Rabu, 06 April 2011

PUISI DARI "KEPAK ANGSA PUTIH" OLEH ACEP SYAHRIL

Jambi, Setengah kilo gram gula batu, satu pak kecil Teh Cap Tang dan sederet cerita budaya kusodorkan ke Mg Alloy. Kedatanganku ke rumah kerjanya selain mengantar pesanannya tadi, aku juga sengaja ingin tau produk baru penyair di kota ini. Sebab sejak 18 tahun lalu Mg Alloy sudah dipercaya oleh teman-teman penyair untuk membidani penerbitan buku-buku sastra, khususnya urusan editing, mengolah cover sekaligus penggandaannya. Lalu pagi itu dari tangannya kuterima sebuah buku kumpulan puisi dengan tampilan lux bertitel “Kepak Angsa Putih” (KAP), terbitan Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi. Antologi puisi mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negri Jambi (Unja), yang ditulis 28 mahasiswa semester IV angkatan 2009. Berisi 142 Puisi dengan pengantar Dr.Sudaryono,M.Pd, sebagai dosen pengampu matakuliah penulisan puisi.

Dalam pengantarnya Sudaryono atau Dimas Arika Mihardja menuliskan, bahwa “angsa putih bagi komunitas sastra merupakan simbolisasi cinta, romantika, petualangan, kesetiaan, keanggunan, keyakinan, kesucian dan lainnya. Puisi yang dihasilkan oleh penggubahnya dan dimuat dalam buku ini secara metaforis serupa dengan angsa putih yang tak letih meniti buih kehidupan penuh kerinduan dan keharuan”.

Dan aku tak tau buku yang ada di tanganku pagi itu entah terbitan keberapa dari banyak buku sastra yang dikerjakan Mg Alloy selama ini. Sementara membaca 142 puisi yang terselip di di dalamnya, aku jadi teringat puisi-puisi siswa SMP dan SMA yang hampir setiap minggunya ku kumpulkan dari tiap sekolah yang kudatangi seusai kegiatan apresiasi.

Di situ aku selalu membawa pulang berikat-ikat puisi cinta, patah hati, harapan, ayah ibu, protes sosial, ketuhanan, lingkungan dan atau yang bercerita soal alam, pagi malam dan petang. Mereka menuliskannya dalam bahasa verbal konvensional nyaris tanpa perenungan dan kering wawasan, namun jika dibaca ulang berulang kadang jadi menarik. Aku seolah sedang belajar dari kepolosan dan kejujuran mereka. Hal itu juga kurasakan dari kesetiaan Sudaryono atau Dimas Arika Mihardja yang bertahun-tahun dengan ketelatenannya mengasuh dan mendidik mahasiswanya soal kesetiaan pada hidup, keyakinan, kepekaan serta fikiran-fikiran kritis melalui media penulisan puisi ini.

Seperti dituliskan Nur Juliana pada puisinya “PILKABA (Pemilihan Kepala Rimba) atau Gambaran Pilkada Indonesia ” (KAP, Hal: 94), yang dituliskannya secara verbal itu paling tidak bisa jadi pelajaran bagi para politisi yang sok sosialis dan moralis.


“Ular dari Partai Damai Istirahat

sampaikan misi tak tidur sebelum rakyat makmur
ah ngota
nyatanya habis makan molor
tutup mata lihat kasus century
ngantuk dengar cerita TKI”


atau


“Singa dari Partai Kenyang Selalu
teriakkan janji dijamin rakyat gemuk
alah tu kan katamu
buktinya pasokan sembako ludes kau grogoti
senyum sumringah lihat tangis pengemis
terbahak saksikan busung lapar”


Sementara Putri Rahayu melalui kamera imajinasinya memotret berbagai peristiwa yang terjadi di daerahnya, Jambi. Suatu permasalahan sosial beruntun yang dia rekam dan dia tuliskan dengan satu tarikan nafas. //konstitusi dilelang/angso duo ramai/sepanjang kota baru – arizona/berlari menentang jarum jam// //sedang telanai/sibuk melahirkan cendekiawan/’tukbertemu leninisme//. (Puisi: Tayangan Kecil Negriku, KAP, Hal.108).

Rahayu dalam KAP ini boleh dibilang salah satu calon penyair berbakat, melalui kekuatan imajeri visualnya dia mampu mengekspresikan permasalahan dibalik tembok gedung yang berlatar belakang sosial politik itu secara hiperbol. Permasalahan para pemimpin dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang hanya melahirkan kekecewaan di hati masyarakat. Atau telanaipura yang sejak lama dipersiapkan demi kelahiran para cendikia yang diharapkan mampu membagun daerah serta berpihak pada masyarakatnya. Tapi sayang mereka lupa jalan pulang, sebaliknya menjemput faham lain demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Begitu kata Rahayu.

Namun ada yang lebih menarik dan lebih berbakat, yakni Randa Gusmora dengan Sajak Terang Bulan Di Mendalo Yang Hilang (KAP, Hal. 121). Meski pada gayanya sedikit berbau Gunawan Mohammad, tapi sebagai langkah pencarian hal ini sangat menarik. Karena penulisan puisi tidak cukup hanya dengan mengandalkan kekuatan inspirasi, kepekaan insting atau beretorika dengan kata-kata. Tidak. Semuanya harus dimulai dengan membaca, mencari dan meraba untuk menawarkan dunia baru pada pembacanya dengan berbagai pengalaman, atau melalui proses kognitif yang mampu mengkomparasi persoalan menjadi sebuah luapan yang berisi: //emosi ini berperan di waktu pikiran buyar/sajakku hilang//. Sehingga dunia kata-kata yang dibangun berdasarkan imajeri visual serta kekuatan konstruksi jiwa penyairnya, bisa menawarkan aktifitas baru kedalaman otak pembaca, seperti: //dimana bulan sejengkal dari atas/hadir lebih awal sebelum natal//.

Selain Nur Juliana, Putri Rahayu, Randa Gusmora, ditemukan juga Syukria. Sementara Ummi Kalsum tengah belajar konsisten dengan gayanya yang sederhana. Pemula satu ini sepertinya benar-benar menawarkan sesuatu yang utuh, yang belum tampak pada rekan--rekannya yang lain. Sebuah tawaran menarik dari pemikiran jernih dan dingin seperti ungkapan-ungkapan lirisnya yang penuh dan berisi.



Ibu


Karena rindu pada bijakmu
Tiap saat kusunting do’a dari nadiku
Senyummu yang mempesona lewat bingkai usang
Membuat hulu dan muaraku menyatu di taman syurga
Tertirahlah yang damai disisi-Nya
(KAP, Hal. 148)


Ow..ow, manis dan padat sekali do’a ini. Kerinduan dan do’a untuk sosok ibu dari senyum mustajabnya di bingkai yang usang. Do’a yang setiap malam dan siang mengalir dari ruang-ruang latifa paling dalam. Ibu “tertirahlah yang damai disisi-Nya”.


Kata-kata pilihan yang sederhana dengan personifikasi yang lebih sederhana pula, begitu ke lima puisi yang disajikan Ummi Kalsum di KAP ini. Meski untuk sementara ide dan tema yang ditawarkannya masih berkisar diseputar persoalan keseharian serta persoalan batin. Tapi dari kesederhanaanya itu ada konsistensi yang berbeda dari yang lainnya.



*Acep Syahril: Tinggal di Blok Senerang Rt.06/02 Desa Sudikampiran, Kec. Sliyeg, Indramayu – Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar