Minggu, 22 Januari 2012

KATARSIS PADA PUISI: STANZA MENJELANG PERJALANAN

Esai: Kajotow El-kaayeni

Apa yang membuat seseorang tergerak untuk menulis puisi?

Jawabannya mungkin beragam, namun satu hal yang jelas, seorang penyair mengalami keterusikan di dalam jiwanya. Ia terusik dan hendak melahirkannya melaui bahasa. Di sinilah pengaruh lingkungan dan jaman itu berpengaruh kuat bagi seorang penyair. Orang-orang besar yang dicatat sejarah itu muncul karena mereka terbelenggu oleh keadaan, baik dari segi politik secara umum, maupun dari segi perseorangan. Saat terkekang itulah mereka melawan dengan kekuatan di dasar nuraninya. Siapa menyangka seorang pemuda yang menghadiri festival kesenian akan pulang dengan meradang seperti Friedrich Nietzsche, yang kemudian melahirkan karya besar yang tak bosan ditilik orang sepanjang zaman. Nietzsche merasa karya seni telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, maka ia memberontak dengan radikal dan menyerang secara fundamen terhadap penyelewengan atas kepemilikan seni itu. Saya ragu jika Nietzsche semata ingin menyerang Tuhan sebagaimana yang telah pula ditunjukkan oleh Bertolt Brecht itu. Meskipun kita sadar komunisme yang diusung Karl Marx adalah sebentuk gugatan yang mendasari lahirnya gugatan lain. Tetapi penyebab keterusikan itu adalah karena adanya kesewenangan kelompok kuat terhadap kelompok lemah, dalam hal ini kaum kapitalis yang bersembunyi dalam dogma-dogma transenden terhadap kaum proletariat.

Manusia dengan kekuatan untuk memberontak kekangan ini terus-menerus terlahir sepanjang masa. Manusia itu terkutuk untuk bebas, kata Jean-Paul Sartre. Mungkin pemikiran itulah yang mendasari munculnya pemberontakan atas belenggu yang mengekang tadi. Dari titik normal, pemikiran ini jelas menyimpang karena hukum tidak berfungsi saat semua orang menghendaki kebebasan secara personal. Tetapi penyimpangan semacam ini dalam kondisi tertentu adalah pilihan paling logis, yakni untuk memberontak tadi. Manusia dengan jiwa bebasnya tak ingin tertindas oleh kepentingan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaaan. Penyair adalah sebagian orang yang memilihnya dari jalur bahasa. Apa yang membuat mereka terusik itu tertanam dalam karya mereka, yang dengannya jutaan orang bisa mengambil perenungan untuk menyadari kekeliruan yang mereka lakukan. Buah pikiran yang bening itu seperti mata air, siapa pun dan dengan latar belakang apa pun boleh dan bisa menimba sehingga mengalirkan pemikiran baru darinya.

Lalu apakah dalam kondisi normal manusia itu tidak memiliki keterusikan dalam jiwanya?

Kehidupan dan seluruh dinamikanya adalah belenggu itu sendiri. Permasalahan kecil atau besar tak luput menimpa manusia sebagai pelaku kehidupan. Dengan kata lain kehidupan itu adalah masalah itu sendiri. Orang akan mendapat masalah saat udara tercemar dan dia tidak bisa bernafas dengan leluasa, orang akan mendapat masalah saat sel kecil seperti virus masuk ke dalam tubuhnya dan mengacaukan mikro kosmosnya. Orang akan mendapatkan masalah saat kebutuhan untuk menunjang hidup seperti makan dan istrirahat yang cukup tidak terlaksana dengan baik. Orang akan mendapat masalah saat tidak bisa teratur membuang proses pencernaan setelah makan tadi. Orang akan mendapat masalah saat tertekan pikirannya. Orang akan mendapat masalah saat dirinya terancam. Dan pada akhirnya, orang akan mendapat masalah saat kehidupan tadi harus berakhir. Hidup sebagai sumber masalah mungkin juga akan selesai di situ, tapi betapa hidup yang sebenarnya adalah anugrah itu juga akan berakhir?

Di sinilah manusia dihadapkan pada permasalahan terbesarnya: kepada kematian. Sebuah keyakinan tak terbantahkan baik bagi yang beragama atau tidak, bahwa semua yang hidup akan mati. Ada perbedaan pengertian mati di sana, bagi yang tidak beragama tentu tidak meyakini ada kehidupan sesudah mati itu. Mati bagi mereka adalah proses untuk kembali berputar menjadi bentuk kehidupan lain, atau proses menjadi sesuatu yang berbeda dan masih dalam rentang keberadaan akan wujud sesuatu di jagad raya ini. Entah menjadi debu atau atom yang berkeliaran tak tentu arah. Tetapi satu hal yang sama diyakini oleh semua manusia adalah manusia akan tetap mati. Dengan begitu mati tadi mengantarkan manusia pada rasa takut, entah diakui atau tidak.  Mati akan membuat kesempatan untuk terus ada sebagai manusia berakhir. Ini adalah impuls terkuat yang kerap mengusik manusia.

Maka dari keterusikan itu mereka mencatatnya dalam berbagai bentuk pemikiran dan hasil perbuatan.

Perenungan akan mati ini memiliki efek kausalitas yang jelas, seseorang akan sampai pada titik pemahaman ketidakberdayaannya. Dan ini akan melahirkan akibat yang berbeda. (1) Ada orang yang pesimistis dan memandang hidup adalah sebuah kesia-siaan. (2) Ada orang yang menyikapinya dengan bijak untuk mengisi kehidupan dengan melakukan sesuatu yang berarti dan membahagiakan. Kesadaran dalam contoh kedua adalah bentuk pemikiran yang logis, karena dengan pesimistis atau optimistis kehidupan akan tetap berakhir. Mati itu adalah proses menuju yang tidak bisa dihindari, tetapi ada (being) dalam keadaan hidup tentu saja memiliki arti berbeda. Maka yang paling penting dilakukan setiap manusia adalah mengisi sisa waktu sebelum kontrak hidup itu habis, dengan melahirkan sesuatu yang membuat mereka bahagia, sekaligus dikenang oleh orang-orang sesudahnya. Dengan bijak orang-orang terdahulu menyatakan: “hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua.” Kebenaran akan kematian ini menghasilkan kesadaran paradigmatik, sehingga orang-orang terdahulu mewasiatkannya dalam pribahasa sebagai suri tauladan untuk orang-orang kemudian.

Menyadari akan hal besar yang tidak dapat terelak itulah penyair mengambilnya sebagai titik tolak, untuk menyadarkan dirinya sekaligus orang lain yang membaca hasil perenungannya. Seperti penyair Hadi Napster (Hadi Abdul Hamid) dengan kesadaran penuh menuliskannya dalam puisi STANZA MENJELANG PERJALANAN. Puisi yang bermakna begitu besar karena mengangkat permasalahan besar yang dihadapi seluruh manusia di muka bumi. Tapi bukan keterputus-asaan yang terbaca dalam puisi tersebut, melainkan hasil kesadaran yang bening mengenai pilihan untuk berbuat yang terbaik selagi hayat masih dikandung badan. Penyair kelahiraan 07 Juli 1984 di Kotamadya Palopo, Sulawesi Selatan itu memang bukan penyair atas angin yang telah melahirkan kanon sastra di Indonesia. Tetapi kebeningan hatinya dalam menyikapi hidup, menyiratkan ketabahan luar biasa dalam menghadapi kemelut penyakit yang sedang dideritanya. Sebagai manusia, ia telah berhasil mengalahkan rasa pesimistis akibat kesadaran terhadap permasalahan terbesar dalam hidup.


STANZA MENJELANG PERJALANAN
: Direktur Eksekutif BPSM

I
kalau nanti aku pergi
sampaikan pada tunggang rindu
tanah pilih yang memahat namamu
dalam notasi—buku harian telah koyak
merpati itu tak lagi ingkar janji
mereka kini setia, mengkaji
kabut di wajah kekasih

II
kalau nanti aku pergi
sayap-sayap bidadari masih berkepak
mengeja semiotika lewat kenduri air mata
jendela kita sama-sama basah-gelisah
ya, musim bunga dan jemari waktu
tiada jemu menggubah simfoni
dari kedalaman rasa

III
kalau nanti aku pergi
haturkan bagi sultan, keinginan
epitaf pal putih itu semakin usang
tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?
pula balada penuh isak-isak sajak
tambat-ikatkan! benamkan!
bersama tahajud ilalang

IV
kalau nanti aku pergi
sebait stanza tentu kau mau
leburkan nada-nada angkasa muda
di antara personifikasi kandil asmaraloka
setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja
lelap menimang harap, mendekap
segitiga sama sisi

Bandung, Januari 2012


Tercatat di bawah judul sebuah arah yang jelas sedang dituju puisi ini: Direktur Eksekutif BPSM. Secara luas puisi ini tertuju bagi semua manusia yang menyadari permasalah terbesar dalam hidup (kematian). Tetapi penyair dengan latar interaksi sosialnya dengan sekumpulan manusia lain, memfokuskan alamat yang dituju itu untuk memberikan stimulus, sehingga menghasilkan gerak yang terfokus pula akhirnya. BPSM adalah sebuah wadah interaksi yang berperan mencatat sejarah listerasi perpuisian Indonesia dalam medium internet, sekaligus berperan aktif dalam memberikan kontribusi terlahirnya karya-karya pilihan, untuk melawan stigma terhadap sastra internet yang telah lama disebut sebagai sastra sampah. Dalam BPSM sendiri yang bergerak aktif sebenarnya adalah anggotanya. Peran direksi hanya mencatat, mengumpulkan dan menyeleksi karya berpotensi. Kemudian memberikan arahan sesuai konvensi yang berlaku, baik konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. Di sinilah penyair Hadi Napster membidik simpul itu, bukan untuk mengkultuskan atau mengkhususkan penyampaian pesan terhadap segelintir orang. Tetapi lebih kepada, untuk menyuntikkan stimulus tepat di pusat sasaran. Dengan bidikan tepat pada jajaran direksi itulah geliat sastra yang bergerak dinamis dalam ruangan BPSM akan bersifat menyeluruh. Baik dalam komunitas Bengkel itu sendiri atau melesat keluar pada komunitas lain, terlebih bagi seluruh pelaku sastra di Indonesia. Dan tidak tertutup kemungkinan ia akan merembes ke ranah sastra di luar sana.

I
kalau nanti aku pergi
sampaikan pada tunggang rindu
tanah pilih yang memahat namamu
dalam notasi—buku harian telah koyak
merpati itu tak lagi ingkar janji
mereka kini setia, mengkaji
kabut di wajah kekasih


Dalam bait pertama ini penyair mengawalinya dengan kalimat bermakna konotatif “kalau nanti aku pergi,” tapi jelas terbaca di sana mengenai permasalahan besar yang sedang dihadapi oleh penyairnya yaitu penyakit kangker yang dideritanya. “pergi” yang dimaksudkannya itu adalah pulang atau melanjutkan perjalanan kehidupan pada tahapan selanjutnya. Sebagai bagian dari umat bergama, penyair menyadari akhir dari kehidupan adalah kematian juga, yang akan mengantarnya kepada Sang Pencipta kehidupan itu sendiri. Di sinilah puisi tersebut mengehentak manakala pembaca tersadar, bahwa ketiadaan pilihan bagi manusia–selain menuju pada akhir kehidupan–itu telah disikapi dengan jiwa besar oleh penyairnya. Memang selalu ada harapan dan kemungkinan lain bagi penyair yang sedang berjuang melawan penyakit tersebut. Tetapi betapa ini adalah sebuah pemikiran yang jernih dan jauh dari keterputus-asaan. Penyair dengan bijak dan berjiwa besar menitipkan pesan bagi orang-orang di sekitarnya, khususnya dewan direksi BPSM–yang kelak akan “pergi” juga cepat atau lambat–untuk berupaya maksimal dalam menumbuh-kembangkan perpuisian, melawan stigma terhadap sastra internet dengan melahirkan karya-karya bermutu.

Banyak orang ketika dihadapkan pada posisi sulit itu akan meratapi dirinya bahkan mungkin berlepas diri dari interaksi sosial dengan lingkungannya. Jika pun mereka menulis, tentu akan meyorot permasalahan besar yang dihadapinya secara personal. Tetapi sekali lagi, penyair Hadi Napster tidak bersikap picik seperti itu. Sebagai salah satu Dewan Reaksi BPSM, Hadi Napster tahu betul kehidupan sastra musti terus bergerak dengan atau tanpa dirinya. Maka dari itu prioritas terbesarnya adalah memperjuangkan hal tersebut, meski ia sadar kesempatan tidak berpihak secara luas kepadanya. Seperti yang dikatakannya, “sampaikan pada tunggang rindu / tanah pilih yang memahat namamu / dalam notasi—buku harian telah koyak.” Dan ini sungguh menyentuh, manakala kita tahu orang-orang besar semacam ini jauh lebih mementingkan orang lain dan kepentingan bersama daripada dirinya. Ini adalah sebuah cambukan kesadaran, bagi yang memiliki kesempatan lapang untuk seribu kali berbuat lebih demi memajukan sastra. Jika orang yang terbaring lemah dan sedang menghadapi masalah besar saja bisa berbuat demikian, apalagi orang yang memiliki kesempatan dan kekuatan untuk berbuat lebih?

Maka dari itu dalam bait pertama ini terkandung optimisme penyair mengenai apa yang telah digerakkan dalam tubuh BPSM. “merpati itu tak lagi ingkar janji / mereka kini setia, mengkaji / kabut di wajah kekasih,” katanya. Merpati itu pertama kali hendak mewakili diri penyair secara personal, simbol yang diambil berdasarkan cerminan dirinya sebagai penyampai pesan yang kemudian direkatkan dalam puisi. Merpati itu kemudian meruang secara luas yaitu ketika penyair menyebut “mereka kini setia,” hal ini mengait pada setiap orang yang berkecimpung dalam dunia sastra selaku pemberi pesan kepada halayak. Pesan yang menjadi misi merpati itu tentu mengenai perenungan mendalam atas hidup dan perjuangan dalam hidup itu sendiri. Dalam gambaran puisi ini, setiap penyair (khususnya warga BPSM) yang melakukan kontemplasi mendalam atas permasalahan hidup dan kemanusiaan diibaratkan seperti merpati, tugas mereka adalah menyampaikan pesan dari nurani dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Dan merpati seperti itulah yang kini setia menekuri misteri kehidupan serta mengambil hikmah darinya.

II
kalau nanti aku pergi
sayap-sayap bidadari masih berkepak
mengeja semiotika lewat kenduri air mata
jendela kita sama-sama basah-gelisah
ya, musim bunga dan jemari waktu
tiada jemu menggubah simfoni
dari kedalaman rasa

Seperti yang terbaca dalam puisi, kalimat “kalau nanti aku pergi” ini menjadi kepala setiap baitnya. Repetisi yang dilakukan penyair ini tidak saja menjadi pesan pokok, tapi juga latar peristiwa yang hendak menyentil siapa pun yang terbiasa santai dan “suka-suka” dalam berkarya. Ini perkara serius sehingga itu dikuatkan sampai empat kali dan mengawali setiap bait dalam puisi. Dari sana terkandung pemahaman: waktu dan keadaan yang demikian sempit harus dipergunakan secara maksimal. Dan betapa ini membuat trenyuh, ketika sebagai manusia kita cenderung abai pada permasalahan besar ini dengan menyia-nyiakan kelapangan. Dalam hidup, manusia memang tidak boleh menjalaninya dengan selalu serius apalagi dengan murung, tetapi tindakan apa pun yang dikerjakan manusia hendaknya didasari oleh keyakinan hakiki mengenai kefanaan hidup. Pada akhirnya kita semua akan ke sana. Bisa dikatakan, dari sikap dan perbuatan, boleh saja manusia itu cenderung santai atau terbiasa guyon. Namun jauh di kedalaman hati, hendaknya terselip kesadaran untuk berbuat secara maksimal mengingat hidup itu terbatas. Esensi dari setiap pebuatan itu adalah kesadaran mengenai hidup, penyampaian dan tampilan luar jelas bebas dan beragam sesuai cetak biru setiap individu.

Dalam bait ke dua ini penyair menegaskan prihal totalitas dalam kekaryaan sebagaimana dikatakannya, “sayap-sayap bidadari masih berkepak / mengeja semiotika lewat kenduri air mata / jendela kita sama-sama basah-gelisah.” Ini kegelisahan yang dibicarakan di atas tadi. Sebuah rangsangan yang membuat setiap penyair terusik untuk “mengeja semiotika.” Di sana ada arah yang jelas, bahwa puisi pada dasarnya adalah sebuah pesan yang dibungkus dalam tanda-tanda semiotik. Petanda yang terkandung dalam penanda sebuah tanda, setiap kode bahasa itu merupakan pintu masuk untuk menangkap pesan perenungan. Puisi pada dasarnya adalah hanya sebentuk teks, tanpa adanya pembongkaran yang mendalam terhadap teks tadi tentu seseorang hanya akan mendapat kulit bahasanya. Maka dikatakan, “lewat kenduri air mata” untuk menegaskan upaya total untuk menguak misteri dari pesan tersebut. “kenduri” juga sebagai simbol dari kebiasaan anggota BPSM dalam mengkaji sebuah puisi bernas yang sarat nilai renung.

Sedangkan “air mata” di sana itu adalah gambaran dari hasil permenungan tadi. Bahwasanya hal besar yang telah terkuak dalam kenduri tadi adalah sebuah stimulus, yang mengakibatkan pelaku permenungan terhanyut dan mengambil hikmah. Air mata itu bukan lambang kesedihan belaka, meski bisa jadi awalnya ia memang mewakili sebuah tragedi kemanusiaan. Artinya, sebuah peristiwa tragis mungkin menjadi tema pokok dalam pembahasan (kenduri), misalnya tragedi kemanusiaan di Bima. Tetapi dari hasil kenduri tadi, kesan yang tertangkap selain air mata itu adalah nilai yang terkandung di dalamnya, ia yang menjadi tujuan sebenarnya. “kenduri air mata” itu adalah metafora dari penghayatan yang mendalam. Dan air mata itu tidak berhenti pada titik kesedihan, tapi menggerakkan pelaku kenduri puisi untuk melakukan sesuatu yang berarti, baik secara langsung atau tidak, baik secara personal atau kelompok.

III
kalau nanti aku pergi
haturkan bagi sultan, keinginan
epitaf pal putih itu semakin usang
tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?
pula balada penuh isak-isak sajak
tambat-ikatkan! benamkan!
bersama tahajud ilalang

Kesadaran mengenai hal-hal besar yang sudah disampaikan dalam bait pertama dan ke dua tadi dikuatkan dengan pesan yang terkandung dalam bait ke tiga ini. Saya memaknai “haturkan bagi sultan, keinginan / epitaf pal putih itu semakin usang / tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?” sebagai perlawanan yang halus. Sultan di sana adalah gambaran tokoh-tokoh yang dikultuskan dengan karya mereka, yang dinilai sebagai kanon sastra. Sehingga “pal” yang diketahui sebagi tonggak jarak pembatas itu diambil penyair untuk melambangkan keadaan dalam sastra yang berjarak tersebut. Sultan sebagai orang yang memiliki kekuasaan atau nama besar telah mendirikan pal-pal pembatas putih (yang dianggap suci) itu dikatakan penyairnya sebagai sesuatu yang “usang.” Dan hasil perlawanan itu dengan menunjuk kaligrafi, sebagaimana kita tahu ia adalah sebuah perwujudan seni yang hendak menuju atau mewakili Tuhan. Karena kaligrafi identik dengan ayat-ayat yang ditulis indah atau lazim disebut tulisan kaligrafi. Meskipun dalam arti umum, kaligrafi adalah seni menulis indah. Begitu juga dengan balada yang dijadikan simbol sebuah sikap dari sastra yang merakyat. Dua pilihan tadi ditunjuk penyair sebagai sumber utama karya cipta, bukan mengekor kanon sastra yang dilambangkan dengan pal putih.

Hal itulah yang ditekankan oleh penyairnya bagi seluruh warga BPSM, umumnya seluruh manusia sastra untuk menyerapnya ke dalam jiwa. Agar terlahir karya yang bening dan hendak menjangkau Tuhan, sehingga dijelaskan penyairnya, “tambat-ikatkan! benamkan! / bersama tahajud ilalang.” Kata tahajud sebagaimana diketahui adalah prosesi ibadah dalam islam, yakni salat tahajud. Makna denotatif ini memang telah bergerak menjadi makna konotatif ketika disandingkan dengan “ilalang.” Artinya sifat dari tahajud itu diambil dan direkatkan kepada simbol yang disebut “ilalang,” yang kemudian terikat menjadi satu pemaknaan karena kepentingan kalimat. Ilalang ini pun telah berubah menjadi makna konotatif pula, yakni manusia yang diserupakan dengan kumpulan ilalang. Atau ia kembali pada makna denotatif, ia adalah gambaran dari setiap hamba, yakni ilalang sebagai makhluk tuhan yang tunduk dan khusuk beribadah kepadanya. Kedua makna tadi bersimpul pada satu pemaknaan final, yakni sebagai makhluk ciptaan Tuhan, selayaknya manusia itu taat dan patuh kepada-Nya sebagaimana contoh tahajudnya ilalang.

Ini adalah sebuah nilai religiusitas yang tinggi, dimana penyair mengambil pedoman hidup berdasarkan laku bersastra untuk menuju kebaktian terhadap Tuhan. Sastra yang dikelaskan dan dikultuskan oleh pihak tertentu, sehingga menghadirkan jargon kanonisme itu dilawan penyair dengan mengetengahkan hakikat kepenyairan. Penyair sejati adalah yang membaca alam terkembang sehingga menjadikannya guru. Penyair sejati adalah yang mengambil kenyataan yang terserak di sekitarnya, kemudian menjadikannya dasar perenungan. Penyair sejati adalah yang menghadapkan wajah keyakinannya kepada Tuhan sebagai satu-satunya kiblat dalam perjalanan pulang. Tuhan yang ketiadaannya tidak dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan akibat terbentur satu pertanyaan mendasar: bagaimana kehidupan berawal? Keyakinan akan hal itu mengendap dalam diri penyair, sehingga tujuan dari kepenyairan itu dipandangnya berujung kepada hendak menjangkau Tuhan.

IV
kalau nanti aku pergi
sebait stanza tentu kau mau
leburkan nada-nada angkasa muda
di antara personifikasi kandil asmaraloka
setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja
lelap menimang harap, mendekap
segitiga sama sisi

Penyair yang mabuk dalam kesadarannya, atau yang sadar dengan kemabukannya atas realita kehidupan telah menghadirkan lesatan-lesatan yang bening. Sehingga diksi yang muncul dalam puisi memiliki kekuatan hisap, selain terlihat bersih dan matang. Strategi retoris yang diperlihatkan penyairnya merupakan hasil tempaan waktu dalam perjalanan kepenyairannya. Maka setiap kode bahasa itu prismastis sifatnya. Dan makna yang terkandung dalam simbol atau lambang di dalamnya referen secara logis pada banyak hal. Dalam bait terakhir ini ada dua hal yang hendak ditunjukkan. (1) “kalau nanti aku pergi / sebait stanza tentu kau mau / leburkan nada-nada angkasa muda / di antara personifikasi kandil asmaraloka.” Baris-baris ini mewakili dorongan jiwanya sebagai pemuda, maka disebut di sana “nada-nada angkasa muda” sebagai lambang dari kecenderungan sebagai pemuda dalam berpuisi yang dipenuhi cita-cita dan kehendak bebas. Juga gambaran dari “asmaraloka” yang berarti cinta kasih dalam makna khusus sebagai cerminan dari jiwa muda tadi. Yang kemudian hal itu diakhiri dengan,  (2) “setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja / lelap menimang harap, mendekap / segitiga sama sisi.” Cerminan dari jiwa muda tadi mengerucut pada nilai religiusitas. Maka dikatakan “setelahnya,” artinya di tengah kecenderungan sebagai seorang pemuda pada umumnya, yang pada akhirnya penyair memiliki dasar pijakan kuat mengenai hakikat kehidupan, yaitu “sepoi-sepoi zikir.” Sebuah kesadaran penuh akan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya, sehingga penyair (yang juga mewakili penyair lain) senantiasa ingat kepada-Nya.

Segitiga sama sisi yang dijadikan lambang dalam puisi ini memiliki arti yang sangat besar. Segitiga sama sisi adalah bentuk tiga sudut yang sempurna. Dalam geometri dikenal dengan operasi simetri, dimana sebuah bidang itu akan diuji dalam tiga hal yakni refleksi, rotasi dan translasi. Segitiga sama sisi memiliki fungsi-fungsi simetri ini, bahkan ia bisa menyusun dirinya menjadi bagian terkecil dilihat dari sisi fraktal. Kesempurnaan atau keunikan yang dimiliki oleh segitiga sama sisi ini kemudian berlanjut menjadi pokok utama yang sedang disorot penyair. Seperti yang telah dicontohkan oleh Dimas Arika Miharja dalam sebuah esai. Bahwasanya ada hubungan triadik yang menempatkan manusia atau penyair di salah satu kaki segitiga sama sisi. Ada hubungan hakiki antara Tuhan, manusia dan kehidupan yang diibaratkan sebagai segitiga sama sisi. Dengan kata lain seperti yang dijelaskan oleh esais, “Konsepsi estetik manusia-penyair, dengan demikian, berpangkal tolak pada tiga dimensi: religiusitas, individual, dan sosial.” Hal itu diskemakan dengan: Tuhan, manusia, dan kehidupan.

Konsep tiga dimensi inilah yang ditangkap penyair dalam perjalanan hidupnya, kemudian digelarnya dalam puisi melalui simbol segitiga sama sisi. Hadi Napster menyadari sepenuhnya akan hakikat hidup dan hakikat kepenyairan. Sebagai manusia beragama, penyair hendak menggambarkan tujuan dari kepenyairannya. Dan ini merupakan cerminan yang juga ditujukan bagi manusia dan penyair lain, meskipun mengatas-namakan direksi BPSM. Manusia-manusia yang sadar akan kemanusiaanya, mereka yang merasa gelisah dan dikejar-kejar pertanyaan abadi: apa tujuan dalam hidup ini? Dan ini meruang secara luas sehingga terkandung di dalamnya siapa pun, dengan latar belakang apa pun asal dia adalah manusia normal yang memiliki keyakinan atas keberadaan Tuhan.

Manusia secara sadar memahami atas ketidak-berdayaannya dalam menolak kematian. Penyair Hadi Napster menangkap isyarat itu untuk kemudian dijadikan bahan renungan dalam karyanya. Orang-orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan sekalipun tidak dapat menyangkal atas kefanaan hidup. Dan permasalahan besar ini akan memperlihatkan sikap seseorang dalam menghadapinya. Ada yang lalai dan tak ingin mengingatnya, ada yang sadar dan mendapatkan efek langsung darinya. Berputus-asa jelas tidak akan menyelesaikan masalah, karena cepat atau lambat mati pasti akan datang menjemput. Mengisi kehidupan dengan perbuatan yang baik dan membahagiakan adalah tujuan dari kehidupan. Demikianlah yang hendak ditegaskan oleh penyair Hadi Napster di tengah perjuangannya melawan kangker otak yang dideritanya. Sebuah pesan yang didasari kesadaran luhur sebagai manusia beragama. Sebuah hasil permenungan yang bening sehingga menghasilkan katarsis bagi siapa pun yang menyelaminya.

*****




Kajitow El-kayeni
Redaktur BPSM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar