Jumat, 10 Februari 2012

ADA NUH DALAM "SAJAK YANG MENGAJAK MELACAK JEJAK KEMBARA"

Esai: Usup Supriyadi

Nuh adalah salah satu nama seorang utusan Tuhan yang diceritakan dalam Taurat, Alkitab, dan Al-Qur'an. Jadi, hampir semua agama samawi mengenal sosok yang satu ini. Dalam dunia perpuisian kehadiran Nuh itu memiliki banyak makna, dan bukan hal yang baru. Misalnya saja, sajak “Hanya Satu”(1937) Amir Hamzah, “Kapal Nuh” (1957) dan “Nuh” (1972) Subagio Sastrowardojo, “Nuh” (1978) Sutardji Calzoum Bachri, “Perahu Kertas” (1982) dan “Pokok Kayu” (2000) Sapardi Djoko Damono, “Balada Nabi Nuh” (1994) Taufiq Ismail, “Numpang Perahu Nuh” (1996) Dorothea Rosa Herliany, “Nuh” (1998) Goenawan Mohamad, dan “Bahtera Nuh” (1999) A.D. Donggo, dan yang teranyar ialah Dimas Arika Mihardja (2011) "Sajak Yang Mengajak Melacak Jejak Kembara." Kalau saya melihat sajak-sajak tersebut, saya jadi ingat kata seseorang tentang para orientalis, "tidak akan dikatakan orientalis kalau belum membahas soal Muhammad Rasulullah." Dan, dalam puisi ternyata tidak hanya Muhammad Rasulullah, tapi yang lebih kerap dihadirkan (bukan sekadar sosok, tapi untuk penimbulan makna) ialah Nuh. Hampir semua penyair, khususnya mereka yang sudah dikenal semisal yang saya sebutkan di atas juga menghadirkan Nuh dalam puisi mereka, malah ada yang jadikannya sebagai judul.

Nah, puisi yang coba hendak saya ulas ialah yang teranyar, sebab saya dapati kalau yang lainnya itu sudah ada yang mengulasnya-walaupun tidak ada larangan untuk mengulas puisi yang sudah diulas oleh orang lain, ya mungkin nanti. Berikut ini kutipan lengkap sajak Dimas Arika Mihardja yang dimaksud:

SAJAK YANG MENGAJAK MELACAK JEJAK
KEMBARA

SAJAK YANG MENGAJAK

sajak yang mengajak serupa kelopak bunga
merekahkan aneka makna; warna mimpi
puja-puji di sepanjang jalan menuju taman

sebuah bunga mengorak warna
di pusara makna, di makam peradaban
sebuah sajak yang tak hendak menanam pesan
melainkan semata kebajikan

sajakku hendaklah lahir dari dzikir
alam pikir dan aliran air bening
menuju muara dipertautan samodera dera

MELACAK JEJAK

camar gemetar di tiang layar
mengeja makna bendera yang berkibar
mengabarkan asal muasal perjalanan perahu:
Nuh!


KEMBARA

sebagai gelombang cinta, sajakku mengembara
melacak jejak wangi bunga

sajakku mengajak kaki-kaki telanjang
pergi menuju pulang menempuh gelinjang

sajak yang mengajak
mengajuk pada geriap senyap


2011


Sekilas, kalau saya baca sajak ini menimbulkan bentuk nilai rasa dari si penyair terhadap (yang harus ada dan dilakukan dalam proses) kepenyairannya. Bahwa "sajak yang mengajak serupa kelopak bunga" itu "merekahkan aneka makna" hingga menghadirkan "warna mimpi" dan bukan sekadar "sebuah sajak yang tak hendak menanam pesan" "melainkan semata kebajikan" maka untuk mencapai yang "semata kebajikan" itu kata Dimas Arika Mihardja, seharusnya, "sajakku hendaklah lahir dari dzikir" (ejaan yang tepat ialah zikir), maka teranglah bagi kita bahwa "puja-puji" itu lahir dari zikir yang memantikkan daya pikir yang menuntut daya ukir yang terkadang itu adalah hasil dari sebuah upaya pergelutan "menuju muara dipertautan samodera dera" (ejaan yang tepat ialah samudra).

dengan langkah tersebut, maka ia serupa "camar gematar di tiang layar" ketika "melacak jejak" hasil karya maupun tingkah laku hidupnya yang telah lalu dengan jalan "mengeja makna" dari segala peristiwa yang umpama "bendera yang berkibar" seperti seseorang yang "mengabarkan asal muasal perjalanan" kehidupan ini yang laiknya "perahu." Dan timbullah tanya gusar, bagaimana nasibnya dalam "Nuh!"?

namun, dengan adanya "alam pikir dan aliran air bening" yang ternyata "sebagai gelombang cinta" maka harapnya "sajakku mengembara melacak jejak wangi bunga" sampai di sini, saya rasa hadirnya Nuh dalam sajak Dimas Arika Mihardja ini adalah sebuah kabar gembira bahwa siapa saja yang menaiki bahtera Nuh dalam kehidupan dan persajakkannya, maksudnya ialah berorientasi demi sebuah "semata kebajikan" atau bisa pula yang memang memenuhi struktural dan atau asas dulce et utile (menyenangkan dan berguna) hingga laik disebut sebuah karya sastra, dan tentu jika kita tilik kisah Nuh bagi yang tidak naik bahteranya ternyata tidak selamat. Tentu tidak akan benar-benar gelisah dan gusar sebab ia (dalam hal ini sajak yang lahir) dan atau kita ada dalam jalan yang benar di mana kita diajaknya untuk "telanjang" kaki dalam artian melepaskan atribut keduniaan yang bersifat matrealisme termasuk melepaskan segala motif yang tidak patut dalam kepenyairan, misalnya demi sebuah nama besar dan lainnya. Hingga kita bisa "pergi menuju pulang" dengan perasaan "gelinjang" atau sukacita tanpa beban; sebuah kepuasaan batin. Dan, "sajak yang mengajak" atau yang baik itu menjadikan kita "mengajuk pada geriap senyap" yakni persepsi dan resepsi yang mengurai lepaskan tentang sebuah senyap atau kesenyapan dari sebuah rasa. Itulah yang bisa saya tangkap dalam sajak Dimas Arika Mihardja tersebut, sebuah sajak yang lahir dari sebuah napak tilas yang menghasilkan sebuah harap di mana itu membuktikan bahwa yang bersangkutan masih berkeinginan kuat untuk tetap berkarya lebih baik lagi, tidak hanya itu, sajaknya tersebut sebagai puisi lirik begitu melagu dengan memesonanya. Bila merujuk pada judul esai ini, maka harapan saya bahwa sebuah puisi yang lahir itu harus ada nuh di dalamnya agar bisa dikatakan sajak yang mengajak melacak jejak kembara.

Salam.

Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar