Sabtu, 02 April 2011

RUMAH BATU DI PECINAN OLAK KEMANG: SATU PERCIKAN NOLTALGIA

Esai Djazlam Zainal (Melaka, Malaysia)

Terlalu banyak pengertian tentang apa itu puisi hingga karangan yang begitu pendek ditafsirkan dengan panjang melela. Dikatakan puisi pada tingkat awalnya bertugas sebagai suatu pernyataan dari kesadaran masyarakat dan kemudiannya menjadi suatu kuasa yang membantu masyarakat berfikir. Rangkap-rangkap pantun dan gurindam yang sering diulang ungkap merupakan kebiasan-kebiasaan masyarakat menuturkan filosofinya. Dan ini berlarutan dari semasa ke semasa hingga puisi menjadi satu modul pendidikan yang sangat memberangsangkan.

Apabila saya menatap puisi Dimas Arika Mihardja, Rumah Batu di Pecinan Olak Kemang, saya merasa terpanggil untuk meneliti puisi yang saya rasa sangat baik penulisannya. Penyair merakamkan perasaannya dengan lihatan visual yang mengimbau kenangan. Apatah lagi lihatan itu sebuah sejarah kebesaran bangsanya yang seakan pupus daripada ingatan watannya. Dimas menulisnya demikian;

Rumah Batu di Pecinan Olak Kemang


Suraisurai kuda merah hati membawa langkah
memasuki rumah batu di Olak Kemang; kembali genang kenangan
kesultanan raja jambi berenang di aliran batanghari
nempel di dinding rumah batu
kepingkeping rindu

engkau menyambutku di depan gapura berkepala naga
guciguci tua tionghua dab sebatang pohon tua
merekahkan buah kapas putih tyang diterbangkan angin


rumah batu ini dibangun 300 tahun lalu
putih telor menebatkan batubatu bata merah
menjadi beranda rumah batu
tempat mengabdikan jejak rindu: "silakan masuk
ke beranda hatiku, " sambut suara lelaki
kesultanan jambi terdengar serupa derit daun pintu
jerit kisah masa lalu


Sejarah adalah milik semua orang. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri apatah lagi mengenai bangsanya. Ini adalah fitrah. Bagi penyair, mengimbau sejarah adalah mengenang suka duka dirinya. Apatah lagi kenangan penyair adalah terhadap sebuah kesultanan bagi bangsanya. Walaupun Dimas bukannya asal Jambi ( Dimas dilahirkan di Jogya yang juga mempunyai kesultanan Hemengku Buwono ) kenangan terhadap kesultanan Jambi dan dan tanah Jambi yang dimastautin dan diinjaki sejak 1985, adalah kenangan akrapnya.

Kekayaan interpritasi puisi ini terletak pada bahagian dalamannya. Luarannya hanya lihatan mata kasar. Imej atau gambaran aslinya terungkap secara tersurat mahupun tersirat pada setiap diksi. Lihat rangkap ini

putih telur menebatkan batubatu bata merah
menjadi beranda rumah batu

Sudah tentu penyair mempunyai pengetahuan sejarah tentang pembuatan bangunan jaman lampau. Dengan yang demikian mata rohaninya menembus di sebalik lekatnya ketul-ketul batu menjadi bangunan segagah itu.

Puisi ini dimulai dengan cerita wisata. Ia sungguh lunak dengan rangkaian kata-katanya.

suraisurai kuda merah hati membawa langkah


Lihatan awal terhadap suraisurai kuda merah ini membawa penyair masuk ke dalam dunia nostagia. Ia diikuti dengan;

memasuki rumah batu di olek kemang; kembali genang kenangan
kesultanan raja jambi berenang di aliran batanghari
nempel di dinding rumah batu
kepingkeping rindu

Memasuki baris ketiga penyair telah mula bercerita tentang memasuki batas kenangan iaitu kesultanan Jambi. Berenang di aliran batanghari menimbulkan emosi puitis dengan garapan sejarah. Dinding rumah batu dan keping-keping rindu adalah kombinasi rasa dan kelu. Kenapa rumah batu dan bukan istana ( kraton ) bagi raja. Ini adalah pandangan sifar atau intellectual imagery bagi penyairnya seorang penyair sekaligus doktor dalam kemahirannya iaitu dunia pendidikan puisi.

Rumah batu adalah pandangan hari ini.

Selain rasa, puisi ini dilarik dengan cerita. Suasana atau latar di mana bangunan bersejarah itu terletak, begitu detail dilakar oleh penyair. Lakaran ini mengakrapkan pembaca dengan latar cerita. Lihat betapa telitinya penyair melukis latar.


engkau menyambutku di depan gapura berkepala naga
guciguci tua tionghua dan sebatang pohon tua
merekahkan buah kapas putih yang diterbangkan angin

Saya katakan ini bait yang sangat indah ( bon mot ) iaitu perkataan atau diksi yang dipilih oleh penyair untuk mengungkap sesuatu isu atau pemikiran yang sesuai dan harmonis dengan teknik dan gayanya yang seimbang. Tidak menekankan kepada suatu aspek semata. Keseimbangan, kehaormonian dan ketepatan posisinya menimbulkan rasa puitis dan estatatik. Lihatlah betapa penyair melukiskan " engkau menyambutku di depan gapura berkepala naga ". Gapura berkepala naga tentu memberi gambaran total iaitu sebuah bangunan agam yang bercirikan nuasa cina. Namun dalam baris seterusnya terus dinyatakan, " guciguci tua tionghua " yang menjawap kepada citra kepala naga. Perkataan " tua " pada tionghua diulang sekali lagi dengan " sebatang pohon tua ". Ini menunjukkan betapa lamanya gapura itu berada kerana pohon disampingnya juga telah tua, cuma barangkali tidak sama usianya. Tua juga telah melambangkan sejarah. Lalu disambut dengan " merekahkan buah kapas putih " yang menekankan " putih " menunjukkan tua pada buah kapas yang merekah. Lalu " diterbangkan angin " yang membawa makna diimbau masa yang cukup panjang.

Rasa merasakan penyair tenggelam dalam imbauan yang cukup mengesankan. Mata batinnya terpancar terang lantas menerbitkan kata-kata yang mustahil diungkap oleh orang biasa. Penyair bercakap di bawah sadarnya ketika jiwanya dibisik oleh keterharuan dan keterposonaan. Kerana itulah kata-kata penyair kadangkjalanya ditafsir sebagai kata-kata pendita, manusia yang menyulam bahasanya yang paling dalam dari jiwa.

Sebagai wisata, penyair tentu ingin data pasti tentang gapura. Jelas, penyair menyatakan bahawa ia dibena lebih 300 tahun yang lalu. Lalu di bawah sadarnya seakan ada suara yang menyambutnya datang. " Silakan masuk ke beranda hatiku " kata suara itu. Kenapa hatiku? Bukan beranda rumahku? Gapuraku? Ini adalah bahasa puisi apabila penyair mempersonifikasikan gapura menjadi seakan insan. Memasuki hati insan tentu lebih berarti dari memasuki berada gapura yang telah tua.

Pada keseluruhannya, saya melihat penyair begitu rapi mengadun emosinya dalam menghasilkan puisi ini. Sebuah puisi yang baik terjelma daripada perasaan yang baik. Tanpa berlebih-lebih memberi konotasi, Rumah batu di Pecinan Olak Kemang ini menjadi sebuah karya yang menakjubkan. Unsur keterharuan, kerinduan berlapis-lapis dengan kesadaran menghargai harga sebuah maruah bangsa.

1 komentar:

  1. mantap bang, keep posting ya.. :)

    luar biasa rumah Batu di Pecinan Olak Kemang

    BalasHapus