Senin, 19 Desember 2011

PUISI, BAHASA METAFORA, DAN PENCERAHAN

Oleh: Lutfi Mardiansyah

Saya selalu percaya, sebuah puisi, di luar hal-hal seperti penggunaan kata-kata, gaya tutur dan ungkapan, pemaknaan simbol dan lambang, adalah sebuah kondisi. Kondisi seperti apa? Bagi saya pribadi, puisi adalah sebuah kondisi di mana kata-kata bertransformasi menjadi bentuknya yang paling kristal. Bening. Bersinar. Cemerlang. Bersih. Bagaimana kita membayangkan sebuah kristal, seperti itulah puisi. Kontruksi yang dibangun di dalam sebuah puisi bertujuan mentransfigurasikan tataran pemaknaan kata-kata, dari yang harfiah ke taraf yang lebih tinggi lagi, yakni ke taraf simbolik dan metaforik. Karena ekstasi inilah, puisi menjadi bercahaya, berada di tataran yang sama sekali membedakannya dengan teks-teks lainnya.

Puisi membentuk dunianya tersendiri, sekalipun dunia yang mengada ini bertitiktolak dari realitas dunia yang telah ada: nyata maupun maya. Dengan kata lain, puisi adalah fragmen-fragmen yang dinukil oleh penyair dari kehidupan, yang kemudian disulap menjadi sebuah dunia baru yang sifatnya transenden. Mengapa saya katakan transenden? Karena, dalam penyikapi teks puisi, kita dapat menyamakannya dengan teks-teks Kitab Suci, semisal al-Quran. Jika kita perhatikan, al-Quran ditulis dengan menggunakan pengungkapan-pengungkapan yang tidak melulu dapat kita artikan secara harfiah. Pada kenyataannya, al-Quran penuh dengan gaya tutur yang metaforis, yang tidak bisa dibedah hanya dengan pemahaman harfiah saja.

Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan al-Quran ingin meningkatkan daya tafsir kita dari tataran “wujud”, ke tataran “hakikat.” Al-Quran membawa kita kepada percerahan di mana pemahaman kita tidak lagi terbelenggu oleh konvensi-konvensi bahasa yang normatif. Dengan demikian, al-Quran membawa kita keluar dari tataran bahasa tersebut ke dalam tataran yang lebih transenden.

Lalu mengapa bahasa yang metaforis itu dikatakan transenden? Mari merujuk kepada arti kata “metafora” itu sendiri. Di dalam KBBI, kata “metafora” berarti: pemakaian kata atau kelompok kata bukan dng arti yg sebenarnya, melainkan sbg lukisan yg berdasarkan persamaan atau perbandingan… Yang harus digarisbawahi dari definisi kata “metafora” tersebut adalah “bukan dengan arti yang sebenarnya” dan “sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.” Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa harus menggunakan kata yang “bukan dengan arti yang sebenarnya”?

Penggunaan bahasa metaforis dilakukan karena, merujuk kepada pertanyaan sebelumnya, pengertian harfiah atau pengertian yang sebenarnya tentang sesuatu adalah tidak memadai untuk menggambarkan hakikat sesuatu tersebut. Maka dibutuhkan semacam bahasa yang di dalamnya terkandung sesuatu tersebut sebagai suatu wujud, namun wujud sesuatu ini, dengan bahasa metaforis, ditransformasikan untuk menggambarkan hakikat sesuatu tersebut. Sederhananya, kita mengambil kata “bunga” sebagai wujud sesuatu, untuk kemudian di dalam tataran bahasa metaforis bertransformasi menjadi hakikat bunga.

Di dalam Kitab Suci, seperti juga di dalam puisi, penggunaan bahasa metaforis ini bertujuan agar pembacanya menembus sekat-sekat makna mengenai sesuatu, merobek tataran pengertian harfiah hingga mencapai sebuah kondisi kesadaran yang transenden di mana pembaca tersebut mendapat semacam katarsis spiritual, sebuah pencerahan. Mengutip Karen Armstrong di dalam pengantar bukunya Masa Depan Tuhan: salah satu syarat pencerahan adalah kemauan untuk melepaskan apa yang kita pikir kita ketahui demi menghargai kebenaran yang tidak pernah kita bayangkan. Demi mendapat pencerahan, kita harus melepaskan bahkan melampaui pemahaman kita terhadap definisi-definisi harfiah kata-kata, agar sampai kepada pemahaman hakikat yang tersembunyi di balik segala pengertian kata-kata tersebut. Dan puisi memiliki potensi untuk mencapai pencerahan tersebut. Seperti dikatakan Duns Sectus Erigena di dalam Exposition of Denys’s Celestial Hierarchy, bahwa teologi merupakan “sejenis puisi.”

***





(18 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar