Selasa, 10 Januari 2012

KENDURI PUISI KARYA NABILA DEWI GAYATRI


KENDURI PUISI KARYA NABILA DEWI GAYATRI

Pengantar:
Di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri(BPSM)  tampaknya ada tradisi baru, yakni Kenduri Puisi. Kenduri puisi ini bertolak dari sebuah puisi yang diposting di dinding grup. Kendduri Puisi kali ini menampilkan puisi “Terbunuhlah!” karya Nabila Dewi Gayarri. Ini Puisi Mbak Nabila Dewi Gayatri yang kontrekstual-tansendental. Ada peristiwa namun tak menjadikannya berita, semuanya mengusung derita mencinta dalam ciptaan. Puisi berkelas alias berbintang *****) versi BPSM ini layak disandinghkan dengan esai Kajitow El-kayeni yang memasukkannya ke dalam klasifikasi sajak putih. Warna dan nuansa putih yang memutik di rekah bunga puisi NDG ini tentu saja memiliki nuansa berbeda dibanding misalnya puisi Imron Tohari yang telah didedah oleh Jurnal Sastratuhan Hudan, berbeda pula dibanding 2 puisiku tentang Bima Membara, dan bahkan berbeda dibanding puisi karya NDG sendiri, meskipun benang merah "cinta" tetap saja sebagai pengikatnya.

Puisi serupa ini layak dan sepantasnya dibaca oleh Eska Wahyuni, Puja Sutrisna, Fauzi Nubain, dan warga BPSM lainnya untuk keperluan persandingan dan perbandingan bagaimana mengolah puisi, menyajikannya ke dalam teks yang memiliki konteks. Makanya saya sarankan Abdul Malik menulis esai khusus terkait puisi ini. Demikian pula Muhammad Rois Rinaldi, Windu Mandela, dan lainnya bisa menjadikan puisi ini sebagai santapan saaat Kenduri Puisi.Meski banyak respon yang bersifat apresiatif yang mengiringinya, berikut ini saya turunkan apresiasi dari Abdul Malik dan Puja Sutrisna. Selamat mencermati.

Puisi Nabila Dewi Gayatri:
Terbunuhlah!
( terinspirasi pembantaian biadab Mesuji, Lampung )

kau semburkan katakata membangun kuburan mahabbah
kau ciptakan lembah kematian, kekal memanjang ke neraka

cintaku tenggelam dalam gelombang laut kelabu
kusetubuhi bayangmu membusuk jiwaku
terbunuhlah ikatan atasnama 'Azza Wa Jalla!
menghitamkan impian melenyapkan jejak

kisah perjalanan telah tumbang
pancar ruh musnah, menjelma ledakan di puncak terdalam
menggemuruh perih tak terkira kiamatkan cakrawala rasa
tertutuplah jalanjalan nadi, menggali jurang sekarat!

berjuta peringatan berdentum dalam otak
badai di sisi langkah, memecut laknat sisa nafasku
rajam sakit menjelma teluh, matahari yang mati
menyayat seram jasadku karamkan ajal

Kekasih, inikah taqdirMu?
cinta sejatiku menyamun diriku sendiri, menjadi orgasme kematian
katakanlah: bagaimana aku bisa membelokkan arah angin menuju Makkah,
sedangkan aku asyik merumput shalawat di Madinah
ya Habibi, ya Rasulallah!


~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~


Abdul Malik menulis:

Puisi ini sungguh indah, nikmat, sampai aku harus menahan nafas yang cukup lama.

“Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.” (Rabiatul Adawiyah).

terima kasih atas puisi cintamu mbak Nabila Dewi Gayatri.

~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~

Setelah kemarin berjodoh dengan puisi “Engkau lelakiku!”, malam ini aku berjodoh lagi dengan “Terbunuhlah!” Yang terbayang saat menikmati puisi “Engkau lelakiku!”, kurasakan aura Rabiatul Adawiyah pada diri seorang Nabila Dewi Gayatri (NDG). Begitu pun dengan puisi indah “Terbunuh!”, sangat gamblang menyebut mahabbah sebagai konsep yang dipopulerkan oleh Jalaluddin al-Rumi dan sufi perempuan Rabiatul Adawiyah.  Jika Rabiatul Adawiyah tidak ingin dan tidak menemukan “Lelaki-nya”, maka NDG lantang menyeru “Engkau lelakiku!”.

Bertitik tolak dari hal di atas, maka untuk memaknai puisi “Terbunuh!” ini, sebaiknya menelisik inspirator NDG, yang sedikit-banyak telah mempengaruhi pengungkapan ekspresi diksi dalam puisi ini.  Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Sudah menjadi hal yang umum sejak zaman dulu bahwa yang menjadi tokoh sufi adalah berasal dari kalangan kaum laki-laki seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Abu Nawas, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Laki-laki memang sudah sepantasnya menjadi pemimpin dan tokoh utama dalam setiap bidang. Namun teori itu tak berlaku lagi ketika muncul seorang tokoh sufi yang berasal dari kaum wanita yang bernama Siti Rabiatul Adawiyah.

Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Inilah ciri mahabbah yang melekat pada diri NDG:

~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~

Terbunuhlah!
( terinspirasi pembantaian biadab Mesuji, Lampung )

kau semburkan katakata membangun kuburan mahabbah
kau ciptakan lembah kematian, kekal memanjang ke neraka

cintaku tenggelam dalam gelombang laut kelabu
kusetubuhi bayangmu membusuk jiwaku
terbunuhlah ikatan atasnama 'Azza Wa Jalla!
menghitamkan impian melenyapkan jejak

kisah perjalanan telah tumbang
pancar ruh musnah, menjelma ledakan di puncak terdalam
menggemuruh perih tak terkira kiamatkan cakrawala rasa
tertutuplah jalanjalan nadi, menggali jurang sekarat!

berjuta peringatan berdentum dalam otak
badai di sisi langkah, memecut laknat sisa nafasku
rajam sakit menjelma teluh, matahari yang mati
menyayat seram jasadku karamkan ajal

Kekasih, inikah taqdirMu?
cinta sejatiku menyamun diriku sendiri, menjadi orgasme kematian
katakanlah: bagaimana aku bisa membelokkan arah angin menuju Makkah,
sedangkan aku asyik merumput shalawat di Madinah
ya Habibi, ya Rasulallah!

~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~

Puisi yang sangat indah, menurutku. Penggabungan unsur transendental-antrophomorphisme yang sangat apik. Aku sendiri secara pribadi menyebutnya telephatic-emphatic poem. Yakni penyair melakukan perenungan yang sangat mendalam untuk merasakan kesakitan yang dirasakan oleh orang-orang yang dibantai di Mesuji.

Terbunuhlah!
Passive voice dengan tanda seru (!).
Mencari subjek si pelaku pembunuhan. Siapakah pelaku pembunuhan itu? kau. Siapa dan bagaimanakah kau?

kau semburkan katakata membangun kuburan mahabbah
kau ciptakan lembah kematian, kekal memanjang ke neraka.

Kau. Kata ganti tunggal. Karena ‘kau’ ditulis dengan huruf kecil, maka tafsiran pertama terhadap kosakata ‘kau’ dapat diartikan sebagai mahluk; yang diciptakan oleh Pencipta, dengan segala subjektivitas kemahlukan yang dikandungnya. Tafsiran kedua atas kosakata ‘kau’ tersebut dapat berarti Tuhan. Menyemburkan. Berasal dari kata dasar sembur. Mengeluarkan sesuatu yang bersifat cair, dengan kekuatan, dari tempat asalnya. Apakah yang ‘kau’ semburkan?  Katakata. Mengapa bukan kata-kata? Katakata adalah entitas yang banyak namun menyatu. Sedangkan kata-kata, entitas yang banyak namun berdiri sendiri. Begitulah maksud dari setiap kosakata yang dalam tata bahasa konvensional selalu ditandai dengan tanda hubung (-). Karena se-licentia-licentianya poetica, tetap saja setiap kata (signifier - dengan bentuk dan model penulisan tertentu) mempunyai maknanya sendiri-sendiri dan referent kepada sesuatu di luar dirinya (signified).

Membangun kuburan, meng-engineer-kan sebuah bangunan dengan struktur-struktur tertentu, yakni sebuah bangunan tempat menanam jenazah mayat. Mahabbah, berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci

Kau, semburkan katakata membangun kuburan mahabbah

kau (dengan huruf kecil) adalah mahluk/hamba, dengan senjatamu telah dengan sengaja membangun liat lahat untuk menghilangkan cinta-kasih di muka bumi. Cinta-kasih yang dimiliki oleh umat manusia untuk terus melanjutkan hidup: mencintai pencipta dan pencintan(N)ya. Manusia-manusia yang hidup berkehidupan di Mesuji. kaulah yang membunuh. Pembunuh cinta-kasih dan orang-orang Mesuji.

Larik yang unik:
kau ciptakan lembah kematian, kekal memanjang ke neraka.
kau. Siapakah ‘kau’ pada larik kedua? Apakah kau juga yang di larik pertama?Ciptakan. Dalam makna Bahasa Indonesia, kata cipta disinonimkan dengan kata buat. Namun dalam bahasa agama, kata cipta berarti membuat sesuatu yang bahan dasarnya adalah berasal dari pencipta sendiri, sesuatu yang tercipta tersebut tidaklah sama dengan ciptaan yang lainnya. Kata buat berarti membuat sesuatu yang bahan dasarnya telah disiapkan oleh sang Pencipta. Pemilihan diksi cipta tentu saja merupakan sebuah pilihan di antara kata ‘kau’ dan lembah kematian.
 

Kekal, abadi-tetap.
Memanjang, suatu perjalanan-proses abadi menuju Neraka, yang juga abadi.

Pada larik ini, mengapa unik? Karena kosakata ‘kau’ dapat bermakna ganda karena disambung dengan kata kosakata ‘cipta’ yang dalam bahasa agama hanya Tuhan-lah yang dapat menggunakan kata ‘cipta’ (khalaqa: Arab), sedangkan manusia/hamba menggunakan kata ‘buat’ (ja’ala: Arab). Begitu pun lembah, adalah sesuatu yang dapat diciptakan dan dapat dibuat, tetapi ‘kematian’ adalah hal yang hanya Tuhan dapat menciptakannya. Sebagai proses perjalanan yang panjang, kekal menuju neraka. Kekekalan hanya milik Tuhan dan hal-hal yang diridhai-Nya untuk menjadi kekal, termasuk neraka. kau, berarti sang pembunuh dengan senjatamu telah mematikan cinta-kasih dan manusia/orang-orang Mesuji, sekaligus membuat lembah untuk kematianmu yang akan berakhir di neraka yang kekal.  Kau sedang melakukan pendzaliman terhadap sesama makhluk hidup, juga sedang mendzalimi dirimu sendiri: membunuh cintamu dan cintanya.

cintaku tenggelam dalam gelombang laut kelabu
kusetubuhi bayangmu membusuk jiwaku
terbunuhlah ikatan atasnama 'Azza Wa Jalla!
menghitamkan impian melenyapkan jejak

siapakah ‘ku’ dan ‘mu’ pada bait di atas? Ku adalah kata ganti milik, orang-orang Mesuji yang di dadanya banyak mahabbah. Mu adalah kata ganti milik; si pembunuh; pembuat kuburan.Dalam bait ini penyair menelepati perasaan orang-orang Mesuji bahwa rasa cinta orang-orang Mesuji yang teraniaya telah mati ditelan gelombang laut yang sudah tidak biru lagi. Mengingat wajah dan sosok si pembunuh, hanya akan melahirkan dendam dan benci pada jiwa, yang merupakan antonim dari mahabbah. Karena perasaan cinta orang-orang Mesuji telah sengaja dihilangkan dengan ‘semprotan katakata’, sehingga putuslah segala ikatan antara pembunuh dan terbunuh, yakni orang-orang Mesuji, pada akhirnya impian dan cita untuk melanjutkan mahabbah telah hitam: sirna.

Tentang ‘membusuk jiwaku’, benci:
Rabiah al-Adawiyah pernah ditanya, apakah engkau benci kepada syetan ? dia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW? Dia menjawab, “Saya cinta kepada Nabi Muhammad saw, tetapi cintaku kepada Khalik (Tuhan) memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk”.

kisah perjalanan telah tumbang
pancar ruh musnah, menjelma ledakan di puncak terdalam
menggemuruh perih tak terkira kiamatkan cakrawala rasa
tertutuplah jalanjalan nadi, menggali jurang sekarat!

Pada bait ini, penyair sedang membicarakan tentang keadaan bathin terdalam penyair sendiri, yakni mahabbah. Disebabkan kematian telah merenggut jiwa orang-orang Mesuji, penyair merasakan dalam bathinnya: pancaran ruhnya musnah, berubah menjadi suasana panas membara di ‘puncak’ perasaan mahabbah bahkan ‘kiamat’ sudah perasaan bathinnya. Lantaran suasana pergolakan rasa cinta itu, maka aliran-aliran darahnya pun menjadi tertutup, menuju kematian.


berjuta peringatan berdentum dalam otak
badai di sisi langkah, memecut laknat sisa nafasku
rajam sakit menjelma teluh, matahari yang mati
menyayat seram jasadku karamkan ajal

siapakah ‘ku’ pada kata ‘nafasku’ dan ‘jasadku’? ‘berjuta peringatan’ terekam dalam ingatan, bukannya terkenang indah, malah menyebabkan ledakan. Akhirnya otak pun lumpuh. Perjalanan hidup semakin sesak, terhimpit oleh ingatan-ingatan kejadian yang tragis dan setiap saat bisa menjadi ancaman yang mematikan di sisa-sisa perjalan hidup. Sebuah sisa perjalanan yang begitu menyakitkan, tak ada lagi harapan, sebab ‘matahari’ pun telah ‘mati’. Seiring ruh, jiwa, jasad, dan mahabbah sang penyair. ((atau mungkinkah penyair sedang menyiratkan konsep al-khauf wa al-raja’ (ketakutan dan pengharapan) sufi Hasan al-Bashri, sahabat Rabiatul Adawiyah?))

Kekasih, inikah taqdirMu?
cinta sejatiku menyamun diriku sendiri, menjadi orgasme kematian
katakanlah: bagaimana aku bisa membelokkan arah angin menuju Makkah,
sedangkan aku asyik merumput shalawat di Madinah
ya Habibi, ya Rasulallah!

Bait terakhir puisi ini adalah ungkapan penyair. Bertanya pada Kekasih-nya: Tuhan, tentang hakikat perjalan hidupnya, seperti inikah ketetapan-Nya? Rasa cinta-kasih yang selama ini dipeliharanya menjadi ‘senjata makan tuan’ hingga menemui ajal. Selanjutnya penyair meminta petunjuk bagaimana ia bisa kembali suci sesuci-sucinya meski sekarang ia tetap melantukan lagu-lagu pertobatan.

Mengapa tiba-tiba ada kosakata Makkah dan Madinah di puisi ini, padahal sebelumnya bercerita tentang Mesuji? Apakah karena sama-sama berawalan huruf M? Hehe..Makkah adalah kota suci dan pusat gravitasi bumi adalah ka’bah. Ke pusatlah tempat kembali. Madinah adalah kota peradaban yang teduh. Kota Nabi Muhammad saw.

Puisi "Terbunuhlah!" ini bukan saja berhasil menggugah perasaan terdalam pembacanya, tetapi berhasil dengan indah dan apik mengombinasikan yang "vertikal" (hablu min Allah) dengan "horizontal" (hablu min al-naas). Lain dari itu, kekuatan puisi ini adalah pada beningnya perasaan penyair dalam perenungannya, sehingga mampu menelepati (parapsikologi: merasakan apa yang dirasakan orang lain dari jarak jauh) perasaan 'yang terbunuh' di Mesuji.

Catatan:
Cinta sejatiku menyamun diriku sendiri, menjadi orgasme kematian

Jika cinta sejati diartikan sebagai mahabbah, maka menurut pikiran logis: mahabbah sebagaimana konsep Rabiatul Adawiyah tidak akan merusak, mendzalimi, atau menyamun.

wallahua’lam.
Abdul Malik

“Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.” (Rabiatul Adawiyah).

mohon maaf neh Prof Dimas Arika Mihardja, kalau esai ini hancur dan merusak tatanan di wajah BPSM. maklum, baru pertama kali, itu pun berdasarkan "pesan dari langit" tadi. hehehe..

Puja Sutrisna menulis:

 MENGUKUR NILAI KEMANUSIAAN PADA ‘TERBUNUHLAH!’

KALAU tugas kemanusiaan adalah menjadi kewajiban bersama, maka tugas mahasiswa adalah berdemonstrasi, tugas mahaguru meneliti, dan tugas penyair adalah bersemedi untuk bisa membahasakan hati nurani tanpa harus bersembunyi. Keunggulan penyair adalah usianya yang lebih panjang! Ia akan terus selalu hidup dan tetap hidup bahkan seribu tahun yang akan datang meskipun jasadnya tinggal tulang-belulang. Kenapa? Karena sebuah pembantaian di Mesuji sekalipun tidak akan menggentarkan seorang penyair untuk menyuarakan naluri kemanusiaannya. Bahkan peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat dari Mesuji sekalipun, justru akan menjadi santapan lezat seorang penyair.

Nabila Dewi Gayatri – selanjutnya disingkat NDG – adalah salah satu penyair yang peka di dalam menyuarakan keadilan dan kemanusiaan. Melalui salah satu buah penanya berjudul “Terbunuhlah!”, NGD mendedahkan dengan jelas akan ketamakan manusia atas manusia lain.

kau semburkan katakata membangun kuburan mahabbah
kau ciptakan lembah kematian, kekal memanjang ke neraka

Kata ‘kau’ sebagai pilihan kata pembuka dan pada baris berikutnya adalah sebuah tudingan langsung kepada siapa saja yang sering mengumbar janji-janji tetapi senantiasa berkhianat. Alamat “kau” yang dituju oleh puisi ini bisa saja seseorang, banyak orang, lembaga, atau Negara. Inilah keindahan bahasa, bisa dengan mudah menunjuk kepada siapapun yang dikehendaki tanpa harus mencocok hidungnya terlebih dahulu, dan NGD melakukannya dengan sangat baik.

Pada bait berikutnya ‘aku’ lirik hanyut ke dalam carut marut ketamakan manusia, sehingga si ‘aku’ menjadi berontak. Pemberontakan ini terjadi lantaran ‘kecintaannya’ dan empati terhadap kemanusiaan telah ‘terbunuh’ oleh kenistaan, tidak seperti yang dibayangkan atau dimpikan selama ini.

cintaku tenggelam dalam gelombang laut kelabu
kusetubuhi bayangmu membusuk jiwaku
terbunuhlah ikatan atasnama 'Azza Wa Jalla!
menghitamkan impian melenyapkan jejak

Puncak kekuatan puisi NGD berada di dalam bait ke-3 dan ke-4

kisah perjalanan telah tumbang
pancar ruh musnah, menjelma ledakan di puncak terdalam
menggemuruh perih tak terkira kiamatkan cakrawala rasa
tertutuplah jalanjalan nadi, menggali jurang sekarat!

berjuta peringatan berdentum dalam otak
badai di sisi langkah, memecut laknat sisa nafasku
rajam sakit menjelma teluh, matahari yang mati
menyayat seram jasadku karamkan ajal

Bahwasanya sebuah kematian adalah menjadi kodrat setiap insan. Dan pada titik kematian inilah sebuah nilai-nilai kehidupan diuji dengan hukum-hukum Tuhan yang telah ditetapkan. Sebagaimana ketetapan-Nya selama ini, selalu ada dua sisi yang saling berlawanan. Antara dosa dan pahala, surga atau neraka, nikmat atau sesat! Siapapun yang bermuat ketamakan di muka bumi tentu akan mendapat siksa saat setelah kematian tiba. Tidak juga ‘kau’ atau si ‘aku’!

Sebagai bait penutup NGD menutup puisinya dengan kalimat-kalimat yang manis…

Kekasih, inikah taqdirMu?
cinta sejatiku menyamun diriku sendiri, menjadi orgasme kematian
katakanlah: bagaimana aku bisa membelokkan arah angin menuju Makkah,
sedangkan aku asyik merumput shalawat di Madinah
ya Habibi, ya Rasulallah!

Pada bait ini sejatinya ada sebuah penyesalan. “Bagaimana aku bisa membelokkan arah mata angin…?” Penyesalan dimaksud adalah sebuah harapan bahwa kelak di kemudian hari sebuah kejadian yang pernah dilewati tak akan bisa diubah. Kalaupun akhirnya manusia mendapat ketetapan untuk menghuni surge atau neraka, itu semua sesuai dengan perilaku dan tabiatnya sendiri-sendiri. Satu lagi, hokum Tuhan tidak sekedar diukur dari perilaku yang tampak kasat mata saja tetapi lebih dari itu adalah yang ada di dalam hatinya, ah..”bagaimana aku bisa membelokkan arah mata angin menuju Makkah, sedang aku asyik merumput shalawat di Madinah?” Demikian mistis mendengarnya, terima kasih, salam sastra.

(Dirangkum oleh Dimas Arika Mihardja, 11 /1/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar