Jumat, 01 April 2011

MENIKMATI DAN MEMAHAMI SEBIJI PUISI NABILA DEWI GAYATRI

Catatan Dimas Arika Mihardja

Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13 – 15 M, Abdul Hadi WM menulis "komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tariqat, pendakwah dan darwish atau faqir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok negeri." Dalam kaitan ini, saya menemu sebiji sajak berjudul "Au Mengukirnya" karya Nabila Dewi Gayatri (yang saya kutip di blog Lapak Katakata milik Ardi nugroho).Berikut saya turunkan sebiji sajak itu;

Aku Mengukirnya (Puisi Nabila Dewi Gayatri)

hujan bergerak dalam senja
menyeret aroma luka
tetes air, desau angin mengucurkan namamu
aku mengukirnya
di semua tiang cakra
di setiap kepul doa

menapak hari berlari
jejak hanya sisa serpih
dalam hening aku mengeja
tentang titian cinta yang melebur menjadi kristal garam
tentang tauhidul af'al mengubun menyawung

berlapislah kenangan
tertoreh warna pelangi
di hembus nafas Kekasih aku membaca ayatayat sunyi
yaasiin berhalaku
menderai tak lerai

Allahku,
telah kujurai seribu bintang
telah kusemai garing ilalang
telah kuasah badik hingga cerlang
bermahkota cinta kemilau cahaya

di bumi terjunjung setakzimku berserah
bersaksi di kedalaman
garis batas lam mim telah kuhamparkan lebih dari telanjang!


~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~



Puisi yang digubah oleh Nabila Dewi Gayatri ini punya tautan dengan sejarah perkembangan tasawuf di indonesia.Kita masih ingat pada tahun 1970an ketika dalam kesusastraan Indonesia muncul gerakan sastra sufistik, yaitu kegiatan penciptaan karya sastra yang berorientasi pada pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung), nilai-nilai, dan estetika yang diajarkan kaum sufi dalam Islam. Sastrawan yang karya mereka memperlihatkan kecenderungan sufistik itu antara lain Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W. M., Sutardji Calzoum Bachri, Ajip Rosidi, Budiman S. Hartoyo, dan lain-lain. Dalam tahun 1980 dan 1990’an gerakan sufistik dalam kesusastraan dan seni kian meluas meluas. Muncul penulis-penulis muda seperti D. Zawawi Imran, Hamid Jabbar, Ibrahim Sattah, Emha Ainunnadjib, Ahmad Nurullah, Acep Zamzam Noer, Ahmadun Y. Herfanda, Jamal D. Rahman, Soni Farid Maulana, Fatin Hamama dan lain-lain, yang karyanya menampakkan kesinambungan pencarian nilai-nilai dan kesadaran religius sufistik.



Pada akhir 1970an dan awal 1980an para sastrawan mulai sering dan kian kerap mengadakan acara pembacaan sajak-sajak sufi. Di antaranya yang terkenal ialah pembacaan puisi seperti Malam Rumi (1982), Malam Hamzah Fansuri (1984), Malam Iqbal (1987) dan lain-lain yang diselenggarakan di Taman Ismail Matzuki, Jakarta. Sejak itu seni bercorak sufistik seperti musik, tari, dan seni rupa kian sering dipertunjukkan dan dipamerkan di beberapa kota besar. Puncak pagelaran dan pameran karya seni bercorak sufistik tampak dalam dua kali penyelenggaraan Festival Istiqlal pada tahun 1991 dan 1995. Fastival Istiqlal adalah festival kebudayaan Islam terbesar yng diadakan di negeri ini. Dalam penyelenggaraannya yang berlangsung selama satu bulan, banyak sekali karya seni bersorak sufistik ditampilkan, baik yang telah merupakan khazanah seni tradisional atau daerah, maupun karya-karya yang merupakan bentuk ekspresi baru.



Puisi Nabila dewi Gayatri setidaknya "mengukir" kisah perjalanan manusia menuju Sang Maha Pencipta yang menurut wawasan ahli tasawuf memiliki enam tingkatan (enam tingkat perhentian) dalam kehidupan manusia, yang intinya bahwa hidup manusia merupakan perjalanan dari Yang Abadi menuju Yang Abadi. Enam tempat perhentian harus dilalui dalam perjalanannya itu sebelum kembali ke tempat yang kekal. Pertama, sulbi , yaitu ketika manusia masih berupa benih dalam angan-angan orang tuanya dan roh belum ditiupkan oleh Sang Khaliq ke dalam tubuh jasmaninya. Kedua, rahim ibu. Di sini ia tinggal selama lebih kurang sembilan bulan sebagai calon jabang bayi. Ketiga, alam dunia tempat manusia berikhtiar dan berbakti untuk agama, nusa dan bangsa. Keempat, alam kubur. Kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan buruknya ditimbang. Keenam, sorga atau neraka jahanam tempatnya yang kekal.



Alam dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena itu manusia wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu. “Jalan di hadapan kita sebelum tiba saatnya menempati alam kubur itu teramat jauh dan sukar. Bekal untuk dibawa pulang ke tempat yang abadi tidak dapat dicari di tempat lain kecuali di dunia ini. Kendaraan umurnya tidak dapat dihemat sebab akan berlalu dan manusia tidak mengetahui betapa seatu hembusan nafasnya seperti tapak kaki di jalan dan sehari seperti sebuah padang gurun yang luas… dan satu hembusan nafas yang dihela dari hidupnya seperti sebuah batu yang dibongkar dari rumah kehidupan dan setiap nafas pastilah membinasakan rumah umurnya…” Oleh karena kehidupan di dunia harus dipelihara sebaik-baiknya. Orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup serba kebendaan.



Abdul Hadi WM yang bayak mengupas tentang tasawuf menyatakan:



Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).



Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, "Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.

Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.



Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.



Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam konteks ini lalu dapat dipahami dan dinikmati "motto" di akhir puisi Nabila dewi Gayatri seperti ini:



~ Salam Cinta Pencinta Cinta Bercinta ~



Terkait dengan larik dan bait sajak Nabila Dewi Gayatri yang bersinggungan dengan "berhala' (bait 3) ada rujukan dan referensi penting seperti kutipan pandangan Abdul Hadi wm berikut:



Para Sufi menuturkan hikmah dalam berbagai bentuk pengucapan sastra. Bukan hanya dalam bentuk prosa seperti risalah atau khitabah. Bentuk penuturan estetik yang dipilih antara lain kisah perumpamaan (alegori), epik kerohanian, adab, cerita berbingkai,humor, sajak-sajak pujian (diwan, qasidah), sajak-sajak cinta mistikal (ghazal), satire atau sindirian (hija`), dan lain sebagainya. Karya-karya mereka relevan dibaca kembali untuk membenarkan pemahaman kita, yang terlanjur keliru dan menyesatkan serta ahistoris tentang tasawuf.. Contohnya saja di Barat. Di sana ahli tasawuf atau Sufi lebih dikenal sebagai sekelompok penari yang gemar akan ekstase dan sehari-hari kerjanya hanya demikian. Gambaran seperti itu antara lain dijumpai dalam buku James Morier Haji Baba of Ispahan. Di negeri kita sendiri kegiatan kaum Sufi dan ahli tarekat sering dikaitkan dengan praktek pedukunan, klenik, paranormal atau nujum. Padahal bukan itu tasawuf yang sebenarnya.

Tasawuf sering pula dipandang sebagai sumber kemunduran Islam, suatu kesimpulan yang naif dan tidak didasarkan argumentasi yang jelas. Dalam kenyataan faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Islam sangat kompleks dan saling menjalin satu dengan yang lain. Di antara faktor-faktor itu termasuk faktor budaya, politik dan ekonomi. Tasawuf sendiri sebagai gerakan keagamaan mengambil corak beragam, ada yang aktif dan militan, ada yang memang pasif dan eskapis. Ada yang mengambil bentuk gerakan Tarekat, ada yang mengambil bentuk Falsafah dan gerakan Budaya. Dan adalah tidak adil apabila kita melupakan sumbangan besar mereka dalam penyebaran agama Islam, khususnya di di negeri-negeri Islam bagian timur.

Pun tidak adil melupakan sumbangan yang mereka di bidang seni, bahasa, sastra, kebahasaan, arsitektur dan berbagai kepakaran;. Besarnys umbangan itu tercermin dalam kemasyhuran nama tokoh-tokohnya dan penerimaan luas masyarakat Muslim terhadap pemikiran dan kiprah mereka dalam bidang spiritulitas. Di antara tokoh-tokoh masyhur yang menghiasi lembaran sejarah kebudayaan dan peradaban Islam ialah Mansur al-Hallaj, al-Ghazali, al-Qusyairi, Ibn al-'Arabi, Ibn Sina, Omar Khayyam, Atar, Rumi, Jami', Mulla Sa'di, Hafizh, Suhrawardi, Ghalib, Hamzah Fansuri, Mohammad Iqbal dan lain-lain. Sufi dikenal dengan banyak nama: darwisy, `urafa (ilmunya disebut irfan) atau ahli suluk, seperti dikenal di Jawa dan Madura. Sekalipun gerakan mereka sering dituduh menyimpang dari agama, terutama oleh ulama fiqih dan modernis, namun mereka tetap tegar dalam keyakinan mereka dan pengaruh ajaran mereka tidak menyebabkan eksistensi keberadaan masyarakat Muslim terganggu selama beberapa abad. Para Sufi bahkan aktif memimpin gerakan jihad, misalnya menentang kolonialisme pada masa penjajahan. Mereka juga sering muncul sebagai pemimpin gerakan pembaharu. Syekh Junaid al-Baghdadi mengatakan : "Sistem tasawuf kami terikat pada Islam, al-Qur'an dan Sunnah Rasul."



Dari awal sampai akhir puisi yang digubah oleh Nabila Dewi Gayatri bermuara pada simpulan seperti dinyatakan oleh Abdul Hadi WM berikut:



Para Sufi memang suka mengembara dari satu tempat ke tempat lain sejak dulu sampai kini. Mereka berjalan dengan tujuan banyak: mencari guru, kawan seperjalanan, murid yang mau mendengarkan ajarannya serta menyebarkan agama dan memperbanyak jumlah orang Islam. Pada abad ke-13 dan 14 M. dunia Islam diharu biru oleh banyak peperangan, antara lain Perang dan penaklukkan tentara Mongol. Para Sufi berhasil menyelamatkan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah hancur berkeping-keping. Mereka pergi mencari tempat-tempat yang aman sebagai pos-pos perhentian dalam perjalanan mereka. Pos-pos perhentian ini berfungsi banyak: sebagai surau, pesantren, tempat penampungan para pengungsi dan perlindungan para pedagang. Di pos-pos perhentian inilah mereka mengkonsolidasikan kekuatan dan penyebaran dakwah Islam, menghimpun calon-calon syuhada dan ulama-ulama yang militan. Di pos-pos perhentian itu pulalah mereka mendirikan ta`ifa (organisasi dagang) bersama para saudagar, bekas tentara yang tidak aktif lagi, pengrajin, seniman, tabib, ilmuwan, pelaut, pelayar dan lain-lain.

Namun perjalanan dan pengembaraan di alam dunia hanyalah sarana untuk memulai perjalanan yang lebih tinggi. Perjalanan manusia yang sejati menurut Rumi ialah “Perjalanan dari diri ke Diri' yaitu “Dari diri yang rendah, (yaitu hawa nafsu) menuju diri yang lebih tinggi (yaitu Diri Rohani). Perjalanan seperti itu "Bagaikan perjalanan tebu mencari gula, perjalanan sebutir pasir yang menyimpang dari jalan yang lazim kemudian masuk ke dalam kerang dan kelak menjelma mutiara."



Demikianlah catatan ringan sebiji puisi karya Nabila Dewi Gayatri. Entah mengapa saya "jatuh hati' pada puisi Nabila dewi gayatri yang satu ini. Sebuah puisi yang tak hanya indah, melainkan menawarkan perenungan yang menggugah sesuai dengan alam pikir dan dzikir para sufi. Puisi yang bercorak sufistik seperti ini perlu dimasyarakatkan sebab kelak puisi yang transendental ini akan monumental dan universal: abadi di hati bagi yang meyakini.



Salam DAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar