Senin, 23 Januari 2012

SEMAKIN SENJA SEMAKIN BERSAHAJA: DIMAS ARIKA MIHARDJA

Esai: Usup Supriyadi

Seorang komedian Amerika Serikat, Woody Allen pernah membuat sebuah lelucun, katanya, Aku tidak takut untuk mati, hanya saja aku tidak ingin berada di sana ketika itu terjadi. Pada saat itu, hampir seluruh penonton tertawa dengan pernyataannya itu. Sebuah paradoks yang keluar dari seorang pelawak yang pintar. Tapi bagi saya, hal itu tidak hanya lucu, tapi justru pernyataannya tersebut mengisaratkan sifat dasar manusia atau makhluk hidup, yakni adanya rasa takut terhadap yang bernama maut.


Dalam hal ini, Asep Sambodja dalam sajaknya Senja di Hati yang didedikasikan khusus untuk Dimas Arika Mihardja juga memberikan penegasan atas apa yang saya ungkap bahwa adanya rasa takut akan maut. Katanya, beginila rasanya memasuki usia senja/ sebentar-sebentar melihat jam/ ... beginilah rasanya menjadi tua/ sedikit-sedikit merasa sakit/ ... beginilah rasanya pernah muda/ sebentar-sebentar membuka album/ ... beginilah rasanya memasuki usia senja/ gelisah kalau sendiri/ resah kalau (dengar dan lihat) ada yang mati//. Belum lagi, di zaman yang katanya penuh dengan kemajuan ini, ternyata bagi yang berusia kian senja semakin harus banyak mengingatNya, mengapa? Sebab Sapardi Djoko Damono berkata Pada Suatu Magrib, ... dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/ astagfirullah!/ Rasanya di mana-mana ajal mengintip//.


Masalah akhir kehidupan memang selalu membikin resah, apalagi bagi mereka yang di hatinya penuh dengan barah bukan hikmah Ilah. Apakah kita harus menghilangkan benar-benar rasa takut sebagai makhlukNya? Tentu tidak! Kita harus tetap memiliki rasa takut, utamanya takut kepadaNya, dan juga takut kepada setan. Hanya saja bedanya, takut pada Tuhan harus kita dekati, bila takut kepada setan dan segala maksiat harus kita jauhi. Kita pun, khususnya bagi yang percaya akan adanya hari akhir, hari  esok selepas kematian, maka rasa takut semasa hidup juga harus dipupuk, yakni takut kalau-kalau berakhir pada tempat yang terpuruk. Tapi kadang, kita justru malah berada dalam kegalauan, takut tapi tetap berpagut dengan segala kekeliruan. Aneh bukan?


Dan, rasanya, Dimas Arika Mihardja menunjukkan fenomena penyikapan yang layak dan bijak berkaitan dengan menghadapi akhir dari kehidupan atau perjalanan di dunia yang fana ini. Itu terlihat pada sajak Sebelum Berangkat, Saat Berangkat, dan Usai Berangkat. Sekilas ketika saya membacanya (khususnya pada bagian judulnya), mengingatkan saya pada sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Saat Sebelum Berangkat, Berjalan di Belakang Jenazah, dan Sehabis Mengantar Jenazah yang ketiganya -meminjam apa yang diungkapkan A. Teeuw- sajak yang indah dan juga membikin sedih. Namun, jujur saya katakan, saya lebih terpikat apa yang diutarakan oleh Dimas Arika Mihardja, sebab ianya melahirkan sajak yang berupa jejak petunjuk yang lebih bernas untuk menghadapi kepastian itu.


Pada awalnya, saya menganggap bahwa sajak-sajak Dimas Arika Mihardja tersebut berkaitan mutlak dengan sebuah kejadian dari akhir kehidupan anak manusia. Namun, saya menepis anggapan itu, justru yang saya dapati, sajaknya ialah sebuah peta petunjuk! kalau dikalangan sufi, jadi semisal tarekat bagi para salik untuk menuju sang khalik. Sebelumnya, ada baiknya mari kita coba baca-selami sajak-sajak yang saya maksud:


TRILOGI SAJAK DAM TENTANG BERANGKAT

[SEBELUM BERANGKAT]

mandi dan bersucilah, ingat. sebelum dimandikan
ada sesuatu yang harus dipersiapkan:

air bersuci

hati


[SAAT BERANGKAT]

keranda hanyalah kendaraan
sementara melaksanakan perjalanan
ke tepian maqam

makanlah amal kebajikan

minumlah mineral doa-doa

[USAI BERANGKAT]

sebuah alamat telah membawamu berangkat
menuju pulang, kembali ke asal mula sebagai tanah
amanah: sebuah pintu senantiasa terbuka
madu atau racun tersedia sejak semula

tak usah ketuk pintu
atau ragu

masuklah ke serambi hatimu


BPSM, 2011


Mengapa saya tidak menetapkan kata "berangkat"  pada sajak-sajak tersebut sebagaimana kata; maut, mati, kematian, pulang, atau rumah. Sebab saya menemukan kata "maqam" pada sajak Saat Berangkat. Maqam di sini jelas bukanlah term untuk makam atau kuburan tempat jenazah di kuburkan, tapi lebih kepada kedudukan seseorang di sisi Tuhannya sejak masa ada di dunia. Dimas Arika Mihardja dalam usia yang kian senja tidak terlalu mengumbar kekhawatiran yang mematikan, tapi justru lahirkan penyikapan yang sangat sahaja. Mengapa bisa begitu? Padahal, sebagaimana manusia pasti ada rasa takut dan khawatir? Saya temukan jawabannya pada Sajak Sederhana Untukmu karya Dimas Arika Mihardja, katanya, ... jika dada rasa sesak/ oleh segala kekhawatiran yang memabukkan hingga tidak beralasan ibarat meminum ...tuak menggelegak/ maka ...jangan campakkan sajak/ sajakNya//. Ini memang sebuah pesan yang menawarkan obat yang mujarab bagi yang tertimpah gelisah menjelang senja tiba, sebagaimana firmanNya: "Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..." [al Isra: 82] "Duhai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (berupa Al-qur'an yang tersurat dan tersirat) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) di dalam dada..." [Yunus: 57]


Apa yang harus kita lakukan sebelum berangkat menuju jalan yang lebih baik lagi? kita harus siap mandi dan dibersihkan sebelum kita benar-benar dimandikan. Yakni, air bersuci yang mengisaratkan penerapan syariat berupa salat, hati mengisaratkan harusnya khusyuk dalam ibadah dan bersikap tawaduk. Saat berangkat menapaki jalan Ilahi yang diridaiNya, keranda di sini ialah tubuh atau jasad kita dan segenap apa yang telah Tuhan sediakan sebagai wahana-wahana menempuh perjalanan menuju ke tepian maqam yang sebenarnya di akhirat kelak. Maka, dengan apa yang ada itu, kita harus memenuhi kebutuhan gizi rohaniah dengan jalan makan(lah) amal kebajikan dan minum(lah) mineral doa-doa.

Di bagian usai berangkat, ini memang agak sulit saya selami, maksud sebenarnya, namun yang pasti tetap dalam konteks masih di dunia dan langkah kita menyikapi takdir akhirNya. Bahwa setelah kita tetap pada jalanNya, maka sudah jelas bahwa dengan mengetahui syariat, maka akan menyampai hakikat berupa alamat yang tepat yang dengannya akan membawa(mu) kita ke derajat yang terhormat di sisiNya, bukan malah terlaknat. Selagi di dunia? Ya, karena usai di sini ialah sampainya kita pada tataran memahami agama ageming ati (lihat sajak Masjid Agung Al-Fallah, karya Dimas Arika Miharja).


Bahwa kita sadar segalanya akan kembali pulang/, kembali ke asal mula sebagai tanah/. Semangat kian ada, ketika kita tahu bahwa sebuah pintu senantiasa terbuka/  yakni Tuhan memang senantiasa membuka pintu tobat dan memperbaiki diri bagi setiap insani asalkan sebelum ajal menjemput atau matahari terbit di barat. Meski kita tahu bahwa madu atau racun tersedia sejak semula/ ada dua hal yang ingin coba saya tafsirkan berkaitan dengan madu dan racun, pertama bisa perihal adanya surga dan neraka, atau perihal takdir bahwa kita sebenarnya sudah ditetapkan sejak semula akan masuk surga atau neraka. Ini sejalan dengan sabda Rasul Allah, Muhammad, katanya, “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk limapuluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.......” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653]. Wah, kalau begitu apakah bukan sebuah kepercumaan kita mempersiapkan diri dan berusaha menjadi baik kalau ternyata berakhir di neraka? kalau ada yang bilang begitu, tanya balik saja, "Apatah kamu tahu bahwa kamu akan benar-benar masuk neraka?" Karena begitu rahasianya untuk hal itu, sama halnya dengan rahasia kiamat dan tamatnya sebuah riwayat hidup manusia, bukankah Tuhan berfirman: Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya. Ini membuktikan bahwa segala kemungkinan itu ada, dan Tuhan itu tidak pernah menyianyiakan amalan dari setiap hambaNya walaupun sebutir atom sekalipun, sebab rahmatNya melebihi murkaNya. Dengan usaha, doa, dan lainnya kita bisa mengupayakan perubahan nasib di dunia yang dimana bisa pula memicu agar berakhir di akhirat dengan hal-hal yang baik. Sebagaimana sabda Muhammad Rasulullah, Menyambung silaturahim, akhlaq yang baik, dan bertetangga yang baik akan memakmurkan negeri-negeri dan menambah umur-umur [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/159] dalam riwayat lain juga siapa yang ingin diluaskan rezekinya maka disyariatkan untuk memperbanyak silaturahmi. Kalangan ahli sunah waljamah percaya bahwa sesungguhnya takdir itu ada dua macam. Pertama, taqdir mutlak, yaitu takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfudh. Kedua, takdir mu’allaq atau muqayyad, yaitu takdir yang tertulis dalam lembaran malaikat yang masih mungkin untuk dihapuskan atau ditetapkan oleh sebab daya upaya dari hambaNya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan dengan panjang soal perkara ini dalam karyanya Majmuu’ Al-Fataawaa, bahwa intinya yaitu, umur memang bisa bertambah dengan sebab-sebab yang dijelaskan oleh nash (misalnya : menyambung silaturahim, doa, dan yang lainnya). Yaitu bertambah dengan menghapus ketentuan/takdir yang ada dalam catatan malaikat. Namun pertambahan berikut sebab yang dilakukan oleh hamba itu sendiri merupakan bagian dari takdir mutlak yang telah Allah tulis dalam Lauh Mahfudh limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.


Maka tak usah ketuk pintu/ atau ragu/ sebab diri-Nya selalu menerima dengan tangan terbuka setiap hambaNya yang ingin menggenggam pelita Nur Ilahi Rabbi (lihat sajak Perjalanan 2: Piek Ardijanto Supriadi, karya Dimas Arika Mihardja).


Bagaimanakah cara bercinta denganNya di dunia ini? ialah dengan upaya masuk(lah) ke serambi hati(mu) kita masing-masing. Hati di sini juga bisa merujuk diri kita secara utuh yakni jasad dan ruh, sebab Tuhan berfirman: Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dengan melihat dan melakukan intropeksi diri maka kita akan menemukan betapa besar rahmat kasihNya, sehingga kita akan semakin giat lagi berbenah. Dan tidak terlalu takut yang akut menghadapi apa itu yang bernama maut. Justru dengan mengikuti Trilogi Bergerak ala Dimas Arika Mihardja, menurut hemat saya akan menunut kita kepada makrifat yang menyelamatkan. Maa syaa-Allah laa quwwata illaa billah, Insya Allah. 


Pada akhirnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa Alhamdulillah, DAM, secara pribadi dan juga dalam karya-karyanya (khususnya yang saya bahas ini masih terbilang baru, tahun 2011) dalam kondisi yang kian senja, menjadi kian sahaja dalam menyikapi segala narasi kehidupan yang telah ditetapkanNya.  Kita memang harus bersiap bila ingin selamat dan tidak lindap dalam takut. Cara menguapkan gundah gelisah ialah dengan berserah kepadaNya.


Demikianlah, siapa saja pasti menuju senja dalam artian pendewasaan diri, maka seharusnya bukan malah sombong atau takabur tapi justru harus mengubur ego dan menjadi pribadi yang bersahaja. -Amin.

Sambil menikmati Kue Keranjang, Bogor, 24 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar