Sabtu, 31 Desember 2011

KENDURI PUISI

Dimas Arika Mihardja

Pengantar:

Sebagai refleksi pergantian tahun 2011-2012, sengaja saya memposting puisi yang saya tulis spontan di dinding BPSM. Usai Baca Doa bersama warga RT menjelang pergantian tahun. Puisi yang saya tulis spontan (langsung di dinding BPSM) ini kuanggap sebagai anak kandung kehudupan. Tidak setiap anak kandung lahir dengan sempurna. Selalu saja ada sesuatu yang mengganggu, mungkin penampilannya yang mengesalkan (belum sampai mengesankan), mungkin suaranya yang tercekat dan tak terucap, meski dominasi "ar" pada setiap diksinya menggelepar). Justru itu, dengan cara dan gaya saya tentunya sekadar menyediakan konsumsi untuk disantap dalam Kenduri Puisi.

Puisi yang disantap dalam kenduri, bisa jadi tak mengenakkan dan tak menyamankan selain lantaran penyajiannya kurang pas, cita rasanyapun bisa jadi hambar, dan menu makanan itu terasa kurang nilai nutrisi dan gizinya. Namun, begitulah puisi, selalu saja menyediakan ruang teka-teki. Hayo, silakan menjawab teka-teki dalam puisi ini seraya belajar beraapresiasi. Astry Anjani jangan biasakan duduk manis. Imron Tohari, kemukakan hasil resepsi dan persepsimu dan jangan ragu. Kajitow El-kayeni, ini ruang gelanggang berperang mengadu pandangan. Hadi Napster, tunjukkan bahwa dirimu bisa menjadi sparing partnerku. Azie Nasrullah bukanakah corak puisi seperti ini keseukaanmu? Lutfi Mardiansyah, jangan hanya duduk menyendiri santalah hidangan ini dan berbagilah padaa warga BPSM untuk lebih bersinar di tahun baru nanti. Bung Mahbub Junaedi, buktikan bahwa dirimu tidak kapok.

Silakan ini Kenduri Puisi. Berikut ini dikemukakan sebuah puisi yang saya tulis beserta komentar yang mengiringinya, biar kenduri puisi tampak utuh-menyeluruh, saya tampilkan komentar Kajitow El-Kayeni  lalu disusul  komentar lain secara silih berganti. Kita simak dulu puisi yang saya tulis itu.


REFLEKSI ANGKA DAN AROMA
[GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR]

angka kalender bergetar
tanggal lembar demi lembar
2011 nyaris menggelepar

di altar 2011~2012 seulas senyum hambar
seperti masakan tanpa ketumbar
pandang mata pun nanar

kalender bergetar
angka dan senyum saling tawar
entah, apakah setelahnya seharum mawar?

akhir desember 2011


 Kajitow El-Kayeni:

sebagaimana tertulis pada judulnya, puisi ini adalah refleksi dari dunia batin penyairnya. refleksi di sini terfokus pada momen khusus pergantian tahun itu. hal itu terbaca dari angka 2011 dan 2012. secara simbolis diungkapkan dengan penjelasan di bawah judul dengan kiasan getar angka 2011 yang bisa diartikan sebagai kilas balik pada tahun tersebut. "getar" di sana terayun kembali pada perasaan penyairnya, yakni kilas balik itu membuatnya tergetar sehingga hatinya gelisah dan mengucurkannya melalui bahasa. getar itu pula yang membuatnya memiliki harapan yang lebih baik untuk tahun depan. hal itu dikiaskan dengan2012 lembar mawar. hal ini kontras dengan penafsiran atas penanggalan suku maya yang dihubungkan dengan kiamat itu. sekaligus sebagai anti tesis, bahwa di tahun itu segalanya baik-baik saja, bahkan penyair mengharapkannya sebagai "lembar mawar" yaitu sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik lagi. mawar yang sering didaulat penyair sebagai lambang keindahan dan cinta-kasih. mawar yang identik dengan kebahagiaan. mawar yang tidak saja mewakili kelembutan tapi juga ketegaran dengan durinya. mawar yang menjadi primadona dan tak habis dijadikan lambang kebaikan itu diambil oleh penyairnya guna mewakili harapan-harapannya di masa mendatang: usai perguliran tahun.

puisi ini terdiri dari tiga bait pendek dan rima akhir yang membuatnya jelas mempertaruhkan temanya. puisi yang dengan gamblang bisa ditunjuk ke mana arahnya. meski tidak menggunakan bahasa lugas tapi pemaknaan terhadap puisi ini tidak diperlukan bantuan kamus apalagi studi filologi panjang untuk menguaknya. interpretasi sederhana dengan memisahkan faktor eksternal telah cukup untuk memaknainya. terkadang saat membaca puisi, faktor eksternal seperti nama besar penyairnya, kepentingan tertentu, korelasi emosional tidak membuat penafsiran merdeka dan obyektif. sering terbaca sebuah penafsiran seperti budayawan ignas kleden misalnya terhadap puisi sutardji dalam satu kesempatan menjadi berbeda dalam kesempatan lain. karena faktor eksternal ini ikut bermain di dalamnya. dan itu menjadi terlihat lucu ketika terbayang kali pertama ulasan mengenai puisi sutardji itu mempertanyakan pertanggungjawabannya dalam bingkai commonsense, kali lain dalam pidato kebudayaan mendapatkan pujian sebagai puisi yang bagus dan sarat makna. hal yang kontras dan tidak konsisten tersebut mungkin bisa diterima asal memberikan bukti yang logis. tapi kejadian itu menjadi lucu dan mencoreng konsistensi seorang pengamat sastra sepertinya.

dalam menghayati puisi REFLEKSI ANGKA DAN AROMA ini saya akan mengenyampingkan faktor eksternal tersebut. yang saya hadapi adalah puisi ini dengan kelebihan dan kekurangannya. puisi ini berdiri sendiri dan terlepas dari penyairnya. jika baik hasil yang didapat maka itu kembali pada puisi, jika jelek hasilnya itu juga semata berpulang ke puisi dan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi khalayak.

seperti yang saya katakan, puisi ini mempertaruhkan temanya. kebiasaan puisi sebagai dunia misterius yang penuh kias dan perlambangan tidak sepenuhnya berlaku untuk puisi ini. ada kias dan perlambangan tapi tidak pelik apalagi misterius. dengan pokok tema yang jelas,puisi harus memiliki visi dan misi yang jelas pula karena sejak awal sudah terbaca tanpa kerumitan yang berarti. meski saya tidak mengatakan puisi ini adalah puisi terang dengan bahasa lugas, tetapi tema yang dikehendaki oleh puisi ini tak ubahnya ia adalah puisi terang, puisi diafan. biasanya puisi semacam itu memang memiliki tema yang kuat sehingga ingin fokus pada tema tadi dalam penyampaian. kali ini apakah tema yang dipertaruhkan itu layak akan terbaca dari interpretasi dari tubuhnya.

angka kalender bergetar
tanggal lembar demi lembar
2011 nyaris menggelepar

dalam bait pertama, puisi ini menceritakan tentang pergantian hari yang lumrahnya terjadi. sebuah peristiwa biasa yang tidak memiliki nilai transeden atau sublim. pergantian hari yang disimbolkan dengan angka kalender. titik puncak dari pergantian itu menyentuh pergantian tahun, angka 2011 yang dikatakan penyairnya "nyaris menggelepar" itu adalah gambaran dari sudah dekatnya pergantian tahun tersebut. bagi banyak orang, pergantian tahun tentu sesuatu yang luar biasa dalam arti hari spesial karena terjadi setahun sekali. meski itu bukan hari suci atau hari yang memiliki nilai filosofis, tapi pergantian tahun adalah satu-satunya hari yang diterima oleh semua agama dan golongan sebagai hari suka cita. hari untuk memulai awal yang lebih baik lagi. pergantian tahun yang dimulai dengan pergantian hari itu mencapai titik kulminasi sehingga dikatakan nyaris menggelepar, yakni nyaris berganti. bait awal ini sebagai pengantar ide pokok, dengan kata lain penyair ingin mengatakan pergantian tahun sudah sangat dekat, tahun 2011 sebentar lagi akan berganti.

di altar 2011~2012 seulas senyum hambar
seperti masakan tanpa ketumbar
pandang mata pun nanar

menarik saat sampai bait ke dua, stagnasi pemaknaan terhindari di sini. gambaran pergantian tahu yang iedntik dengan suka-cita menjadi murung di sini. "di altar 2011~2012 seulas senyum hambar," katanya. seulas senyum itu adalah obyek yang dibicarakan dalam puisi. aku lirik bersembunyi ke dalam kata ganti orang ketiga yang jika dinyatakan akan berwujud dia. seseorang yang diceritakan itu memandang pergantian pergantian tahun dengan pemahaman yang kontras. hal ini tampak dari senyumnya yang hambar. ia tersenyum tapi hambar karena tidak menghayati senyumannya. hal itu dijelakan dengan kiasan seperti masakan tampa tumbar. memang ada masakan yang tidak membutuhkan tumbar, tetapi khusus dalam puisi ini masakan yang dikehendaki adalah yang seharusnya membutuhkan tumbar. tentu saja hal itu akan membuat masakan hambar, kurang rasa. kiasan inilah yang digunakan untuk menggambarkan kurangnya rasa dalam senyuman sosok yang dibicarakan itu. hal itu semakin kuat dengan gambaran, "pandang mata pun nanar." senyuman hambar itu merupakan gambaran dari ketidak-jelasan terwujudanya harapan di tahun baru. pandangan di sini berarti jangkauan atau rencana yang hendak diwujudkan oleh sosok yang dibicarakan dalam puisi.

ada indikasi sosok yang digambarkan dalam puisi ini adalah seseorang yang memiliki sudut pandang berbeda dan bisa jadi itu adalah perwakilan dari penyairnya. aku lirik yang bersembunyi dalam sosok yang diceritakan itu sebenarnya terayun kembali pada diri penyair seolah refleksi itu sendiri. seperti yang pernah saya katakan, penyair itu memiliki ruang khusus dalam hatinya. dengan itu dia mengambil sudut pandang yang berbeda dari keumuman bahkan bisa jadi yang bertolak belakang. tahun baru yang seharusnya menjadi penuh suka-cita digambarkan dengan murung dalam puisi ini, "seulas senyum hambar," katanya. sosok itu tersenyum tapi hambar dan tidak ada penjiwaan. sosok itu tersenyum karena terbawa oleh keadaan sekitarnya yang sedang bersuka cita. ia tidak benar-benar tersenyum karena ia bahagia, tetapi senyumnya itu karena faktor eksternal yang mempengaruhinya. dan faktor itu adalah keadaan riuh-gempita disekitarnya. euforia pergantian tahun yang masuk sampai desa-desa terpencil mengakibatkan sosok itu tersenyum hambar.

kalender bergetar
angka dan senyum saling tawar
entah, apakah setelahnya seharum mawar?

kembali pengulangan maksud terjadi dalam bait ketiga. jika di bait awal "angka kalender bergetar" dimaksudkan untuk mewakili pergantian hari, kali ini bersifat umum yaitu pada "kalender bergetar"itu mewakili seluruh tahun. artinya tahun yang nyaris terlewat itu dikatakan bergetar. entah karena euforia atau karena ada permasalahan lain sehingga pada tahun yang diwakili kalender itu dikatakan bergetar. repetisi ini tentu dilakukan untuk tujuan menguatkan maksud meskipun tercium indikasi lain, repetisi ini sebenarnya karena terseret oleh rima akhir. artinya kalimat kalender bergetar itu muncul bukan saja disebabkan oleh tuntunan perulangan untuk menguatkan maksud, tetapi juga terkandung sinyalemen ia ada karena kloningan semata.

dalam pandangan orang ketiga itu angka dan senyum saling tawar, dengan kata lain angka yang mewakili pergantian hari (sekaligus pergantian tahun) itu dikatakan saling tawar dengan senyumannya. kehambaran senyum tadi disebandingkan dengan perguliran angka yaitu hari menjelang pergantian tahun. senyum itu menjadi keterangan bahwa pada hari tersebut (yang digambarkan dengan angka) sosok orang ketiga tadi tidak benar-benar bahagia. ada sesuatu yang membuatnya risau. hal itu diterangkan dengan, "entah, apakah setelahnya seharum mawar?" jawaban dari teka-teki tentang senyum yang hambar itu terjawab sudah. sosok orang ketiga itu dirundung keraguan. "entah," katanya. hal ini mencerminkan adanya kegamangan menjelang pergantian tahun itu. banyak orang mungkin bersuka-cita dan optimis, atau justru menganggapnya sesuatu yang biasa. tapi sosok yang diceritakan dalam puisi ini menghadapi kemuraman karena ia ragu-ragu mengenai kejadian di tahun baru berikutnya. ini juga menunjukkan kemungkinan besar yang diceritakan dalam puisi ini mewakili diri penyairnya. ia merasa ragu apakah tahun berikutnya bisa lebih baik dengan kias "seharum mawar." keraguan ini membuatnya kurang menghayati senyumannya. ia memang tersenyum, tapi dalam senyum itu terkandung kemuraman. senyum yang mewakili keraguan akan keentahan.

puisi ini telah berkelit dari kelugasan pemaknaan terhadap dirinya. ia memang mempertaruhkan tema, tapi pergantian tahun yang seharusnya dipenuhi euforia dan dan kegilaan itu ditepisnya dengan menyuguhkan kemuramaman. pemilihan tema tentang pergantian tahun tidak menajdi kendala meski itu harus mempertaruhkan dirinya. penyair berhasil membuat sudut pandang berbeda dan itu merupakan angle yang menarik karena puisi memiliki keunikannya. tapi yang membuat puisi ini lemah, sudut pandang itu tidak tergelar sempurna. terciptanya sudut pandang itu adalah point yang dimiliki puisi ini, tetapi yang membuatnya lemah adalah pembentukan tubuh puisi terasa dipaksakan. diksi-diksi yang dipilih dicocokkan dengan bunyi akhir sehingga sudut pandang muram yang hendak ditunjukkan sebagai hal kontras tidak berkekuatan maksimal. repetisi yang terjadi pada bait ketiga itu juga tidak menunjukkan efesiensi, meskipun mungkin dibentuk untuk menguatkan. puisi ini juga gagal menyuguhkan imaji yang membangun. diksi seperti bergetar, menggelepar, nanar terasa berlebihan. kata itu mengkloning dirinya demi menyuguhkan bunyi akhir yang menawan tapi tidak tepat-guna. kata itu seolah ditempelkan saja meski ia berkesuaian dengan arah pemaknaan tapi tidak berkekuatan maksimal. puisi terkekang oleh bunyi baris akhirnya. seperti seorang bisu yang hendak berteriak. ia terkekang oleh keadaannya sendiri.

sejujurnya saya masih mempelajari kaitan puisi mblening, humor atau yang melukiskannya dengan gaya absurd, abstrak, impresionis, futuris dan sebagainya dengan tujuan yang hendak dikejar oleh puisi: demi memanusiakan manusia. sebagai salah satu unsur sastra, puisi pun memang layak untuk dinikmati dengan riang, dengan guyon, dengan gaya-gaya beraneka itu. tapi melihat banyak penyair yang cenderung senang "bersolek" sehingga perlu dipertanyakan tujuannya menjadi seorang penyair. saya memang dipengaruhi kuat oleh pikiran rendra, meskipun saya tidak mengkultuskannya sedemikian rupa seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak. cukup lama saya menyelami pikiran hudan yang mengambalikan seni kepada seni. sedikit banyak saya menimbang bahwa ada hal-hal agung dalam puisi yang tidak bisa dijalankan dengan sudut pandang hudan. saya menyebutnya esensi yang berkait dengan roh kepenyairan. sesudah iwan fals menolak bantuan amerika, rendra melakukan hal yang sama. beberapa penyair (ada indikasi oleh pihak utan kayu cs) menerima gelontoran dana yang ditaksir mencapai sembilan miliar itu (mungkin pertahun).

peristiwa semacam ini membuat saya sadar bahwa rendra yang dulu tidak saya senangi dengan polah kritisnya itu ternyata benar. esensi dalam kepenyairan adalah inti yang mutlak dimiliki oleh setiap penyair. jika hanya menjadi penyair salon saja, hakikat dan tujuan dalam berpuisi tidak tercapai maksimal. bisa jadi tujuan bersastra itu diwujudkan dengan guyon, humor, selengean. tapi apa hal-hal serius semacam ini bisa dilakukan dengan gaya demikian? sastra memang milik orang banyak, rendra, saya dan beberapa orang yang kaku lain mungkin hanya sebagian kecil. tapi untuk itulah kami ada sebagai pengingat agar penyair kita tidak mudah dibeli oleh uang dan tekanan politik. bertahun-tahun kita saling bertengkar dengan sesama. saat lekra memimpin, taufik ismail cs disudutkan. saat menikebu di atas angin, pramoedya ananta toer dikucilkan. begitulah yang terjadi selama ini. sesama kita saling mencakar karena tidak memiliki esensi. penyair mabuk, kata saya dalam sebuah puisi. karena saya prihatin banyak komunitas sastra yang sekedar menjadi kumpulan hura-hura, ajang foto, dan seks bebas. selebihnya nol besar

mungkin karena itulah saya sulit menerima pandangan yang mengatakan puisi tidak sekedar pertaruhan tema. karena puisi bukan ajang seni saja bagi saya, tetapi sebuah perspektif luhur yang menjembatani antara penyair dan kemanusiaan. puisi bukan hal guyon, tapi merupakan sarana untuk berteriak dengan bahasa ambigu. penyair sejati tidak sedang mempertunjukkan perlawakan dalam pentas sastra, tetapi ia berada di depan moncong meriam ketidak-adilan. dunia selalu memiliki sisi ketidak-adilan, dunia yang sengaja diciptakan tuhan dalam keadaan retak. dalam keyakinan saya, penyair adalah salah satu pihak yang berdiri dengan sifat kesatria untuk mengembalikan dunia itu pada bentuk idealnya. dunia yang penuh kedamaian seperti kehendak sleuruh umat manusia


 Lutfi Mardiansyah:

tugas penyair hampir tidak jauh berbeda dengan tugas power rangers, yakni amar ma'ruf nahi munkar, menegakkan nilai2 kebenaran demi merombak nilai2 yg salah. termasuk, secara kontekstual, masalah tahun baru. orng gegap gempita melakukan perayaan, tnpa menangkap esensi apa d balik peristiwa tanggalnya tahun lama terbitnya tahun baru. bukankah, waktu yg berlompatan pergi itu justru menyeret kita ke dalam kondisi yg lebih dekat dengan kematian. dan inikah yg qta rayakan? renungkan lg segala apa yg kita lakukan. seharusnya kita berefleksi saat ini, bercermin diri. dan puisi, salah satu sarana utk menegakkan nilai2 yg benar itu utk merombak nilai2 yg selama ini dianggap benar. merujuk puisi ini, seluruh larik dan baitnya menunjukkan itu, menunjukkan kpda qta bahwa kita harus menyikapi perguliran ini dengan lebih bijak lg. (mas Dimas Arika Mihardja, menyeruput kopi)

puisi "refleksi angka dan aroma" ini kental sekali dengan rima yg bikin pembaca (saya) sedikit bergetarrrrrrrrr. diksi yg dipilih sangat murung dan menggelisahkan, seperti "bergetar", "menggelepar", "hambar". gelisah ini diteguhkan lagi di larik terakhir: entah, apakah setelahnya seharum mawar? kontadiktif bukan dengan gegap gempita orang2 kebanyakan? orng kbanyakan hura-hura, sedangkan puisi ini mengajak kita utk gelisah, utk mencari knp rasa gelisah itu muncul. aku memilih gelisah saja.


 Dimas Arika Mihardja:

Saya sudah menbaca dengan tuntas uraian mas Kajitow El-kayeni dan memahami sepenmuhnya seluruh apa yang dikemukakan. Dalam kajaian puisi, hal yang dilakukan oleh mas Kajitow itu dapat disebut sebagai "hasil paraafrase" atas puisi yang hendaka dikaji. Parafrase yang dikemukakaan secara runtut itu memberikan gambaran mengenai substansi "isi" yang disebutnya sebagai tema. Dalam pikiran mas Kajitow, tema merupakan sesuatu hal yang selalau dipandang penting. Hal itu tampak sekali dalam beberapa esai yang ditulisnya.

Hasil parafrase sebuah puisi, yang mengedepankan pentingnya tema mungkin dapat diterima dan harus dilakukan oleh setiap pengkaji. Lebih-lebih jika pengkaji menerapkan metode strukturalisme (dana berbagai varian perkembangannya seperti strukturalisme-semiotik, strukturalisme-genetik, strukturalisme-dinamik, hingga kajaiana dekonstruksi atas sebuah puisi). Dalam kajian puisi, apa yang rtelah dipaparkan mas Kajitow itu perlu ditindaklanjuti dengan pertanggungjawaban secara teoretis dan secara empiris. Dulu, dari nenek moyang hinggaa guru-guru di sekolah, setiap mengapresiasi selalu saja berburu tema, mengungkapkan amaknat, dan nilai-nilai.

Dalam perkembangan perpuisian Indonesia, tampaknya, tema tidaka selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang penting. Misalnya, di antara berbagai ragam puisi, kita mengenal puisi suasana, puisi yang melukiskan peristiwaa dan kesan terrtentu tanpa harus dibebani oleh tema. LUmayan banyak puisi Indonesia, sebut saja di banyak puisi Sapaerdi Djoko Damono mulai asyik dengan lukisan suasana, permainana imaji, dan menomorsekiankan tema. Terkaait dengan hal ini, saya bertanya kepada mas Kajitow, dalam perspektif luas, apakah tema puisi itu mutlak harus ada dan dipandanag penting? Apakah tidak ada kemungkinan lain, misalnya, ada puisi yang sekedar menyuguhkan homor, sindiran, protes, nakal (mbeling) yang semua jenis ini tidak disukai oleh mas Kajitow? Apakah setiap penyair harus mengungkapkan tema, menyampaikan pesan-pesan (moral), dan tiadak ada kemungkinan puisi itu melukis sesuatu yang absurd, abstrak, impresionis, futuris dan lain sebagainya? Maaf, semua tulisan ini tidak bermaksud membela, melainkan menciptakan diskursus yang senantiasa menumbuhsuburkan wacana kritis. Bagaimana mas Kajitow? Bagaimana respon kawan-kawan lainnya seperti saudara Fauzi Nurbain, Puja Sutrisna, Mahbub Junaedi, dan lainnya?

Hore, asyik nih mas Kajitow mulai terpancing hehehehehe. Saya hidup di dua dunia (pendidik dan kesenian) karenanya saya juga peduli pada banyak aspek yang bermuara memanusiakan manusia. Lho, saya kan jebolan dan anak buah Drijarkara yang memang gencar mengkampanyekan "memanusiakan manusia". Nah, terkait dengan puisi yang saya posting mendadak ini, sesungguhnya, saya hendak mengajak berpikir dan mengarah ke wacanaa besar "Tanggung Jawab Penyair". Makanya, saya akan belajar bertanggung jawab atas apa yang sudah saya tulis. Hayo, masak lupa visi-misi BPSM: saling asah-asih-asuh? Hehehehehehe kian asyik nih Kenduri Puisi ini.

Soal tema dan representasi dan manifestasinya saya juga setuju. Tema penting, namun jauh lebih penting bagaimana menyajijkan tema itu secara menarik, artistik/estetik, dan menggelitik. Nah pada puisi yang saya posting ini pun saya ingin "menggelitik" dan "menggugah" sebuah kesadaran warga BPSM, makanya saya beri label "Refleksi". Hayo, berpendapat lagi mas Kajitow (tetapi disruput dului kopinya, saya lagi bingung nih di depan laptop tersuguh jagung bakar, tahu sumedang, dan kerupuk singkong....bingung deh hehehehehe)

Kajitow El-Kayeni:

dalam beberapa esai sebenarnya saya mendukung upaya "meramahkan" puisi. ini kontradiksi juga dalam diri saya, di satu sisi saya enjoy dengan puisi humor atau mbeling, di sisi lain saya takut puisi semacam itu akan menajadi tolok ukur. mungkin tarik-ulur semacam ini karena pengaruh kedekatan saya pada hudan hidayat dan pikiran rendra hehe tetapi satu hal yang terus saya pegang, puisi adalah permasalahan serius karena mengusung cita-cita yang juga serius. meskipun saya juga membuka diri untuk menerima perkembangan. fokus saya tetap pada esensi, kelak mungkin saya sedikit bisa lebih melunak dan menerima bahwa penyaluran esensi ini bisa dilakukan dengan berbagai gaya. siapa tahu bukankah sekarang saya dekat dengan begawan Dimas Arika Mihardja yang seorang pendidik sekaligus pelaku kesenian hehe


Epilog  Kenduri Puisi

Sebenarnya masih banyak respon dan hadirin dalam kenduri  puisi. Rata-rata hadir dengan komentar singkat. Namun, terrnyata Kenduri puisi ini setelah disalin telah terdiri 6 halaman ketik satu spasi, maka kenduri puisi berakhir sampai di sini. Kenduri puisi semacam ini hanya sebagai upaya bagaimana mengapresiasi puisi secara santai, namun tetap bertolak pada sebuah wacana sebagai refleksi pergantian tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar