Minggu, 08 Januari 2012

KENDURI PUISI "JEJAK" IDA NURSANTI BASUNI

Pengantar:

Untuk mengenal secara lebih baik karya Ida Nursanti Basuni, yang hari ini Jumat 06/01/2012, telah meninggaalkan kita, berikut saya posting "Jejak"-Nya yang patut kita apresiasi. Dalam Kenduri Puisi kali ini akan ditampilkan sajak lengkap warisan Ida Nursanti Basuni, lalu disertakan beerapa pendapat yang menyertainya. Tidak semua pendapat disertakan, melainkan pendapat yang relatif utuh-menyeluruh saja yang saya rangkum. Kita ikuti bersama dengan membaca puisi yang saya copypaste dari Catatan terakhir Ida Nursanti Basuni.

JEJAK
Karya Ida Nursanti Basuni

Bermalam-malam hujan turun. Kabut menebal di matamu. Aku letih menatapnya. Ingin aku mencungkil dan menukarnya dengan mataku. Mungkin dengan itu, aku tak berlabel anak lendir. Dan bisa kutanya di mana jejak kaki lelaki itu. Seperti apa wajahnya yang membuatmu bak Mariam melahirkan Isa.

Bermalam-malam aku membaca hatimu. Dalam diam aku baca tawa dan eja tangismu. Kau masih menyimpan kelu, yang terendap dalam empedu jiwamu. Tenanglah, kan aku ceritakan kelak pada Aliff bahwa tak ada bayi yang terpajan sebagai lendir.

Aku menyimpan tangisku seperti kau menyimpan bulir air matamu. Kini aku tumbuh dan menjelma sepertimu.

Aku ingin menjadi kau, memiliki jiwa yang dahaga akan nirwana. Aku bahagia kau memimpikan nirwana.

Aku akan selalu ingat isakmu. Ia telah mengakar dan berpinak dalam darahku. Hingga kini aku tak pernah bisa memahamimu setelah berlembar-lembar coba ku tafsir hatimu. Kau tak pernah menyangkal bisik-bisik perempuan berdaster batik, jika aku anak lendir. Apakah ada rahasia yang kan kau titipkan padaku? Atau jejak yang kau pahatkan kelak di jantungku?

Aku ingin meraba, menyentuh, dan membisikkan padamu. Kau wanita terindah, walau pipimu sekasar kulit kayu dan bibirmu tak lagi semerah jagung. Akan kukatakan dengan penuh keyakinan, aku bukan terpajan oleh lendir.

(INB bersama Aliff , Singkawang oktober 2011)


Kajitow El-kayeni lalu menulis tanggapan seperti ini:

‎(1)

Berita mengejutkan baru saja terdengar, satu lagi seorang penulis meninggal dunia. Sebagaimana Lan Fang yang belum lama pergi, penyair Ida Nursanti Basuni ternyata juga telah berpulang pada hari Jumat, 6 Januari 2012. Ida Nursati Basuni tidak saja seorang sahabat, tetapi juga saudara seayah angkat dengan saya. Meski saya tidak mengenalnya secara pribadi, tapi sedikit banyak ikut merekam jejak kepenyairannya. Di samping menulis puisi, Ida Nursanti Basuni juga menulis prosa. Karya yang telah dibukukan adalah antologi puisi: MIMPI SANG DARE. Membaca puisi Penyair Ida Nursanti Basuni adalah sebuah momen nostalgia tersendiri untuk saya. Dari puisi itu saya bergerak kembali ke masa lalu saat pertama kali membaca pikiran yang terkandung dalam karyanya. Dulu sekitar tahun 2009 saya pernah memberikan komentar yang agak pedas kepadanya. Setiap kali begitu, ayah angkat kami almarhum Loektamadji A Poerwaka selalu membelanya. Ida Nursanti Basuni selalu disebutnya sebagai “always be the first” karena kedekatan di antara keduanya dibanding anak-anak angkat Pak Loek yang lain.

Begitulah memori itu bergerak dalam bahasa sehingga membuat batas ada dan tiada yang sebenarnya menjadi semakin tipis atau semakin kabur dalam pemahaman.

Hidup dan rahasia besarnya mengajarkan kepada kita untuk arif dalam menyikapi hidup itu sendiri. Awalnya kehidupan tidak ada, setelah mengada ia akan kembali kepada tiada. Aneh saat membaca pikiran atau karya seseorang dan kita tersadar orang tersebut tidak lagi hidup dan ada di sekitar kita. Begitulah bahasa itu mendatangkan masa lalu kepada kita yang masih hidup ini. Mungkin saat membaca chairil, ws rendra, juga yang lain dengan ringan kita mengurai pikiran-pikiran mereka yang terrekam dalam bentuk bahasa itu. Berbeda saat kita membaca pikiran seseorang yang memiliki kedekatan dengan kita di masa lalu. Orang yang kita kenal itu telah tiada, tapi bahasa membuatnya hidup dalam pikiran kita. Kedekatan emosional menjadikan kita menganggap orang tersebut masih ada meski hanya dalam pikiran kita. Orang tersebut tidak benar-benar pergi sebagaimana keyakinan kita terhadap kematian. Ini tarik-ulur juga untuk mazhab Eksistensi dan pikiran Sartre (Esensi) itu. Manusia ada dulu baru berpikir katanya, dan Sartre dinyatakan salah karena berprinsip “aku berpikir maka aku (meng-)ada.” Tapi bagaimana jika manusia itu sudah tiada (tidak eksis) tapi pikirannya masih bergerak dengan gelisah dalam pikiran kita? Bukankah keyakinan akan eksistensi itu perlu dipertanyakan, begitu juga dengan keyakinan Sartre atas esensi itu?

Dapat disimpulkan, bahwa terus ada bukanlah satu-satunya bentuk untuk membuat seseorang memiliki pikiran, dan berpikir bukan satu-satunya pembuktian tentang adanya seseorang. Secara an-sich seseorang tetap ada meski ia tidak memiliki kesadaran telah ada. Dalam bahasa, ada dan berpikir itu menjadi sesuatu yang saling terkait dan tak berujung. Penulisnya mungkin telah mati secara arbitrer, tetapi pikiran penulisnya tetap hidup dan mempengaruhi munculnya pikiran-pikiran selanjutnya. Ini adalah fakta mengenai ada dan berpikir dalam bentuk lain yaitu ada dan berpikir dalam bentuk bahasa.

JEJAK
Karya Ida Nursanti Basuni

Bermalam-malam hujan turun. Kabut menebal di matamu. Aku letih menatapnya. Ingin aku mencungkil dan menukarnya dengan mataku. Mungkin dengan itu, aku tak berlabel anak lendir. Dan bisa kutanya di mana jejak kaki lelaki itu. Seperti apa wajahnya yang membuatmu bak Mariam melahirkan Isa.
Bermalam-malam aku membaca hatimu. Dalam diam aku baca tawa dan eja tangismu. Kau masih menyimpan kelu, yang terendap dalam empedu jiwamu. Tenanglah, kan aku ceritakan kelak pada Aliff bahwa tak ada bayi yang terpajan sebagai lendir.
Aku menyimpan tangisku seperti kau menyimpan bulir air matamu. Kini aku tumbuh dan menjelma sepertimu.

Aku ingin menjadi kau, memiliki jiwa yang dahaga akan nirwana. Aku bahagia kau memimpikan nirwana.
Aku akan selalu ingat isakmu. Ia telah mengakar dan berpinak dalam darahku. Hingga kini aku tak pernah bisa memahamimu setelah berlembar-lembar coba ku tafsir hatimu. Kau tak pernah menyangkal bisik-bisik perempuan berdaster batik, jika aku anak lendir. Apakah ada rahasia yang kan kau titipkan padaku? Atau jejak yang kau pahatkan kelak di jantungku?
Aku ingin meraba, menyentuh, dan membisikkan padamu. Kau wanita terindah, walau pipimu sekasar kulit kayu dan bibirmu tak lagi semerah jagung. Akan kukatakan dengan penuh keyakinan, aku bukan terpajan oleh lendir.

(INB bersama Aliff , Singkawang oktober 2011)

‎(2)

Puisi berjudul "Jejak" ini adalah puisi terakhir yang terrekam dalam catatan penyairnya di medium facebook. Dengan miris penyair menyoroti tentang hubungan seorang anak terhadap ibunya. Hubungan yang wajar sebenarnya dimana seorang anak dan seorang ibu memiliki hubungan khusus dalam hal kejiwaan. Kesedihan yang dirasakan ibu dirasakan juga oleh anaknya, begitupun sebaliknya. Tetapi yang menjadikan puisi ini miris adalah ketika hubungan tadi berlandaskan kepada sebuah ikhwal ketidak-normalan. Seorang anak yang dikatakan “anak lendir” menjadikan hubungan tadi menjadi sebentuk gambaran dari kesedihan yang benar-benar muram. Ia menghadirkan ketimpangan dalam pemahaman. Timpang dalam arti tidak normal tadi, dalam arti tidak umumnya tadi. Dengan cepat label miring itu merasuk ke dalam pikiran saya dan berjajar dengan stigma yang lain, misalnya anak haram, anak jadah. Atau dari segi lendirnya, bisnis lendir misalnya yang juga berkonotasi buruk. Anak lendir adalah sebuah istilah yang dimunculkan penyair untuk menyoroti fenomena di permukaan dunia di mana anak yang tak berdosa dikatakan mewarisi perbuatan orang tuanya. Seorang anak yang tidak mengerti apa-apa ternyata tidak diingini oleh orang tuanya. Seorang anak yang terlahir tanpa pertanggung-jawaban penuh dari kedua orang tuanya. Juga anggapan-anggapan lain yang menyudutkan si anak. Dalam puisi ini pihak ayah disebut aku lirik sebagai orang yang tidak menghendaki atau tidak bertanggung jawab atas keberadaan si anak sehingga ia mendapatkan stigma sebagai anak lendir.

Saya tak hendak berbicara mengenai fakta sejati yang menyebabkan puisi ini terbentuk. Dalam puisi, fakta itu tidak benar-benar ada menurut saya, karena jikapun ada, setiap puisi yang terlahir telah menjadi bentuk fiksi. Fakta itu tertinggal di dunianya sana, sedangkan puisi membawa kode-kode fakta itu dalam wujud fiksi di benak pembacanya. Tetapi penyair Ida Nursanti Basuni ini tidak saja mengambil fakta sebagai bahan pembentukan puisi namun juga membentuk fakta dalam kefiksian puisi. Artinya fakta yang sebenarnya hanya menjadi meriam pelontar peluru kode-kode bahasa itu dalam puisi ini ia ikut terlontar, sehingga apa yang terwujud dalam puisi adalah sebuah keniscayaan yang sulit ditampik. Bahwasanya penyair benar-benar mengisahkan sebagian dari kisah hidupnya. Ia tidak menggunakan fakta itu sebagai alat penyampai pesan sebagaimana kebanyakan puisi, tapi fakta itu tergambar seolah benar-benar dialaminya. Penyair benar-benar bersatu dengan sosok “aku lirik” yang mendapatkan sebutan negatif sebagai anak lendir.

“Bermalam-malam aku membaca hatimu. Dalam diam aku baca tawa dan eja tangismu. Kau masih menyimpan kelu, yang terendap dalam empedu jiwamu. Tenanglah, kan aku ceritakan kelak pada Aliff bahwa tak ada bayi yang terpajan sebagai lendir.”

Aku lirik dalam puisi ini sedang berdialog dengan seseorang yang disifatkan sebagai Mariam yang telah melahirkan Isa. Atau bisa juga disebut monolog karena tidak ada sahutan dari pihak ke dua. Seseorang dalam puisi ini tentu saja adalah seorang ibu bagi aku lirik. Tetapi ada yang unik dalam puisi ini, penyair dengan rapat menyembunyikan kata “ibu” itu, penyair memindahkan kata ibu tadi ke dalam bentuk pengungkapan lain, “...bak Mariam melahirkan Isa,” katanya. Gambaran itu untuk menguatkan sosok ibu yang berjuang sendiri dalam melahirkan dan membesarkan buah hatinya. Di sinilah puisi benar-benar memukau saat ia berhasil memanfaatkan lambang dan strategi “menyebut ini menghendaki itu” dalam dirinya. Biasanya pada kebanyakan puisi, kata “ibu” diobral untuk menjelaskan keberadaan ibu tersebut dalam puisi. Agar terjadi hubungan emosional dengan pembaca karena puisi telah mendapatkan tempat tersendiri saat mendaulat kata ibu ke dalam puisi. Hal itulah yang membuat banyak puisi kehilangan keunikannya. Puisi menjadi hanya sekedar ungkapan cengeng dan mengobral himne kebaktian kepada ibu saja. Tapi dalam puisi “Jejak” ini kata ibu itu dibungkus sedemikian rupa. Yang hadir adalah gambaran lain dari wujud ibu. Gambaran murung tentang wanita paruh baya (atau mungkin lebih tua) dengan ungkapan, “Kau wanita terindah, walau pipimu sekasar kulit kayu dan bibirmu tak lagi semerah jagung.”

Bisa jadi sosok ibu yang dibicarakan dalam puisi ini bukan ibu kandung penyair, kisah sedih yang sedang dituturkan dalam puisi ini bukan kisah nyata penyair. Tetapi ketika penyair membawa nama Aliff yang merupakan anak dari penyair membuat puisi bergerak menjadi begitu nyata. Puisi ini telah menunjukkan cita rasa puisi yang indah dari segi penyampaian sekaligus tajam dan dalam dari segi hujaman batin. Dengan cara menyembunyikan kata ibu itu puisi terasa indah dalam pemahaman, seiring dengan itu ia menjadi begitu getir dan muram ketika yang dijadikan landasan hubungan tadi adalah seorang anak yang disebut “anak lendir.” Seorang anak yang tidak dikehendaki kelahirannya. Anak yang seolah hanya dikonotasikan demi kepentingan lendir itu. Lendir seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab. Lelaki yang lupa pada jati dirinya sebagai pengayom dan pembimbing.
Bukankah penyair Ida Nursanti Basuni ini juga sedang mengangkat isu feminisme dalam puisinya?

Di sini kesan negatif yang dipertanyakan penyairnya adalah soal pertanggung-jawaban lelaki yang menjadi ayah bagi anak lendir tadi. Kesan itu timbul bukan dengan umpatan, pencemoohan, atau kata-kata tabu yang sering diboyong oleh banyak penyair lain untuk menyuarakan feminisme. Tetapi kesan itu timbul karena sudut pandang yang dibentuk penyair dengan sendirinya menempatkan sang ayah dalam posisi tergugat. Meski dengan bahasa yang halus tetap saja pertanyaan penyair itu terasa seperti tamparan. “Seperti apa wajahnya yang membuatmu bak Mariam melahirkan Isa,” katanya. Maka dari itulah penyair mengambil istilah anak lendir, karena sang ayah yang diceritakan hanya mementingkan hubungan badan saja. Sehingga ketika si anak terlahir, wajah bapaknya pun tidak diketahuinya. Perempuan jelas terikat dengan anaknya, baik secara badaniah atau kejiwaan. Sementara pihak laki-laki agak lebih ringan menyoal beban ini. Meskipun dalam koridor keluarga normal, kedua belah pihak sama-sama memiliki beban dan tanggung jawab masing-masing. Di sinilah banyak perempuan itu yang lebih berat menanggung beban dari si anak, apalagi jika anak itu terlahir tanpa pertanggung jawaban laki-laki.


‎(3)

Puisi "Jejak" ini adalah sebuah gambaran fenomena sosial yang marak didengungkan baik di dalam maupun luar negeri. Sebuah tuntutan keadilan yang sedang disuarakan penyair dengan mengedepankan kehalusan penyampaian namun mengena. Penyair dengan total bersatu pada subyek yang bergerak dalam puisi yaitu “aku lirik” dengan menyertakan sosok Aliff untuk menguatkan peleburan subyek tadi. Aliff yang merupakan anak secara nyata dari penyair menghadirkan empasan perasaan khusus dalam puisi. Fakta yang terbentuk ini menjadikan puisi tetap aktual dan mengada. Sehingga penyair dan pikiran yang terkandung dalam puisinya terus bergerak dan hidup dalam benak pembaca. Eksistensi dan Esensi terus mencari celah dalam diri manusia. Seolah hendak lolos dari lubang-lubang yang ada dalam dirinya. Persoalan-persoalan seperti itu selalu terrentang sepanjang kehidupan. Tapi fakta lain berbicara, bahwa dalam bahasa ada dan berpikir itu bisa saling terkait atau merupakan satu bagian, sebagaimana pikiran yang tengah diajukan oleh penyair Ida Nursanti Basuni dalam puisinya. Penyairnya telah berpulang, tapi fakta yang digelarnya dalam puisi membuatnya ada dan terus melontarkan pikirannya kepada pembaca.

Sebagai penutup saya ingin menggenapkan dengan puisi ayah angkat penyair yaitu Loektamadji A Poerwaka. Meski tidak berkesinambungan dari segi isi dan tema, tapi menyoal ada dan berpikir dengan bahasa tadi keduanya berkaitan. Puisi Penyair Ida Nursanti Basuni sedang mencari atau mempertanyakan sosok ayah dalam puisinya, sementara Penyair Loektamadji A Poerwaka sedang mencari atau menegaskan wujud sosok anak. Dengan bahasa keduanya saling menemu dalam konteks ada dan berpikir itu. Dalam bahasa keduanya saling melengkapi sebagaimana dulu ketika mereka berdua ada secara arbitrer dan menjalin hubungan di dunia ini.

KIDUNG BAPAK DAN EMAK
oleh Loektamadji A Poerwaka pada 26 Juni 2010 pukul 7:45
Anakku
Kujadikan kau dari inti besi
Tak retak digasak ombak
Tak tercabik direntang duka
Kuasah naluri setajam pedang
Iris tipis menyayat batas
Kikis, raut, perupa jiwa
Kutoreh alur pikir rangkaikan makna
Tak ada tirai penutup tanda
Telanjang, sederhana dan selaras
Kuajarkan padamu tentang menangkap lintang alihan
Nan mampu mencengkeram kilat sekelebat
Kujelaskan padamu tentang alun yang bergulung
Nan mampu memecah karang
Kuperdengarkan padamu nyanyian si burung hantu
Nan sendiri sunyi berlagu
Kuberikan tujuh jiwa serupa
Sarikan, rangkaikan kehidupan
Kau adalah penyihir pikir, perubah wajah
Kau adalah penantang waktu.
Kau adalah dirimu, milikmu
Hatimu besi
Tak ada airmata pencuci duka

Anakku
Kau adalah anak dari waktumu
Sudah pasti bukan waktuku
Tahukah kamu tentang perempuaan yang merajut
Dari urai benang dijadikannya selimut
Pelindung dinginnya hawa
Tahukah kamu tentang ketulusan
Tahukah kamu tentang nyeri kehidupan
Tahukah kamu tentang kekalahan dan kegagalan
Tataplah jiwaku ketika kau membara
Membakar dunia
Tataplah hatiku ketika sepi dan ingin pulang kepangkuan
Kemana jiwa rebah, lelah dan tak berdaya
Kutiup jiwamu
Menggelembung bak luasnya samudra
Tempat semuanya bermuara
Kuelus jiwamu degan kasih
Halus tak menimbulkan luka
Kalaupun kau tak punya air mata
Kau punya aku.

Diambil dari graffiti gratitude, Loektamadji, 2001

****

Kajitow El-kayeni
Dia yang menatap langit dengan murung


Mohammad Rois Rinaldi, memberikan respon dalam bentuk puisi berikut:


SAJAK PENGIRING
Kepada : IDA NURSANTI BASUNI

rupa dunia sekadar berhala bagi yang terlupa akan makna kelahiran. janji-janji azali yang tak pernah terpaparkan nalar, biaskan keberadaan neraka dan surga di pelupuk mata. dan langkah kaki penuh perkara, berbunga angkara

dan Tuhan amat mencinta pada hamba-hamba yang mendamba. tubuhmu memang terbujur kaku berlapiskan kain kafan lantas tertimbun tanah. tapi kau tak sendiri, telah kami kirim doa dari ceruk dada paling bening dan mati adalah awal senyuman yang abadi bagi insan yang mengabdikan hidup padaNya.

selamat jalan IDA NURSANTI BASUNI, gemercik sungai firdaus telah menanti, dan buatlah puisi di dinding-dinding surga. sampaikan salam kami, penyair yang kerap terlupa. kelak kita akan bertemu merangkai kasturi di sisiNya.

Dimas Arika Mihardja (DAM) menimpali:  Saudara Kajitow El-kayeni dalam kapasitas sebagai esais dan filsuf telah memainkan peran penting memperkenalkan dan mengekalkan karya sahabat batinku Ida Nursanti Basuni yang memang punya senyum dan senyum di saat perjumpaan. Begitu berjumpa di darat di Jakarta tempo hari, ia begitu akrab dan mengajak berfoto berdua. Senyum itu, keelokan dan kelincahan pikirannya, kini tertinggal di dalam "Jejak". Terima kasih mas Kajitow, selamat jalan sayangku Ida Nursanti Basuni.


Muhammad Rois Rinaldi setelah mengutip kembali sajak “Jejak” mengajukan pemikiran seperti ini: dalam puisi ini menceritakan sebuah rasa cinta yang amat dari seorang anak "lendir" yang telah dengan lapang dada menerima kelendirannya. konotasi kata "lendir" sebenarnya amat takut bagi saya untuk memaknai sendiri atau dengan serta-merta melabelkan pemaknaan dari kacamata saya selaku pembaca. tapi untuk memenuhi kelengkapan penangkapan makna secara keseluruhan maka saya pun terpaksa mengartikan kata "lendir" itu.

lendir = cairan yang kenyal dan lengket, bisa cairan dari hidung, bisa dari telinga. ya, lendir seperti nanah. lantas kata lendir dipasangkan dengan kata "anak" di mana anak berarti keturunan kedua atau seseorang yang dilahirkan dari rahim ibunya.

lantas apa yang saya tangkap dari "ANAK LENDIR" secara spesifik saya masih risih tapi secara umum anak lendir di sini berkonotasi sebuah sebutan bagi seorang anak yang mempunyai atau membawa nama buruk yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak disukai oleh kebanyakan orang atau sebagian banyak masyarakat.

dalam puisi ini menceritakan bagaimana seoarang anak yang dulu adalah gadis kecil sudah beranjak dewasa, yang dalam kedewasaannya itu ia mulai menangkap sinyal-sinyal luka yang mendalam, airmata yang tertahan dan pilu yang tak terkatakan. dia sebagai anak ingin menggantikan segala luka.

ia mencoba meyakinkan diri, berusaha dan benar-benar yakin bahkan kelak ia akan menceritakan pada "Alif" (anaknya) bahwa tak ada bayi yang terlahir dalam keadaan hina, tidak ada manusia yang membawa kebusukan semenjak terlahir

dia terus mengurai betapa ingin menjadi seperti ibunya yang mempunyai mimpi-mimpi nirwana. ia tak henti menerka, nyinyir meluluh sosk pada masa silam sang bunda

ya! puisi ini tanda cinta yang dalam sekaligus sebagai sebuah bentuk kesadaran penulis akan hakikat kelaiharan seorang anak Adam.. puisi ini miris :) bagaimana abah Dimas Arika Mihardja?

Dimas Arika Mihardja menjawab, Sebuah pembacaan (dan tentu saja pemaknaan) itu niscaya sifatnya. Semua pembacaan sebaiknya bertolak dari teks yang hadir sebagai wacana. Puisi ini dilabeli "Jejak". Jejak ialah tapak atau bekas langkah kaki yang hadir sebagai lambang. Lambang apa? Lambang sebuah perjalanan jauh (baahkan sejak Mariam melahirkan anaknya) hingga ke kinian (dalam konteks ruang renung Ida sebagai penyair). Apakah ini pengalaman pribadi penyair yang juga seorang ibu Muhammad Rois Rinaldi? Sabar, nanti dulu. Penyair biasanya menduduki sebuah institusi sebagai "si juru kisah". Aku lirik, ibu, di dalam tubuh puisi tak serta merta identik dengan penyairnya (yang kebetulan juga wanita, cantik lagi hehehehehehe).

Lalu di dalam tubuh puisi kode yang menyita perhatian pembaca ialah "anak lendir". Jika "lendir" di sini dimaknai sebagai "cairan kental yang keluar dari hidung, misalnya, maka akan ketemu sebuah makna "anak ingusan". Anak ingusan? Siapakah dia? Emangnya ada masalah apa dengan "anak ingusan"? Ranah ini agaknya juga dapat hadir dalam lingkup simbol >> anak ingusan itu dipandang sebelah mata lantaran berbagai sebab. Ranah ini tentu melahirkan pemaknaan lain dari "Jejak"-nya Ida Nursanti. Akan tetapi lantaran Ida juga menyinggung nama Maryam dan Isa, barangkali puisi ini sebagai sebuah penilaian, interpretasi, atau minimal sikap kritis seorang Ida. Soal "anak haram Tuhan", misalnya telah banyak disebut dalam Kitab dan Allah sendiri melalui banyhak ayat menerangjelaskan Kekuasaannya saat Maryam lalu difitnah, Isa diburu-buru hendak dibunuh (lalu diselamatkan Allah ke langit, serta menghadirkan orang lain yang mirip dengan Isa sebagai penggantinya; yang kisah ini punya korelasi dengan digantikannya Ismail saat menjelang hendak disembelih oleh Ibraahim atas Perintah Allah)

Dua penafsiran itu (1) anak ingusan dan (2) "anak haram" (haram dalam tanda petik) akan berkorelasi dengan sejarah panjang umat manusia di bumi. Kenapa? Kita sama tahu bahwa manusia terlahir dari "air hina" (ingat lagunya wak haji Rhoima Irama ya hehehehehe) yakni berupa mani. Nah, lantaran terlahir dari "air hina" (dalam tanda petik) maka apakah yang dapat dibanggakan oleh seorang anak manusia? Bahwa di sekujur tubuh manusia pun penuh dengan kotoran (di mata ada tahi mata, kotoran hidung, kotoran, telinga, kotoran anus, kotoran vagina/penis--yang keseluruhannya berjumlah 9, makanya di Jawa lantas ada ungkapan nutupi howo songo, persis seperti saat mayat hendak dimakamkan keseluruhan lubang ditutupi dengan kapas). Inti yang ingin saya sampaikan ialah bahwa "jejak" Ida Nursanti Basuni dapat didekati dari banyak sisi. Inilah contoh puisi yang memiliki banyak pintu penafsiran sebagai bukti karya yang berhasil. Pembacaan Kajitow, Rois, pembacaan Jurnal Sastratuhan Hudan tentu saja akan menunjukkan sisi-sisi misteri puisi ini. Selamat menyantap kembali puisi "Jejak" Ida Nursanti Basuni.


Jurnal Sastratuhan Hudan, berjanji akan menulis esai tersendiri tentang Ida Nursanti Basuni. Lalu, ia mengemukakan pandangannya seperti ini: iya. aku banyak menuliskan dia. aku kagum dan hingga hari ini pun, dengan ida. juga dengan kaji dan prof dam itu. benar kok. yang aku kurang kagumi: orang tak menulis walau, bukan kita tak suka ya. kita kagum dengan bahasa yang terus bergerak, seperti dam, yang dengan strategi menggerakkan diri, misal bengkelnya ini - serasa kulihat bayang bengkel rendra juga hehe kajitow single fight kayak huhi, untuk sementara, sebelum dia kelak menjadi, kukira mengapa tidak kita menggerakkan apa ya. dalam bentuk yang konkret kajitow. besok ya. aku baru melihat lihat. halo imron tohari. met tahun baru ya (namanya kelebat pas aku lagi mengetikkan ini.

Suko Rahadi ikut Kenduri Puisi, inilah pembacaannya:
Sesungguhnya semua berasal dari Allah dan kepada Allah jua semua akan berpulang. Beberapa hari terakhir, saya membaca kabar tentang kembalinya sahabat-sahabat kita yang berpulang ke alam keabadian. Lang Fang, penulis yang begitu dekat dengan pondok pesantren, telah berpulang tepat di hari nata,l sebelum kemudian disusul Mbak INB pada tanggal 6 januari 2012 yang bertepatan dengan hari jum'at, hari yang dimuliakan. Semoga beliaubeliau juga mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt. amin...

keduanya, Lang fang dan INB, adalah penyair dan penulis besar. Terus terang saya jarang atau bahkan bisa dikata hampir tak pernah berinteraksi dengan keduanya meski keduanya telah berteman dengan saya di fb. Ah, saya ini memang keterlaluan. ada orangorang besar, penyair dan penulis kawakan yang sudah mendekat namun tak juga saya menyempatkan diri untuk menimba ilmu dari mereka. dan kali ini, saya baru berkesempatan dengan karya terakhir INB melalui kenduri puisi atas Undangan Prof. Dimas Arika Mihardja. berpegang pada sebuah statement Manusia Suci; Haq seorang muslim atas muslim yang lain ada khomsun: menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, merawat jenazah, menghadiri undangan dan mendoakan orang yang bersin, maka saya turut menghadiri kenduri ini. dan telah dihadirkan di hadapan kita sebuah ingkung untuk dinikmati bersama. tentu saya, dalam batas ketidakmampuan yang saya miliki, akan berusaha turut mengapresiasi puisi karya terakhir INB ini. Semoga beliau Almarhumah akan senantiasa tersenyum membaca tulisan yang alakadarnya ini.

"Umur manusia sangat terbatas, maka sambunglah umurmu dengan tulisan," demikian ungkapan yang pernah saya baca. meski INB telah mendahului kita, namun nyata bahwa dia masih bisa memberikan ilmunya lewat karyakaryanya.

lewat sajak ini saya turut belajar. Baru sekali ini saya membaca karya INB. tentu butuh energi berlebih untuk sekedar mampu menganalisis sajak tersebut. apa sebab? Karena untuk bisa menganalisis sebuah sajak akan lebih mudah jika kita mengenal pribadi penulisnya secara utuh. Karenanya, sebelum menulis, saya membuka akun INB di tab yang baru.semula saya berpikir bahwa sajak ini dibuat berdua, bersama seseorang yang bernama allif. setelah saya baca langsung dari sumbernya dan membaca komentar yang ada, akhirnya saya tahu bahwa allif adalah anak pertama dan satusatunya.

Saya sudah memelototi JEJAK tersebut. Seperti saya sampaikan di atas, sajak yang menarik. Ya, sungguh menarik.


mengapa menarik?
pertama, tema yang diangkat adalah IBU. Tibatiba saya teringat akan sebuah cerita yang kisahnya mengisahkan tentang seorang anak yang tidak juga segera dicabut nyawanya padahal dia telah lama sekarat. Usut punya usut, ternyata orang ini memiliki dosa/kesalahan yang hingga waktu itu belum juga dimaafkan oleh ibunya. Kata nabi, dia baru bisa mati setelah mendapat kata maaf dari sang ibu. karena tak juga mau memberi maaf, maka nabi berinisiatif untuk membakarnya. istilah jawa, "tego larane ora tego patine," maka sang ibu pun segera memberi maaf. maka sesaat setelah dimaafkan, lepas nyawa dari jazad orang tersebut. begitu hebatnya seorang ibu bagi anaknya. Selain cerita tersebut, konon apabila seseorang hendak kembali ke hadirat Tuhan, maka nama yang sering disebut adalah ibunya. Ya, ibunya dan bukan bapak atau yang lainnya.

kedua, INB adalah pujangga. Pujangga adalah manusia yang berbudi halus. saya pernah membaca dalam kisah ronggo warsito bahwa dalam karyanya serat SABDA JATI, sang Pujangga telah berpamitan akan meninggalkan dunia yang fana ini. Bait itu berbunyi, "...hamung kurang wolung ari kang kadalu, tamating pati patitis...." yang terjemahannya kurang lebih, "hanya kurang delapan hari lagi sudah terlihat akan datangnya maut." Puisi adalah curahan hati dan perasaan. Bisa jadi puisi ini adalah sebuah firasat yang disampaikan kepada ibunya, juga sekaligus pengakuan, permintaan maaf dan janji atas atas dirinya si anak lendir. Hingga saat ini saya masih belum tahu, apakah Ibu Almarhumah INB masih hidup atau sudah meninggal.

ketiga, diksi yang dipakai dan isi puisi itu sendiri. tentu saya tak akan mampu membuka tabir yang ada di dalamnya, sebagaimana kata sang jaya baya,
"Ingkang bisa nemu iki
Ora saben sak uwonga
kudu ana pilihane..."

tidak setiap orang bisa membaca tandatanda yang dibawa oleh sebuah puisi.

Bermalam-malam hujan turun. Kabut menebal di matamu. Aku letih menatapnya. Ingin aku mencungkil dan menukarnya dengan mataku. Mungkin dengan itu, aku tak berlabel anak lendir. Dan bisa kutanya di mana jejak kaki lelaki itu. Seperti apa wajahnya yang membuatmu bak Mariam melahirkan Isa.

Dua kalimat pertama yang dipilih untuk membangun puisi itu langsung membawa kita pada suasana yang sangat dingin. Hujan turun dan kabut menebal. Sepertinya kabut tak akan pernah datang bersama hujan. karenanya ini adalah waktu yang berbeda. mungkin bisa kita bangun sebuah parafrase, (setelah) bermalam-malam hujan turun (dan sudah reda), kini kabut...
Hujan, yang senantiasa menawarkan kedinginan, tetap akan kalah lebih dingin dibanding kabut. Karenanya ini bertingkat. Harihari yang dingin bersama hujan, semakin dingin setelah datangnya kabut.
hawa dingin, seakan memberikan kesan kemurungan dan hilangnya harapan. terlebih lagi dikatakan bahwa kabut yang dingin itu berada di matamu. "mu" yang dimaksud di sana adalah ibu.

Aku letih menatapnya. kalimat ini semakin menguatkan akan dugaan kesan kemurungan yang dibawanya. murung karena apa? bisa jadi karena rasa ingin yang belum juga terpenuhi. bisa jadi keinginan itu adalah bertemu dengan ayahnya, lakilaki yang telah membuat sang ibu melahirkan sendirian. Isa dilahirkan mariam tanpa ditunggui ayahnya. Mungkinkan ayahnya sudah meninggal dan ingin ditemuinya agar bisa melihat wajahnya seperti ditulis dalam "seperti apa wajahnya.."

Bermalam-malam aku membaca hatimu. Dalam diam aku baca tawa dan eja tangismu. Kau masih menyimpan kelu, yang terendap dalam empedu jiwamu. Tenanglah, kan aku ceritakan kelak pada Aliff bahwa tak ada bayi yang terpajan sebagai lendir.

Bait ke dua dari puisi ini semakin mempertegas bait pertama. "Bermalam-malam aku membaca hatimu," seakan mengesankan kepada kita bahwa aku lirik telah lama memikirkan kamu lirik, yang besar kemungkinan adalah ibunya, yang hanya bisa dibaca dalam diam. lagilagi saya tidak tahu, apakah sang Ibu dari INB masih hidup ataukah sudah meninggal. Namun yang jelas, nampaknya aku lirik memahami betul akan kesedihan yang seakan masih menyelimuti ibunya hingga kini. "Kau masih menyimpan kelu,.." katanya.

Lalu berjanji. "..kan kuceritakan kelak pada aliff.." Janji ini diharapkan akan mampu mengobati kesedihan sang ibu, bahwa sesungguhnya setiap anak lahir dalam keadaan suci.

"Bermalam-malam aku membaca hatimu," adalah sebuah kiasan. bahwa hati bukanlah tulisan, hati hanya butuh dimengerti, dipahami. Dalam hal ini, aku lirik membutuhkan waktu yang lama (bermalam-malam) demi memahami isi hati kamu lirik. "Dalam diam.." nampak semakin menegaskan apa yang saya pahami dari bait pertama, "bermalam-malam hujan turun" sebagai simbol kesedihan. Nampak bahwa aku lirik adalah sosok yang sesungguhnya (berusaha) tegar, sebagaimana ia tetap berusaha mampu memberikan rasa tenang pada kamu lirik. "Tenanglah...," katanya. namun, bisa jadi ini adalah sebuah ungkapan motivasi diri, bahwa sesungguhnya kita semua terlahir dalam keadaan yang sama.

"Aku menyimpan tangisku seperti kau menyimpan bulir air matamu. Kini aku tumbuh dan menjelma sepertimu."

Nah, bait ke tiga ini memperkuat dugaan saya pada bait ke dua. Bahwa aku pada puisi itu telah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sosok yang tegar. berusaha untuk menympan tangis, sebagaimana gambaran sosok kamu lirik. Nampaknya aku lirik sangat mengidolakan sosok ibunya. Seseorang yang telah membesarkannya seorang diri, bahkan hingga selesai study di perguruan tinggi. ada keinginan kuat dari aku lirik untuk bisa menjadi tegar seperti ibunya. Lalu seperti apa sosok kamu lirik yang dimaksud? pertanyaan ini terjawab oleh bait selanjutnya.

"Aku ingin menjadi kau, memiliki jiwa yang dahaga akan nirwana. Aku bahagia kau memimpikan nirwana."

bait selanjutnya;
Aku akan selalu ingat isakmu. Ia telah mengakar dan berpinak dalam darahku. Hingga kini aku tak pernah bisa memahamimu setelah berlembar-lembar coba ku tafsir hatimu. Kau tak pernah menyangkal bisik-bisik perempuan berdaster batik, jika aku anak lendir. Apakah ada rahasia yang kan kau titipkan padaku? Atau jejak yang kau pahatkan kelak di jantungku?

Bait ini nampaknya sedikit berlawanan dengan baitbait sebelumnya. "Aku akan selalu mengingat isakmu," katanya. Tak bisa dipungkiri, bahwa sekuat apapun wanita tetaplah wanita. Sekuat apapun ia bertahan, minimal isak akan juga keluar. Wanita tetaplah sebagai makhluk yang lembut (untuk tidak menyebutnya lemah). Tangis adalah bagian dari hidup wanita. dan sebagaimana kamu lirik, si aku juga tetap memiliki sifat dasar itu; mendahulukan perasaan. ada tanya di sana, di bait itu. "Apakah ada rahasia yang kan kau titipkan padaku? Atau jejak yang kau pahatkan kelak di jantungku?"

Pertanyaan itu muncul dari sebuah kenyataan yang tak bisa ditolaknya bahwa dirinya, si aku lirik, adalah anak lendir sebagaimana yang tidak pernah disangkal oleh kamu lirik atas gunjingan para tetangga saat berbelanja di tukang sayur. "Berdaster batik" membawa saya ke suasana sekumpulan ibu-ibu yang berbelanja di pagi hari ke tukang sayur, belum sempat menyisir rambut bahkan, sembari gunjing sanasini. :)

Aku ingin meraba, menyentuh, dan membisikkan padamu. Kau wanita terindah, walau pipimu sekasar kulit kayu dan bibirmu tak lagi semerah jagung. Akan kukatakan dengan penuh keyakinan, aku bukan terpajan oleh lendir.

Bait terakhir, menguatkan keyakinan akan dirinya yang telah berusaha tegar menghadapi kenyataan hidup. Sebuah kerinduan akan berbincang dengan si kamu lirik.

(INB bersama Aliff , Singkawang oktober 2011)
puisi ini ditulis sambil menggendong anak, meninabobokkan mungkin.

Suko Rahadi
yang belajar menikmati sastra secara swasta. :)


Rangkuman Kenduri Puisi sementara sampai di sini. Semoga apa yang terbaca di sini bermanfaat, terutama sebagai sebentuk penghargaan atas karya dan kekaryaan Ida Nursanti Basuni yang telah meninggalkan “Jejak” untuk selama-lamanya. Tugas kita kini, saat hidup, terus menghidupkan semangat berkarya untuk menggapai “The Ultimate Reality”. Salam DAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar