiran pribadi dan pemahaman secara umum tentang "Buah Simalakama" yang menggambarkan sebuah kebimbangan atau sebuah pilihan yang kedua pilihan tersebut amat memberatkan dan bisa jadi mana pun yang dipilih akan berdampak buruk. damun setelah memasuki bait pertama :

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

Pada larik pertama dibuka dengan mengajak pembaca untuk membayangkan buah simalakama terhidang di atas meja. Tentu hal ini amat biasa, tapi menjadi tidak  biasa ada kata "Cinta" yang digambarkan sebagai wajah lain buah simalakama. Bagaimanakah bisa buah yang sering dijadikan gambaran kegelisahan antara dua pilihan yang keduanya adalah tidak memungkinkan mengantarkan kita pada keadaan yang baik digambarkan sebagai sebuah cinta yang terhidang di atas meja, ya! Di atas meja menggambarkan bahwa telah terhidang pada tempat yang semestinya. Lantas pada larik kedua dapat ditemukan maksudnya, apa pun pilihannya tetap akan menimbulakan masalah. dan ini kembali lagi pada pemahaman kebanyakan orang tentang buah simalakama. tapi ada sebuah kontemplasi dalam kata "Pilihan" yakni pilihan seorang penyair muda, pilihan puisi yang dia buat, dari diksi sampai unsur-unsur penujang lainnya yang memang harus dipikirkan, dikaji sematang mungkin, sebaik-baiknya. Pada larik ketiga Abah DAM meminta pembaca untuk membandingkan puisi Sapardi yang telah dengan tajam membuat puisi duka abadi.

Saya ambil salah satu contoh dari kumpulan puisinya yang sayasalin dari google

Berjalan di Belakang Jenazah

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

dalam puisi ini tergambar sebuah duka yang indah dan menggugah. Indah, karena puisi Sapardi Djoko Damono membiarkan sebuah peristiwa sederhana memancarkan pesonanya sendiri, sehingga tiba-tiba hidup jadi teka-teki yang tak lagi perlu dijawab bulat-bulat. dan tentu para penyair muda iri ingfin membuat puisi semacam ini, yang indah dan tentunya menggugah dan yang membuat saya tertegun ada sebuah kontemplasi yang dalam di puisi ini. Tapi sekali lagi saya membaca ada pesan dari Puisi Abah DAM agar tidak terbawa arus kepenyairan orang lain yang semestinya menjadi bahan pembelajaran atau perbadingan saja, tidak boleh mencoba menjadi seorang Sapardi.

Pun seorang Goenawan Muhammad yang membawa puisi keraguan sebagai bentuk keindahan di sisi keraguan yang selalu digambarkan sebagai sebuah keadaan yang sangat tidak mengenakkan hati.

Keraguan

Bila ragu mulai merasuk dalam diriku
Seribu tanya tercipta dari imajinasi
Sedikit demi sedikit rasa tak percaya timbul
Menghantui disetiap sela mimpi indahku

Aku sayang padamu
Begitu juga dirimu

Tapi ku tak mengerti
Sungguh tak mengerti
Satu keadaan yang memaksa
Diriku tuk bilang
Ada keraguan dihatiku
Akan kesungguhan hatimu

Meski tema yang diangkat seperti tema-tema remaja lainnya ditangan Goenawan Muhammad menjadi lain rasanya dan lagi-lagi bagi penyair muda akan sangat tergiur untuk membuat puisi seirama ini dan gambaran lain yang dimasukkan dalam puiis Abah DAM ini, tidak lain tidak bukan adalah sebagai sebuah pengingat-ingat ahwa nama-nama besar tersebut adalah bagian dari perkembangan penyair masa lalu yang hari ini tidaklah bijak mengekor atau pun mengikuti secara utuh gaya penulisannya . Kenapa? Karena hal tersebut akan membuntukan jalan yang semestinya terbentang di hadapan penyair tersebut dan yang lebih prah bisa terjadi kemandegak kreatifitas yang berakibat pada mandegnya perkembangan puisi tanah air. Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwasanya hidup ini secara alamiah terus berputar dan estafet akan senantiasa diberikan dari generasi satu ke generasi berikutnya.


buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

Pada bait di atas masih memaparkan beberapa nama besar penyair yang terdahulu dan diakhiri dengan tanda tanya yang memang jawabannya tidak ada pada penulis tapi pada pembaca, dan perlu saya ingatkan bahwa puisi ini tertuju khusus bagi para penyair muda atau penyair masa kini. tanda tanya di akhir bait tersebut sebenarnya boleh jadi sebagai penekanan bahwa pilihan tetap pada diri penyair muda masing-masing. Jalan mana yang hendak ditempuh? "Meniru dan terus menerus meniru sehingga nampak seperti salinan dari penyair masa lalu atau tepatnya sebagai hasil reingkarnasinya" Ya! menjadi seorang penyair yang sanggup membeaskan diri dari kata-kata kebebasan dalam pemilihan dan pemilahan tema lengkap dengan unsur-unsur yang membentuk sebuah puisi atau membiarkan terkekang dalam aturan-aturan yang sebenarnya itu dibuat dan diyakini sendiri. Ini adalah pilihan bukan?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan
lalu kita kembali ingat wasiat abdul hadi: tuhan
begitu dekat seperti juga rabiah al-adawiyah
merentang panjang sejarah!

Pada bait ketiga yang merupakan bait penutup puisi "BUAH SIMALAKAM ITU" ini ada penulis meminta pembaca memakan buah simalakama, di sini letak indahnya, bagaimana yang kita pahami bersama, mana ada yang mau memakan buah simalakama? Di saat puncak kegelisahan, di saat semua pilihan menghadirkan kulminasi kegelisana itulah penekanan penulis untuk memakan buah simalakam sampai sepah. Untuk apa? Supaya apa? Pertanyaan itu pun muncul dan dijawab olehlarik selanjutnya, agar memuntahkan segala kegelisahan menjadi sebuah keyakinan yang mantap!

Pada dasarnya penyair masa kini menghadapi sebuah kenyataan yang jauh lebih rumit, dibandingkan penyair yang terdahulu dengan banyaknya masalah yang ada juga masalah pribadi baik secara psikologis mau pun mental karena juga turut dipengaruhi oleh pergaulan dan perkembangan zaman. Di sinilah penyair harus sanggup menentang arus yang tak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Terutama yang berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak bangsa. Penyair masa kini harus sanggup membuat sebuah perubahan puisinya (Hanya pendapat yang sifatnya sangat pribadi)

sebenarnya masih banyak yang ingin saya ulas, akan tetapi ini sebagai pembuka dalam memberanikan diri mebuat sebuah esai yang sebelumnya belum saya sentuh dan untuk esai pertama ini saya memohon maaf atas segala hilaf. salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar