Rabu, 11 Januari 2012

MENCICIPI BUAH LEGENDA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Esai: Kajitow El-kayeni


Dimas Arika Mihardja
BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

bpsm, 11/1/2012

.
Puisi DAM ini adalah puisi besar yang mengangkat tema besar. Ada permasalahan besar yang membuatnya gelisah. Kegelisahan yang membuatnya tergagap seperti judul yang terpenggal itu. Kegelisahan yang mengeram dalam ruangan batinnya yang tua. Selain mengesankan terpenggal, Tanda Elipsis (...) pada judul puisi ini menunjukkan ada bagian yang sengaja dihilangkan. Bagian yang hilang itu digambarkan dalam tubuh puisi. Ia tidak hadir dalam bentuk teks karena telah dihilangkan tadi, tapi terkandung di dalamnya. Apa yang membuatnya gelisah adalah apa yang juga membuat orang-orang sastra di seluruh planet ini kelimpungan. Baik yang telah pergi atau yang baru muncul di pentas sastra. Orang-orang terbentur pada satu fakta bahwa telah lahir kanon-kanon sastra di negerinya masing-masing. Lalu bagaimana bisa memunculkan kebaruan?

Tidak ada yang benar-benar baru di muka bumi ini. Matahari yang menghangatkan kita telah miliaran tahun membakar dirinya. Udara yang kita hirup adalah udara yang juga dihirup oleh manusia pertama yang menapak dunia ini. Bumi yang kita huni juga telah empat miliar tahun usianya. Bahasa pun demikian, bahasa yang kita gunakan telah digunakan juga oleh orang-orang masa lalu. Saat menunjuk bulan, maka kata bulan itu entah berapa triliun kali diucapkan. Saat mengatakan cinta, entah berapa triliun kali kata cinta disebutkan. Bahasa yang kita gunakan telah digunakan oleh orang-orang terdahulu. Mungkin kita bisa menyangkal dengan mengatakan bahwa kita pun telah melahirkan bahasa-bahasa baru. Tapi kita juga tak dapat menghindar, ketika ingat banyak bagian, bahkan banyak bahasa yang juga hilang dari keseharian kita. Kelahiran bahasa baru itu karena kehilangan atas bahasa sebelumnya. Dan kelahiran bahasa baru itu juga menginduk pada bahasa lama. Satu hal yang pasti, tidak ada yang benar-benar baru di muka bumi ini.

Teori interjeksi mengatakan, bahasa muncul karena keterusikan, tapi benarkah begitu? Jika orang lapar dia akan terusik dan mengatakan lapar, jika orang dipukul dia akan mengaduh. Dengan kata lain, manusia yang dikehendaki dalam teori ini telah ada terlebih dahulu, baru kemudian bahasa muncul atas keterusikan tadi. Apa tidak terbuka kemungkinan lain bahwa bahasa itu ada sebelum adanya manusia? Atau mungkin saja manusia pertama itu mendapatkan bahasa dari manusia atau mahluk antah-berantah yang lain. Sehingga bahasa yang digunakannya adalah bahasa warisan. Jika teori interjeksi benar, maka ia harus menjawab pertanyaan peleontolog, kenapa tiba-tiba muncul peradaban yang demikian tinggi di sekitar tahun 16000 – 11000 SM, padahal manusia purba butuh waktu yang sangat lama hanya untuk mengembangkan peralatan batunya? Jika mengikuti perkembangan jaman purba dengan logika, seharusnya zaman kita ini manusia baru mengenal alfabet dan aljabar sederhana. Belum lagi menyoal ledakan jaman kambrium yang mementahkan Neo-Darwinisme itu? Juga menyoal mustahilnya asam amino sebagai pembentuk protein membuat jaringan organel-organel sehingga muncul satu sel hidup dengan tidak sengaja. Padahal seperti yang diketahui, satu sel itu memiliki jaringan yang lebih rumit dari sebuah kota besar. Sebuah sel hidup itu lebih canggih dari pesawat jet. Sehingga disimpulkan zat mati tidak bisa melahirkan zat hidup. Lalu jika manusia meyakini teori Bigbang atas permulanan jagad raya yang jelas tidak memiliki zat hidup, dari mana kehidupan berasal? Bagaimana kehidupan berawal? Dari mana munculnya bahasa?

Di sini ilmu pengetahuan terkapar. Yang kita tahu bahasa telah ada lebih dulu dari kita. Sebagaimana kita yakin Tuhan telah ada lebih dulu dari kita.

Begitulah, lalu kita ini mewarisi bahasa dari orang-orang masa lalu. Penyair Dimas Arika Miharja juga telah melakukan hal itu dalam puisinya. Masa lalu dipanggil kembali dalam puisi untuk menggambarkan sebuah ikatan keniscayaan. Dalam hal ini penyair menggunakan bahasa tidak saja sebagai media untuk memanggil masa lalu itu ke masa kini. Tapi juga legenda yang hidup dalam tarik-ulur masa-masa tersebut. “Satu-satunya hutang kita terhadap masa lalu adalah bahasa,” kata Hudan. Saat menunjuk benda, kita tak harus pusing memberinya nama terlebih dahulu. Orang-orang terdahulu telah mendefiniskan hal itu, terang Ernst Cassirer. Buah Simalakama adalah buah legenda seperti penjelasan Esais Puja Sutrisna mengenai puisi ini. Simalakama adalah nama yang memiliki konotasi berbeda daripada buah-buahan lain. Legenda itu kemudian menjadi legenda pengucapan, “Bak memakan buah simalakama.” Pribahasa inilah yang ditarik oleh DAM ke dalam puisinya. Sebuah lambang dari sesuatu yang membuatnya meletakkan kaki kanannya di satu belahan, dan kaki kirinya di belahan lain. Sebagai seorang Pendidik, seorang Dimas harus menekankan pokok-pokok konvensi pada anak didiknya sebagai dasar pijakan pembelajaran. Namun sebagai seorang penyair, DAM harus menjunjung tinggi prinsip utama: kebebasan dalam bergerak untuk memberikan kebaruan dalam puisi, atau setidaknya keunikan pada setiap penyair.

Buah Simalakama adalah gambaran dari dinamika dalam ranah sastra. Sebagai orang yang kenyang makan, puas minum, DAM memberikan petuah sebagai wakil dari orang masa lalu. Sebuah nasehat dari ruangan batinnya yang tua kepada penyair generasi kini, untuk terus membuat kebaruan dan ciri yang unik pada karya masing-masing. Berbagai nama penyair dimasukkan ke dalam puisi dan Penyair Dimas sengaja memberontak tatanan umum mengenai pengkapitalan nama orang. Lalu apakah ini adalah wujud dari kaki kiri DAM? Bukankah itu juga berkontradiksi dengan kaki kanannya? Di sini ada kemungkinan logis, yakni licentia poetica yang digunakannya memiliki tujuan dari segi pemaknaan. Kita dengan jelas dapat membaca wacana kanonisme terhadap tradisi sastra kita. Bahkan HB. Jassin membuat angkatan-angkatan kepenyairan, yang dengan sendirinya membuat posisi seorang penyair menjadi begitu agung melebihi karyanya. Pemberontakan terhadap kepriyayian itulah yang sedang ditunjukkan oleh puisi ini dengan menulis dengan huruf kecil, seluruh nama orang yang dimasukkan ke dalam puisi. Padahal nama-nama itu adalah orang yang telah melahirkan kanon-kanon sastra di negeri ini. Orang-orang yang begitu melegenda sehingga siapa pun yang bahkan hanya sekedar menjumput diksinya akan mudah dikenali.

Tapi nama itu sekedar nama dalam puisi ini, ia kembali pada rumah bahasanya yang paling mula. Nama, sebagai hanya sekedar nama untuk mengenali sesuatu. Dan yang hendak dikenali itu adalah karyanya. Di sinilah penyair generasi kini itu diharapkan mencontoh strategi, bukan untuk berepigon apalagi memplagiat tentunya. Karena nama dengan huruf kecil itu telah menunjukkan mereka sama dengan huruf-huruf lainnya, hanya sekedar nama dari manusia. Mundur dari laga adalah bukan tindakan ksatria. Meski sukar dan memiliki resiko, langkah untuk memberontak itu mutlak dilakukan. Inilah Simalakama itu. Hendak membuat kebaruan, penyair generasi kini harus memberontak pendahulunya. Harus melahirkan hal-hal segar meskipun itu hitam dan pahit pada awalnya. Harus mencari kata sebagaimana maksud Sutardji dalam puisinya, “Cari.” Harus berani menjadi corong kemanusiaan seperti wasiat Rendra. Harus bermental baja seperti maklumat Widji Tukul,  “Lawan!” Hal ini tentu sangat sulit karena mereka harus memiliki pengucapan-pengucapan khas, mereka harus unik, mereka harus memiliki nurani yang bersih, mereka harus peka terhadap keadaan, mereka harus tahan tempa sehingga karyanya muncul sebagai intan yang berkilauan.

Penyair di negeri ini bukanlah gambaran yang manis mengenai sosok agung yang memiliki kata-kata tuah. Penyair di negeri ini harus menjual karyanya dari koran ke koran seperti Chairil. Penyair di negeri ini harus menangis dalam arti yang sebenarnya ketika melihat Bima membara dan kata-kata puitis hanya muncul saat kampanye. Ini adalah rasa pahit juga yang terkandung dalam buah legenda itu. Resah nian hati seorang DAM, karena dia sendiripun sedang mengunyah buah pahit itu untuk memunculkan puisi ini. Ia harus membungkukkan badan dan merangkul kanak-kanak yang sedang diajarinya bernyanyi. Sebuah harga yang cukup mahal, karena kaki kanannya ada di seberang kaki kirinya. Agaknya rasa pahit inilah yang terkandung pada tanda Elipsis itu, bahwasanya ada hal-hal besar yang hendak disampaikannya meski dengan menggoyang-goyang konvensi pada rentang tradisi dan inovasi.


*****




Kajitow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar