Minggu, 08 Januari 2012

KENDURI PUISI "MEMBACA PESAN LANGIT DAM

Pengantar Wacana:

Tanggal 8-9 Januari 2012, di grup Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM) saya memposting sebuah puisi berjudul “Membaca Pesan Langit”, sebagai contoh pmbicaraan di sekitar puisi bening, puisi transparan (buram), dan puisi gelap. Seperti sudah menjadi tradisi, setiap pekan selalu dilakukan KENDURI PUISI, semacam kegiatan mengapresiasi puisi atas puisi yang diposting. Puisi yang saya posting itu memang banyak mengundang  pandangan, pendapat, dan komentar. Komentar serius sebagai sebentuk apresiasi dilakukan oleh Kajitow El-kayeni (esais dan filsuf, dan sekaligus kurator/redaktur BPSM). Berikut ini saya turunkan sebuah puisi yang saya posting dan apresiasi yang dilakukan oleh Kajitow (kepada kawan-kawan lain yang telah memberikan respon saya ucapkan terima kasih). Tulisan ini hendaklah dipandang sebagai upaya pendokumentasian, dan diharapkan kepada semua sahabat kiranya mulai memberanikan menulis hasil apresiasi dengan serius.

MEMBACA PESAN LANGIT


(Sajak Karya Dimas Arika Mihardja)

dalam kalam malam aku berdiam
tak pernah diam; sungguh aku paham apa yang kalian pikirkan
segala maksud yang bersembunyi di balik selimut kata-kata
tersebab aku mahamengerti segala gerak hati
tak ada ruang bagi tempat bersembunyi

segala bunyi, doa dan puja-puji aku tak perlukan
aku telah ada dengan kehendakku, sendiri
tak berbagi; tetapi kasihku tak pernah berlebih
rasa sayangku tak berbilang
tak pernah berkurang

berpalinglah hanya kepadaku
saat padam lampu
saat gulita pandangmu
lalu katakan apa yang kalian kerjakan
dan jangan menuliskan satu kebohongan
satu huruf pun!

pukul 23:03
08/12/2012

Pembacaan Kajitow El-kayeni:

puisi ini sebenarnya terang dan mudah dipahami pesannya. yang menjadikan puisi ini rumit adalah kesan paradoks yang ditimbulkannya. dari tubuh puisi bisa ditarik pemaknaan, aku lirik di sana adalah gambaran dari tuhan. sebab yang maha mengerti dengan hati hanyalah tuhan. gerak hati mungkin bisa terbaca dari isyaratnya tapi tidak bisa benar-benar dimengerti. apakah penyair benar-benar mewakili hakikat tuhan? semua tentu saja sebatas pengetahuan penyair terhadap tuhannya. pengetahuan itu mungkin sebagian besar di dasarkan atas wahyu yang diturunkan untuk umat dari nabinya tuhan. wahyu, yang dengannya penyair memahami tuhan itu seperti apa. hakikat tuhan tentu saja tetap menjadi misteri besar. atau bisa disebut rahasia di atas rahasia. jika kehidupan dan segala yang bersifat materi atau rohani itu adalah rahasia, maka kehidupan dan keadaan tuhan di atas rahasia itu. apa pun yang bisa menggambarkan tentang tuhan adalah bohong. karena tuhan seharusnya tak tergambarkan oleh penggambaran apa pun. hanya saja untuk mendekatkan pemahaman atas keberadaannya ada cara-cara manusiawi yang diberikan kepada manusia untuk mengenalinya. sebatas kemampuan manusia. agar manusia memiliki gambaran meskipun itu jauh dari keadaan yang sebenarnya.

paradoks sebagaimana diketahui adalah dua hal yang seolah bertentangan tapi sama-sama mengandung kebenaran. kesan itulah muncul dari puisi ini begitu mengamati judul "membaca pesan langit." siapa yang membaca pesan ini? jika tuhan sebagaimana yang dikehendaki penyair dengan subyek "aku lirik" itu tentu isi puisi akan berlawanan dengan judulnya. tapi jika penyair yang membaca pesan itu kenapa tubuh puisinya dipenuhi kode bahasa yang referen kepada tuhan? inilah paradoks yang saya maksud itu. dua hal bertentangan yang mengandung kebenaran. (1) aku lirik sebagai manifestasi dari tuhan sedang menguraikan isi pesan sebagaimana yang dimaksud judul puisi, pesan dari langit, yakni pesan dari tuhan. meski tuhan tidak mengambil tempat apalagi butuh terhadap makhluknya, karena itu mustahil jika tuhan membutuhkan tempat. maka langit dijadikan simbol yang menggambarkan keagungan dan ketinggian. langit di sini juga bukan langit secara hakiki. langit hanya lambang untuk penggambaran tadi. (2) tetapi di sisi lain akan muncul kontradiksi, jika "aku lirik" di sana mewakili tuhan maka itu kontra dengan judulnya, karena tuhan sudah dilambangkan langit kenapa harus membaca pesan langit yaitu dirinya sendiri? berarti puisi ini terdiri dari dua bagian, satu bagian judul dengan ide sendiri, bagian lain adalah tubuh puisi dengan ide yang yang sendiri.

di sinilah penyair bersembunyi dalam puisinya. tuhan yang tergambar dalam puisi adalah tuhan maknawi. tuhan yang sebenarnya sedang tersenyum melihat penyair yang telah meresapi pesan "dalam kalam malam." tuhan yang sebenarnya masih menunggu dengan sabar terhadap kajitow yang kelak kembali menangis tengah malam. lalu apakah tuhan di sana adalah penyair? tentu saja bukan. tuhan tetap tuhan meski bersifat maknawi dalam puisi. penyair tetap penyair meski bersembunyi dalam puisinya. yang membaca pesan itu adalah penyair, isi pesan yang dibacanya adalah monolog aku lirik yang merupakan manifestasi dari tuhan. jadi kesan paradoks yang muncul dalam puisi ini dengan sendirinya menyatu dalam judul itu sendiri. tubuh puisi adalah isi pesan, yang membaca pesan itu adalah penyairnya. maka kesan paradoks tadi telah gugur dengan sendirinya karena tercapai kesimpulan. penyair bersembunyi di belakang puisi, bukan bersembunyi di belakang subyek seperti biasanya. tapi ini persembunyian yang sangat jauh. maka puisi ini dan penyairnya sebenarnya saling mengintai. satu-satunya yang bisa merujuk keberadaan penyair ya kesan paradoks yang ditimbulkan oleh judul dan tubuh puisi.


dalam kalam malam aku berdiam
tak pernah diam; sungguh aku paham apa yang kalian pikirkan
segala maksud yang bersembunyi di balik selimut kata-kata
tersebab aku mahamengerti segala gerak hati
tak ada ruang bagi tempat bersembunyi

puisi ini memang bukan khotbah jumat, tapi lambang-lambang yang dikandungnya merujuk pada dalil-dalil yang tersurat. yang kesemuanya itu mencerminkan pengalaman batin yang dalam mengenai hakikat ketuhanan. terkandung pula gambaran, penyair meskipun bukan seorang dai atau bergelar kiyai namun memiliki pengetahuan yang cukup mengenai agama. kenapa hanya cukup? ilmu yang dimiliki manusia diibaratkan tuhan seperti jarum yang dimasukkan ke dalam lautan luas. sisa air yang melekat pada jarum itu sebagai pembanding dari hakikat ilmu yang sebenarnya. maka cukup tadi kembali pada diri penyair sebagai manusia. karena kalau lebih, wadak manusianya tidak akan kuat. cukup tadi adalah batas terjauh yang bisa dicapai manusia dilihat dari keumuman. ada orang yang mampu menghafal berton-ton kitab kuning kata seorang guru spiritual saya. ada orang yang mampu menduga perkara yang belum terjadi. ada orang yang mencapai pengetahuan rohani tingkat tinggi sehingga dikatakan fana fillah. hal demikian tentu atas kehendak tuhan juga. tapi sekali lagi kembali kepada standar umum. ilmu yang bermanfaat itu minimal bagi diri sendiri. maka cukup tadi kembali pada diri penyairnya.

bait awal dari puisi ini bisa juga dijadikan refleksi atas keberadaan penyair. aku lirik di sana mengatakan tengah berdiam dalam kalam malam. "berdiam" di sini secara harfiah lebih dekat pada makna bertempat tinggal. tetapi bahasa telah berbelok di sini. dalam logika tidak mungkin tuhan mengambil tempat seperti yang sudah dibicarakan di atas. maka berdiam di sini meluncur kembali pada musabab pesan ini terbaca, yaitu pada momen dimana penyair menangkap pesan tersebut. "dalam kalam malam" dengan maksud dalam bahasa sunyinya malam. penyair di tengah kesunyian malam mengheningkan diri sehingga menangkap pesan dari keadaan sunyi tadi. pesan spiritual yang bermuara pada pemberi pesan yaitu tuhan. pesan ini bisa disebut juga sebagai ilham, selaras dengan ayat, fa-alhamaha fujuuroha wataqwaaha (maka dia memberikan ilham kepada jiwa mengenai tindak ingkar dan tindak taqwanya jiwa). jadi tidak benar jika penyair bersembunyi di balik aku lirik secara langsung. penyair bersembunyi di balik puisi. dengan kata lain yang bercerita mengenai isi pesan itu memang penyair tapi bukan penyair yang sedang memberikan pesan. secara sederhana pesan itu hanya berbunyi: hakikat tuhan. dan hakikat itu dijabarkan sedemikian rupa dari sudut pandang penyair mengenai tuhan yang dikenalnya. maka tidak bisa dikatakan aku lirik adalah penyair atau aku lirik adalah tuhan. tetapi yang mungkin dikejar oleh logika adalah, aku lirik manifestasi dari tuhan berdasarkan pengetahuan penyair akan tuhannya.

manifestasi dari tuhan versi penyair tadi selaras dengan sifat tuhan dalam terminologi keislaman. yaitu, "tak pernah diam; sungguh aku paham apa yang kalian pikirkan." tak pernah diam dalam banyak artinya: terus berkata, terus bergerak, terus berupaya. sejalan dengan sifat mutakaliman (keadaannya terus berkata-kata), 'aliman (keadaannya mengetahui), qodiron (keadaannya berkuasa). di samping terus berkata, aku lirik juga meliputi segala sesuatu maka dikatakannya, "tak ada ruang bagi tempat bersembunyi." ini juga pemaknaan atas kesimpulan, tuhan tidak mengambil tempat, tapi mustahil segala yang ada tidak mengambil tempat? maka jalan damainya adalah tuhan meliputi segala sesuatu tapi tidak bertempat pada sesuatu. dengan bahasa hudan, tuhan menubuh pada dunia, kesadaran menubuh pada bahasa. karena tuhan meliputi segala sesuatu, maka sudah sepantasnya tidak ada tempat sembunyi bagi si sesuatu tadi. ditambah lagi karena sifat maha mengerti yang dimiliki tuhan tadi sehingga apa pun yang ada dan belum ada sudah diketahui. termasuk yang terdetik dalam hati manusia. hati di sini bukan hati dari segi fisik. hati di sini adalah hal ghaib yang jauh lebih luas dari dunia. karena logikanya, dunia tidak akan mampu menampung cahaya tuhan, tapi hati bisa melakukannya.


segala bunyi, doa dan puja-puji aku tak perlukan
aku telah ada dengan kehendakku, sendiri
tak berbagi; tetapi kasihku tak pernah berlebih
rasa sayangku tak berbilang
tak pernah berkurang

yang dimaksud dengan baris pertama dalam bait ke dua ini adalah segala yang menyangkut upaya lahiriah, yang terwujud dalam doa dan pujian itu tidak dibutuhkan oleh tuhan. di sini dikatakan segala bunyi, dengan begitu mengandung maksud, dengan mode doa dan pujian seperti apa pun, tuhan tidak butuh semua hal itu. karena tuhan memang tidak butuh apa pun selain dirinya. "aku telah ada dengan kehendakku, sendiri." kata aku lirik. karena ada dengan sendirinya maka dia tak butuh apa pun yang telah diadakan olehnya (makhluk). dipuji atau tidak tuhan tetap tuhan, disembah atau tidak, tuhan tidak pensiun, dibutuhkan atau tidak, tuhan tetap eksis dengan kesempurnaannya. keperluan doa, pujian, usaha yang baik itu kembali pada manusia tidak ada efeknya sedikitpun pada tuhan. itulah yang dijelaskan dengan "sendiri" dalam arti berdiri sendiri tanpa butuh sesuatu yang lain. sendiri dalam arti unik dan berbeda dengan yang lain. sendiri dalam arti tidak terpengaruhi oleh kepentingan-kepentingan apa pun. sendiri dalam arti terbebas dari tuntutan-tuntutan apa pun yang membuatnya terbebani.

sendiri itu pun terkandung makna tunggal sebagaimana baris selanjutnya, "tak berbagi; tetapi kasihku tak pernah berlebih." ini juga kembali pada sifat tuhan, dia tunggal dalam zatnya, tunggal dalam sifatnya, tunggal dalam perbuatannya. ini makna dari esa itu. dalam zat tak terbagi, berbeda dengan kita yang memiliki bagian-bagian anggota tubuh. dalam sifat tak terbagi, berbeda dengan kita yang sering berubah-ubah sifatnya. dalam perbuatan tak terbagi, dalam arti tidak bertahap, berbeda dengan kita yang membangun bangunan mesti bertahap dulu. yang cukup mengejutkan dalam baris ini adalah ketika sampai pada pemahaman, "tetapi kasihku tak pernah berlebih." apa maksud dari tak pernah berlebih di sana? bukankah kasih tuhan itu sangat luas. bahkan yang diturunkan ke dunia ini baru satu persen saja. sehingga binatang pun bisa mengasihi anaknya hanya karena satu persen ini. tapi kenapa dikatakan tak pernah berlebih? dalam konteks bahasa indonesia, kasih dan sayang tidak berbeda. tapi ketika merujuk pada bahasa arab ada perbedaan antara rahman (kasih) dengan rahim (sayang). kenapa bahasa arab? sesuai terminologi keislaman tadi. wahyu yang diterima oleh nabi orang islam dalam bahasa arab. maka untuk memahami keislaman sedikit-banyak harus merujuk ke sana. itu juga karena keterbatasan bahasa kita dalam menerjemahkan bahasa arab yang menjadi bahasa wahyu tadi.

setelah dikembalikan pada konteks bahasa arab, maka kasih yang dikehendaki di sini adalah rahman. dan rahman ini dicukupkan untuk seluruh penduduk dunia. baik yang beriman maupun tidak. baik hewan maupun manusia. seluruh penghuni dunia mendapatkan rahman (kasih) ini. maka wajar ada koruptor tetap sehat dan nyaman, ada atheis yang makmur, ada materialis yang sukses. itu semua karena rahman yang bersifat mencukupi tadi. maka dikatakan "tetapi kasihku tak pernah berlebih." kasihnya tuhan cukup, tak berlebih. kasih itu adalah rahman tadi untuk keperluan dunia. sedang rahim (sayang) diberikan bagi yang mau beriman dan patuh saja, kelak di kehidupan akhirat. maka dikatakan, "rasa sayangku tak berbilang." ini untuk menunjukkan luasnya kasih sayang tadi. sebenarnya di dunia pun kasih tuhan tak berbilang juga. namun seperti dibicarakan tadi itu baru satu persen. apalagi jika sembilanpuluh sembilan persen dan hanya dibagikan kepada kelompok yang beriman serta taat saja. logika sederhananya, jika satu saja cukup untuk sekian banyak, apalagi jika sembilan puluh sembilan hanya untuk sebagian dari jumlah tadi. maka ungkapan "tak berbilang" ini untuk menyatakan keadaan yang sebenarnya sangat sulit dipahami. begitu juga dengan penegasan "tak pernah berkurang." ini untuk menguatkan gambaran sebelumnya, yaitu tak berbilang tadi. selain sangat melimpah-ruah, sayang tuhan kelak di akhirat itu tidak akan berkurang meski dikalkulasi dengan seluruh komputer yang ada di dunia. karena sangat banyaknya, dengan bahasa yang tidak efektif senada dengan, sungguh amat sangat banyak sekali.


berpalinglah hanya kepadaku
saat padam lampu
saat gulita pandangmu
lalu katakan apa yang kalian kerjakan
dan jangan menuliskan satu kebohongan
satu huruf pun!

dalam bait terakhir, pemahaman mengenai hakikat ketuhanan tadi bergerak pada wilayah rohani yang lebih khusus. setelah menjabarkan mengenai sifat-sifat yang dimiliki tuhan, penyair yang bersembunyi tadi menggambarkan pesan yang dibacanya dari tuhan. pesan yang terdetik dalam hatinya. pesan yang merupakan ilham dan dimiliki oleh setiap manusia yang mau mengheningkan hatinya. gerakan tadi menggenapkan pembacaan pesan kepada sikap sosok dengan kata ganti orang kedua jamak "kalian" untuk memalingkan hatinya kepada satu tujuan, yakni tuhan. berpaling di sini juga selaras dengan "kalam malam" tadi. dalam keheningan seseorang akan merasakan ketidakberdayaannya. namun ketika sampai "saat padam lampu," muncul gambaran lain, apakah padam lampu di sana itu hanya sebagai penegasan dari waktu malam? artinya ketika umumnya manusia memadamkan lampu untuk tidur, momen itulah yang dikehendaki oleh "aku lirik" agar sosok kalian tadi menghadapkan hatinya. karena pada momen tersebut biasanya manusia menjadi soliter. sehingga dalam kesunyian tadi manusia mencapai puncak kesadarannya mengenai hakikat kehidupan. peristiwa padam lampu itu dikuatkan dengan baris sesudahnya yaitu, "saat gulita pandangmu." kalimat gulita pandangmu baerkaitan dengan kalimat perintah "berpalinglah." ketika manusia mengalami gulita pandang kepada tuhanlah tempat untuk mengahadap. gulita pandang ini menyoal hati. sesuai sifat hati yang peragu, banyak sekali gangguan yang membuat pandangan batin gelap sehingga tertutupi oleh kenyataan semu.

hati yang dalam bahasa arab disebut qolb (yang berbolak-balik) tidak pernah dalam keadaan stabil. kehidupan dunia yang penuh dinamika membuat manusia cenderung berpikir praktis tanpa perlu repot-repot menengok hati. keadaan demikian tentu saja membuat hati gelap, bahkan mungkin keras dan kasar. pada momen sunyi seperti itulah manusia berada pada puncak kesadarannya. bahwasanya banyak hal semu di dunia ini yang membuat pandangan hati menjadi gekap gulita. kesadaran akan hal ini akan mendorong sebuah pengakuan dari ketidakberdayaan manusia. kesadaran itu pula yang membuat manusia dalam momen khusus tersebut gelisah. baris selanjutnya "aku lirik" memerintahkan kepada sosok yang diwakili pronomina jamak, kalian untuk melakukan pengakuan atas seluruh perbuatan mereka. "lalu katakan apa yang kalian kerjakan" sebenarnya kata ganti orang di sini sangat kontras, dalam baris awal ada kata ganti milik orang kedua tunggal "-mu" sekarang berganti dengan kata ganti orang ke dua jamak "kalian". bisa jadi ini keterpelesetan saja, atau jika ini memang atas dasar pertimbangan dan kesadaran, tentu tersembunyi maksud dari perbedaan tadi. bisa jadi puisi ini adalah monolog penyairnya, artinya yang membaca pesan dalam kalam malam tadi adalah penyair, aku lirik terbentuk oleh sudut pandang penyair, maka kata ganti orang yang berwujud -mu terrefleksi juga kepada penyairnya. pada kata "pandangmu" merujuk kepada hati yang tunggal sedangkan kalian merujuk pada seluruh anggota tubuh dan itu dengan bentuk jamak. memang ini pemaknaan yang agak menjauh dari konteks; penyairnya sedang sembunyi di balik puisi; penyairnya tidak hadir secara langsung di dalam puisi, tapi mungkin ini adalah alternatif dari munculnya gen bebas dalam puisi ini.

kemudian yang hendak ditegaskan oleh aku lirik adalah mengenai kejujuran. pengakuan atas segala perbuatan tadi harus didasari rasa jujur. karena berbohong pun percuma saat tidak ada yang bisa disembunyikan dari tuhan. hal itu ditegaskan dengan kalimat, "dan jangan menuliskan satu kebohongan / satu huruf pun!" pada baris ini juga terlihat kontras dengan baris sebelumnya yaitu dengan kalimat perintah "katakan." tetapi bisa dipahami bahwa "menuliskan" di sini telah berbelok dari pemahaman atasnya. makna "menuliskan" itu bisa jadi menghendaki kegiatan lain semisal pengakuan atas perbuatan tadi sehingga dikatakan seperti menulis. atau menulis di sini adalah menulis dalam catatan kesalahan. artinya manusia memang tidak menulis catatan itu, tapi malaikat. namun di sini seolah ada opsi yang digambarkan "dan jangan menuliskan satu kebohongan." masih juga dikuatkan "satu huruf pun!" kebohongan dari pengakuan perbuatan tadi hendaknya tidak ditutup-tutupi, tidak perkara yang paling sepele sekalipun. terlepas dari gen bebas yang membuat pembacaan atas puisi terjeda. puisi ini adalah katarsis bagi jiwa yang gelisah. penyair bersembunyi dan seolah terpisah dari puisinya. yang membuat penyair terlihat adalah adanya kesan paradoks seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.

Penutup Wacana:
Demikianlah Kenduri Puisi yang berlangsung di BPSM. Bagi sahabat yang tertarik membaca secara lengkap dan mengikuti riuh-rendah pembicaraan secara lengkap, silakan bergabung pada posting puisi “Membaca Pesan Langit” di grup BPSM atau mengunjungi blog http://bengkelpuisidimasarikamihardja.blogspot.com. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar