Sabtu, 09 April 2011

CAPAIAN ESTETIK PUISI INDONESIA, SEBUAH CATATAN RINGKAS

Oleh Harris Effendi Thahar**)



1. Pembuka



Selepas tumbangnya Orde Lama di penghujung 1960-an, muncul kegairahan baru dalam proses penciptaan seni. Saat itu kebebasan baru muncul setelah kungkungan demokrasi terpimpin di bawah komando Presiden Soekarno runtuh bersama tenggelamnya “seni untuk rakyat dan seni sebagai alat revolusi” yang dicanangkan kaum komunis Indonesia. Penganut Manikebu (Manifes Kebudayaan 8 Mei 1964) yang mengklaim “seni untuk seni”sebagai lawan kaum komunis dan pemerintahan Soekarno, pada awal 1970-an mulai bangkit dan berubah pandangan. Bahwa, persoalan kebudayaan bukanlah masalah berorientasi ke Barat atau ke Timur, melainkan kembali ke akar tradisi dalam proses dan capaian cipta seni, terutama dalam penciptaan puisi.

Roda sejarah berputar terus dan sejarah pun berulang bagaikan roda pedati. Di masa Orde Lama politik sebagai panglima dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Buku-buku yang tidak sesuai dengan jalannya revolusi akan digilas dan media massa yang dianggap anti revolusi dibredel pemerintah serta para aktivis dipenjarakan. Di antara para aktivis dan sastrawan yang dipenjarakan adalah Mochtar Lubis, HB. Jassin, dan HAMKA. Berikut buku-bukunya juga dilarang beredar, termasuk buku-buku Sutan Takdir Alisyahbana dan Usmar Ismail. Demikian juga halnya pada masa pemerintahan Orde Baru (1966 sd. 1998), pelarangan buku-buku sastra yang sekalian pengarangnya dipenjarakan adalah Pramudia Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin dan tidak sedikit pula yang membuang diri ke luar negeri.

Masa eforia dan bulan madu kemenangan Orde Baru 1966 yang ditandai oleh puisi-puisi protes sosial Taufiq Ismail dan WS Rendra tidaklah lama. Kebebasan berekspresi para sastrawan dan penyair mulai dibatasi oleh politik pembangunan pemerintahan Soeharto yang dilatari oleh pemerintahan militer berbaju sipil. Kondisi ini timbul setelah peristiwa Malari (15 Januari 1974) pelarangan-pelarangan yang disebut dengan pembredelan penerbitan media massa sewaktu-waktu pasti muncul karena dianggap tidak sejalan dengan ideologi pembangunan. Maka berjatuhanlah korban-korban dengan dilarangnya terbit harian Indonesia Raya milik Mochtar Lubis, harian Pedoman milik Rosihan Anwar. Demikian juga harian Kompas, Sinar Harapan, dan majalah berita mingguan Tempo pernah dibredel dan cepat-cepat minta “ampun” lalu kemudian terbit kembali. Khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, harus menunggu sidang pengadilan untuk dinyatakan tidak bersalah dan kembali terbit setelah pemerintahan Orde Baru tumbang.

Selanjutnya, di era reformasi (sejak 1998) ini tampaknya karya sastra yang paling banyak ditulis dan dipublikasikan adalah puisi. Hal itu dapat dilihat di hampir setiap koran edisi Minggu dan beberapa majalah secara rutin menerbitkan puisi-puisi baru yang ditulis oleh penulis-penulis produktif yang rata-rata berusia muda. Gejala ini jauh berbeda dengan zaman majalah sastra Horison dan Basis di tahun 70-80-an menjadi penyalur utama publikasi puisi. Selain itu, saat ini penerbitan buku-buku kumpulan puisi juga tampak lebih gencar, baik melalui penerbit perorangan maupun penerbit yang telah mapan. Singkatnya, perpuisian di tanah air saat ini mengalami booming, masa perkembangan baru ditinjau dari kuantitas penyair dan puisi-puisi yang ditulis. Selain itu, penghargaan terhadap karya sastra setiap tahun di tingkat nasional mau pun regional akhir-akhir ini telah memicu kegairahan menulis para sastrawan. Dengan demikian, muncul pertanyaan, bagaimanakah capaian estetik puisi Indonesia saat ini sehubungan dengan maraknya penulisan dan publikasi puisi?

Pertanyaan ini penting untuk dicarikan jawabannya sehubungan dengan kelahiran angkatan baru (2000-an) hingga kini belum mendapat posisi yang jelas dalam sejarah sastra Indonesia modern, karena ciri estetiknya belum memperlihatkan mainstream yang kuat.



2. Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri



Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor puisi modern Indonesia dengan gaya pengucapan yang bebas. Bebas dalam artian tidak lagi terpengaruh terhadap puisi-puisi yang ditulis oleh penyair-penyair Indonesia sebelumnya seperti M. Yamin,Amir Hamzah, Asmara Hadi dan lainnya yang masih terikat dengan pola-pola syair, pantun dan soneta. Tidak saja dari segi bentuk, tetapi dari segi kekuatan dan kedalaman isi sajak-sajaknya Chairil Anwar memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan perpuisian di Indonesia. Menurut Mahayana 1), dalam perjalanan hidupnya yang pendek, Chairil Anwar (1922-1949) berhasil menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang dan berbuah. Chairil Anwar telah mencengkeramkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan, yang menjadikan anak-anak sekolah senang berpuisi, mencintai puisi, mencintai sastra, dan mencintai Indonesia.

Penyair-penyair sesudah Chairil terus bermunculan, terutama setelah tumbangnya pemerintahan Orde Lama. Tersebutlah sejumlah nama yang mengemuka seperti WS Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Joko Damono, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, Sobagio Sastro Wardojo, Hartoyo Andangjaya, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar di samping sejumlah nama lain yang juga menulis puisi. Meski demikian, tidak terlihat perkembangan yang mencolok dari sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair sesudah Chairil Anwar, kecuali dari segi tema-tema yang cukup beragam. Hal ini sangat terkait dengan sumber-sumber penciptaan yang tidak terbatas lagi dengan “melihat ke Barat atau ke Timur,” bahkan terlihat kecenderungan kembali pada kekayaan akar tradisi. Maka, adalah Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal dengan puisi-puisinya yang berangkat dari tradisi pengucapan mantra.

Soetardji tidak saja terbatas pada pengucapan mantra, akan tetapi mengukuhkan kepenyairannya dengan kredo puisi-nya yang terkenal(1973)2). Inti dari kredo puisi Sutardji adalah membebaskan kata dari beban arti, kata adalah pengertian itu sendiri. Dengan kata lain, jangan bebankan kata dengan pengertian-pengertian, akan tetapi tampilnya kata-kata adalah pengertian itu sendiri sebagai mana yang terdapat dalam mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis, tanpa mempertanyakan lagi pengertiannya. Dengan demikian Sutardji pada zamannya telah menanamkan tonggak kepenyairannya yang ”baru,” sekaligus menandai perkembangan baru perpuisian Indonesia. Sebagaimana lazimnya dunia penciptaan seni, tentu saja Sutardji diikuti oleh epigon-epigonnya yang merasa tren kepenyairan pada zaman itu adalah kembali ke akar tradisi.

Kehadiran dan kepenyairan Sutardji dianggap telah memberikan warna baru setelah Chairil Anwar, bahkan Sutardji pun mengklaim dirinya sebagai presiden penyair Indonesia pada tahun 70-an itu. Namun, kredo itu pun akhirnya diingkari setelah gema puisi mantra mulai pudar. Sutardji akhirnya juga menulis puisi di luar kredo yang pernah diproklamirkannya. Ia kembali pada lirik-lirik yang sarat dengan beban pengertian seperti yang dapat disimak pada sajaknya Tanah Airmata. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar saja bila dilihat dari keterlibatan sosial penyair terhadap situasi lingkungannya yang mencengkam, seperti kutipan berikut ini.



Tanah Airmata

tanah airmata tanah tumpah darahku

mataair airmata kami

airmata tanah air kami



di balik gembur subur tanahmu

kami simpan perih kami

di balik etalase megah gedungmu

kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa

kami coba kuburkan duka kami

tapi perih tak bisa sembunyi

ia merebak ke manamana



bumi memang tak sebatas pandang

dan udara luas menunggu

namun kalian takkan bisa menyingkir

ke mana pun melangkah

kalian pijak airmata kami

ke manapun terbang

kalian kan hinggap di airmata kami

ke mana pun berlayar

kalian arungi airmata kami



kalian sudah terkepung

takkan bisa mengelak

takkan bisa ke mana pergi

menyerahlah pada kedalaman airmata kami

(1997)



Meski demikian, penyair-penyair seangkatan Sutardji tetap saja menulis puisi dengan gaya pengucapan masing-masing. Sajak-sajak lirik Sapardi Joko Damono masih tetap eksis dengan imaji-imaji yang memukau, sajak-sajak sufistik religius Abdul Hadi WM dan Hamid Jabbar, dan sajak-sajak kepedulian Goenawan Mohamad terhadap kemanusiaan tetap saja memperkaya heterogenitas estetika perpuisian Indonesia. Agar lebih jelas, berikut ini dikutipkan salah satu sajak Goenawan Mohamad.



Aungsang Suu Ky



Seseorang akan bebas dan akan selalu

sehijau kemarau

Seseorang akan bebas dan sehitam asam

musim hujan

Seseorang akan bebas dan akan lari

atau letih

Dan langit akan sedikit dan bintang

beralih

Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat

pagoda

Seseorang akan bebas sorga akan

tak ada

Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi

tandan yang terjulai

tandan di pohon saputangan, tandan ditebing jalan

ke Mandalay



(1996-1997)



3. Afrizalian



Tersebutlah Afrizal Malna 1980-an sebagai penyair yang muncul setelah redupnya kredo puisi Sutardji. Sajak-sajaknya yang ciri-cirinya bertolak belakang dengan pengucapan akar tradisi, katakanlah mantra dan pantun, sempat membawa pengaruh kepada penyair-penyair seangkatannya. Maka, pada awal 1990-an sempat muncul gaya Afrizalian yang nyaris menjadi mainstream dunia perpuisian Indonesia pada masa itu3). Untuk lebih jelas, dikutipkan sebuah sajak Afrizal berikut ini.



Dada

Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi terbaring dalam

tangan yang tidur. Ingin jadi manusia terbakar dalam mimpi sendiri.

Sehari. Semua terbaring dalam waktu tak ada. Membaca, Dada.

Membaca kenapa harus membaca, bagaimana harus dibaca. Orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring dalam pikirannya sendiri. Mengaji, Dada. Mengaji. Keinginan jadi manusia, menulis dan membaca di tangan sendiri.



Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca dirinya sendiri; seperti anak-anak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, Dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak. dada, seperti menakuti dari setiap yang dibaca dan

ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa membaca, menulis

menjadi mengapa menulis.



Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada.Sehari.

Dada Sehari.



(1983)

Kesan apakah yang ditimbulkan oleh sajak Dada di atas? Kontemplasi penikmat puisi dibawa Afrizal ke alam surealis, mengaduk bawah sadar, tanpa dapat menjelaskan apa yang berkecamuk di dalam dada jika suatu hari atau sekali waktu terperangkap dalam mimpi-mimpinya sebagai manusia. Di sisi lain, sebagian pembaca cepat-cepat menuding sajak-sajak Afrizal sebagai puisi gelap karena ketaklaziman bangun narasinya. Keunikan sajak-sajak Afrizal ini banyak memberi inspirasi pada pengikut-pengikut seangkatannya yang kadang-kadang memang terpleset pada “kegelapan” makna.

Sementara itu, esai-esai yang ditulis Afrizal Malna pada umumnya sangat lugas, tajam, dan tentu saja esai-esai yang terang dan bernas. Satu hal yang perlu dicatat bahwa puisi dan esai-esainya tetap memiliki kesamaan nuansa, senantiasa baru dalam pengucapan dan pesona eksplorasi bahasanya yang mempribadi.







4. Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Sitok, Gus tf. dan Rieke Diah Pitaloka

Menjelang berakhirnya abad ke-20, dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh sajak-sajak Joko Pinurbo. Sajak Celana-nya seperti bermain-main; akan tetapi dinilai istimewa oleh banyak orang. Demikian juga halnya jadwal kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung, terkesan sebagai antipoda terhadap diksi-diksi puisi yang telah ditulis orang lain selama ini.

Banyak pengamat menilai, justru di balik kesederhanaan dan antipoda diksi tersebut sajak-sajak Joko Pinurbo justru selalu diikuti oleh kejutan-kejutan. Kejutan-kejutan tersebut justru terletak pada logika akhir yang selalu tak terduga dan membalikkan logika biasa. Berikut ini dikutipkan salah satu sajak Joko Pinurbo.



Celana (3)4)



Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama

didambakan, meskipun untuk itu ia harus

berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana.



Ia memantas-mantas celananya di depan cermin sambil

dengan bangga ditepuk-tepuknya pantat tepos

yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,”

katanya kepada si tolol yang berlagak

di dalam kaca.



Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih

yang menunggunya di pojok kuburan. Ia memamerkan

celananya: “Ini asli buatan Amerika.”



Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang

bertenger di dalam celana. Ia sewot juga.

“Buka dan buang celanamu!”



Pelan-pelan dibukanya celana yang baru, yang

gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung

yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.



1996

Dewan juri Khatulistiwa Award 2005 memilih kumpulan puisi Joko Pinurbo Kekasih sebagai pemenang dan berhak mendapatkan hadiah sebesar Rp 50 juta serta akses untuk mengikuti festival penulis tingkat dunia. Koodinator dewan juri, Riris K. Sarumpaet5) mengomentari sajak-sajak Joko Pinurbo bahwa ia menjungkirbalikkan kaidah artistik puisi dengan justru mengembalikan bahasa puitik ke bahasa sehari-hari. Permainan citranya sarat kejutan, kaya akan simbol, lembut, dan mengandung misteri kehidupan. Lebih lanjut Riris mengatakan, ketika yang sederhana menjadi puisi, maka baik kata, tema, maupun keheningan yang dibawanya menjadi sangat tidak sederhana dan tidak biasa.

Kehadiran puisi-puisi Joko Pinurbo telah sangat meninggalkan Afrizalian yang sarat tegangan absurditas dan beban imaji. Meski demikian, penyair-penyair seangkatan Joko Pinurbo semisal Acep Zamzam Noor, Sitok Srengenge, Gus tf, dan Diah Pitaloka (sekadar untuk menyebut beberapa nama) masih tetap dengan puisi-puisi lirik dengan gaya pengucapan masing-masing. Dari ketiga penyair yang disebut belakangan terkesan kesalehan yang dalam atas kesadaran tentang dunia serta posisi penyair sebagai makhluk religius. Jika penyair Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin yang disebut sebagai pelopor Angkatan 45 kesusastraan Indonesia modern yang juga menulis puisi tentang Tuhan barulah sebatas munajad vertikal (hablumminallah). Sementara itu, Acep dalam sajaknya “Cipasung” justru munajad vertikal dan horizontal (hamblumminallah dan hablumminanas) menjadi satu dalam suatu eksplorasi bahasa yang puitis.

Acep Zamzam Noor yang telah banyak menerbitkan buku puisi ini berhasil menjadi pemenang Khatulistiwa Award 2007. Untuk lebih dekat dengan Acep Zamzam Noor, berikut kutipan salah satu sajaknya.



Cipasung



Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri

Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup

Dan surauku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu



Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi

Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari

Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar

Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku

Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan

Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu



Hari esok adalah perjalananku sebagai petani

Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat

Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini

Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan

Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain

Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan berkubur



!989



5. Angkatan 2000 dan Binhad Nurrohmat



Angkatan 2000-an yang dimaksud di sini tidaklah merupakan penandaan telah lahirnya angkatan baru yang memiliki perbedaan mainstream dengan angkatan sebelumnya, melainkan untuk menadai bermulanya “kemeriahan” menulis dan publikasi puisi melalui media massa (cetak dan elektronik) serta penerbitan buku-buku puisi di mana-mana. Harian Kompas yang sebelumnya tidak menerbitkan puisi pada edisi Minggu, sejak permulaan abad XXI mulai mengikuti langkah beberapa koran menerbitkan puisi bersama cerpen dan esai. Hal ini menambah kemeriahan perpuisian Indonesia dan memberi ruang yang lebih luas kepada penulis-penulis puisi yang lebih muda usia, rata-rata para penulis yang lahir di pertengahan tahun 70-an hingga 80-an. Selain itu, angkatan 2000-an yang dimaksud di sini juga berdasarkan nama-nama penulis puisi yang belum tercatat di dalam buku Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2001) karena buku ini baru memuat sampai Moh. Wan Anwar yang lahir 1970. Meski demikian, kelahiran penulis-penulis puisi muda usia yang marak saat ini memublikasikan karya-karya mereka tidaklah berarti penulis-penulis yang sudah eksis sebelumnya berhenti menerbitkan puisi. Di antara penulis-penulis puisi yang lebih senior, Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Mardi Luhung, Iyut Fitra, Sitok Srengenge, dan lainnya masih terus menulis dan memublikasikan puisi-puisi mereka.

Maka, tersebutlah nama-nama seperti Binhad Nurrohmat, Aslan Abidin, Agus Hernawan, Wayan Sunatra, Ahda Imran, dan beberapa nama yang lebih muda, Inggit Putra Marga, Fitri Yani, M. Aan Mansyur dan seterusnya. Selain itu, berpuluh nama lainnya yang bermukim di kota-kota Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Bali yang tak dapat saya himpun nama dan karya-karya mereka, adalah pendatang baru dalam dunia perpuisian Indonesia mutakhir. Suatu hal yang menarik untuk dicatat adalah “kemeriahan” dan kegairahan menulis puisi yang intensitasnya jauh melebihi masa-masa sebelumnya. Berat dugaan bahwa hal ini terjadi berkat maraknya kegiatan komunitas-komunias sastra yang berkembang di awal abad ini. Menurut catatan, di Jabodetabek saja ada sekitar 50-an kumunitas sastra.

Meriahnya publikasi puisi saat ini, tidaklah dengan sendirinya merupakan indikator bahwa tingkat kematangan dan kekuatan visi penulis (penyair) sekaligus tercapai dengan sempurna. Masing-masing berada dalam proses mengeksplorasi bakat dan kadar intelektualitas, walaupun tingkat kematangan puisi tidak harus tunduk pada kemudaan usia. Hal itu telah dibuktikan oleh Chairil Anwar pada zamannya.

Setelah redanya hiruk-pikuk puisi-puisi protes sosial di permulaan Era Reformasi, dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh lahirnya kumpulan puisi Binhad Nurrohmat, Kuda Ranjang. Penyair yang produktif ini juga nyaris memenangkan hadiah Khatulistiwa Award 2007 karena kumpulan puisinya Bau Betina merupakan salah satu dari 10 nominasi yang akhirnya dimenangkan Acep Zamzam Noor. Keistimewaan Binhad barangkali dari kejeliannya memilih garapan tema kemanusiaan dengan pengucapan yang lebih intim dan selama ini dianggap nakal, seperti halnya Joko Pinurbo dengan sajak “Celana” dan “Sarung“-nya. Namun keduanya berbeda dalam pengucapan.

Angkatan muda usia yang sedang produktif menulis dan memublikasikan puisi saat ini, merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya yang telah menghindari tradisi sajak-sajak lirik yang memaksakan bunyi. Akan tetapi lirik-lirik panjang maupun pendek tetap saja berusaha membangun narasi-narasi profan yang tampaknya berusaha lebih bebas dalam mencapai kesan estetik. Meski demikian, capaian estetik puisi-puisi Indonesia mutakhir belumlah memperlihatkan perubahan yang besar atau suatu mainsteam yang kuat seperti kuatnya Chairil Anwar pada masa kehadirannya sebagai penyair modern Indonesia. Kuantitas dan keberagaman pengucapan bahasa lebih menonjol ketimbang capaian estetik puisi. Tampaknya, masa booming puisi hari ini akan melahirkan mainsteam yang baru. Siapa tahu?*



Padang, 30 April 2008

*) Makalah untuk Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi (makalah ini belum disunting)
**) Staf Pengajar Fakultas Bahasa Sastra dan Seni dan Pascasarjana Universitas Negeri Padang

1) Kompas, edisi Rabu 16 April 2008, halaman 12.
2) Sutardji Calzoum Bachri. Isyarat, kumpulan esai, hal. 3, penerbit Indonesiatera, Jogja 2007.
3) Ahmadun Yosi Herfanda, “Heterogenitas Puisi Indonesia Mutakhir,” http//dianing.wordpress.com/2007/06/12, diakses 18/1/2008.
4) Taufiq Ismail dkk.2002. Horison Sastra Indonesia (1) Kitab Puisi, hal.409. Jakarta:Horison/Ford Found.
5) Ruang Baca Koran Tempo, Edisi 30/10/2005 melalui http//jokpin.blogspot.com diakses 1/17/2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar