Kamis, 12 Januari 2012

MENIKMATI BUAH SIMALAKAMA

Esai: Windu Mandela


SIMALAKAMA, di Sumatera disebut juga dengan buah Mahkota Dewa, rasanya sangat pahit namun banyak sekali manfaatnya, dan akan sangat disayangkan bila buah ini hanya dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja makan bertemankan pisau. Maka muncul pepatah “bagai memakan buah simalakama, dimakan bapak mati, ga dimakan ibu yang mati” bukankah suatu pilihan yang sangat membingungkan?.

Kita pasti pernah dihadapkan ke dalam situasi/pilihan yang serba salah, mau melakukan ini salah, kalau tidak melakukan malah tambah parah, “bagaikan makan buah si malakama” makan atau pun tidak dimakan akan ada akibatnya. Hal ini menjadi menarik bila kita perhatikan Simalakama-nya pak DAM dalam puisinya yang berjudul “BUAH SIMALAKAMA ITU ...” Puisi ini didedikasikan untuk penyair generasi masa kini yang selalu berada dalam kegelisahan berkepanjangan, dan memanglah harus seperti itu.

Inilah sajaknya,
Oleh Pak. Dimas Arika Mihardja

BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

bpsm, 11/1/2012

Bila saya cermati (yang sedang belajar membuat esai) nampaknya Pak. DAM sebagai pengasuh di BPSM, mencoba menghadapkan para penyair generasi kini di depan buah simalakama. Simalakama bukanlah arti buah yang sesungguhnya, melainkan sebuah simbol , dan bukanlah menajdi suatu pilihan yang harus ditimbang dan dikira apa akibatnya bila memakan buah ini, melainkan suatu keharusan untuk memakannya, bahkan mengunyahnya hingga sepah walau pun rasanya sangatlah pahit. Dalam penulisan judul terdapat tiga titik (...) hal ini dimakasudkan untuk memberikan sebuah teka-teki agar pembaca meraba-raba maksud dari ketiga titik itu.

Saya akan mencoba mengupas simalakama dalam puisi ini,
Bait ke  I



buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan

apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian

mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara

keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio

o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal
          ... ”
Bait pertama ini saya cukup tergelitik akan diksi “cintaku” yang disebutkan di tiap larik pertama, maksud cintaku di dalam puisi ini apa? mungkin buah simalakama adalah cintanya Pak. DAM, atau cintaku itu dimaksudkan sebagai para penyair generasi kini yang sedang menimba ilmu, membongkarpasang, merevarasi, bahkan menciptakan puisi yang memuisi di bengkel ini. Menyebutkan diksi cintaku di tiap larik pasti mempunyai maksud tertentu, mungkin sebagai penekanan agar pembaca lebih memperhatikan korelasi simalakama dengan cintaku.

Terlepas dari itu, dalam bait pertama ini Pak. DAM langsung mengarahkan kita terhadap buah simalakama yang terhidang di meja makan, dan tentunya sarat akan kesulitan, “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”. Pencarian di situ mungkin bermakna pencarian pribadi atau pencarian jatidiri penyair dengan pribadi yang baru di antara pribadi penyair yang telah membumi, di antaranya yang tertera dalam bait ini seperti Sapardi, Goenawan, Subagio, Sutardji, dan Afrizal. Mereka ini telah menemukan pribadinya masing-masing 


Bait ke II



buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang

apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah

mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros

menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

... “

Antara bait ke I dan ke II ini mempunyai keterkaitan, yaitu mengajak penyair generasi  kini agar selalu gelisah dalam pencarian pribadinya. Pada bait ini juga disebutkan beberapa penyair yang telah memiliki pribadinya masing, seperti Amir Hamzah, Sultan Takdir Alisyahbana, Chairil Anwar (meskipun tidak disebutkan namanya), juga Ali Haji yang sangat pribadi dalam gurindamnya.

Buah simalakama itu tumbuh sepanjang tualang/pengembaraan, dalam puisi ini memberikan pencerahan bahwa buah simalakam itu tumbuh selama kita hidup dan mengembara di dunia ini. Penggunaan diksi “apakah” menjadi pintu penghubung antara suatau perjalanan atau pengembaraan yang di sepanjang jalannya tumbuh buah simalakama,

“... apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah/mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros/menuju ke laut bersama takdir membaca syair/menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?”

Penyair generasi masakini adalah petualang, apakah sebagai petualang harus kembali kepada jejak-jejak mereka yang telah memiliki pribadinya sendiri? ini adalah suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh para penyair generasi masa kini. Jiwa petualang akan terus berjalan mencari jalannya sendiri (mencari jatidiri/pribadi).  


Bait ke III

“...

buah simalakama itu, cintaku, makanlah

saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”

 
Jelas sekali bahwa Pak. DAM menyarankan agar si penyair generasi masa kini untuk memakan buah simalakama, di saat kegelisahan yang memuncak “kunyah hingga sepah”, karena buah simalakama ini akan menjadi intan yang berkilauan. Tentu tidaklah sesederhana itu, memakan simalakama lalu memuntahkannya sebagai intan yang berkilauan, “kunyah hingga sepah” di sini pak. DAM menyarankan agar simalakama ini dikunyah hingga benar-benar menjadi sepah, menurut saya Pak. DAM menyarankan agar si penyair generasi kini agar benar-benar dalam prosesnya untuk menjadi pribadi yang mempribadi, karena kegelisahan akan ada puncaknya bagi seorang yang benar-benar berjiwa sebagai petualang/pejalan.

Puisi ini sangat sarat akan nilai motivasi dan pereungan bila dilihat dari pesan yang terkandung di dalamnya, yang memberikan pandangan hidup bagi para penyair kini untuk terus mencari, berjalan, dan berpetualang.

Dalam penyeleksian diksi saya lihat sangatlah apik, misalnya dalam puisi ini terdapat frase “kunyah hingga sepah” mengapa Pak. DAM tidak menggunakan kata sampai “kunyah sampai  sepah”,  karena pertimbangan bunyi maka diksi hingga yang dipakai. Bila diprafrasekan, frase “kunyah hingga sepah” dapat menjadi seperti ini “kunyah (se-)hingga (menjadi) sepah”, sebagian yang mengganggu kepada nilai kepuitisan (bunyi) dapat dihilangkan.

Sebagai generasi penyair masa kini memanglah harus bergelisah tentang pencarian jati diri/pribadi, kita harus lepas dari ekor, lalu membuat kepala. Bila diibaratkan penyair yang tidak mempunyai pribadi itu, seperti orang yang mempunyai muka tapi rata (tak ada hidung, mata, alis, dan bibir). Tentunya juga tak cukup dengan gelisah, kita harus berusaha keluar dari kegelisahan itu, karena simalakama tumbuh sepanjang jalan tualang, dengan kata lain perjalanan kita adalah suatu kegelisahan panjang juga beraneka ragam.

Windu Mandela
Sumedang,
Januari, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar