*) Oleh Puja Sutrisna
KALAU dunia
kesusasteraan Indonesia terkini bisa disepakati sebagai angkatan
millennium (Puja Sutrisna, Solo Pos, Menggagas Angkatan Milenium: 22
Februari), maka Dimas Arika Mihardja (selanjutnya disingkat DAM) adalah
salah satu nama yang pantas dipajang sebagai tokoh pembaharu dalam
dunia kesusasteraan Indonesia. Pembaharuan ini, setidaknya, ditandai
dengan lahirnya corak karya sastra baru (baca: puisi) yang berhasil
meloloskan diri dari para pendahulunya.
Tak bisa
dipungkiri, bahwa sejak tahun 90-an dunia sastra telah kehilangan jejak
ketika muncul isu ‘krisis’ sastra. Isu yang terus menerus diproduksi
melalui polemic itu kian terpuruk setelah angkatan ‘terbaru’ kehilangan
juru bicara. Akibatnya generasi ‘anak-anak yatim’ ini melihat dirinya
sendiri sebagai ‘angkatan yang hilang’ dalam periodisasi kesusasteraan
Indonesia. Ironisnya, polemic yang berlangsung tidak terjalin secara
kontinuitas yang paralel dialektis tetapi justru cenderung berlangsung
secara diskontinuitas yang parsial.
Fenomena
munculnya polemic yang diprakarsai Emha Ainun Nadjib, Ariel Haryanto,
dan Arief Budiman yang kemudian menelorkan gagasan ‘angkatan independen’
atau ‘angkatan kontekstual’ adalah bukti nyata akan kegelisahan untuk
diakui munculnya sebuah ‘angkatan pembaharu’. Isu-isu semacam ini
semakin dipertegas lagi dengan sebuah kenyataan bahwa periode sastra
Indonesia setelah imperium Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri
mengalami penjenuhan lahir batin.
Tetapi,
sesungguhnya tidakah cukup beralasan jika masyarakat sastra hanya
merindukan sesuatu yang menggebu-gebu akan munculnya karya sastra yang
sifatnya pembaharu seperti angkatan Pujangga Baru hingga angkatan
(zaman) Jepang dengan tokohnya Chairil Anwar sebagai pendobrak
nilai-nilai estetika sastra. Atau Rendra sebagai penyair dengan gaya
pamfletnya, Taufik Ismail dengan puisi dzikir, Kuntowijoyo dengan
estetika kejawen (baca: Suluk Awang Awung), Darmanto Yatman dengan puisi
‘campur bawur’, Sutardji Calzoum Bahcri dengan ‘kredo mantra’, Abdul
Hadi dengan puisi ‘sufistik’, atau Yudhistira dengan puisi ‘mbelingnya’.
Kerinduan akan mitos kejayaan nama besar sastrawan sebelumnya, kecuali
menjadikan stagnasi penyair juga hanya akan melahirkan penyair-penyair
‘bebek’ (membebek idolanya), penyair gelap (kembali ke tradisi 40-an),
atau penyair ‘protes’ yang tidak tahu menyuarakan apa, untuk siapa, dan
punya maksud apa.
Tragedi waktu yang begitu panjang,
yang seharusnya setiap tragedy selalu diikuti dengan munculnya sebuah
angkatan baru, sementara sampai hari ini belum ada penyair garda yang
melahirkan kreatifitas baru sebagai symbol sebuah angkatan, maka
seolah-olah masyarakat sastra sedang ‘mengutuk’ generasinya. Untuk itu
kemunculan DAM yang datang ‘diam-diam’ melalui sebuah komunitas cybernet
bernama BPSM (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri) dapat dianggap sebagai
tonggak sejarah kemunculan periodesasi kesusasteraan Indonesia terkini,
angkatan millennium.
Tidak boleh tidak, agenda
substansi dunia kesusasteraan Indonesia di masa kini dan mendatang
bukanlah sekedar menjadi tonggak kelahiran sebuah angkatan, tetapi juga
harus terus menerus memacu munculnya penyair-penyair garda dengan segala
kreatifitas pembaharuannya, dan dari titik inilah sajak-sajak DAM layak
dan pantas diperbincangkan.
* * *
MENGENALI seorang DAM bisa jadi dengan mudah ditemukan melalui
puisi-puisinya yang ‘sederhana’, menggelitik dalam lirik-lirik yang
sesekali membanyol terasa lugu dan lucu, tetapi ternyata ‘tidak lucu’.
Dengan diksi-diksi yang sangat mudah ditemukan di pasar-pasar, di
rumah-rumah, di kebun-kebun, di tempat-tempat sampah, di tangan seorang
DAM ternyata bisa menjadi puisi yang ‘hidup’: menghidupkan hati, jiwa,
perasaan, cita, dan cinta pembacanya.
Dalam sebuah
diskusi gaya ‘cakrukan’ model Jawa bisa disimpulkan bahwa – bisa jadi –
DAM adalah ‘puisi hidup’, setiap kata dan bahasa yang meluncur seperti
dengan sendirinya menjadi puisi, dan bahkan ketika DAM tidak ingin
berpuisi sekalipun. Keunggulan dan kepiawian seorang DAM untuk mengolah
setiap bahan ‘makanan’ puisi menjadi ‘hidangan lezat dan nikmat’ ini
rupanya telah dikenali dengan baik oleh seorang DAM, itulah sebabnya
produktifitasnya dalam menulis puisi teruji dengan bukti terbitnya
‘kumpulan puisi tunggal’ dan telah berlangsung bertahun-tahun.
Buku
kumpulan puisi yang kali ini diterbitkan adalah dalam kerangka Ulang
Tahunnya yang ke-53, sebuah usia yang cukup ‘tua’ bagi seseorang yang
telah lama malang melintang dalam dunia perpuisian, sehingga tulisan
berikut adalah pengembaraan sketsa sajak-sajak DAM yang (bisa jadi)
mulai ‘mencintai’ Tuhan! Diawali dengan sebuah puisi yang berjudul
Sketsa-sketsa, DAM tampaknya sedang berada dalam keadaan bermenung di
atas sajadah ‘mengaku’ bahwa dalam usia yang tak lagi muda, ibaratnya
manusia (baca: aku lirik) adalah ‘boneka’ di tangan Tuhan, sudah
saatnya membaca lambang-lambang semesta milik-Nya.
Buku Puisi DAM kali ini tidak banyak berbeda dengan Buku-buku yang
terbit sebelumya, mengumpulkan puisi-puisi yang terserak setiap hari,
terdiri dari berbagai hal yang pernah ‘dipikirkan’ penyairnya, sehingga
menyerupai ‘potret’ keseharian, jiwa dan hatinya. Tanpa dibagi menjadi
bab-bab sesuai tema, namun diurutkan berdasarkan peristiwa kelahiran
puisi itu sendiri, ini seakan-akan menjadi cacatan perjalanan yang
dicatat dengan sebuah puisi. Dan inilah setidaknya, untuk mengenal
seorang DAM tidak perlu dengan salaman tetapi cukup baca buku puisinya,
karena DAM memang sedang dan selalu berada di sana.
Dengan
'karya kreatifnya' yang berupa BPSM, puisi-puisi seorang DAM tidak
hanya ingin berbahasa dan berbicara puisi dengan diri sendiri, tetapi
selalu mencoba dan mencoba untuk berbagi kepada khalayak dan anggota
tentang sebuah puisi lengkap dengan pembaharuan-pembaharuan pengucapan,
tema, tipologi, estetis, dan ritmis, guna menemukan 'persyaratan' yang
lengkap untuk munculnya sebuah angkatan baru, dan kalau Angkatan Balai
Pustaka kita mengenal STA, angkatan 45 kita mengenal Chairil Anwar,
angkatan Pujangga Baru kita mengenal Amir Hamsah, Angkatan Milenium kita
dikenalkan kepada DAM yang terkenal dengan konsep AAA-nya:
asah-asih-asuh tanpa 'misuh-misuh', semoga!
*) Penulis adalah Pekerja Sastra dan Kebudayaan, tinggal di Boyolali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar