Kamis, 07 April 2011

KAJIAN BUDAYA HERU EMKA: JALAN PEDANG HANS JALADARA

Apakah Anda pernah membaca komik Panji Tengkorak karya Hans Jaladara (Versi II, 15 jilid, 568 halaman. UP. Prasidha, Jakarta, 1985) ? Bagaimana Anda menafsirkan jalan hidup pendekar kelana yang menyembunyikan wajahnya dalam topeng berbentuk tengkorak ini ? Bagi saya, perjalanan hidup seorang Panji Tengkorak mirip mitos Sisifus, manusia-setengah-dewa yang dengan tabah menempuh hidup sebagai hukuman, dan menghadapi kekesia-siaan sebagai bagian dari hidupnya.

Bila Sisifus – yang saya baca dari penafsiran Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, Penguin Modern Classics, 1980 - berani membocorkan rahasia dewa dan ikut campur tangan dalam menentukan nasih manusia,- maka Panji Tengkorak adalah figur seorang pendekar kelana yang menghayati takdir hidupnya di Jalan Pedang. Karena ingin mengubur identitas dan masa silamnya yang pahit, lelaki yang mengenakan mengenakan topeng tengkorak ini memutuskan untuk mengembara kemana saja sambil menyeret peti mati isterinya (Nesia), karena pendekar ini sudah bersumpah setia tak akan meninggalkan isterinya, dalam keadaan hidup atau mati (Panji Tengkorak, jilid 15. hal 551.)

Yang membuat hidup Panji mirip dengan Sisifus adalah rentetan kesia-siaan serta absurditas yang mengiringi Panji sepanjang hidupnya. Isu tentang buku rahasia ilmu silat yang dimilikinya tak saja membuat Panji selalu diintai bahaya, namun juga merenggut jiwa Murni, kekasihnya. Padahal buku itu sengaja dirobek-robek oleh panji, karena dianggap tak ada gunanya. Jalan Pedang yang ditempuh Panji sebagai seorang pendekar tak saja membuatnya bertarung melawan berbagai penjahat – termasuk perompak dari Jepang – termasuk Kebo Beok, gembong penjahat yang ternyata punya kaitan dengan asal usul Panji yang serba kabur.


Kelebat pedang dan cinta yang absurd

Jalan Pedang ini ternyata juga diwarnai beberapa kisah cinta yang tak kalah absurd di tengah kelebat pedang dan semburan darah. Inilah kebolehan Hans Jaladara sebagai komikus, dalam soal merangkai cerita. Tak kurang dari empat perempuan cantik dengan beragam karakter menaruh hati pada Panji.

Yang pertama adalah Mariani, adik Brajanata, lelaki yang terbunuh oleh Panji dalam sebuah duel di tengah jembatan (Jilid I hal 15). Yang kedua adalah Dewi Bunga, pendekar cantik yang mencari Panji untuk membalas dendam karena ayahnya Lakadana, juga terbunuh di tangan Panji. Yang ketiga Andini, pendekar cantik yang telengas namun rela mengorbankan jiwanya untuk Panji, bahkan setelah dia tahu bila cintanya terhadap Panji ternyata bertepuk sebelah tangan ( Jilid 14, hal 482). Yang terakhir, Nesia si mawar liar, yang dibesarkan oleh tokoh jahat Datuk Muka Hitam. Cinta Nesia inilah yang paling posesif , sehingga dia menggunakan segala cara, termasuk meracun Mariani dan memaksa Panjji bersumpah setia padanya bila ingin mendapatkan penawar racun itu.

Semua pernyataan cinta ini terasa absurd karena Panji harus memilih langkah yang paling tak membahagiakan dirinya. Kepada Mariani, perempuan lugu yang paling dicintai, karena wajah dan tubuhnya begitu mirip dengan Murni, mendiang kekasih Panji dulu, pendekar ini harus menyatakan penolakannya, karena terlanjur bersumpah setia pada Nesia, wanita yang sebenarnya justru dibenci oleh Panji. Adakah Mariani mengerti bahwa pengingkaran Panji ini terjadi karena Panji ingin menyelamatkan jiwa Mariani ? Dan kenapa sebuah Panji tak berani menyatakan cintanya yang tumbuh diam-diam untuk Mariani ? Dan kenapa Panji lebih memilih menyeret peti mati di sepanjang jalan hidup yang penuh dengan kelebat pedang ?

Apakah Panji merasa kebahagiaan dan kedamaian yang didambakan semua orang sebagai sesuatu yang absurd dan sia-sia dijalani oleh seorang pendekar pedang seperti dirinya ? Apalagi bayang-bayang gelap sejarah masa silamnya, kelahiran dan masa kanak-kanaknya yang terbungkus kabut misteri, terkuakkan dengan sebuah tragedi yang menyakitkan ketika dalam sebuah duel yang menentukan, penjahat besar Kebo Beok mengakui bila Panji adalah anak yang lama terpisah dengannya.

Narasi kehidupan pahit Panji Tengkorak ini membuat saya memahami apa yang diucapkan Camus tentang Sisyphus, bahwa penderitaan membuat tokoh ini lebih hebat daripada takdirnya, lebih kuat dari batu, alat penghukumnya. “ ..he is superior to his fate. He is stronger than his rock.” – tulis Camus dalam The Myth of Sisyphus, hal 109. Mungkin Camus meyakini bahwa kebahagiaan akan muncul hanya dari berbagai penemuan yang absurd ( …that happiness necessarily springs from the absurd discovery.) namun bagi Panji, kematian orang yang dicintai (Murni) membuat dirinya hampir gila dan nekat menempuh hidup di Jalan Pedang. Ajal Andini dan Nesia, yang mengorbankan diri dengan cara berbeda, serta rasa aib sebagai anak penjahat Kebo Beok, bahkan membuat Panji hampir bunuh diri.

Menempuh Jalan Pedang sambil menyeret peti mati, bukankah ini tak ubahnya menyongsong ajal dalam hidup yang absurd ? Hans Jaladara sendiri tak melukiskan gejolak batin Panji, kecuali diakhir komik Panji tengkorak ini dia menuliskan narasi;” Laki-laki itu menyeret-nyeret peti jenasah ghadis yang dibencinya, tapi yang mencintai dirinya….Apakah Panji akhirnya berbahagia ? Entahlah. Namun Albert Camus di akhir esainya tentang Sisifus menuliskan,” One must imagine Sisyphus happy.”

Nafas man hua dan anakronisme

Yang menarik, Hans Jaladara termasuk komikus dengan nafas kreatifitas yang panjang. Banyak komikus di Indonesia, namun biasanya mereka hanya bisa disebut sebagai ‘tukang gambar’ saja, karena mereka biasanya kedodoran dalam kemampuan merangkai cerita. Dari sisi ini nampak kelebihan Hans Jaladara sebagai seorang komikus. Pembacanya tak saja terkesan oleh gambar-gambar ekspresif yang ditampilkannya : pertarungan berdarah yang seru , aneka gerakan silat yang ‘benar’, adegan yang filmis, wajah para tokohnya yang ekspresif.

Semua gambar itu tumbuh dalam bingkai kisah yang mengalir, dengan berbagai kelokan yang cukup mengejutkan, beberapa penggalan yang membuat pembaca penasaran, dan adegan kilas balik yang menyimpan jawaban. Kisah seru Panji Tengkorak ternyata diimbangi dengan beberapa karya lain yang tak kalah menarik, seperti Walet Merah (16 jilid, 1969), Si Rase Terbang (8 jilid, 1969) dan sekuelnya yang berjudul Pandu Wilantara (9 jilid, 1977)

Walet Merah mengisahkan sepak terjang Warti, adik Mariani, yang sudah berubah menjadi perempuan sakti berbaju merah, sehingga mendapat julukan si Walet Merah. Dari sini saya melihat berbagai faktor yang sepertinya mempengaruhi komik silat Hans Jaladara. Pendekar wanita Walet Merah misalnya, kemunculannya agak bersamaan . dengan pendekar wanita yang berjuluk Walet Emas dalam sebuah film silat Hong Kong yang berjudul Come Drink With Me. Kebetulan DVD film silat keluarah Shaw Brothers ini juga menjadi bagian dari koleksi film silat saya.

Dalam film yang disutradarai oleh King Hu ini (sudah dirilis ulang oleh Shaw Brothers dalam bentuk VCD dan DVD), juga ada tokoh pengemis sakti yang dijuluki Kucing Mabuk. Dalam komik Walet Merah juga ada Kucing Mabuk, yang juga seorang pengemis sakti,- walau karakter dan alur kisah mereka berdua berbeda. Ini menunjukkan adanya faktor reminiscence atau pengaruh yang terjadi tanpa disadari, atas film silat Hong Kong atau cerita silat Cina atau komik silat man hua.

Nafas man hua ini terasa sekali dalam komik silat Hans Jaladara. Salah satu ilmu meringankan tubuh pendekar Pandu Wilantara si Rase Terbang, yakni ilmu terbang di atas rumput, mirip dengan ilmu Thio Bu Kie dalam kisah silat Golok Pembunuh Naga. Bahkan ada beberapa narasi dalam komik silat Hans yang alurnya mirip dengan bagian dari kisah silat Cina seperti Liang I Shen. Tokoh Panji Tengkorak bisa jadi diilhami oleh kekaguman Hans Jaladara terhadap pendekar kay pang (kaum pengemis) atau pendekar kelana seperti Zatoichi. Bahkan senjata Panji Tengkorak bukanlah pedang atau golok konvensional, di tempatkan dalam sarungnya, namun berupa bilah panjan

Walau bukan ganjalan besar, dalam komik Hans Jaladara terjadi jugta beberapa anakronisme. Misalnya dalam Panji Tengkorak, sejak awal dikisahkan Panji duduk di bawah pohon di tepian sungai Cikande ( jilid I, hal 2), di kawasan Pasundan. Namun Panji menunjukkan tingkah yang tak lazim di daerah Pasundan, pergi menyeret peti jenasah. Peti jenasah adalah idiom budaya Barat. Belakangan Panji, eh…Hans Jaladara mengakui adegan ini terpengaruh film koboi spagheti berjudul A Coffin for Django, yang dibintangi Giulianno Gemma. Bahkah Hans mengakui bila wajah Panji adalah wajah sang aktor koboi-spaghetti.

Bila Zatoichi punya profesi pemijat keliling, Panji Tengkorak walau berpakaian pengemis yang compang-camping, tak pernah nampak mengemis. Beberapa ankronisme lain seperti sebuah gua di kawasan Pasundan yang ternyata merupakan jalan lain menuju alam pra-sejarah, yang oleh Hans di sebut Alas Purba yang masih dihuni Tyranosaurus Rex. Namun saya bisa memahami bahwa alur kisah ini dipakai Hans sebagai legitimasi peningkatan ilmu silat Panji, karena di Alas Purba ini dia bertemu Harimau Bertangan Sakti, tokoh tua yang menurunkan tenaga dalam ‘yang sudah dilatih seratus tahun’ kepada Panji.

Yang menarik, Hans punya ide mengesankan. Pada sekuel Rase Terbang berikutnya; Pandu Wilantara, dia mengisahkan sang pendekar menderita amnesia, akibat luka parah yang didapat dari sebuah pertarungan. Dia hidup dalam identitas baru sebagai lelaki tanpa nama, yang dijuluki Jembros karena cambangnya yang tumbuh lebat. Djembros ini tak menyadari bila dirinya menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Bagaimanapun juga Hans Jaladara seharusnya punya tempat yang istimewa dalam blantika komik Indonesia. Dan saya cukup senang melihat Hans kembali berkarya, saat komik terbarunya; Intan Permata Rimba, menghiasi harian Suara Merdeka. Namun sebagai pembaca setia Hans sejak tahun ’60-an, goresan Hans kali ini nampak encer sekali. Jauh dari gambar-gambarnya dulu yang ekspresif dan kaya detil. Apakah dikau sudah lelah, Hans ?



- Naskah ini menjadi bagian dari bukuku tentang budaya pop dan gaya hidup;
- Nietzsche di Tengah Mall ( 2011) yang akan diterbitkan -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar