Rabu, 06 Juni 2012

TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI

(Sebuah Renungan Puisi Dimas Arika Mihardja)
Oleh Hamberan Syahbana

     Pada saat  saya membaca Antologi Puisi Karya Penyair Nusantara SENJA DI BATAS KATA Beranda Rumah Cinta 52th Dimas Arika Mihardja (DAM) ini, saya bukan saja menikmati puisi 66 Penyair Nusantara, tetapi juga secara khusus saya sangat menikmati puisi DAM yang disajikan sebagai sajian penutup. Yang lebih mengejutkan saya ternyata puisi-puisi tsb dibuat secara khusus dengan kemasan Three in one. Saya sebut three in one karena dalam setiap satu judul puisi terdiri atas 3 subjudul. Misalnya puisi yang berjudul PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN. Puisi ini walaupun hanya satu judul tetapi batang-tubuhnya terdiri dari 3 subbagian di bawah 3 subjudul. Subjudul yang pertama adalah PUISI UNTUK KEKASIH, yang ke dua SEBAGAI NARASI dan subjudul yang ke tiga adalah KELAHIRAN
     Sajian Penutup buku antologi ini bersisi 18 buah puisi DAM yang semua judulnya ditulis dengan huruf kapital. Ke 18 puisi tsb. adalah

1. PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN
2. USAI PESTA ENGKAU MASIH BERDOA DI KEGELAPAN
3. 24 KARAT NIKAH ILALANG SAAT BERJALAN KE BARAT
4. TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI,
5. PERSIAPAN ISRA’ MI’RAJ DI BAITURRAHIM
6. MENDULANG EMAS DI BATANGHARI MEMANEN CEMAS,
7. TRILOGI SAJAK DAM TENTANG BERANGKAT
8. DANCING SOULS FOR YESSIKA
9. PUISI YANG MINTA DITULIS-LISANKAN SENDIRI SAAT SEPI MENYILETI
10. MORATORIUM DI MURAL KOTA BIARLAH BUNGA MEKAR
11. MENUNGGU KELAHIRAN LUKISAN YANG KE SEKIAN
12. DI TEPI MUSI SAAT MUSIM DURIAN MEMANDANG REMBULAN
13. DARI KOTA KE KATA MELUKIS WARNA DI TAMAN
14. NYANYIAN PENGEMBARA DI STASIUN KOTA JELANG SENJA
15. MENANTI KERETA DI STASIUN PENGHABISAN
16. SEPASANG ANGSA DI BAWAH POHON ANGSANA SAAT MENGURAI CINTA,
17. DI PERON TANPA NEON MERINDU BAYANGMU
18. SAJAK YANG MENGAJAK MELACAK JEJAK KEMBARA,

      Ketika saya menikmati sambil menelisik dan mencermati secara saksama ke 18 puisi tsb. saya pun tertegun. Ada sebuah puisi yang menarik dan begitu menyentuh jiwa saya, menggugah sekaligus membuat semakin dalam rasa hormat saya terhadap Mas DAM. Puisi tsb. adalah puisi ke 4 yang berjudul TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI [TKMPDM] Mengapa? Karena aku beranggapan bahwa puisi ini adalah sifat dan sikap kerendah-hatian DAM dalam menyalurkan bakat dan minat penulis-penulis puisi plus membinanya dengan semboyan 3A-nya bagi penulis-penulis yang menapaki dunia perpuisian melalui dunia maya. Dalam hal ini sosok yang biasa saya sebut Mas DAM ini, dia menempatkan dirinya hanya sebagai Tukang Kebun di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM) yang dirintisnya sejak seperempat abad yang lalu. Kini BPSM telah berkembang menjadi sebuah taman bunga, kebun bunga yang indah semerbak mewangi. Yang di dalamnya tumbuh subur berbagai jenis bunga yang bernama puisi. Yang mengingatkanku pada lirik-lirik dalam sebuah lagu:

Lihat kebunku, penuh dengan bunga
Ada yang merah dan dan yang putih
Setiap hari kusiram senua
Mawar melati semuanya indah

      Kini di BPSM ini bukan hanya penyair yang ada di tanah air tetapi juga yang ada nun jauh di luar sana. Dari penyair pemula yang baru menetas sampai penyair yang sudah jadi. Dari yang baru belajar sampai yang sudah tingkatan Empu. Dari yang empiris otodidak sampai yang akademis. Kini di sini tergabung para penyair, apresiator, motivator, penikmat, penyuka, pembimbing, penyelia, essais dan kritikus dalam dunia perpuisian. Anggota BPSM ini benar-benar lintas usia, lintas profesi dan bahkan lintas negara. 
      Ibarat sebuah kebun di BPSM ini sejatinya dialah Sang Pemilik kebun. Di BPSM ini dialah pemiliknya, dialah direktur utama. Tetapi dengan segala ketulusan dan kerendahan hatinya di sini ia hanya menyatakan dirinya sebagai ’Tukang kebun yang menanam puisi di atas mimpi’.
***

TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI

[TUKANG KEBUN]

haruskah mengenal bahasa cangkul, saat bulan sabit
memotong kumis dalam bayang remang
menanam biji matahari dalam asuhan angin
dan musim pancaroba

mencangkul hari
merawat serangan serangga
dan gulma

tukang kebun itu pun ngungun
sebab hasil panen penuh ulat bulu
cantik di kulit, busuk di daging

[MENANAM PUISI]

di bayang matahari pagi
biji-biji puisi ditanam, ditancapkan
berbaris dalam untaian bait
menjeritkan lapar

sebiji puisi tumbuh
diasuh angin utara

selarik baris duka
menyapa-nyapa

[DI ATAS MIMPI]

tukang kebun ngungun sendiri
biji puisi yang ditanam semalaman
layu menjelang subuh

sebiji mimpi tersesat
di arus deras

saat bangun
engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang

2012
***

      Puisi TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI ini tampil dengan tipografi konvensional yang dikemas dalam tatanan three in one. Sebuah puisi yang batang tubuhnya terdiri 3 subgagasan atau subjudul yang seluruh lariknya berjumlah 26. Subjudul yang pertama adalah TUKANG KEBUN terdiri dari 10 larik dalam bait 1 bait 2 dan bait 3. Subjudul yang ke dua adalah MENANAM PUISI terdiri dari 8 larik dalam bait 4, bait 5 dan bait 6. Dan subjudul yang ke tiga adalah DI ATAS MIMPI yang terdiri dari 8 larik dalam bait 7, bait 8 dan bait 9.
      Sebagai penyuka dan penikmat puisi yang bukan kritikus, tentu aku sangat menikmati puisi ini. Ibarat seporsi makanan, maka puisi ini adalah sajian yang enak dipandang mata, sedap aromanya, gurih renyahnya dan lezat rasanya. Ini kurasakan ketika kubaca, baik dalam silent reading, maupun reading aloud, lebih-lebih lagi dalam poetry reading, semuanya menyentuh dan menggugah hatiku. Mengapa? Karena dimasak dengan menggunakan bahan dan bumbu pilihan yang lengkap dan proporsional.
      Sebagai penikmat puisi, aku merasakan betapa nikmatnya puisi ini. Seporsi puisi yang lezat. Lezat judulnya, lezat diksi dan ungkapan-ungkapannya, lezat bunyi, rima dan ritmenya, lezat imaji dan majasnya, dan lezat pula tema, amanat dan pesan moralnya. Memang awalnya sebagai penyuka rima dalam sebuah puisi, aku merasa kecewa. Karena sepintas lalu dalam puisi ini tidak ada rima. Sepintas lalu Mas DAM ini tidak peduli dan tidak terpengaruh dengan kekuatan rima. Tentu bukan rima yang kaku dan dipaksakan, tetapi rima yang tepat saji dan proposional. Bukankah kehadiran rima dalam sebuah puisi juga bisa membentuk dan meningkatkan irama musikalitas sebuah puisi? Bukankah irama dan musikalitas dalam puisi itu turut memperkaya dan memperindah sebuah puisi? Rima dan ritme yang dikemas dengan manis tepat saji dan proporsional, tentu akan menambah daya tarik bagi pembaca, plus sama dahsyat dan menariknya dengan kekuatan imaji dan majas. Perlu diingat bahwa daya tarik itu adalah gerbang utama untuk membaca dan menghayati serta  mencermati sebuah puisi.
      Setelah kubaca berulang kali lalu kucermati dan kuhayati sedalam-dalamnya, ternyata bagiku rima itu nampak jelas dalam puisi ini. Meski tidak semuanya di akhir larik. Kalau tidak di akhir larik [rima akhir] tentulah adanya di awal larik [rima awal] atau bisa juga berada di tengah-tengah larik [rima tengah]. Bahkan ada yang tersembunyi di dalam untaian sebuah larik dalam bentuk asonansi dan aliterasi. Memang begitulah adanya, belakangan ini sebagian penulis jarang menggunakan rima akhir dalam sebuah puisi, tetapi secara cerdas menggunakannya bervariasi. Demikian pula dengan puisi TKMPDM karya DAM ini. Untuk itu marilah kita cermati penggalan puisi ini dalam subjudul yang pertama berikut ini. 

TUKANG KEBUN

haruskah mengenal bahasa cangkul, saat bulan sabit
memotong kumis dalam bayang remang
menanam biji matahari dalam asuhan angin
dan musim pancaroba

mencangkul hari
merawat serangan serangga
dan gulma

tukang kebun itu pun ngungun
sebab hasil panen penuh ulat bulu
cantik di kulit, busuk di daging

     Membaca judulnya tentu kita mengira penggalan puisi ini akan membicarakan tentang tukang kebun dan hal-hal yang berkaitan dengan kebun itu sendiri. Ternyata tidak. Sebab dalam kehidupan nyata sehari-hari, pasti kita tidak akan menemui tukang kebun yang menanam biji matahari dalam asuhan angin. Demikian pula dengan tukang kebun yang mencangkul hari, Mana ada tukang kebun yang seperti itu. Berarti tukang kebun di sini bukan  arti yang sebenarnya, tetapi tukang kebun dalam arti kiasan.
      Karena bait 1, 2 dan bait 3 ini dibawah subjudul TUKANG KEBUN maka diksi dan ungkapan yang disajikan pun berkaitan dengan kebun. Hal ini ditandai dengan ungkapan cangkul, menanam biji, mencangkul, serangga dan gulma, hasil panen dan klausa hasil panen penuh ulat bulu. Bagi pembaca yang menyukai diksi dan ungkapan yang puitis, bait-bait ini juga diperindah dan diperkuat dengan ungkapan-ungkapan yang puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan-ungkapan mengenal bahasa cangkul saat bulan sabit, bayang remang, menanam biji matahari dalam asuhan angin, mencangkul hati, cantik di kulit, busuk di daging.
      Penggalan puisi ini diawali dengan majas retoris, yaitu salah satu majas penegasan yang menegaskan sesuatu dengan menggunakan ungkapan pertanyaan yang jawabannya sudah diketahui. Hal ini ditandai dengan untaian larik pembuka haruskah mengenal bahasa cangkul, sasat bulan sabit. Klausa mengenal bahasa cangkul mengingatkan kita pada klausa mencangkul tanah yang maksudnya menggemburkan tanah sebelum bibit ditanam. Frasa bahasa cangkul di sini maksudnya adalah pengetahuan pola dan tehnik mencangkul untuk menggemburkan tanah garapan. Dalam konteks puisi ini klausa mengenal bahasa cangkul maknanya adalah mengetahui pola dan tekhnik dalam upaya menggalakkan apresiasi dan sosialisasi puisi di masayarakat. Sedangkan frasa bulan sabit mengingatkan kita pada masa atau waktu di awal-awal bulan. Dalam konteks puisi ini maknanya adalah agar tindakan menggalakkan apresiasi dan sosialisasi puisi itu dilaksanakan secara dini, yakni melalui dunia pendidikan.
      Berikutnya ada ungkapan memotong kumis dalam bayang remang. Klausa memotong kumis secara denotatif maknanya adalah menata wajah menjadi lebih bersih dan tanpan, menarik dan berwibawa. Secara konotatif maknanya adalah mengupayakan ketertarikan masyarakat terhadap dunia puisi. Sedangkan dalam bayang remang maknanya adalah masa abu-abu, di mana kehadiran puisi di tengah masyarakat tidak begitu nampak terlihat. Dengan kata lain keberadaan puisi di tengah-tengah masyarakat pembaca antara ada dan tiada, terhalang oleh bacaan lain yang lebih menarik perhatian bagi pembaca. Sungguh ironis sekali.
      Berikutnya ada majas hiperbola salah satu majas penegasan yang untuk menegaskan sesuatu menggunakan ungkapan yang berlebihan. Hal ini ditandai dengan ungkapan menanam biji matahari dalam asuhan angin. Matahari adalah sumber cahaya dan sumber energi. Ungkapan menanam biji matahari maknanya adalah menyiapkan generasi penulis puisi yang mampu menciptakan puisi yang memuisi, puisi yang mampu memberi cahaya dalam kegelapan dan puisi yang mampu menjadi inspirasi dalam kehidupan. Sedangkan ungkapan dalam asuhan angin maknanya adalah dalam keadaan terombang ambing terbawa angin pancaroba yang turut menghambat upaya mempersiapkan generasi penyair yang memuisi. Inilah yang membuat si tukang kebun menjadi ngungun dalam upaya mempersiapkan, membina dan merawat bibit penyair secara bersama-sama di BPSM dengan moto saling asah asuh dan asih.

      Di bait 2 ada ungkapan mencangkul hari, merawat serangga dan gulma. Klausa mencangkul hari maknanya adalah memanfaatkan waktu secara optimal. Di bengkel ini, atau di kebun ini tak ada waktu yang terbuang percuma. Dengan jumlah anggotanya yang membeludak, maka tiap detik selalu bermunculan tulisan tulisan berupa puisi, apresiasi, essei, kritik dan diskusi sastra minggguan. Berikutnya ada ungkapan merawat serangan serangga dan gulma. Dalam konteks ini maksudnya adalah merawat dan menjaga tanaman bunga-bunga dari hama yang menyerangnya. Frasa serangan serangga maknanya adalah gangguan yang datang dari luar, sedangkan gulma adalah gangguan yang datang dari dalam sesama anggota sendiri. Keduanya perlu dihandle sesuai dengan cara dan porsinya masing-masing. Bisa diajak bicara baik-baik secara persuasif, diberi saran dan anjuran yang mencerahkan. Yang tidak bisa diajak bicara tentu akan hilang sendirinya mencari lapak lain yang lebih sesuai dengan  visi dan misinya masing-masing dalam upaya mematangkan kekaryaannya. Secara khusus makna konotatif dari mencangkul hari, merawat serangan serangga dan gulma adalah tak ada waktu yang terbuang percuma, setiap waktu selalu siap melayani mengayomi dan membina dan sharing berbagi pengalaman sesama anggita bengkel. Kalau bukan oleh si tukang kebun sendiri tentulah ada anggota lainnya yang memfungsikan diri sebagai pengganti si tukang kebun.
      Sepintas lalu pada penggalan puisi ini nampaknya memang tidak terdapat rima. Tetapi setelah dicermati dengan saksama ternyata di bait 1 ada rima awal yang ada di awal larik. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi [me] di awal larik pada kata memotong di larik 2 yang bersajak dengan kata menanam di larik 3.  Di sini juga ada rima tengah yang ditanda dengan mengulangan kata [dalam] secara utuh pada klausa dalam bayang remang yang bersajak dengan klausa dalam asuhan angin. Di sini juga ada pengulangan bunyi sengau [ng] dalam larik 2 pada kata bayang yang bersajak dengan kata remang.
       Di bait 2 juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi [me] pada kata
mencangkul di larik 4 yang bersajak dengan kata merawat di larik 5. Di sini juga ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata merawat, serangan dan kata serangga. Berikutnya di sini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata serangga di larik 5 dan kata gulma di larik 7. 
      Penggalan pusi ini ditutup dengan ungkapan tukang kebun itu pun ngungun sebab hasil panen penuh ulat bulu cantik di kulit, busuk di daging. Di larik 8 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata tukang yang bersajak dengan kata kebun, itu, pun dan kata ngungun. Pengulangan-pengulangan tsb selain membentuk rima juga membentuk ritme atau irama yang terasa nikmatnya ketika puisi ini dibaca.
      Frasa hasil panen penuh ulat bulu cantik di kulit busuk di daging di sini adalah produksi puisi yang matang di luar kosong di dalam, indah dalam permainan kata tapi gelap bahkan busuk dalam tema dan amanat pesan moralnya. Bagi puisi yang belum matang tentu masih memerlukan revisi dan penyuntingan. Bukan berarti puisi yang sudah ada ini tidak ada yang baik. Memang banyak yang sudah baik, bahkan ada juga yang layak tayang. Tetapi banyak juga yang masih memerlukan perawatan, bahkan ada yang harus dimatikan dan dimusnahkan atau dibakar. Puisi-puisi yang memerlukan perawatan akan dirawat dengan baik dengan cara penyiraman, pemupukan dan pemeliharaan melalui revisi dan reparasi. Sedangkan puisi yang cantik di kulit dan busuk di daging, adalah puisi yang indah pada tatanan kata tetapi tema dan pesan moralnya bisa menyesatkan bagi yang tak mampu menghadapinya. Karena di samping berisi ungkapan yang memancing birahi, juga bisa menginspirasi dan menyeret kepada hal-hal negatif yang tak diinginkan. 
      Sepintas lalu penggalan puisi ini memperlihatkan sikap pesimistis, karena penyajian ungkapan yang ditata dalam imaji auditif dan imaji visual memperlihatkan kegalauan dan kecemasan. Membaca penggalan puisi kita seakan benar-benar mendengar dan melihat tukang kebun itu mengeluh dengan tampang yang galau. Padahal tidak demikian adanya. Ungkapan yang ada di sini boleh dikata sebagai kegalauan hati tukang kebun dalam menyikapi keberadaan kebun yang dirawatnya. Justru kegalauan inilah yang menjadi motivasi penggugah dan pemicu serta pembakar semangat untuk lebih bersemangat lagi. Dan tentunya masih tetap dalam koridor asah-asuh-asih.    

***
MENANAM PUISI

di bayang matahari pagi
biji-biji puisi ditanam, ditancapkan
berbaris dalam untaian bait
menjeritkan lapar

sebiji puisi tumbuh
diasuh angin utara

selarik baris duka
menyapa-nyapa

      Penggalan puisi di bawah subjudul MENANAM PUISI ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan tanam-menanam. Hal ini ditandai dengan kata biji-biji, ditanam, ditancapkan, sebiji dan kata tumbuh. Larik-larik puisi ini juga diperindah dan diperkuat dengan diksi dan ungkapan puitis. Hal ini ditandai dengan di bayang matahari pagi, biji-biji puisi, ditanam ditancap berbaris dalam untaian bait, sebiji puisi tumbuh, diasuh angin utara dan ungkapan selarik baris duka menyapa-nyapa.
      Marilah kita nikmati keindahan larik-lariknya yang begitu puitis ini. Di bayang matahari pagi, biji-biji puisi ditanam, ditancapkan berbaris dalam untaian bait, menjeritkan lapar. Frasa matahari pagi adalah sebagai sumber energi. Dalam konteks penciptaan puisi ungkapan ini maknanya adalah energi atau motivasi awal dalam mencipta sebuah puisi. Sedangkan ungkapan biji-biji puisi maknanya adalah diksi dan ungkapan puitis yang digunakan sebagai bahan dasar membuat sebuah puisi. Berikutnya klausa ditanam, ditancapkan dalam untaian bait maksudnya ditata menjadi larik-larik puisi, yang kemudian ditata lagi menjadi satu dalam beberapa bait. Sedangkan ungkapan menjeritkan lapar maknanya adalah puisi yang diciptakan itu mengungkapkan perasaan cemas dan khawatir yang dikiaskan dengan kata lapar.
      Bait-bait ini sepenuhnya dibangun dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal dan konsonan di semua larik-lariknya. Diawali dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [di] pada kata di bayang, ditanam, ditancapkaan dan pada kata diasuh. Marilah kita baca dan kita rasakan betapa indahnya irama yang mengalun pada bunyi vokal [i] yang terdengar berulang-ulang pada kata di bayang, matahari pagi, biji-biji puisi, ditanam, ditancapkan, berbaris dalam untaian bait, menjeritkan, sebiji puisi tumbuh, diasuh angin, dan frasa selarik baris.
      Puisi ini diperindah dengan pengulangan bunyi konsonan [b] ada kata biji-biji di awal larik 12 yang bersajak dengan kata berbaris-baris di awal larik 13 yang membentuk rima awal. Di sini  juga ada pengulangan bunyi konsonan [d] pada kata ditanam dan kata ditancapkan sama-sama di larik 12. Pengulangan bunyi konsonan [d] membentuk rima di awal baris. Berikutnya, seandainya bait 5 disatukan dengan bait 6 kita dapat melihat rima awal terbentuk dari pengulangan bunyi [se] pada kata sebiji di larik 15 yang bersajak dengan kata selarik di larik 17. Kemudian di larik 16, 17 dan 18 ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata utara, duka dan pada kata menyapa-nyapa.
      Bait-bait ini juga diperindah dengan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan untaian bait menjeritkan lapar, sebiji puisi tumbuh diasuh angin utara, selarik  baris duka menyapa-menyapa. Bukan itu saja, ternyata bait ini juga menyajikan imaji visual yang begitu puitis. Tentu saja ini bukan visual secara kesat mata, tetapi nampak begitu puitis secara surealis. Di mana pembaca seakan benar-benar melihat seseorang sedang menanam biji-biji puisi. Ia menancapkannya berbaris-baris dalam untaian bait, sembari menjerit merintih menahan rasa lapar. Dan puisi itupun tumbuh diasuh angin utara. Telah tercipta selarik puisi duka menyapa-nyapa.
***

 DI ATAS MIMPI

tukang kebun ngungun sendiri
biji puisi yang ditanam semalaman
layu menjelang subuh

sebiji mimpi tersesat
di arus deras

saat bangun
engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang

      Penggalan puisi ini berada di bawah subjudul DI ATAS MIMPI. Kata mimpi mengingatkan kita pada kata mimpi buruk dan kata impian. Mimpi buruk maksudnya adalah sesuatu yang mencemaskan, mengkhawatirkan bahkan menakutkan. Sedangkan kata impian maksudnya adalah semacam obsesi yaitu sesuatu yang diinginkan. Setelah kita cermati apa yang diungkapkan di sini lebih mendekati kepada mimpi buruk yang mencemaskan dan mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat ada ungkapan yang digunakan, yaitu tukang kebun ngungun sendiri, biji puisi yang ditanam semalaman layu menjelang subuh, sebiji tersesat di arus deras, saat bangun engkau masih ngungun memandang lahan begitu kerontang.
      Bait-bait puisi di atas dibangun dengan rima yang ada dalam satu baris. Di larik 19 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi [un] dan bunyi [ngun] pada kata kebun yang bersajak dengan kata ngungun. Di larik 20 ada rima yang terbentuk dari pengungalan bunyi konsonan [m] pada kata ditanam dan semalaman. Berikutnya di larik 22 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] dan konsonan [s] pada kata sebiji yang bersajak dengan kata tersesat. Berikutnya dsi larik 23 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan [s] dan [r] pada kata arus yang bersajak dengan kata deras. Selanjutnya ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [ngun] pada kata bangun di larik 24 yang bersajak dengan kata ngungun di larik 25. Dan terakhir di larik 26 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi sengau [ang] pada kata memandang yang bersajak dengan kata kerontang.
      Sama dengan bait-bait terdahulu, di sini juga ada imaji visual dalam bentuk surealis. Terbayang seakan jelas terlihat di pelupuk mata, seorang tukang kebun ngungun sendiri melihat biji puisi yang ditanam semalaman ternyata layu menjelang subuh. Bahkan ada sebiji puisi yang larut di arus deras. Jelas dalam pangan surealis kita melihat pada saat tukang kebun itu bangun dari tidurnya, ia masih ngungun memandang lahan yang begitu kerontang.
      Ungkapan biji puisi yang ditanam semalaman, layu menjelang subuh maknanya adalah puisi yang telah diciptakan berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan itu, ternyata gagal sebelum dipublikasikan. Tidak ada media yang mau memuat puisi itu. Dan yang telah selesai menjadi draft buku antologi, ternyata tak ada penerbit yang mau menerbitkannya. Atau mungkin juga ketika draft antologi itu diterbitkaan secara mandiri,   ketika dipublikasikan tidak mendapat aresiasi dari masyarakat. Dengan kata lain tidak mampu menarik minat, tidak mampu menggugah pembaca. Karena mungkin karena tak ada dukungan dan tak ada apresiasi dari masyarakat luas, selain dari sesama komunitas penulis dan segelintir penyuka dan pemerhati puisi.
      Berikutnya ada ungkapan sebiji mimpi tersesat di arus deras maknanya adalah satu dua di antaranya ada yang terjerumus ke dalam puisi yang tak diinginkan, yakni secara sengaja atau tak sengaja, ternyata mengikuti jiwa dan keinginan kemunitas arus deras. Ungkapan  komunitas arus deras di sini maksudnya adalah para penggemar dan penyuka fornografi, pornoaksi dan lain-lain sejenisnya.
      Akhirnya puisi ini ditutup dengan ungkapan saat bangun, engkau masih ngungun memandang lahan begitu kerontang. Ungkapan lahan begitu kerontang mengingatkan kita pada sebidang tanah garapan yang kering kerontang, di mana berbagai jenis tanaman tak bisa tumbuh di sana. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan lahan begitu kerontang adalah apresiasi masyarakat terhadap puisi yang begitu menyedihkan. Dengan kata lain tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi sangatlah rendah. Maka puisi yang sudah tercipta pada umumnya tak akan mendapat tempat di hati masyarakat, kecuali di hati sesama penyairt dan segelintir penyuka dan pemerhati puisi.

***

      Puisi three in one Dimas Arika Mihardja ini berjudul TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI. Puisi ini mengungkapkan tentang kegalauan, kecemasan dan kekhawatiran seorang tukang kebun atas apa yang telah terjadi di kebun puisinya. Karena hasil panen dari kebun puisi yang dipelihara dan dirawatnya ternyata tidak memuaskan. Tukang kebun itu pun ngungun sebab hasil panennya penuh ulat bulu. Cantik di kulit, busuk di daging. Biji puisi yang ditanamnya semalaman itu, ternyata telah layu saat menjelang subuh. Rupanya semua itu adalah mimpi buruk yang tersesat di arus deras. Saat bangun, tukang kebun itu masih ngungun memandang lahan yang begitu kerontang.
     Pada tataran mikro, tukang kebun di sini adalah pemilik BPSM itu sendiri. Sedangkan pada tataran makro tukang kebun itu bisa siapa saja, yang tengah bergulat menanam puisi di lahan apresiasi yang masih kerontang. Yaitu para penyair yang sedang berjuang menulis puisi yang memuisi, penyair yang menciptakan puisi yang mampu memberi cahaya dalam kegelapan dan penyair yang menciptakan puisi yang mampu menginspirasi dalam kehidupan di lahan apresiasi yang masih gersang klering kerontang. Ia adalah para penulis puisi yang masih termangu di tengah apresiasi masyarakat yang masih rendah.
      Semuanya itu adalah mimpi buruk dalam dunia perpusian. Pertanyaannya adalah: Apakah kita harus menyerah kepada keadaan? Jawabannya tentu adalah ”tidak!”. Kita boleh menerima kenyataan itu, tetapi tidak boleh menyerah. Di balik ungkapan yang tersurat ada keinginan yang tersirat. Di dalam puisi ini tersirat sebuah tekad untuk tetap berjuang, dalam keadaan bagaimanapun kita tetap menulis. Kita tetap berjuang melalui jalur puisi. Itulah amanat dan pesan moral yang tersirat dalam puisi ini.

Banjarmasin, Awal Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar