(Sebuah Renungan Puisi Dimas Arika Mihardja)
Oleh Hamberan Syahbana
Pada saat saya membaca Antologi Puisi Karya Penyair Nusantara
SENJA DI BATAS KATA Beranda Rumah Cinta 52th Dimas Arika Mihardja (DAM)
ini, saya bukan saja menikmati puisi 66 Penyair Nusantara, tetapi juga
secara khusus saya sangat menikmati puisi DAM yang disajikan sebagai
sajian penutup. Yang lebih mengejutkan saya ternyata puisi-puisi tsb
dibuat secara khusus dengan kemasan Three in one. Saya sebut three in one karena dalam setiap satu judul puisi terdiri atas 3 subjudul. Misalnya puisi yang berjudul PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN.
Puisi ini walaupun hanya satu judul tetapi batang-tubuhnya terdiri dari
3 subbagian di bawah 3 subjudul. Subjudul yang pertama adalah PUISI UNTUK KEKASIH, yang ke dua SEBAGAI NARASI dan subjudul yang ke tiga adalah KELAHIRAN.
Sajian Penutup buku antologi ini bersisi 18 buah puisi DAM yang
semua judulnya ditulis dengan huruf kapital. Ke 18 puisi tsb. adalah
1. PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN
2. USAI PESTA ENGKAU MASIH BERDOA DI KEGELAPAN
3. 24 KARAT NIKAH ILALANG SAAT BERJALAN KE BARAT
4. TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI,
5. PERSIAPAN ISRA’ MI’RAJ DI BAITURRAHIM
6. MENDULANG EMAS DI BATANGHARI MEMANEN CEMAS,
7. TRILOGI SAJAK DAM TENTANG BERANGKAT
8. DANCING SOULS FOR YESSIKA
9. PUISI YANG MINTA DITULIS-LISANKAN SENDIRI SAAT SEPI MENYILETI
10. MORATORIUM DI MURAL KOTA BIARLAH BUNGA MEKAR
11. MENUNGGU KELAHIRAN LUKISAN YANG KE SEKIAN
12. DI TEPI MUSI SAAT MUSIM DURIAN MEMANDANG REMBULAN
13. DARI KOTA KE KATA MELUKIS WARNA DI TAMAN
14. NYANYIAN PENGEMBARA DI STASIUN KOTA JELANG SENJA
15. MENANTI KERETA DI STASIUN PENGHABISAN
16. SEPASANG ANGSA DI BAWAH POHON ANGSANA SAAT MENGURAI CINTA,
17. DI PERON TANPA NEON MERINDU BAYANGMU
18. SAJAK YANG MENGAJAK MELACAK JEJAK KEMBARA,
Ketika saya menikmati sambil menelisik dan mencermati secara
saksama ke 18 puisi tsb. saya pun tertegun. Ada sebuah puisi yang
menarik dan begitu menyentuh jiwa saya, menggugah sekaligus membuat
semakin dalam rasa hormat saya terhadap Mas DAM. Puisi tsb. adalah puisi
ke 4 yang berjudul TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI
[TKMPDM] Mengapa? Karena aku beranggapan bahwa puisi ini adalah sifat
dan sikap kerendah-hatian DAM dalam menyalurkan bakat dan minat
penulis-penulis puisi plus membinanya dengan semboyan 3A-nya bagi
penulis-penulis yang menapaki dunia perpuisian melalui dunia maya. Dalam
hal ini sosok yang biasa saya sebut Mas DAM ini, dia menempatkan
dirinya hanya sebagai Tukang Kebun di Bengkel Puisi
Swadaya Mandiri (BPSM) yang dirintisnya sejak seperempat abad yang lalu.
Kini BPSM telah berkembang menjadi sebuah taman bunga, kebun bunga yang
indah semerbak mewangi. Yang di dalamnya tumbuh subur berbagai jenis
bunga yang bernama puisi. Yang mengingatkanku pada lirik-lirik dalam
sebuah lagu:
Lihat kebunku, penuh dengan bunga
Ada yang merah dan dan yang putih
Setiap hari kusiram senua
Mawar melati semuanya indah
Kini di BPSM ini bukan hanya penyair yang ada di tanah air
tetapi juga yang ada nun jauh di luar sana. Dari penyair pemula yang
baru menetas sampai penyair yang sudah jadi. Dari yang baru belajar
sampai yang sudah tingkatan Empu. Dari yang empiris otodidak sampai yang
akademis. Kini di sini tergabung para penyair, apresiator, motivator,
penikmat, penyuka, pembimbing, penyelia, essais dan kritikus dalam dunia
perpuisian. Anggota BPSM ini benar-benar lintas usia, lintas profesi
dan bahkan lintas negara.
Ibarat sebuah kebun di BPSM ini sejatinya dialah Sang Pemilik
kebun. Di BPSM ini dialah pemiliknya, dialah direktur utama. Tetapi
dengan segala ketulusan dan kerendahan hatinya di sini ia hanya
menyatakan dirinya sebagai ’Tukang kebun yang menanam puisi di atas
mimpi’.
***
TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI
[TUKANG KEBUN]
haruskah mengenal bahasa cangkul, saat bulan sabit
memotong kumis dalam bayang remang
menanam biji matahari dalam asuhan angin
dan musim pancaroba
mencangkul hari
merawat serangan serangga
dan gulma
tukang kebun itu pun ngungun
sebab hasil panen penuh ulat bulu
cantik di kulit, busuk di daging
[MENANAM PUISI]
di bayang matahari pagi
biji-biji puisi ditanam, ditancapkan
berbaris dalam untaian bait
menjeritkan lapar
sebiji puisi tumbuh
diasuh angin utara
selarik baris duka
menyapa-nyapa
[DI ATAS MIMPI]
tukang kebun ngungun sendiri
biji puisi yang ditanam semalaman
layu menjelang subuh
sebiji mimpi tersesat
di arus deras
saat bangun
engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang
2012
***
Puisi TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI ini tampil dengan tipografi konvensional yang dikemas dalam tatanan three in one.
Sebuah puisi yang batang tubuhnya terdiri 3 subgagasan atau subjudul
yang seluruh lariknya berjumlah 26. Subjudul yang pertama adalah TUKANG KEBUN terdiri dari 10 larik dalam bait 1 bait 2 dan bait 3. Subjudul yang ke dua adalah MENANAM PUISI terdiri dari 8 larik dalam bait 4, bait 5 dan bait 6. Dan subjudul yang ke tiga adalah DI ATAS MIMPI yang terdiri dari 8 larik dalam bait 7, bait 8 dan bait 9.
Sebagai penyuka dan penikmat puisi yang bukan kritikus, tentu
aku sangat menikmati puisi ini. Ibarat seporsi makanan, maka puisi ini
adalah sajian yang enak dipandang mata, sedap aromanya, gurih renyahnya
dan lezat rasanya. Ini kurasakan ketika kubaca, baik dalam silent reading, maupun reading aloud, lebih-lebih lagi dalam poetry reading,
semuanya menyentuh dan menggugah hatiku. Mengapa? Karena dimasak dengan
menggunakan bahan dan bumbu pilihan yang lengkap dan proporsional.
Sebagai penikmat puisi, aku merasakan betapa nikmatnya puisi
ini. Seporsi puisi yang lezat. Lezat judulnya, lezat diksi dan
ungkapan-ungkapannya, lezat bunyi, rima dan ritmenya, lezat imaji dan
majasnya, dan lezat pula tema, amanat dan pesan moralnya. Memang awalnya
sebagai penyuka rima dalam sebuah puisi, aku merasa kecewa.
Karena sepintas lalu dalam puisi ini tidak ada rima. Sepintas lalu Mas
DAM ini tidak peduli dan tidak terpengaruh dengan kekuatan rima.
Tentu bukan rima yang kaku dan dipaksakan, tetapi rima yang tepat saji
dan proposional. Bukankah kehadiran rima dalam sebuah puisi juga bisa
membentuk dan meningkatkan irama musikalitas sebuah puisi? Bukankah
irama dan musikalitas dalam puisi itu turut memperkaya dan memperindah
sebuah puisi? Rima dan ritme yang dikemas dengan manis tepat saji dan
proporsional, tentu akan menambah daya tarik bagi pembaca, plus sama dahsyat dan menariknya dengan kekuatan imaji dan majas. Perlu diingat bahwa daya tarik itu adalah gerbang utama untuk membaca dan menghayati serta mencermati sebuah puisi.
Setelah kubaca berulang kali lalu kucermati dan kuhayati
sedalam-dalamnya, ternyata bagiku rima itu nampak jelas dalam puisi ini.
Meski tidak semuanya di akhir larik. Kalau tidak di akhir larik [rima akhir] tentulah adanya di awal larik [rima awal] atau bisa juga berada di tengah-tengah larik [rima tengah]. Bahkan ada yang tersembunyi di dalam untaian sebuah larik dalam bentuk asonansi dan aliterasi. Memang begitulah adanya, belakangan ini sebagian penulis jarang menggunakan rima akhir
dalam sebuah puisi, tetapi secara cerdas menggunakannya bervariasi.
Demikian pula dengan puisi TKMPDM karya DAM ini. Untuk itu marilah kita
cermati penggalan puisi ini dalam subjudul yang pertama berikut ini.
TUKANG KEBUN
haruskah mengenal bahasa cangkul, saat bulan sabit
memotong kumis dalam bayang remang
menanam biji matahari dalam asuhan angin
dan musim pancaroba
mencangkul hari
merawat serangan serangga
dan gulma
tukang kebun itu pun ngungun
sebab hasil panen penuh ulat bulu
cantik di kulit, busuk di daging
Membaca judulnya tentu kita mengira penggalan puisi ini akan
membicarakan tentang tukang kebun dan hal-hal yang berkaitan dengan
kebun itu sendiri. Ternyata tidak. Sebab dalam kehidupan nyata
sehari-hari, pasti kita tidak akan menemui tukang kebun yang menanam biji matahari dalam asuhan angin. Demikian pula dengan tukang kebun yang mencangkul hari,
Mana ada tukang kebun yang seperti itu. Berarti tukang kebun di sini
bukan arti yang sebenarnya, tetapi tukang kebun dalam arti kiasan.
Karena bait 1, 2 dan bait 3 ini dibawah subjudul TUKANG KEBUN maka diksi dan ungkapan yang disajikan pun berkaitan dengan kebun. Hal ini ditandai dengan ungkapan cangkul, menanam biji, mencangkul, serangga dan gulma, hasil panen dan klausa hasil panen penuh ulat bulu.
Bagi pembaca yang menyukai diksi dan ungkapan yang puitis, bait-bait
ini juga diperindah dan diperkuat dengan ungkapan-ungkapan yang puitis.
Hal ini ditandai dengan ungkapan-ungkapan mengenal bahasa cangkul
saat bulan sabit, bayang remang, menanam biji matahari dalam asuhan
angin, mencangkul hati, cantik di kulit, busuk di daging.
Penggalan puisi ini diawali dengan majas retoris, yaitu salah satu majas penegasan
yang menegaskan sesuatu dengan menggunakan ungkapan pertanyaan yang
jawabannya sudah diketahui. Hal ini ditandai dengan untaian larik
pembuka haruskah mengenal bahasa cangkul, sasat bulan sabit. Klausa mengenal bahasa cangkul mengingatkan kita pada klausa mencangkul tanah yang maksudnya menggemburkan tanah sebelum bibit ditanam. Frasa bahasa cangkul di sini maksudnya adalah pengetahuan pola dan tehnik mencangkul untuk menggemburkan tanah garapan. Dalam konteks puisi ini klausa mengenal bahasa cangkul
maknanya adalah mengetahui pola dan tekhnik dalam upaya menggalakkan
apresiasi dan sosialisasi puisi di masayarakat. Sedangkan frasa bulan sabit
mengingatkan kita pada masa atau waktu di awal-awal bulan. Dalam
konteks puisi ini maknanya adalah agar tindakan menggalakkan apresiasi
dan sosialisasi puisi itu dilaksanakan secara dini, yakni melalui dunia
pendidikan.
Berikutnya ada ungkapan memotong kumis dalam bayang remang. Klausa memotong kumis
secara denotatif maknanya adalah menata wajah menjadi lebih bersih dan
tanpan, menarik dan berwibawa. Secara konotatif maknanya adalah
mengupayakan ketertarikan masyarakat terhadap dunia puisi. Sedangkan dalam bayang remang
maknanya adalah masa abu-abu, di mana kehadiran puisi di tengah
masyarakat tidak begitu nampak terlihat. Dengan kata lain keberadaan
puisi di tengah-tengah masyarakat pembaca antara ada dan tiada, terhalang oleh bacaan lain yang lebih menarik perhatian bagi pembaca. Sungguh ironis sekali.
Berikutnya ada majas hiperbola salah satu majas
penegasan yang untuk menegaskan sesuatu menggunakan ungkapan yang
berlebihan. Hal ini ditandai dengan ungkapan menanam biji matahari dalam asuhan angin. Matahari adalah sumber cahaya dan sumber energi. Ungkapan menanam biji matahari
maknanya adalah menyiapkan generasi penulis puisi yang mampu
menciptakan puisi yang memuisi, puisi yang mampu memberi cahaya dalam
kegelapan dan puisi yang mampu menjadi inspirasi dalam kehidupan.
Sedangkan ungkapan dalam asuhan angin maknanya adalah dalam
keadaan terombang ambing terbawa angin pancaroba yang turut menghambat
upaya mempersiapkan generasi penyair yang memuisi. Inilah yang membuat
si tukang kebun menjadi ngungun dalam upaya mempersiapkan, membina dan
merawat bibit penyair secara bersama-sama di BPSM dengan moto saling
asah asuh dan asih.
Di bait 2 ada ungkapan mencangkul hari, merawat serangga dan gulma. Klausa mencangkul hari
maknanya adalah memanfaatkan waktu secara optimal. Di bengkel ini, atau
di kebun ini tak ada waktu yang terbuang percuma. Dengan jumlah
anggotanya yang membeludak, maka tiap detik selalu bermunculan tulisan
tulisan berupa puisi, apresiasi, essei, kritik dan diskusi sastra
minggguan. Berikutnya ada ungkapan merawat serangan serangga dan gulma. Dalam konteks ini maksudnya adalah merawat dan menjaga tanaman bunga-bunga dari hama yang menyerangnya. Frasa serangan serangga
maknanya adalah gangguan yang datang dari luar, sedangkan gulma adalah
gangguan yang datang dari dalam sesama anggota sendiri. Keduanya perlu
dihandle sesuai dengan cara dan porsinya masing-masing. Bisa diajak
bicara baik-baik secara persuasif, diberi saran dan anjuran yang
mencerahkan. Yang tidak bisa diajak bicara tentu akan hilang sendirinya
mencari lapak lain yang lebih sesuai dengan visi dan misinya
masing-masing dalam upaya mematangkan kekaryaannya. Secara khusus makna
konotatif dari mencangkul hari, merawat serangan serangga dan gulma
adalah tak ada waktu yang terbuang percuma, setiap waktu selalu siap
melayani mengayomi dan membina dan sharing berbagi pengalaman sesama
anggita bengkel. Kalau bukan oleh si tukang kebun sendiri tentulah ada
anggota lainnya yang memfungsikan diri sebagai pengganti si tukang
kebun.
Sepintas lalu pada penggalan puisi ini nampaknya memang tidak
terdapat rima. Tetapi setelah dicermati dengan saksama ternyata di bait 1
ada rima awal yang ada di awal larik. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi [me] di awal larik pada kata memotong di larik 2 yang bersajak dengan kata menanam di larik 3. Di sini juga ada rima tengah yang ditanda dengan mengulangan kata [dalam] secara utuh pada klausa dalam bayang remang yang bersajak dengan klausa dalam asuhan angin. Di sini juga ada pengulangan bunyi sengau [ng] dalam larik 2 pada kata bayang yang bersajak dengan kata remang.
Di bait 2 juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi [me] pada kata
mencangkul di larik 4 yang bersajak dengan kata merawat di larik 5. Di sini juga ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata merawat, serangan dan kata serangga. Berikutnya di sini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata serangga di larik 5 dan kata gulma di larik 7.
Penggalan pusi ini ditutup dengan ungkapan tukang kebun itu pun ngungun sebab hasil panen penuh ulat bulu cantik di kulit, busuk di daging. Di larik 8 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata tukang yang bersajak dengan kata kebun, itu, pun dan kata ngungun.
Pengulangan-pengulangan tsb selain membentuk rima juga membentuk ritme
atau irama yang terasa nikmatnya ketika puisi ini dibaca.
Frasa hasil panen penuh ulat bulu cantik di kulit busuk di daging
di sini adalah produksi puisi yang matang di luar kosong di dalam,
indah dalam permainan kata tapi gelap bahkan busuk dalam tema dan amanat
pesan moralnya. Bagi puisi yang belum matang tentu masih memerlukan
revisi dan penyuntingan. Bukan berarti puisi yang sudah ada ini tidak
ada yang baik. Memang banyak yang sudah baik, bahkan ada juga yang layak
tayang. Tetapi banyak juga yang masih memerlukan perawatan, bahkan ada
yang harus dimatikan dan dimusnahkan atau dibakar. Puisi-puisi yang
memerlukan perawatan akan dirawat dengan baik dengan cara penyiraman,
pemupukan dan pemeliharaan melalui revisi dan reparasi. Sedangkan puisi
yang cantik di kulit dan busuk di daging, adalah puisi yang indah pada
tatanan kata tetapi tema dan pesan moralnya bisa menyesatkan bagi yang
tak mampu menghadapinya. Karena di samping berisi ungkapan yang
memancing birahi, juga bisa menginspirasi dan menyeret kepada hal-hal
negatif yang tak diinginkan.
Sepintas lalu penggalan puisi ini memperlihatkan sikap
pesimistis, karena penyajian ungkapan yang ditata dalam imaji auditif
dan imaji visual memperlihatkan kegalauan dan kecemasan. Membaca
penggalan puisi kita seakan benar-benar mendengar dan melihat tukang
kebun itu mengeluh dengan tampang yang galau. Padahal tidak demikian
adanya. Ungkapan yang ada di sini boleh dikata sebagai kegalauan hati
tukang kebun dalam menyikapi keberadaan kebun yang dirawatnya. Justru
kegalauan inilah yang menjadi motivasi penggugah dan pemicu serta
pembakar semangat untuk lebih bersemangat lagi. Dan tentunya masih tetap
dalam koridor asah-asuh-asih.
***
MENANAM PUISI
di bayang matahari pagi
biji-biji puisi ditanam, ditancapkan
berbaris dalam untaian bait
menjeritkan lapar
sebiji puisi tumbuh
diasuh angin utara
selarik baris duka
menyapa-nyapa
Penggalan puisi di bawah subjudul MENANAM PUISI ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan tanam-menanam. Hal ini ditandai dengan kata biji-biji, ditanam, ditancapkan, sebiji dan kata tumbuh. Larik-larik puisi ini juga diperindah dan diperkuat dengan diksi dan ungkapan puitis. Hal ini ditandai dengan di bayang matahari pagi, biji-biji puisi, ditanam ditancap berbaris dalam untaian bait, sebiji puisi tumbuh, diasuh angin utara dan ungkapan selarik baris duka menyapa-nyapa.
Marilah kita nikmati keindahan larik-lariknya yang begitu puitis ini. Di bayang matahari pagi, biji-biji puisi ditanam, ditancapkan berbaris dalam untaian bait, menjeritkan lapar. Frasa matahari pagi adalah sebagai sumber energi.
Dalam konteks penciptaan puisi ungkapan ini maknanya adalah energi atau
motivasi awal dalam mencipta sebuah puisi. Sedangkan ungkapan biji-biji puisi maknanya adalah diksi dan ungkapan puitis yang digunakan sebagai bahan dasar membuat sebuah puisi. Berikutnya klausa ditanam, ditancapkan dalam untaian bait maksudnya ditata menjadi larik-larik puisi, yang kemudian ditata lagi menjadi satu dalam beberapa bait. Sedangkan ungkapan menjeritkan lapar maknanya adalah puisi yang diciptakan itu mengungkapkan perasaan cemas dan khawatir yang dikiaskan dengan kata lapar.
Bait-bait ini sepenuhnya dibangun dengan ritme yang
terbentuk dari pengulangan bunyi vokal dan konsonan di semua
larik-lariknya. Diawali dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan
bunyi [di] pada kata di bayang, ditanam, ditancapkaan dan pada kata diasuh.
Marilah kita baca dan kita rasakan betapa indahnya irama yang mengalun
pada bunyi vokal [i] yang terdengar berulang-ulang pada kata di
bayang, matahari pagi, biji-biji puisi, ditanam, ditancapkan, berbaris
dalam untaian bait, menjeritkan, sebiji puisi tumbuh, diasuh angin, dan frasa selarik baris.
Puisi ini diperindah dengan pengulangan bunyi konsonan [b] ada kata biji-biji di awal larik 12 yang bersajak dengan kata berbaris-baris di awal larik 13 yang membentuk rima awal. Di sini juga ada pengulangan bunyi konsonan [d] pada kata ditanam dan kata ditancapkan
sama-sama di larik 12. Pengulangan bunyi konsonan [d] membentuk rima di
awal baris. Berikutnya, seandainya bait 5 disatukan dengan bait 6 kita
dapat melihat rima awal terbentuk dari pengulangan bunyi [se] pada kata sebiji di larik 15 yang bersajak dengan kata selarik di larik 17. Kemudian di larik 16, 17 dan 18 ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata utara, duka dan pada kata menyapa-nyapa.
Bait-bait ini juga diperindah dengan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan untaian bait menjeritkan lapar, sebiji puisi tumbuh diasuh angin utara, selarik baris duka menyapa-menyapa. Bukan itu saja, ternyata bait ini juga menyajikan imaji visual
yang begitu puitis. Tentu saja ini bukan visual secara kesat mata,
tetapi nampak begitu puitis secara surealis. Di mana pembaca seakan
benar-benar melihat seseorang sedang menanam biji-biji puisi. Ia
menancapkannya berbaris-baris dalam untaian bait, sembari menjerit
merintih menahan rasa lapar. Dan puisi itupun tumbuh diasuh angin utara.
Telah tercipta selarik puisi duka menyapa-nyapa.
***
DI ATAS MIMPI
tukang kebun ngungun sendiri
biji puisi yang ditanam semalaman
layu menjelang subuh
sebiji mimpi tersesat
di arus deras
saat bangun
engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang
Penggalan puisi ini berada di bawah subjudul DI ATAS MIMPI. Kata mimpi mengingatkan kita pada kata mimpi buruk dan kata impian. Mimpi buruk maksudnya adalah sesuatu yang mencemaskan, mengkhawatirkan bahkan menakutkan. Sedangkan kata impian
maksudnya adalah semacam obsesi yaitu sesuatu yang diinginkan. Setelah
kita cermati apa yang diungkapkan di sini lebih mendekati kepada mimpi buruk yang mencemaskan dan mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat ada ungkapan yang digunakan, yaitu tukang
kebun ngungun sendiri, biji puisi yang ditanam semalaman layu menjelang
subuh, sebiji tersesat di arus deras, saat bangun engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang.
Bait-bait puisi di atas dibangun dengan rima yang ada dalam
satu baris. Di larik 19 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi
[un] dan bunyi [ngun] pada kata kebun yang bersajak dengan kata ngungun. Di larik 20 ada rima yang terbentuk dari pengungalan bunyi konsonan [m] pada kata ditanam dan semalaman. Berikutnya di larik 22 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] dan konsonan [s] pada kata sebiji yang bersajak dengan kata tersesat. Berikutnya dsi larik 23 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan [s] dan [r] pada kata arus yang bersajak dengan kata deras. Selanjutnya ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [ngun] pada kata bangun di larik 24 yang bersajak dengan kata ngungun di larik 25. Dan terakhir di larik 26 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi sengau [ang] pada kata memandang yang bersajak dengan kata kerontang.
Sama dengan bait-bait terdahulu, di sini juga ada imaji visual
dalam bentuk surealis. Terbayang seakan jelas terlihat di pelupuk mata,
seorang tukang kebun ngungun sendiri melihat biji puisi yang ditanam
semalaman ternyata layu menjelang subuh. Bahkan ada sebiji puisi yang
larut di arus deras. Jelas dalam pangan surealis kita melihat pada saat
tukang kebun itu bangun dari tidurnya, ia masih ngungun memandang lahan
yang begitu kerontang.
Ungkapan biji puisi yang ditanam semalaman, layu menjelang subuh
maknanya adalah puisi yang telah diciptakan berhari-hari,
berminggu-minggu bahkan berbulan itu, ternyata gagal sebelum
dipublikasikan. Tidak ada media yang mau memuat puisi itu. Dan yang
telah selesai menjadi draft buku antologi, ternyata tak ada penerbit
yang mau menerbitkannya. Atau mungkin juga ketika draft antologi itu
diterbitkaan secara mandiri, ketika dipublikasikan tidak mendapat
aresiasi dari masyarakat. Dengan kata lain tidak mampu menarik minat,
tidak mampu menggugah pembaca. Karena mungkin karena tak ada dukungan
dan tak ada apresiasi dari masyarakat luas, selain dari sesama komunitas
penulis dan segelintir penyuka dan pemerhati puisi.
Berikutnya ada ungkapan sebiji mimpi tersesat di arus deras
maknanya adalah satu dua di antaranya ada yang terjerumus ke dalam
puisi yang tak diinginkan, yakni secara sengaja atau tak sengaja,
ternyata mengikuti jiwa dan keinginan kemunitas arus deras. Ungkapan komunitas arus deras di sini maksudnya adalah para penggemar dan penyuka fornografi, pornoaksi dan lain-lain sejenisnya.
Akhirnya puisi ini ditutup dengan ungkapan saat bangun, engkau masih ngungun memandang lahan begitu kerontang. Ungkapan lahan begitu kerontang
mengingatkan kita pada sebidang tanah garapan yang kering kerontang, di
mana berbagai jenis tanaman tak bisa tumbuh di sana. Dalam konteks ini
yang dimaksud dengan lahan begitu kerontang adalah apresiasi masyarakat terhadap puisi yang begitu menyedihkan.
Dengan kata lain tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi sangatlah
rendah. Maka puisi yang sudah tercipta pada umumnya tak akan mendapat
tempat di hati masyarakat, kecuali di hati sesama penyairt dan
segelintir penyuka dan pemerhati puisi.
***
Puisi three in one Dimas Arika Mihardja ini berjudul TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI.
Puisi ini mengungkapkan tentang kegalauan, kecemasan dan kekhawatiran
seorang tukang kebun atas apa yang telah terjadi di kebun puisinya.
Karena hasil panen dari kebun puisi yang dipelihara dan dirawatnya
ternyata tidak memuaskan. Tukang kebun itu pun ngungun sebab hasil
panennya penuh ulat bulu. Cantik di kulit, busuk di daging. Biji puisi
yang ditanamnya semalaman itu, ternyata telah layu saat menjelang subuh.
Rupanya semua itu adalah mimpi buruk yang tersesat di arus deras. Saat
bangun, tukang kebun itu masih ngungun memandang lahan yang begitu
kerontang.
Pada tataran mikro, tukang kebun di sini adalah pemilik BPSM itu
sendiri. Sedangkan pada tataran makro tukang kebun itu bisa siapa saja,
yang tengah bergulat menanam puisi di lahan apresiasi yang masih
kerontang. Yaitu para penyair yang sedang berjuang menulis puisi yang
memuisi, penyair yang menciptakan puisi yang mampu memberi cahaya dalam
kegelapan dan penyair yang menciptakan puisi yang mampu menginspirasi
dalam kehidupan di lahan apresiasi yang masih gersang klering kerontang.
Ia adalah para penulis puisi yang masih termangu di tengah apresiasi
masyarakat yang masih rendah.
Semuanya itu adalah mimpi buruk dalam dunia perpusian.
Pertanyaannya adalah: Apakah kita harus menyerah kepada keadaan?
Jawabannya tentu adalah ”tidak!”. Kita boleh menerima kenyataan itu,
tetapi tidak boleh menyerah. Di balik ungkapan yang tersurat ada
keinginan yang tersirat. Di dalam puisi ini tersirat sebuah tekad untuk
tetap berjuang, dalam keadaan bagaimanapun kita tetap menulis. Kita
tetap berjuang melalui jalur puisi. Itulah amanat dan pesan moral yang
tersirat dalam puisi ini.
Banjarmasin, Awal Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar