Kamis, 07 April 2011

Catatan TSI 1 di Jambi: PALEMBANG HARUS BELAJAR PADA JAMBI

Oleh Purhendi

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi (7—11 Juli 2008) telah berlalu. Namun gaungnya masih terasa. Ada cengkrama yang tetap hangat. Ada silang sengketa soal karya sastra. Ada juga gagasan cemerlang ke masa depan. Sastrawan generasi terkini sampai yang sudah gaek masih juga hadir. Beberapa nama sastrawan yang sudah tidak asing lagi di antaranya yaitu L.K. Ara, Putu Wijaya, Sunaryono Basuki, Hamsad Rangkuti, Yvone de Fretes, Diah Hadaning, Tan Lioe Ie, dan lain-lain. Lantas, makna apa yang dapat diambil, terutama oleh para pekerja sastra di Palembang (Sumatra Selatan)?

Acara TSI yang telah menghadirkan sekitar 164 sastrawan dari berbagai pelosok tanah air tersebut tentulah hasil kerja keras segenap panitianya (ketua pelaksana Dr. Sudaryono, M.Pd. alias penyair Dimas Arika Mihardja) serta para pejabat di jajaran pemerintahan Jambi. Kekompakan mereka tampak dari kesigapan panitia dalam berbagai mata acara serta berbagai fasilitas yang digunakan untuk kegiatan. Hal ini, barangkali, di antara sesuatu yang harus dipelajari oleh para seniman/sastrawan di Palembang (Sumsel) di masa yang akan datang. Ini bukan tanpa alasan. Sebab, pada tahun 2010 nanti, melalui usulan rekan penyair Anwar Putra Bayu, Palembang telah direkomendasikan sebagai penyelenggara TSI. Sedangkan tahun 2009, daerah Bangka Belitung yang akan menjadi tuan rumah, melalui perpanjangan tangan rekan sastrwan Sunli Thomas Alexander, yang belum lama ini menjadi mualaf.

Dari TSI di Jambi tersebut, selain merekomendasikan Bangka Belitung dan Sumsel untuk menjadi penyelenggara berikutnya, juga menghasilkan beberapa keputusan lain, di antaranya sebagai berikut. Pertama, daerah penyelenggara berikutnya boleh melaksanakan kegiatan dengan tema dan sistem yang berbeda, terutama dikaitkan dengan keaktualan pada masa tersebut. Akan tetapi, nama TSI tetap dicantumkan sebagai wujud keberlanjutan dari acara di Jambi.

Kedua, perlu dibentuk sebuah wadah advokasi sastra sebagai upaya pembelaan terhadap para sastrawan yang mungkin saja mengalami intimidasi dari pihak-pihak tertentu secara sepihak. Dari beberapa nama wadah yang diusulkan kemudian disepakati nama ASI (Aliansi Sastra Indonesia).

Di malam pertama, saat pembukaan, diluncurkan dua antologi, yaitu Senarai Batanghari (cerpen) dan Tanah Pilih (puisi). Hari berikutnya, pada sesi-sesi persidangan, barangkali perlu dicari formula atau tema yang kekinian. Sebab bagi para sastrawan, materi-materi yang tersaji tampaknya bukan merupakan informasi baru. Banyak materi yang secara tidak langsung sudah dipahami oleh para peserta. Maklum, rata-rata yang hadir dapatlah dikatakan sastrawan ‘senior’. Walau demikian, tetap saja hal tersebut merupakan sesuatu yang menarik, baik sebagai informasi terdokumen masa kini maupun penambahan ide serta pola pikir untuk kegaiatn yang akan datang. Apalagi acara di Jambi merupkan TSI pertama yang mungkin saja masih dicari dan dikembangkan formula-formulanya secara khusus.

Adapun materi-materi persidangan yang disampaikan oleh para pemakalah lumayan padat. Pada hari kedua (hari pertama khusus cek in), misalnya, materi yang tersaji yaitu “Capaian Estetik Puisi Indonesia” oleh Haris Effendi Thahar, “Capaian Estetik Prosa Indonesia” oleh Sunaryono Basuki K.S., “Pengajaran Sastra Indonesia dan Regenerasi Sastrawan” oleh Suminto A. Sayuti, “Regenerasi Sastrawan Indonesia: Problema dan Solusi” oleh Korrie Layun Rampan, “Tradisi Kritik dalam Masyarakat Antikritik” oleh Hary S. Sarjono, “Dinamika Kritik Sastra Indonesia” oleh Ahda Imran, dan “Regenerasi Kritikus Sastra Indonesia” oleh Afrizal Malna dan Maizar Karim. Sedangkan materi persidangan pada hari ketiga meliputi “Kebijakan Surat Kabar dan Majalah dalam Publikasi Karya Sastra Indonesia” oleh Ahmadun Yosi Herfanda, “Kebijakan Penerbit dalam Publikasi Karya Sastra Indonesia” oleh Kartini Nurdin, “HAKI untuk Karya Sastra Indonesia” oleh Abdul Bari Azed, “Advokasi Sastra dan Sastrawan Indonesia” oleh Fadlillah, dan “Wadah Sastrawan Indonesia: Filosofi dan Organisasi” oleh Acep Zamzam Noor.

Sebagai acara para sastrawan, setiap malam selama TSI ini tentu saja dikhususkan untuk dan oleh para sastrawan (dan masyarakat umun, tentu). Ada pembacaan puisi, pembacaan cerpen, monolog (Putu Wijaya), musikalisasi puisi, sastra tradisi/tutur, serta beberapa tari tradisional oleh masyarakat. Semua acara malam pesta sastrawan ini dilaksanakan di panggung terbuka Dewan Kesenian Jambi.

Hal lain yang juga menarik dari TSI ini yaitu adanya materi khusus untuk para guru, mahasiswa, dan penulis pemula, yaitu workshop penulisan kritik sastra di kantor Balai Bahasa Provinsi Jambi. Materi yang disajikan dalam dua hari ini dikomandani oleh sastrawan Maman S. Mahayana dan Agus R. Sarjono. Sedangkan pada hari terakhir diselenggarakan paket wisata ke situs percandian di Muaro Jambi.

Pesta sastra di Jambi memang telah usai, namun pesta sastra lainnya ke depan masih akan berlanjut. Palembang (Sumsel) dan segenap sastrawannya harus siap untuk melaksanakan hajatan dua tahun ke depan di 2010. Penulis (Purhendi), Anwar Putra Bayu, Koko P.Bhairawa, dan Jajang R. Kawentar, sebagai sastrawan yang telah diundang tentunya telah melihat dan merasakan langsung bagaimana denyut kegiatan sastra secara nasional itu. Tentu telah ada bekal yang dibawa. Telah ada pula rencana yang diinginkan. Juga ada idealisme yang hendak diwujudkan. Tinggal bagaimana nanti, mampukan terjalin kebersamaan antara para sastrawan di Palembang (Sumsel) serta para pemegang kebijakan di daerah ini yang konon merupakan daerah terkaya ke-5 secara nasional? Mampukah daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan dan lumbung energi ini melaksanakan hajatan yang bernama sastra? Kita tunggu saja. Semoga, harus, dan pasti bisa!

Palembang, Juli 2008

Catatan: tulisan ini telah dimuat pada surat kabar Berita Pagi (Palembang) edisi Minggu, 20 Juli 2008

PURHENDI. Lahir di Desa Banjaran (Jateng), 11 Maret 1968. Menamatkan FKIP Unsri jurusan Bahasa Indonesia tahun 1993. Telah 20 tahun turut mengisi dunia sastra di Sumatra Selatan dan menjadi guru Bahasa Indonesia di berbagai SMP dan SMA, juga di berbagai bimbingan belajar di Palembang/Sumatra Selatan. Menulis cerpen, puisi, dan esai di berbagai media massa ibu kota dan daerah. Di antaranya pernah dimuat di Horison, Femina, Republika, Media Indonesia, Harian Ekonomi Neraca, Album Cerpen, Asah Asih Asuh, Romansa, Annida, Ceria Remaja, Anita Cemerlang, Lampung Post, Singgalang, Taruna Baru, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Transparan, Suara Rakyat Semesta, Detak Jakarta, Monica, Berita Pagi, Palembang Ekspres, dll. Lebih dari 20 bukunya sudah terbit, baik yang berupa kumpulan puisi, cerpen, maupun esai, baik tunggal maupun bersama. Telah lebih dari 20 kali pula memenangkan sayembara penulisan cerpen, puisi, dan esai, baik tingkat lokal maupun nasional. Sejak awal September 2008, hijrah ke kampung halaman di Desa Banjaran bersama keluarga.

1 komentar:

  1. Kenangan terakhir setelah mengisi dunia sastra di Palembang sekitar 20 tahun. Terima kasih dan salam kangen untuk semua.

    BalasHapus