Jumat, 30 Desember 2011

SEBUAH PEMBACAAN PUISI KARYA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Kajitow El-Kayeni, Suko Rahadi, dan Hadi Napster



KUKIRA BEGINI NANTI JADINYA
: untuk warga bpsm

meski bukan dukun, peramal, atau paranormal
kukira begini nanti jadinya: kau kawin, beranak dan berumah
sedang aku terus saja serupa chairil anwar menjumput kata yang mawar
menikmati debar keharuan, tak lelah menciumi aroma-Nya

meski bukan astrolog, biolog, atau theolog
kukira begini nanti jadinya: kau berobat, tobat, dan bersijingkat
menapaki lorong-lorong waktu mencari sesuatu
sedang aku terus saja memuja sembilanpuluhsembilan nama
di tikar sembahyang, mengusap debu jalanan
menangis oleh keharuan

meski bukan penyair, penyihir, atau penyiar
kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan
geriap kata di ujung senja di pantai yang bergelora
sedang aku terus saja menjadi butir-bnutir pasai di pantai
merindu cumbuan angin, disapu dan diusap lidah ombak
yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu
diam dalam dekapan keabadian

29/12/2011


(1)

saya mencermati gaya humor dalam beberapa puisi mas Dimas Arika Mihardja, tapi humor itu terkadang lari ke arah getir. humor itu terkadang terayun pada kemuraman. humor itu seolah hanya pintu masuk kepada sebenar ruang di dalam puisi. dan saya pun mengamati puisi-puisi mendadak mas dimas tetap memiliki keterpusatan dan tujuan yang jelas meskipun itu mungkin juga belum final. tapi dengan pembacaan yang mendadak pula saya memahami di balik gaya humor itu ada celah renung di sana. hasil tempaan hidup sebagai penyair yang kenyang asam-garam dinamika kepenyairan. diksi yang dipilih pun sederhana dan akrab, bahkan dalam pemilihan judul dan pembentukan puisi mungkin sengaja tidak dibuat sulit agar mudah dicerna. dengan sendirinya puisi ini melambangkan kedekatan antara penyair dan warga bpsm yang ditunjuk sebagai alamat penyampaian maksud, layaknya teman ngopi bersama, teman bersenda gurau, teman yang akrab.

puisi ini seperti tingkatan candi borobudur. ada tingkatan dasar, menengah, dan lanjut. tingkatan itu akan terlihat dari arah tujuan yang dikehendaki penyair dengan serangkaian perkiraannya itu. tidak terlihat memang jika hanya dibaca sekilas, dan itu menipu mata pembaca, apalagi dengan gaya akrab yang melekat pada puisi ini.

pada bait pertama puisi ini, kesan humor itu terlihat dari pengakuan aku lirik mengenai keadaannya yang bukan dukun, peramal, atau paranormal. seseorang yang dikatakan mengetahui masa depan dengan identitas tadi itu tentu tidak asing bagi kita, seseorang yang linuwih dan dianggap sakti. tetapi itu kemudian memunculkan kesan humor ketika aku lirik berkata pada seseorang yang disebutnya kau mengenai perkiraan masa depan. padahal aku lirik bukan orang sakti katanya. tapi ia mempunyai prediksi itu. "kukira begini nanti jadinya: kau kawin, beranak dan berumah" pernyataan yang akrab itu memiliki tujuan usia tentunya. yang hendak ditunjuk dengan"kau akan kawin" itu adalah kawula muda. ini penggambaran umum dengan fungsi simbolik. "kau akan kawin" tidak hendak mengatakan yang pernah kawin disuruh kawin lagi, tapi itu simbol usia tadi. seolah-olah penyair sedang berujar, wahai warga bpsm yang muda-mudi (yang kebetulan belum kawin) nanti kau akan kawin, beranak, berumah tangga." jadi ini bisa dikatakan sebuah nasehat yang bijak dengan balutan bahasa yang sederhana dan dekat. dari nasehat itu terkandung maksud: persiapkan dirimu.

kemudian nasehat tadi itu menjadi terasa getir menurut saya. ketika aku lirik memisahkan dirinya dengan perkataan, "sedang aku terus saja serupa chairil anwar menjumput kata yang mawar / menikmati debar keharuan, tak lelah menciumi aroma-Nya." ini simbolik juga sifatnya. aku lirik menyerupakan dirinya dengan seorang penyair bernama chairil. seperti kita tahu chairil itu salah satu penyair yang total hingga lekat istilah binatang jalang padanya. chairil benar-benar hidup dari dan untuk puisi. ia tidak tertarik dengan pekerjaan lain. puisi adalah segala-galanya bagi chairil. dan itu terasa getir manakala penyair menepi dan menikmati debar setiap kata mawar (puisi) hingga membuat penyair tak lelah menciumi aroma-Nya. kata ganti orang ketiga itu referen kepada apa atau siapa? tentunya itu mengarah kepada tuhan. dengan "kata yang mawar" tadi penyair mendekatkan diri pada pemilik bahasa, kepada tuhan yang telah memberikan pemahaman kepada penyair akan keagungan tuhan dalam berpuisi tadi. "haru" mungkin yang dikatakan oleh aku lirik. tapi haru itu kembali pada kata yang mawar, bukan kepada kau lirik yang kelak menikah dan memiliki anak. haru itu terasa getir saat penyair dengan sifat totalnya dalam berpuisi tadi terlihat masyuk dan terpisah dari realita kau lirik.

(2)

bait ke dua menggunakan wajah perulangan bait pertama meski memiliki kandungan isi yang berbeda. kali ini aku lirik mengambil simbol orang-orang yang dikenal cerdas, memiliki akurasi dalam pengamatan, dan memahami hukum-hukum keagamaan. "meski bukan astrolog, biolog, atau theolog." simbol itu menjadi peniadaan sifat aku lirik. artinya tiga orang yang berprofesi berbeda tadi memiliki kecermatan dan ketajaman intuisi serta kedisiplinan dalam ilmu agama. aku lirik memang tidak berprofesi demikian tetapi prihal yang hendak disampaikan pada kau lirik itu tidak boleh dianggap remeh dan/atau bisa disamakan dengan ketiga simbol tadi. "kukira begini nanti jadinya: kau berobat, tobat, dan bersijingkat / menapaki lorong-lorong waktu mencari sesuatu," di sini nasehat itu kembali ditujukan kepada pihak berbeda yaitu lebih kepada orang yang sudah dewasa. karena gambaran berobat itu untuk orang yang sadar dirinya sakit. ini sakit rohani tentunya. anak muda cenderung tidak peka terhadap penyakit ini, maka dikatakan berobat itu untuk usia dewasa. begitu juga dengan tobat, bagi yang sudah merasa dirinya punya penyakit rohani tadi kemudian sadar usia sudah tidak remaja lagi, kesadaran tobat mulai datang. sedangkan bersijingkat dan seterusnya itu sebagai gambaran laku kau lirik dalam mencari kebenaran dalam hidup. bahwa hakikat hidup itu bukan hanya di dunia saja.

ini undakan ke dua setelah undakan pertama tadi. bisa jadi ini merupakan kelanjutan fase pertama, tetapi akan lebih mudah jika puisi ini dipandang dalam satu momen yang sama: aku lirik sedang memberikan wejangan kepada setiap orang sesuai tingkatan usianya.

hal yang sama juga terasa dalam bait ke dua ini. aku lirik terlihat mengheningkan cipta dalam ruangan sunyinya. "sedang aku terus saja memuja sembilanpuluhsembilan nama / di tikar sembahyang, mengusap debu jalanan / menangis oleh keharuan," ini juga senada dengan bait pertama tadi. aku lirik dengan jalan pribadinya memuja kebesaran tuhan yang digambarkan dengan jumlah bilangan namanya. karena penyair adalah seorang muslim, aku lirik terbentuk sesuai terminologi keislaman. bukan untuk mengkotakkan diri, tetapi demi menghidupkan sosok aku lirik, demi memberi roh sepiritualitas padanya. maka sembilan puluh sembilan itu adalah asmaulhusna. tuhan dalam terminologi agama samawi memiliki ribuan nama, seribu diberikan pada malaikat, seribu pada jin, seribu pada manusia. untuk nabi-nabi terdahulu diberi bagian masing-masing. khusus dalam alquran disebutkan sembilan-puluh sembilan yang satu ismu dzat. jadi genap seluruh nama-nama tuhan itu. begitulah penyair beringsut dari keramaian sosok kau lirik yang mencari hakikat hidup. ini juga merupakan sebuah percontohan pula sebenarnya, seolah penyair ingin berkata bahwa apa yang dijalani kau lirik itu juga pernah dilaluinya. dan puncak pencarian itu adalah pada tuhan juga yang menjadi muara segala aliran kehidupan.

ada gaya retorika penyampaian dalam bait ke dua ini. penyair mengatakan, "di tikar sembahyang, mengusap debu jalanan" ini memiliki ganda juga, tapi saya fokuskan pada satu saja. penyair tidak melakukan cara-cara radikal untuk menemukan tuhan dalam pemujaannya, semua itu dilalui dnegan ibadah seperti tuntunan nabinya. di tikar sembahyang menunjukkan bekas perbuatan shalat, juga mungkin dzikir dan doa sesudahnya. kemudian disambungnya mengusap debu jalanan, ini adalah lambang dari perbuatan dosa yang dihapusnya dengan ibadah tadi. penyair selaku manusia menyadari kekhilafannya, dan itu ditebusnya dengan melakukan perintah agama. seperti yang tekah diyakini, perbuatan baik itu akan menghapuskan dosa. tapi bahasa itu disampaikan dengan dua lambang, tikar sembahyang dan debu jalanan. tikar sembahyang identik dengan kesucian, karena shalat harus suci hadas kecil dan besar. sedangkan debu jalanan adalah perwakilan dari keadaan yang kotor. debu memang bisa digunakan untuk bersuci, tapi tidak sembarangan debu. penyair mengambil simbol debu jalanan untuk menguatkan kesan kotor itu. jalanan tentu dipenuhi dengan banyak hal, ada tumpahan oli, debu itu sendiri, kotoran ternak, bekas ban kendaraan, dan lain-lain. debu jalanan identik dengan sesuatu yang kotor.

dua perlambangan tadi mewakili dari dua perbuatan yakni ibadah dan kesalahan dalam hidup yakni dosa. dengan gaya penyampaian retorik penyair ingin mengatakan, sosok kau itu sedang mencari hakikat hidup dengan, berobat (dari penyakit rohani), bertobat, dan bersijingkat (bergegas pada kebaikan) tetapi di sisi lain, aku lirik ingin menyampaikan bahwa itu pula yang sekarang dilakukannya, bahkan ia telah melampaui pencarian akan hakikat hidup oleh kau lirik yang setengah umur tadi, dengan menunjukkan tikar sembahyang sebagai pelabuhan air matanya untuk menghapus dosa-dosa yang semestinya sebagai manusia pasti dimilikinya. dan uniknya kenyataan akan hal itu tertutupi oleh bahasa simbolik dan penyampaian yang sederhana seolah bertutur sanatai pada sahabat sepermaian saja.

‎(3)

ada sedikit perbedaan ketika sampai bait ke tiga, penyair seolah menyangkal dirinya bahwa profesinya adalah sebagai penyair. yaitu dengan ucapannya, "meski bukan penyair, penyihir, atau penyiar," ini bukan sebagai peniadaan mutlak, khusus untuk lambang "penyair" itu, sebenarnya hal demikian merupakan tempat sembunyi saja, seolah penyair melebur kepada aku lirik dalam puisinya. artinya penyair Dimas Arika Mihardja, tidak nyata dalam bait ini tapi melebur kepada aku lirik tadi. ia menjadi subyek di balik subyek yaitu diri penyairnya. dapat juga dimaknai hal itu adalah sebagai bukti kerendahan hati, penyair yang telah kenyang pengalaman sedikitpun tidak ingin melebihkannya. apalagi memamerkannya seperti beberapa orang penyair itu. maka hal itu dikatakannya, "meski bukan penyair..." dalam bait ketiga ini kembali aku lirik membidik lawan bicaranya sesuai usia, yaitu usia tua. "kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan / geriap kata di ujung senja di pantai yang bergelora," di ujung senja merupakan lambang dari usia sesudah dewasa tadi yaitu usia tua. penyair sengaja mengajak sahabat (yang menjadi tujuan puisi ini dibuat seperti tertulis di bawah judul itu) untuk berdialektika. maka dalam bait ketiga ini simbol yang dipakai penyair lebih rumit dari yang sebelumnya. hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesan kasar. karena usia lebih tua biasanya lebih peka menangkap isyarat dan simbol.

apa yang hendak disampaikan penyair lebih halus dan lebih hati-hati, itu diawali dengan meniadakan dirinya sebagai penyair, penyihir, dan penyiar. padahal ketiga simbol tadi merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh pada khalayak, orang-orang yang didengarkan, orang-orang yang dikenal. tapi penyair justru tidak ingin tampil seperti itu, ia merendah dan mengakrabkan dirinya pada sosok yang disifatkan, "kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan / geriap kata di ujung senja di pantai yang bergelora." hal ini kemudian terasa kontras ketika sampai pada, "sedang aku terus saja menjadi butir-bnutir pasai di pantai / merindu cumbuan angin, disapu dan diusap lidah ombak / yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu / diam dalam dekapan keabadian." di satu sisi kau lirik akan mendapatkan kebahagiaan dan keasyikan dengan "geriap kata" itu, namun di sisi lain aku lirik malah menyiratkan sesuatu yang kontras, yaitu keadaannya yang dengan bahasa sederhana bisa diartikan ia juga dalam lautan keindahan yang digeluti oleh kau lirik, tapi hal itu untuk menyempurnakan jejak menuju sebuah pintu keabadian. ini memang bisa dimaknai berbeda, misalnya diam dalam dekapan keabadian itu adalah sebuah pencapaian cita-cita yang sempurna. tapi itu pemaknaan yang lebih jauh dari ungkapan tadi. sebenarnya ini merupakan sebuah sentilan agar pihak kau lirik (dalam usia matang) menimbang lebih jauh bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting disikapi, yaitu menyempurnakan jejak menuju pintu keabadian. dengan kata lain berserah diri dan menyempurnakan kekurangan dalam peribadahan.

puisi yang disebut penyairnya sebagai karya dadakan ini memiliki kerumitan tingkat tinggi. dengan pola repetisi setiap bait itu mewakili tingkatan umur seumpama tingkatan candi borobudur. dan di setiap bait itu pula pilihan diksi dan simbolnya juga disesuaikan dengan pihak yang dituju. belum lagi menyorot strategi retoris yang matang pada puisi ini menunjukkan adanya sebuah ide yang telah mengendap, meski itu dituturkan dengan spontan ke dalam puisi. sebuah nasehat yang bijak dalam menyikapi kehidupan. nasehat itu tidak diberikan sebagai sosok yang dilingkupi keagungan seperti simbol-simbol yang ditampiknya di atas itu. tetapi penyair ingin bersahaja dan berlaku layaknya sahabat. mengingatkan yang lupa, menunjukkan yang bingung, dan menyentil yang keasyikan sehingga tetap memiliki tujuan hidup yang sejati, yaitu pada yang maha hidup. sebuah kemenangan kelak dalam ketenangan abadi. seperti kata penyair, "yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu
diam dalam dekapan keabadian."

***

kajitow
dalam mode mendadak pula

Catatan Suko Rahadi:

Mas kajitow telah membongkar puisi Prof. DAM secara rinci bait perbait. Nah, apakah puisi harus dikupas satu persatu baik kata, baris, maupun baitnya? terserah saja, kita mah bebas mengupasnya. he.he..lalu apa yang menarik dari puisi itu? jika kita perhatikan, yang paling menonjol dalam puisi ini adalah ulangan-ulangannya. Ulangan itu terjadi baik pada kata, baris, maupun baitnya. ulangan dalam puisi Prof. DAM itu diantaranya berupa paralelisme, yaitu penjajaran kalimat yang artinya mirip atau hampir sama, hanya dengan mengganti sebagian katanya saja. bisa kita lihat:

meski bukan....
kukira begini....

diulang pada tiap bait. inilah rahasia kekuatan puisi tersebut. Jika mantera pembuka ini dihilangkan atau diganti, maka daya pesona puisi itu akan luntur. ini adalah ciri sastra lama, sastra mantera. si aku seoalah merapal mantera di setiap awal baitnya dengan tujuan agar sesiapapun yang mendekatinya akan hormat dan segan. diakui atau tidak, setiap pembaca akan terkonsentrasi pikirannya pada kalimat itu karena memang di sana terdapat "kekuatan gaib"

si aku sebenarnya ingin mengatakan siapa dirinya yang sesungguhnya lewat baris pertama dalam tiap baitnya. "akulah DAM" mungkin begitu kira-kira. jika kita perhatikan, dalam kebanyakan puisi Prof. DAM memang demikian adanya. rima tidak hanya dalam akhir baris, namun dalam satu baris seringkali terjadi persamaan bunyi.

puisi yang sangat seimbang, sungguh simetris. bait dan barisnya tersusun rapi. hal ini menimbulkan intensitas arti dan penciptaan arti baru karena kesejajaran homologues. dengan persamaan atau ulangan yang berturut-turut dan hampir sama itu maka timbul orkestrasi dan irama yang menyebabkan rilis. ini merupakan makna di luar kebahasaan.

Catatan Hadi Napster:

Chairil Anwar dahulu pernah berkata, “Yang bukan penyair, tidak ambil bagian.” Kalimat yang dinyatakan dalam sebuah wawancara di radio Belanda di atas, dengan tegas membagi antara “penyair” dan “bukan penyair”. Dikarenakan sebuah konsepsi seni secara umum yang menyatakan bahwa puisi adalah sesuatu yang luhur, mulia, dan memiliki nilai lebih di atas tulisan lainnya, maka oleh Chairil ditegaskan bahwa hanya penyairlah yang boleh mencipta syair, puisi, dan semacamnya. Sebab penyair adalah manusia yang istimewa, teladan dan dapat menciptakan sesuatu yang luhur pula.

Kalimat Chairil di atas mengundang protes sepanjang tahun 70-an hingga 80-an. Salah satunya adalah “Perkemahan Kaum Urakan” di Parangtritis yang dikomandoi oleh WS. Rendra. Dan yang paling fenomenal yakni “Gerakan Mbeling” yang dimotori oleh Jeihan Sukmantoro, Remy Sylado, Abdul Hadi WM, dkk. Kedua protes tersebut dimaksudkan sebagai bentuk protes terhadapa “keluhuran” puisi (keluhuran dalam tanda petik) sebagaimana dinyatakan Chairil. Tujuannya tentu saja ialah untuk membumikan puisi itu sendiri, sehingga pada masanya bukan hanya “penyair” yang dapat menulis puisi, tetapi semua orang berhak menulis puisi. Entah itu profesor, dosen, guru, tentara, polisi, pedagang, sopir angkot, pelayan WarTeg, pengamen, babu, semuanya. Dengan demikian nilai-nilai keluhuran sebuah puisi tidak hanya menjadi milik penyair saja, melainkan semua orang. Sebagaimana pernyataan Jeihan, “Dengan tegas saya katakan, yang bukan penyair boleh ikut ambil bagian. Ini artinya setiap orang boleh menulis puisi, boleh main-main dengan puisi. Gembira ria dengan puisi.”(Mata emBeling, 2000: 14).

Lalu, apa hubungannya dengan puisi di atas? Barangkali kita tidak akan menelisik sejauh mungkin ke dalamnya untuk mengurai setiap intensi, tetapi sebuah perspektif yang mengembrio pada pandangan di atas dapat disimpulkan dari larik-larik: “meski bukan dukun, peramal, atau paranormal/kukira begini nanti jadinya: kau kawin, beranak dan berumah” yang dilanjutkan dengan; “meski bukan astrolog, biolog, atau theology/kukira begini nanti jadinya: kau berobat, tobat, dan bersijingkat”, serta “meski bukan penyair, penyihir, atau penyiar/kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan.”

Namun buru-buru harus ditambahkan, bahwa puisi DAM di atas jauh lebih merangkul kisi-kisi kehidupan, memanusiakan manusia, tentunya lewat pertarungan di kancah sastra. Bahkan jika boleh dikatakan, puisi di atas ialah serupa seruan yang meliputi segala aspek kehidupan. Tengoklah, “aku terus saja serupa chairil anwar menjumput kata yang mawar menikmati debar keharuan”. Begitu juga dengan “menapaki lorong-lorong waktu mencari sesuatu” atau “terus saja menjadi butir-butir pasai di pantai”. Kegelisahan seorang DAM akan kekinian kehidupan yang kian karut-marut, penuh sengketa (silang-sengkarut), sangat jelas terlihat dari kalimat tersebut.

Ada kesamaan rasa dengan seorang Chairil Anwar yang tak jua kunjung menemu “eksistensi” hakiki, atau jalan terang bagi misteri kehidupan yang dilakoninya, sampai pada akhir hayatnya. Betapa tidak, keresahan neurotik yang dirasakan oleh Chairil Nampak sangat jelas dalam larik puisi TAK SEPADAN; “Aku kira/Beginilah nanti jadinya/Kau kawin, beranak dan bahagia/Sedang aku mengembara serupa Ahasveros/Dikutuk sumpahi Eros”. Kegelisahan-kegelisan Chairil inilah yang nampaknya menjadi ilham pencetusan puisi di atas. Akan tetapi harus digarisbawahi bahwa, ketegaran, kebersahajaan, dan ketwakkalan seorang DAM dalam mengarungisamudera kehidupan jauh lebih “matang” dibandingkan Chairil Anwar. Jika dalam puisi Chairil Anwar kita tidak mendapati sebuah “solusi” alias pencarian tetap saja menjadi misteri, maka dalam puisi DAM sangat terang dan jelas, “menikmati debar keharuan, tak lelah menciumi aroma-Nya”, begitu juga dengan “sedang aku terus saja memuja sembilanpuluhsembilan nama”, “yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu
diam dalam dekapan keabadian”.

Alhasil, puisi di atas telah menerkam kegundahan cucu-cucu Adam yang membacanya. Sebagai refleksi, syiar, introspeksi diri, bahwasanya hakikat kehidupan hanyalah satu—dari-Nya dan kembali pada-Nya. Toh jika pada awal komentar saya sengaja menyeretnya ke dalam perspektif geliat sastra, semata-mata karena pilihan seorang DAM yang telah memutuskan untuk merangkul anak-anak muda, generasi-generasi belia, untuk bersama-sama menghidupkan kesusastraan ini dengan sepenuh nafas. Dan mereka yang terangkul itu bukan hanya “penyair” sebagaimana kata Chairil Anwar, melainkan orang-orang yang penyair dan juga bukan penyair.
 
Lantas, apa tendensinya melakukan itu? Mencari namakah? Hendak mencatat sejarakah seorang DAM? Wallahualam… Namun keyakinan saya masih sama, bahwa ketika Presiden Penyair diam-diam menanggalkan mantra dan membuang muka bagi mereka yang orang biasa, dan ketika Raja Penyair mengatakan padanya, “Puisi di Facebook itu puisi sampah! Untuk apa kau urusi?” Hal-hal demikian inilah yang memacunya untuk menancapkan panji, mengibarkan bendera sastra, memunguti sampah-sampah, mendaur ulangnya kembali, untuk dijadikan rantai mutiara. Dan sejarah akan melihat itu semua! Ya, kita semua, bukan hanya Dimas Arika Mihardja yang bersahaja itu.

Demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar