Sabtu, 11 Februari 2012

SESAYAT SAJAK AYAT DALAM NAFAS CINTA


Catatan: Dimas Arika Mihardja

KENAPA dalam sajak-sajak yang saya tulis di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM) dalam sehari ini saya gunakan diksi “ayat”? Apakah puisi itu sendiri dapat dipandang sebagai “ayat” (ayat dalam tanda petik)? Apakah manusia penyair saat menulis syair berkeinginan menyamai kehebatan Allah saat menurutkan kitab yang secaraa fisik hadir sebagai ayat-ayat? Terkait dengan pertanyaan ini dapat dikemukakan bahwa pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Seni puisi itu dipandang sebagai sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebab watak  seni puisi menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah.

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya. Dalam perspektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu,secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.

Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair selalu tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi. dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti. Puisi-puisi yang saya tulis dalam sehari ini, terus terang berada dalam konteks puisi dalam dimensi Ilahiah, personaal, dan sosial sebagai bentuk pengungkapan cinta. Seperti apakah realisasi rasa dan sikap cinta puisi-puisi saya hari ini? Inilah sesayat sajak ayat dalam nafas cinta sebagai silayurahmi batiniah dan spiritual. Selamat menikmati.


AYAT 745, MENCINTAIMU

mencintaimu, kutahu tak harus menciumimu
sebagai aroma mawar, engkau tercium saat sepi
terkulum oleh bibir penuh senyum

mencintaimu, kau tahu tak harus memuja dan memuji
sebab Dia sangat besar dan tak perlu disanjung puji
sanjunganmu itu hanya untukmu sendiri
"sedang dengan cermin aku  enggan berbagi", ujar chairil
sembari menggigil oleh dera rasa cinta yang menuba

mencintaimu, kutahu serupa warna hati
saat sunyi menyileti dan waktu mengendap
di palung senyap: semata mencintai
serupa warna hati

bpsm, 11/02/2012

AYAT 746 BENGKEL PENUH OLI
: Arther Panther Oli

apakah engkau masih takut kotor? begitu seru semak
dan perdu depan bengkel. telah kutmpung asap knalpot
debu dan bau tumpahan solar setiap hari di sini
aku masih tersenyum memandang kelebat bayang keraguan

apakah engkau masih malu-malu? begitu sapa pintu kayu
masuklah dan tak usah membuka sendal jepit
ada satpam memang, namun janganlah gamang
untuk berlepotan debu

apakah engkau masih meragu? begitu sapa bayu
sembari bersijingkat di atas berkas-berkas puisi belum jadi
lalu angin itu menyampaikan kabar ke benua yang jauh
bahwa di sini tak hanya keluh

bpsm, 2012

AYAT 477 SETANGKAI MAWAR PUTIH
: Luluk Andrayani

di dinding bengkel tertulis grafiti:
ber-217-an, maka di ujung sana adalah tujuan
arah darah merah meraih hati merah

ayunan langkah adalah ritus ibadah
di atas tanah amanah, menulis puisi di atas kertas
lalu dibentuk menjadi perahu yang lalu dihanyutkan
di deras samudera

kelak, perahu itu kembali merapat di pelabuhan
dan senja akan begitu temaram sebab tak lagi berpelangi
melainkan hanya senyum kelopak mawar putih
yang mekar beraroma

bpsm, 2012

AYAT 478 MENIKMATI LUKISAN
: Nabila Dewi Gayatri

menikmati lukisan memandang puisi pada garis dan warna
kumenemu cahaya di atas pelipisku, lalu aku tersipu
merangkak serupa siput menjumput lumut dan ganggang
mengambang di tengah kolam, penuh ikanikan

aku sungguh ingin belajar jadi teratai putih
hidup di tengah lumpur pekat yang urat akarnya kuat
mencengkeram hakikat, aku akan tumbuh di air
terus berbunga tanpa aroma

menikmati lukisan dan menyelam di kedalaman kolam
aku njelma ikan-ikan yang tak lelah berenang
dan menyelam di kedalaman palung terdalam
sebelum pada akhirnya diam mendekap keabadian

bpsm, 2012

AYAT 479 MERINDU WINDU
: Windu Mandela

jika engkau jagoanku, jadilah gatotkaca
lahir disaksikana para dewa kahyangan

jika  engkau anakku, jadilah doa-doa
melesat membelah langit ke lapisan paling atas

jika engkau ingin menjadi, jadilah puisi
abadi mendekap luka dan nyeri mencintai

bpsm, 2012

AYAT 480 CINTA SEMATA
: Muhammad 'aldy' Rinaldy & Muhammad Rois Rinaldi

ini kali tak ada yang terperangkap hehe, hei ada layang-layang
putus benang, melayang lalu tersangkuit di tali jemuran
kikira begini nanti jadinya, kau dan dia akan bersama, bersapa
sedang aku terus memanen senja dengan satu pilihan warna

cemara menderai sampai jauh, kata chairil sembari menggigil
memanggil-manggil nama kalian untuk diajukan sebuah pertanyaan
"puisi apakah jalan sesaat menuju ke kebenaran?"

kalian lalu terpaku. termangu depan pintu
ragu meneruskan jejak kaki itu; ini kali tak ada
yang terperangkap hehe, hei, telah kukirim surat kilat khusus
untuk-nya, semoga sampai dan terpahami

bpsm, 2012

AYAT 481 SAAAT MATAHARI MERENDAH
: Astry Anjani

kutahu, engkau jatuh hati pada bianglala senja
seperti kelopak bunga rekah, pasrah demi lebah
memutikkan benangsari, menebar wangi

kutahu, sajak bisu tak selamanya diam
sebab hati akan terus bernyanyi dan mengaji
mengkaji warna pelangi

kutahu, engkau teresipu memandang kerut langit
merengut lalu merenggut warna yang kausuka
lalu seperti sajak bisu, senyum melulu
meluluhkan beku saat cuaca begitu dingin

bpas, 2012

AYAT 482 KERIS DAN TOMBAK
: Kanjeng Senopati

di atas batu gilang, jangan kaupecahkan lagi dahimu
keris, tombaak, dan kuda paling perkasa
menanti dan menanatang berperang melawan diri
dan kesejatian

di atas segala kesunyian, terus kaunyanyikan
lirih jiwa dalam kembara menuju muara

kanjeng, hubuskan keris dan tombak itu
peris di dada jin setan peri kahyangan

bpsm, 2012


Nafas dan laafaz cinta, tentu saja harus menjadi senyawa di dalam diri yang mempribadi. Sebuah pribadi, meski samar, dapat dilacak sebagai jejak sajak. Sesayat sajak ayat dalam nafas cinta telah kudedahkan sebagai sebentuk silaturahmi batiniah dan spiritualitas. Apakah nafas yang terlafazkan akan memberikan makna? Apakah keagungana dan kenggunan bangunan cinta semata bertumpu pada kebutuhan fisikal semata? Tidak kukira. Kukira, hakikat kesejatian cinta ialah memberi tanpa pamrih, tanpa berharap tepuk tangan, apalagi kesombongan. Apakah yang pantas disombongkan bagi diri yang berlepotan debu, telah kempong peot secara fisik? Tidak ada sebentuk kepongahan jika sehari ini jemariku dengan deras menuntunku untuk menuiskan sajak-sajak ini. Semoga berkenan dan mencerahkan.

Salam DAM, 123 sayang semuanya
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 11/02/2012
Menjelang valentine’s day

Tidak ada komentar:

Posting Komentar