Sabtu, 31 Desember 2011

SELAYANG PANDANG BAGI "ANGKA DAN AROMA"

Apresiasi Puisi Refleksi DAM
Oleh: Hadi Napster

Menjelang pergantian tahun 2011-2012, Dimas Arika Mihardja (DAM) yang selain merupakan salah seorang Sastrawan Angkatan 2000-an juga adalah pemegang tampuk Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), menampilkan sebuah puisi refleksi. Selanjutnya puisi tersebut diminta untuk diapresiasi, dibahas, atau dikupas semampunya oleh seluruh warga BPSM demi mengurai makna yang terkandung di dalamnya. Maka demi menjawab ajakan tersebut, melalui tulisan sederhana yang tak berpola atau ber-metode ini saya mengajak kawan-kawan lain untuk bersama-sama menelusuri refleksi sexy ala DAM sebagai berikut:


REFLEKSI ANGKA DAN AROMA
[GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR]
angka kalender bergetar
tanggal lembar demi lembar
2011 nyaris menggelepar

di altar 2011~2012 seulas senyum hambar
seperti masakan tanpa ketumbar
pandang mata pun nanar

kalender bergetar
angka dan senyum saling tawar
entah, apakah setelahnya seharum mawar?

akhir desember 2011

Sebelum terlalu jauh berceloteh ngalor-ngidul sambil mencicipi sekujur tubuh puisi sexy “REFLEKSI ANGKA DAN AROMA” di atas, pertama kali harus saya katakana dengan jujur bahwa saya sangat tertarik dengan judulnya yang tergolong “berat”. Terlebih pada sub-judul “[GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR]”yang sengaja dipajang dengan jelas demi menandakan sebuah “portal” untuk masuk mengembara ke dalamnya. Melihat judul puisi di atas, kita langsung bisa menangkap intensi penyair lewat kata “refleksi”. Ya, di sini jelas bahwa kata “refleksi” diseret pada maksud leksikal berbatas; gerakan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban akan suatu hal. Lalu menyusul kata “angka” yang berarti tanda atau lambang pengganti bilangan (nomor). Kemudian pada akhir judul kita mendapati kata “aroma” yang sudah tentu mengacu pada bau-bauan yang harum. Sampai pada tahapan ini, ketika harus menerjemahkan judul ke dalam satu kesatuan yang kemungkinan menjadi maksudnya, maka dapat dikedepankan: “gerakan di luar kemauan (kesadaran) sebagai upaya pencarian jawaban atas momentum pergantian angka (tahun) yang tentunya menginginkan aroma harum (kebaikan).

Begitukah? Dari mana menyimpulkannya? Mari kita buat lebih detail. Pembaca pada umumnya barangkali tidak akan menelusuri noktah per noktah dalam sebuah tulisan. Akan tetapi dalam sub-judul “GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR” sangat jelas terlihat penggunaan tanda baca tilde (~) di antara angka 2011 dan 2012. Pola tanda tilde yang kerap juga disebut “gelombang” tersebut berangkat dari titik rendah pada 2011, lalu bergerak meninggi, kemudian menurun lagi, dan akhirnya kembali menjulang penuh ketika akan sampai pada 2012. Apa maksudnya? Apa lagi kalau bukan gambaran perjalanan hidup, khususnya harapan-harapan di dalamnya. Di mana hidup yang dilakoni setiap manusia memang serupa gelombang, pasang-surut, naik-turun, yang di dalam arusnya terdapat “harapan” untuk selalu berada pada titik “plus”. Dalam penjudulan puisi di atas sangat jelas bahwa seorang DAM hendak menularkan sebuah “harapan” yang tengah dirasakannya kepada pembaca. Harapan agar dalam momentum pergantian tahun ini, perjalanan hidup kita paling tidak akan bergerak seperti pola tanda tilde dalam sub-judul puisinya tersebut.

Masuk pada larik pertama, “angka kalender bergetar” ialah gambaran suasana menjelang pergantian tahun seperti pada umumnya. Kata “bergetar” pada larik pertama layak untuk digarisbawahi sebagai tanda geliat orang-orang kebanyakan dalam merayakan pergantian tahun. Ada yang meniup terompet, berpesta kembang api, bermain musik beramai-ramai, atau bercengkrama bersama sanak keluarga dan kawan-kawan. Kemeriahan-kemeriahan tersebut terjadi pada angka “31” menuju “1”. Sehingga tak salah jika kata “angka” menjadi pembuka untuk semua elemen-elemen semaraknya tahun baru yang dikumpul-satukan oleh DAM dalam ungkapan “angka kalender bergetar“.

Tradisi tahun baru selalu identik juga dengan kemeriahan yang mengarah pada hal-hal negatif. Ada balapan-balapan liar, konser-konser musik yang ricuh, pesta minuman keras dan narkoba di klub-klub malam, dan lain sebagainya. Kesemua sisi minus ini disorot oleh DAM dengan “tanggal lembar demi lembar”, yang jika diartikan ke dalam bahasa awam akan menjadi “jatuh satu demi satu”. Kalimat pada larik kedua ini sebenarnya bermakna ambigu, karena bisa saja mengacu pada lembaran kalender yang memang selalu dilepas lembar demi lembar--khususnya kalender jaman dulu yang hanya terdapat satu angka (tanggalan) di setiap lembarnya--hingga masa pergantian tahun, namun bisa juga berarti jatuhnya “korban” dalam setiap kemeriahan tahun baru sebagai akibat dari perayaan yang mengarah kepada hal-hal negatif sebagaimana disebut sebelumnya.

Lantas, segala tingkah-pola yang mewarnai perjalanan menjelang pergantian tahun ini dipungkas dengan “2011 nyaris menggelepar”. Mengapa menggelepar? Bukankah “menggelepar” itu berarti bergerak ke sana-kemari atau berloncatan karena kebingungan? Di sini nampaknya melebur juga intensi kilas-balik (flash back) pada kesilaman. Gaya personifikasi yang digunakan pada larik ini adalah gambaran dari 2011 yang dikesankan gelisah, resah, bimbang, dan bingung sebab masa “dinas”nya sudah akan berakhir, tetapi harapan dan tujuan belumlah tercapai secara maksimal. Olehnya itu, ia (2011) menjadi “menggelepar”.

Indikasi “ketidakpastian” lalu muncul pada bait selanjutnya. Ketika pembacaan sampai “di altar 2011~2012 seulas senyum hambar”. Mengapa justru pada altar--di sini altar nampaknya mengacu pada arti; tangga untuk berjalan naik dan turun--justru senyum menjadi hambar? Tidakkah seharusnya momentum ini disambut dengan gegap-gempita peuh keriangan? Kenapa penyair justru merasa hambar (kurang bergairah) dalam pergantian tahun kali ini? Bahkan saking hambarnya, sehingga ketidakbergairahan ini dilukiskan “seperti masakan tanpa ketumbar”, sangat tidak ada rasanya! Sampai-sampai “pandang mata pun nanar” setelah mendapati rasa hambar dan tak bergairah menjelang perayaan pergantian tahun. Apa pasal? Di sinilah letak kepiawaian penyair menyembunyikan maksud “pencarian”nya. Dalam arti, bait kedua sengaja dibangun sedemikian “hambar”nya sebagai pengantar atau untuk memperkuat “interogasi” pada bait terakhir. Maka jadilah bait kedua ini serupa titik tengah pertemuan gelombang naik-turun dalam tanda “tilde” seerti yang telah dibahas sebelumnya.

Pada bait terkahir, terjadi proses pengulangan frasa “kalender bergetar” yang sudah tentu melambangkan kebimbangan mendalam, keresahan yang benar-benar “resah”, kebingungan yang sungguh-sungguh “bingung”. Sekali lagi, kemeriahan-kemeriahan perayaan pergantian tahun justru membuat penyair “bergetar”, lalu kembali merasa hambar (tidak bergairah). Namun dalam ketidakbergairahan ini penyair tetap tegar dan mencoba bangkit dengan memunculkan harapan lewat “angka dan senyum saling tawar”. Senyum di sini sudah dapat menandakan kedirian, ketegaran, kepasrahan, pula ketabahan untuk tetap menyongsong pergantian tahun--apapun adanya--meski harapan tersebut sifatnya masih sangat “tidak pasti” lantaran harus melalui proses tawar-menawar. Lalu bagaimanakah wujud dari “harapan” yang jatuh ke dalam tawar-menawar tersebut?

Kembali kearifan DAM bertegas dalam gaya interogasi pada larik terakhir yang dapat dikatakan adalah klimaks dari puisi ini. Ketika sedang terjerat dalam satu upaya pencarian “harapan” yang bahkan ia sendiri pun belum mengetahui jawabannya, DAM justru dengan arif menyerahkan pertanyaan itu kepada masing-masing pembaca. Sesuatu yang beralasan tentunya, sebab betapa pun peliknya sebuah harapan dalam hidup dan kehidupan, toh tetap saja masing-masing individulah yang kelak menentukan jalan pencariannya. Dalam hal ini, bukan hanya penyair, melainkan juga pembaca. Sehingga pada akhir puisinya, DAM memberi gambaran apapun sebagai bentuk jawaban dari “entah, apakah setelahnya seharum mawar?”. Karena jawaban tersebut ada pada ikhtiar dan doa masing-masing manusia dalam mengarungi sisa kehidupan.

Terlepas dari perspektif  yang dipenuhi kesangsian, pengharapan dan hambar-tawar-nanar di atas, ada satu hal yang cukup menarik. Ya, pencomotan frasa “LEMBAR MAWAR” ke dalam sub-judul berikut “seharum mawar” ke dalam larik akhir, justru dapat menegaskan sebuah intense yang berbeda. Mengapa? Karena frasa-frasa tersebut sangat jelas mengacu pada filosofi permainan “Petals around the rose”. Dalam filosofi ini dikatakan bahwa “Lembar-lembar mahkota bunga mawar adalah suatu permainan pikiran menggunakan proses pemikiran lateral yang dimainkan dengan menggunakan lima buah dadu. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan program komputer atau dadu sebenarnya yang dilemparkan atau diaduk oleh seorang Potentate of the Rose (seseorang yang mengetahui rahasia dari permainan ini). Pada setiap pelemparan dadu terdapat satu solusi numerik (nilai berupa bilangan). Para pemain berusaha untuk mencapai solusi yang dimaksud dengan berbagai analisa. Bila mereka tidak bisa menebaknya, sang Potentate of the Rose akan memberitahu apa jawabannya, dan sudah menjadi tugas para pemain untuk memikirkan solusi dari pelemparan dadu berikutnya. Jika seseorang berhasil menemukan bagaimana jawaban tersebut dihitung, ia akan menjadi seorang Potentate of the Rose.

Dengan mengacu pada filosofi permainan di atas, maka perspektif lain dari puisi ini adalah; DAM sedang mengajak pembaca untuk bermain “analisa” atau “apresiasi” puisi. Di mana sebenarnya makna dari puisi ini telah DAM ketahui sedetail mungkin, namun tetap dilemparkan kepada pembaca untuk memaknai masing-masing. Atau kemungkinan lainnya--ini patut dikedepankan--adalahmengacu pada sebuah substansi berupa “upaya” yang sedang dijalankannya. Yang mana hasil akhir dari “upaya” tersebut sebenarnya (bisa saja) sudah diketahuinya. Hanya saja, gelombang naik-turun yang menerpa perjalanan “upaya” tersebut membuatnya kembali memunculkan pertanyaan. Pertanyaan ini tentulah tidak perlu jawaban secara langsung, sebab substansi dari pertanyaan tersebut adalah semacam “seruan” atau boleh dikatakan “ajakan” kepada seluruh elemen yang terlibat alam upaya tersebut. Tujuannya tentu saja agar berbenah diri, berjuang sepenuh hati, melangkah lebih pasti, demi mewujudkan tujuan dari “upaya” itu sendiri. Terlebih karena “upaya” dimaksud telah berjalan menyeberangi “tilde” dari 2011 ke 2012. Adapun “upaya” yang menjadi inti pelahiran puisi ini seperti disebut dalam kemungkinan terakhir biarlah seluruh warga BPSM yang menentukan sendiri. Tentu saja dengan melihat, menimbang dan menimang berbagai wacana yang tengah berjalan di sekeliling kita.

Selamat Tahun Baru 2012
Salam DAMai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar