Rabu, 30 Mei 2012

MENGEMBARAI SKETSA SAJAK DAM: BERCINTA DENGAN TUHAN?

*)  Oleh Puja Sutrisna


     KALAU dunia kesusasteraan Indonesia terkini bisa disepakati sebagai angkatan millennium (Puja Sutrisna, Solo Pos, Menggagas Angkatan Milenium: 22 Februari), maka Dimas Arika Mihardja (selanjutnya disingkat DAM)  adalah salah satu nama yang pantas dipajang sebagai  tokoh pembaharu dalam dunia kesusasteraan Indonesia. Pembaharuan ini, setidaknya, ditandai dengan lahirnya corak karya sastra baru (baca: puisi) yang berhasil meloloskan diri dari para pendahulunya.   

      Tak bisa dipungkiri, bahwa sejak tahun 90-an dunia sastra telah kehilangan jejak ketika muncul isu ‘krisis’ sastra. Isu yang terus menerus diproduksi melalui polemic itu kian terpuruk setelah angkatan ‘terbaru’ kehilangan juru bicara. Akibatnya generasi ‘anak-anak yatim’ ini melihat dirinya sendiri sebagai ‘angkatan yang hilang’ dalam periodisasi kesusasteraan Indonesia. Ironisnya, polemic yang berlangsung tidak terjalin secara kontinuitas yang paralel dialektis tetapi justru cenderung berlangsung secara diskontinuitas yang parsial.

     Fenomena munculnya polemic yang diprakarsai Emha Ainun Nadjib, Ariel Haryanto, dan Arief Budiman yang kemudian menelorkan gagasan ‘angkatan independen’ atau ‘angkatan kontekstual’ adalah bukti nyata akan kegelisahan untuk diakui munculnya sebuah ‘angkatan pembaharu’. Isu-isu semacam ini semakin dipertegas lagi dengan sebuah kenyataan bahwa periode sastra Indonesia setelah imperium Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri mengalami penjenuhan lahir batin.

     Tetapi, sesungguhnya tidakah cukup beralasan jika masyarakat sastra hanya merindukan sesuatu yang menggebu-gebu akan munculnya karya sastra yang sifatnya pembaharu seperti angkatan Pujangga Baru hingga angkatan (zaman) Jepang dengan tokohnya Chairil Anwar sebagai pendobrak nilai-nilai estetika sastra. Atau Rendra sebagai penyair dengan gaya pamfletnya, Taufik Ismail dengan puisi dzikir, Kuntowijoyo dengan estetika kejawen (baca: Suluk Awang Awung), Darmanto Yatman dengan puisi ‘campur bawur’, Sutardji Calzoum Bahcri dengan ‘kredo mantra’, Abdul Hadi dengan puisi ‘sufistik’, atau Yudhistira dengan puisi ‘mbelingnya’.

     Kerinduan akan mitos kejayaan nama besar sastrawan sebelumnya, kecuali menjadikan stagnasi penyair juga hanya akan melahirkan penyair-penyair ‘bebek’ (membebek idolanya), penyair gelap (kembali ke tradisi 40-an), atau penyair ‘protes’ yang tidak tahu menyuarakan apa, untuk siapa, dan punya maksud apa.

     Tragedi waktu yang begitu panjang, yang seharusnya setiap tragedy selalu diikuti dengan munculnya sebuah angkatan baru, sementara sampai hari ini belum ada penyair garda yang melahirkan kreatifitas baru sebagai symbol sebuah angkatan, maka seolah-olah masyarakat sastra sedang ‘mengutuk’ generasinya.  Untuk itu kemunculan DAM yang datang ‘diam-diam’ melalui sebuah komunitas cybernet bernama BPSM (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri) dapat dianggap sebagai tonggak sejarah kemunculan periodesasi kesusasteraan Indonesia terkini, angkatan millennium.

     Tidak boleh tidak, agenda substansi dunia kesusasteraan Indonesia di masa kini dan mendatang bukanlah sekedar menjadi tonggak kelahiran sebuah angkatan, tetapi juga harus terus menerus memacu munculnya penyair-penyair garda dengan segala kreatifitas pembaharuannya, dan dari titik inilah sajak-sajak DAM layak dan pantas diperbincangkan.

* * *

     MENGENALI seorang DAM bisa jadi dengan mudah ditemukan melalui puisi-puisinya yang ‘sederhana’, menggelitik dalam lirik-lirik  yang sesekali membanyol terasa lugu dan lucu, tetapi ternyata ‘tidak lucu’. Dengan diksi-diksi yang sangat mudah ditemukan di pasar-pasar, di rumah-rumah, di kebun-kebun, di tempat-tempat sampah, di tangan seorang DAM ternyata bisa menjadi puisi yang ‘hidup’: menghidupkan hati, jiwa, perasaan, cita, dan cinta pembacanya.  

     Dalam sebuah diskusi  gaya ‘cakrukan’ model Jawa bisa disimpulkan bahwa – bisa jadi – DAM adalah ‘puisi hidup’, setiap kata dan bahasa yang meluncur seperti dengan sendirinya menjadi puisi, dan bahkan ketika DAM tidak ingin berpuisi sekalipun. Keunggulan dan kepiawian seorang DAM untuk mengolah setiap bahan ‘makanan’ puisi menjadi ‘hidangan lezat dan nikmat’ ini rupanya telah dikenali dengan baik oleh seorang DAM, itulah sebabnya produktifitasnya dalam menulis puisi teruji dengan bukti terbitnya ‘kumpulan puisi tunggal’ dan telah berlangsung bertahun-tahun.
 Buku kumpulan puisi yang kali ini diterbitkan adalah dalam kerangka Ulang Tahunnya yang ke-53, sebuah usia yang cukup ‘tua’ bagi seseorang yang telah lama malang melintang dalam dunia perpuisian,  sehingga tulisan berikut adalah pengembaraan sketsa sajak-sajak DAM yang (bisa jadi) mulai ‘mencintai’ Tuhan! Diawali dengan sebuah puisi yang berjudul Sketsa-sketsa,  DAM tampaknya sedang berada dalam keadaan bermenung di atas sajadah ‘mengaku’ bahwa dalam usia yang tak lagi muda, ibaratnya  manusia (baca: aku lirik)  adalah ‘boneka’ di tangan Tuhan, sudah saatnya membaca lambang-lambang semesta milik-Nya.

     Buku Puisi DAM kali ini tidak banyak berbeda dengan Buku-buku yang terbit sebelumya, mengumpulkan puisi-puisi yang terserak setiap hari, terdiri dari berbagai hal yang pernah ‘dipikirkan’ penyairnya, sehingga menyerupai ‘potret’ keseharian, jiwa dan  hatinya. Tanpa dibagi menjadi bab-bab sesuai tema, namun diurutkan berdasarkan peristiwa kelahiran puisi itu sendiri, ini seakan-akan menjadi cacatan perjalanan yang dicatat dengan sebuah puisi.  Dan inilah setidaknya, untuk mengenal seorang DAM tidak perlu dengan salaman tetapi cukup baca buku puisinya, karena DAM memang sedang dan selalu berada di sana.

 Dengan 'karya kreatifnya' yang berupa BPSM, puisi-puisi seorang DAM tidak hanya ingin berbahasa dan berbicara puisi dengan diri sendiri, tetapi selalu mencoba dan mencoba untuk berbagi kepada khalayak dan anggota tentang sebuah puisi lengkap dengan pembaharuan-pembaharuan pengucapan, tema, tipologi, estetis, dan ritmis, guna menemukan 'persyaratan' yang lengkap untuk munculnya sebuah angkatan baru, dan kalau Angkatan Balai Pustaka kita mengenal STA, angkatan 45 kita mengenal Chairil Anwar, angkatan Pujangga Baru kita mengenal Amir Hamsah, Angkatan Milenium kita dikenalkan kepada DAM yang terkenal dengan konsep AAA-nya: asah-asih-asuh tanpa 'misuh-misuh', semoga!

*) Penulis adalah Pekerja Sastra dan Kebudayaan, tinggal di Boyolali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar