Jumat, 03 Februari 2012

MEMAHAMI "TARIAN JEMARI" YESSIKA, SEBUAH TELISIK "WARNA CINTA"

Oleh: Dimas Arika Mihardja

Yessika Susastra adalah satu nama yang memposting puisi di Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri 4 Februari 2012. Februari dikenal universal sebagai hari Valentine—bagi yang memercayai. Apakah “warna cinta” puisi Yessika Susastra ini berdimensi manusiawi (insani) atau justru memiliki perspektif lain? Pertanyaana sederhana inilah yang dijadikan pangkal tolak untuk memahami sebiji puisinya. Kita baca dulu puisi karya Yessika selengkapnya:

TARIAN JEMARI DI BERANDA RUMAH CINTA

di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari
melukisi dinding hati dengan kaligrafi
usai mengaji, kembali kita kaji warna cinta
bahasa mawar dan debar yang mendebur
saat aku mencium kembali kelebat bayangmu
malam ini kembali aku membuka album yang menyimpan genang kenangan
seperti museum mengabadikan ayat-ayat tentang musim
senyummu begitu ranum


persis di halaman muka
di kaca jendela memantul cahaya
sebuah pesona menyergap dan meresap
lalu kata-kata yang merayap di dinding kutangkup
dan kutangkap sebagai isyarat


 sanggar kreasi, 03/02/2012

 APAKAH  yang menarik dari puisi? Puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi, imajinasi, dan kontemplasi serta tersaji sebagai teks yang menjadi “tanda-tanda zaman”. Setiap puisi sudah barang tentu terdapat diksi, yakni pilihan kata yang dilakukan oleh penyair. Penyair "setengah mati" mempertaruhkan diri dalam memilih kata-kata yang secara tepat dapat mengabadikan pengalaman dan perasaannya ke dalam teks puisi. Penyair selalu selektif dalam memilih kata. Seleksi yang ketat ini biasanya lalu terkait dengan dunia fantasi yang secara nyata hadir dari pilihan dan penggarapan imajinasi. Penyair menyeleksi kata yang secara fantastis menumbuhkan ruang imajinasi bagi para pembaca puisinya. Melaui diksi dan imaji inilah penyair mengajak para pembacanya memasuki dunia kontemplasi  lewat puisi-puisi yang digubahnya.

Puisi yang ditulis oleh Yessika  bertajuk “Tarian Jemari di Beranda Rumah Cinta”.Kita dapat mengajukan pertanyaan, apakah “tarian jemari”, “beranda”,  rumah cinta” ini hadir sebagai kata yang bermakna lugas atau kias? Menilik padu padan konstruksi kata menjadi judul, saya memahami kata-kata itu tak sekedar bermakna lugas, melainkan jugaa bermakna kias. Kias? Ya, lantaran puisi itu memiliki ciri sebagai teks yang dikembangkan berdasarkan ketidaklangsungan arti, terdapat pemadatan, dan kepaduan. Konstruksi judul itu menyumbulkan pemaknaan kias sebagai dzikir di dalam hati. Dzikir di dalam hati? Ya, hati adalah ibarat berandaa rumah cinta dan tarian jemari mengiaskan menghitung ruans jemari sebagai representasi dzikir menyebut dan mengagungkan Asma-Nya.

 Teks puisi karya Yessika Susastra, tampil bukan semata-mata mengusung persoalan cinta antar insan, melainkan lebih mengaraah ke dimensi religius. Teks puisi ini memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap masalah “cinta” (cinta dalam tanda kutip). Artinya, selain cinta yang sifatnya manusiawi, dapat dimaknai pula ada penggamaran sikap religiusitas secara unik, yakni dengan diksi “tarian jemari di beranda rumah cinta”. “Tarian jemari” menggambarkan sebentuk dzikir atau menyebut nama-nama Allah dengan memanfaatkan ruas jemari . Dalam kaitan ini kita bertanya, “di manakah rumah cinta?”. Jawaabnya, mungkin, cinta berumah di hati. Jadi konstruksi judul ini mengarah pada masalah sikap relegius daripada persoalan cinta biasa. Kita baca bait pertama puisi Yessika Susastra:

saat aku mencium kembali kelebat bayangmu
malam ini kembali aku membuka album yang menyimpan genang kenangan
seperti museum mengabadikan ayat-ayat tentang musim
senyummu begitu ranum


Larik “aku kembali mencium bayangmu” terpapar sebuah bayang. Bayang tentang apa? Mungkin bayang tentang sosok tertentu. Mungkin juga bayang berbagai ma­salah kehidupan, baik berupa peris­tiwa yang terjadi dalam kehidupan se­hari-hari, se­suatu yang dialami oleh penyair Yessika Susastra.Masalah yang terkait dengan berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha­yatan, pe­mikiran penyair Yessika Susastra diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisa­sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi penyair selaku kreator. Penyair yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Yessika yang dalam kesehariannya mengenakan jilbab, rajin melakukan ibadah, sering  mengikuti pengajiaan, dan mengikuti dzikir akbar di berbagai tempat mencuat dan memadat dalam larik “akukembali mencium bayangmu”.

Bayang itu tampaknya muncul kembali saat membuka album yang menyimpan genang kenangan. Album itu lalu dibandingkan dengan museum—tempat mengabadikan ayat-ayat tentang musim, mengabadikan senyum yang begitu ranum. Bait 1 ini secara padat, utuh lantaran korespondensi, efektif oleh padu padan kata yang terseleksi, juga mencuatkan musikalitas yang terjaga komposisinya. Bentuk ulang “ayat-ayat” agaknya menjadi kunci penting sebagai pangkal tolah pemahaman dan penafsiran bahwa puisi Yessika Susastra berdimensi religius, bukan sekedar cinta biasa. Itulah sebabnya “tarian jemari” pada judul dapat dimaknai sebagai dzikir mengangungkan nama Allah dan frase “beranda rumaha cinta” mengarah ke sebuah gambaran tempat cinta yaitu hati.

Teks puisi  di­bentuk dan dicipta­kan oleh penyair  tampaknya berdasarkan de­sakan emosional dan rasional. Puisi karya penyair Yessika Susastra , sejalan dengan wawasan Luxemburg, merupakan se­buah ciptaan, se­buah kreasi, dan bukan sebuah imi­tasi. Artinya, keseluruhan puisi Yessika Susastra ini merupakan ciptaan, kreasi, dan bukan imitasi. Ciptaan dan kreasi Yessika Susastra, tidak seperti diungkapkan oleh Plato sebagai mimesis atau tiruan. Dalam teks puisi ini Yessika lebih cenderung melukiskan dengan kata-kata tentang bayang yang muncul dengan senyuman ranum, aneka bayang itu tersimpam dalam album genang kenangan yang mengabadikan ayat-ayat.  Oleh karena itu, wajar apa­bila un­sur-unsur pribadi penyair seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang dicipta­kan.Dapat dikemukakan di sini bahwa latar belakang keseharian Yessika Susastra sebagai muslimah yang taat, dan berbagai persepsi, pemikiran, cita rasa, harapan, dan lain-lainnya lalu meronai puisi yang diciptaklannya.

Kini kita baca dan cermati bait 2 puisi karya Yessika Susastra”
di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari
melukisi dinding hati dengan kaligrafi
usai mengaji, kembali kita kaji warna cinta
bahasa mawar dan debar yang mendebur

 Secara fisik, bait teks puisi ini terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe­nuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Peng­gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh penyair Yessika tentu dimaksudkan untuk me­madatkan dan mengefektifkan pengung­kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa penyair  mencipta­kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas. Ungkapan kias “di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari/ melukisi dinding hati dengan kaligrafi”  yang memiliki koprespondensi dengan kata kunci pada bait 1 yakni “ayat-ayat”. Aku lirik dengan khidmad bedzikir di dalam hatinya sembari melafazkan ayat-ayat (kaligrafi). Selain gaya bahasa, ternyata pada baris ini dapat kita nikmati bagaimana musikalitas puisi yang secara lembut mendamaikan (bukan melankolis). Lalu “usai mengaji, kembali kita kaji warna cinta/bahasa mawar dan debar yang mendebutr”.  Dalam baris ini muncul kata “kita”, yang menandakan bahwa aku lirik (bisa jadi Yessika selalu penyairnya) ada abersama pihak lain/orang lain yang disebut dengan “kita”. Kita itu mengaji dan mengkaji bahasa mawar (keindahan makna ayat-ayat) hingga debasr pun mendebur.

Kita baca dan cermati bait 3 puisi karya Yessika Susastra:

persis di halaman muka
di kaca jendela memantul cahaya
sebuah pesona menyergap dan meresap
lalu kata-kata yang merayap di dinding kutangkup
dan kutangkap sebagai isyarat

Religiusitas terungkap secara lembut, menyaran, dan begitu transparan. Religiusitas itu tampil melalui “cahaya” sebagai lambang Sang Maha Esa yang terpantul di kaca jendela sehingga sebuah pesona menyergap dan meresap, lalu kata-kata yang merayap di dinding (hati) kutangkup dan kutangkap sebagai isyarat.

Intensi­fi­kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam  puisi Yessika Susastra. Puisi Yessika Susastra, dalam konteks tertentu dapat dipandang sebagai cermin besar, tempat kitaselaku pembaca  mengaca (membaca dan berupaya memahami puisi). Intensifikasi merupakan upaya penyair memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon­densi merupakan upaya penyair menjalin gagasan menjadi satu ke­satuan. Musikalitas meru­pakan upaya penyair mempermanis, mem­perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu­sikalitas yang baik penyair Yessika Susastra mampu men­ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi­fat memusat dalam perenungan berupa lukisan. Puisi  yang baik akan selalu menunjukkan corak  yang menampilkan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas yang sederhana namun mampu menarik  perhatian pembaca.

Demikianlah pembacaan sederhana atas puisi karya Yessika Susastra, yang senyatanya merebut perhatian saya selaku pembaca, sehingga dengan itu pula apresiasi sedehana ini dimaksudkan sebagai sebentuk penghargaan atas kebersasilannya melukiskan kesaan dan perasaan religiusitasnya ke dalam bahasa puitik yang sederhana namun di dalamnya memiliki daya tarik. Tentu saja hasil aapresiasi sederhana ini, bukan lantaran puisi ini karya seseorang yang amat dekat dengan saya, tetapi semata-mata menghargai sebuah upaya mewarnai cinta. Warna cinta Yessika dan nuansa warna Cinta Yang Maha Kuasa, semoga dapat mendatangkan manfaat dalam upaya memanusiakan manusia.

Salam sastra
DAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar